Satu jam lebih mereka berjalan melewati hutan yang lebat hingga akhirnya menemukan hamparan daratan yang sangat luas. Sebuah jalanan yang cukup jika dilewati oleh dua buah karavan dibentuk dengan tumpukan kerikil yang dipotong rata melalui sihir. Permukaan batu yang kasar membuat jalanan menjadi aman bagi roda-roda yang melewatinya.
Beberapa petani sedang menggarap perkebunan, sibuk menanam jagung dan gandum di dataran yang mengelilingi gerbang kota. Sekitar dua atau tiga gerobak berpapasan dengan mereka, saling menyapa walau para petani tahu bahwa tiga orang anak itu adalah pendatang.
Isabelle merasa sangat nyaman dengan kondisi, keramahan penduduk, dan kedamaian dari kota yang akan mereka tinggali.
"Akhirnya semua masalah yang menimpa akan berakhir." Yehezkiel meregangkan tubuhnya, menatap gerbang kota dengan penuh semangat.
Isabelle mengangguk penuh bahagia pada kata-kata majikannya. Namun, hanya sekitar lima puluh langkah lagi sampai mereka masuk ke dalam pos pemeriksaan, sebuah ledakan besar menggetarkan udara jauh di dalam kota. Setelah itu, lonceng tanda bahaya dan jeritan ketakutan menggema, seakan menghancurkan suasana hati Isabelle yang damai.
"Serangan?!" Isabelle bertanya, tapi tidak ditujukan untuk siapa pun.
"Lihat ke atas!" Menyadari ada sesuatu yang aneh, Yehezkiel menunjuk ke langit tepat di atas pusat kota.
Seekor monster bersisik mengepakkan sayap megahnya beberapa kali, membuat bobot tubuhnta mengambang di udara. Gigi-gigi taringnya terlihat mengancam saat dia membuka mulut. Mengesampingkan sayap dan sisik, bentuknya menyerupai serigala hutan raksasa yang ganas.
Sebuah lingkaran sihir berwarna merah tercipta tepat di depan mulut yang terbuka. Tak butuh waktu lama, cahaya berwarna merah kehitaman menyembur keluar menuju bangunan-bangunan kota, membakar apa saja yang menjadi target serangannya.
"Hellhound?!" Suara Alma terdengar gemetar, tubuhnya seakan jatuh ke dalam keputusasaan.
Sesaat setelah mendengar nama dari makhluk buas mengerikan yang tiba-tiba muncul di tengah kota, Isabelle seakan kembali kehilangan semangatnya untuk hidup. Monster itu, Hellhound, setidaknya sama buruknya dengan para naga. Mereka adalah lambang kehancuran, salah satu dari sedikit monster yang menduduki kelas bencana.
Para petani berlarian tidak menentu, ada yang memaksa masuk ke dalam kota karena khawatir dengan keluarganya, ada yang lari memasuki hutan, bahkan ada yang hanya terdiam membeku penuh kengerian. Sementara itu, seluruh prajurit mulai berlarian ke dalam kota, berusaha menyelamatkan para penduduk dari serangan yang tiba-tiba.
"Ba-bagaimana ini?" Yehezkiel bertanya penuh rasa takut.
Hellhound adalah salah satu dari sekian banyak jenis demon. Mereka kuat, itu sudah pasti. Rata-rata demon memiliki kekuatan yang setara dengan petualang peringkat bronze. Namun, Hellhound bukanlah demon yang lemah, setidaknya mereka berada pada tingkatan silver dan di atasnya. Berpikir untuk menanganinya bukanlah pilihan yang tepat.
Semburan api terulang beberapa kali sebelum monster besar itu memutuskan untuk turun dan mulai memakan para penduduk. Walaupun terhalang oleh dinding, Isabelle tahu bahwa hal yang sangat mengerikan pasti sedang terjadi jauh di dalam kota. Tubuhnya gemetar, tidak kuasa menerima kenyataan mengerikan yang tengah terjadi di depan matanya.
Kengerian itu langsung pecah ketika bola mata cokelatnya menatap ke arah Alma yang sudah mencabut salah satu belati hitam di pinggangnya. Dia memutarnya beberapa kali seraya melemparnya ke udara sebelum akhirnya menggenggam belati itu dengan erat.
"Aku akan mengulur waktu. Tolong selamatkan para warga." Alma berbicara dengan nada yang pasti.
"Ha?! Apa kau sudah gila?! Jangan menyombongkan diri hanya karena senjata-senjata itu! Melawan makhluk seperti itu pasti mustahil untukmu, tahu! Jangan sok menjadi pahlawan!"
Isabelle sangat setuju dengan protes yang dilontarkan Yehezkiel. Namun, dia tak berani menyuarakan persetujuanya secara terang-terangan. Walau bagaimana pun, Isabelle tidak mau membuat Alma membencinya.
"Aku tidak sendirian. Aku yakin para petualang dan prajurit sedang mempertaruhkan nyawa mereka. Jika kami menggabungkan kekuatan, membunuhnya bukanlah hal yang mustahil."
"Mereka hanyalah warga dari negeri asing, kau tahu? Kita tak memiliki kewajiban untuk menolong. Lagipula kita bukanlah seorang bangsawan lagi." Nada kesedihan yang terucap dari mulut Yehezkiel begitu dalam.
"Tidak peduli apakah orang asing maupun bukan, mereka tetaplah seorang manusia. Jika aku mengabaikannya, aku takut sifat kemanusiaanku akan hilang sepenuhnya suatu saat nanti."
Mendengar kata-kata yang diucapkan oleh adiknya, Yehezkiel menarik napas panjang sebelum menjawab dengan perasaan berat hati. Isabelle dapat mendengar nada bicaranya merupakan nada yang terpaksa. Mungkin dia menyesal karena harus memberikan beban berat bagi Sang Adik.
"Ingatlah kata-kataku. Apapun yang tejadi, jangan pernah mencoba untuk mencabut lebih dari dua senjata."
Isabelle belakangan mengetahui akan kenyataan dari senjata-senjata iblis yang digunakan oleh majikannya. Senjata tersebut bagaikan pisau bermata dua. Selain memberikan kekuatan besar secara instan, senjata-senjata itu juga memengaruhi pikiran penggunanya. Jika majikannya tidak kuat untuk menahan suara-suara yang mengacaukan pikirannya, beliau pasti akan jatuh ke dalam lingkaran iblis dan tak dapat kembali. Mungkin itulah alasan yang mendasari kenapa Yehezkiel bersikeras untuk melarang Alma menggunakan lebih dari dua bilah senjata.
"Hn." Alma mengeluarkan suara pelan.
Setelah selesai memberikan jawaban, Alma terjun ke medan pertempuran tanpa ragu, meninggalkan Yehezkiel dan Isabelle yang masih terdiam ketakutan jauh di belakangnya. Sosok gadis itu hilang di balik gerbang hanya dalam waktu yang cukup singkat.
***
Alma menpercepat langkahnya saat dirinya sampai di dalam kota. Dia berbelok beberapa kali, melewati kerumunan penduduk yang menangis berusaha melarikan diri. Lidah api menyala di mana-mana, membuat bangunan-bangunan kayu di sekitarnya terbakar semakin membesar.
Anak-anak dan orang tua menangis seraya menjerit penuh kengerian. Tidak sedikit dari mereka yang terjatuh kemudian terinjak-injak oleh kerumunan orang yang berlarian. Suhu dan intensitas cahaya semakin memburuk akibat asap dan radiasi dari api yang membakar udara. Terasa seakan mencekik tenggorokan secara perlahan.
Setelah berjalan jauh ke dalam kota, suasana mulai sedikit sepi. Mayat-mayat yang tengah terbakar bergelimpangan, meninggalkan kesan horror yang menyayat hati. Beberapa masih ada yang menjerit saat lidah api menjilat seluruh permukaan kulitnya. Mereka berlari --sebagian berguling-- di jalanan tak tentu arah dan tujuan, meraung ngeri menghadapi kematian. Namun, Alma sama sekali tak peduli. Dia tetap melangkah jauh ke dalam area yang paling berbahaya.
Suara tangis seorang anak-anak tiba-tiba menyita perhatiannya. Alma yang sedang terburu-buru merasa sedikit terganggu saat suaranya semakin keras. Gadis itu bahkan tidak tahu sama sekali alasan di balik kenapa dia merasa terganggu. Firasatnya membuat Alma berbalik arah menuju lantai dua sebuah bangunan kayu yang terkesan kuno.
Ruangan itu hanyalah penginapan sederhana yang sedang terlahap api. Tidak ada yang unik, hanya bangunan kayu tua sejauh mata memandang ketika dia berjalan melewati lorong penuh asap lantai dua. Kemudian, Alma membuka salah satu pintu dan mendapati sosok gadis kecil menangis di hadapan seorang wanita tua yang tubuhnya tertindih tiang penyangga.
Gadis itu berbalik, menatap Alma seraya terus menangis.
"Kakak Petualang!" Itu adalah penilaian secara langsung tanpa pikir panjang. Mungkin dia melihat perlengkapan Alma yang menyerupai seorang petualang. "Tolong selamatkan ibu! Aku mohon!"
Alma melirik ke arah wanita tua yang tengah tak sadarkan diri, lalu mengubah kembali bidang pandangnya pada gadis itu.
Petualang adalah pekerjaan menyelamatkan orang atau membunuh untuk mendapatkan sejumlah uang.
Mempertimbangkan pengetahuannya tentang seorang petualang, Alma memberikan sebuah pertanyaan, "berapa harga yang akan kau bayar atas penyelamatanmu?"
"Eh?" Gadis itu menatap kosong, tidak mengerti dengan ucapan Alma.
"Kau menyuruhku. Itu adalah sebuah quest, benar? Lalu, berapa uang yang akan kau berikan padaku?"
Mendengar pertanyaan dingin yang kembali keluar dari mulut Alma, gadis itu tak dapat berkata-kata. Dia hanya terduduk pasrah diiringi dengan isak tangis yang semakin menggema. Namun, itu tak berlangsung lama. Ruangan tersebut tiba-tiba hancur oleh mulut Hellhound yang tengah mengamuk. Dia meraung, mengoyak bangunan kayu itu dengan gigi-giginya yang sangat tajam dan berbahaya.
Setelah menyadari bahwa ada sosok makhluk hidup di tempat yang dihancurkan olehnya, Hellhound membuka rahang lebar-lebar dan segera menggigit mangsa yang diincarnya. Dalam sekejap, tubuh wanita dan anak gadis itu hancur oleh gigi-gigi tajam yang mengoyak mereka.
Tetesan darah dan potongan-potongan daging mulai berjatuhan mengotori lantai dua dari sebuah penginapan tua yang tengah terbakar, menyebarkan bau dari kematian yang begitu pekat.
Gadis itu menjerit kesakitan, meminta tolong pada satu-satunya manusia yang masih berdiri diam melihat dirinya menghadapi maut. Namun, pertolongan tak pernah datang sedikit pun pada dirinya.
Hellhound membuang kepala gadis itu ke jalanan yang rusak, lalu menatap pada Alma dengan pandangan seakan menusuk.
"Senjata dan rambut dengan warna malam, apakah Anda adalah Gatekeeper yang disebutkan Maharaja?" Alma mengangguk sebagai jawaban.
"Berapa orang yang melawanmu dan seberapa kuat mereka?"
"Sekitar dua ratus. Namun, tak ada yang cukup kuat." Hellhound berbicara. Darah dari mangsanya menetes membasahi sudut mulutnya.
"Setelah ini, mungkin para petualang akan mulai mengincarmu. Jaga dirimu baik-baik dan tetap pada rencana."
"Sesuai perintah Anda, Tuanku."
Alma mulai melesat ke arahnya, menghantam gigi-gigi tajam makhluk itu dengan sangat keras menggunakan belatinya. Namun, serangannya sama sekali tidak berefek apa pun. Sesaat setelah serangannya gagal, hantaman dari cakar-cakar tajam Hellhound hampir merobek tubuhnya. Untung saja Alma dapat menangkisnya tepat waktu. Sayangnya, kekuatan dari ayunan tangan Hellhound membuat Alma terhempas keluar hingga menabrak salah satu bangunan dengan begitu keras.
"Bgh!" Alma jatuh telungkup di jalanan. Beberapa tulang rusuknya terasa retak sehingga menghasilkan sensasi ngilu dan rasa seperti terbakar yang sangat pedih.
Dia berusaha untuk bangkit berdiri dengan tubuh yang gemetar menahan sakit. Darah segar mulai mengalir membasahi mulut dan hidungnya. Gadis itu memandang tajam seraya menyunggingkan senyum sinis pada monster di hadapannya.