Chereads / RE:VERSE / Chapter 12 - 3.II Isabelle

Chapter 12 - 3.II Isabelle

Isabelle terbangun di pagi hari dengan perasaan yang menyegarkan. Walau tubuhnya sedikit kedinginan, suhu dari paha majikannya seakan membuat dia hangat setiap saat. Dia mengucek matanya sebelum mulai fokus menatap sekitar.

Tepat di hadapannya, Almaria von Canaria tengah terlelap menyandar pada sebuah batang pohon besar. Dia tidur dengan posisi duduk, membiarkan Isabelle untuk berbaring nyaman di atas pangkuannya. Jauh di dalam hatinya, Isabelle merasa malu karena telah merepotkan majikan tercintanya.

Pikirannya masih belum terlalu sehat akibat kejadian-kejadian yang baru saja dilaluinya. Hal ini membuat Isabelle masih belum dapat kembali mengabdikan diri pada Sang Putri. Namun, hari ini dia terlihat cukup baik dan siap untuk kembali bertugas.

***

Sekitar 21 hari yang lalu, saat dirinya pergi bersama seorang prajurit untuk mencegah upaya pembunuhan Keluarga Canaria, gadis itu malah berakhir dengan diserang oleh para bandit. Persenjataan yang tidak memadai dan jumlah yang terlampau banyak membuat Sang Prajurit meregang nyawa di hadapan Isabelle.

Cairan berwarna merah menetes deras membasahi rerumputan saat leher Sang Prajurit digorok menggunakan sebuah pedang. Tubuhnya menegang, beberapa kali terhentak layaknya seekor hewan yang baru saja disembelih sebelum akhirnya tergeletak lemah saat kepalanya putus. Suaranya sudah tak dapat terdengar lagi akibat tenggorokannya yang ikut terpotong pada saat lehernya digorok. Sementara itu, kedua bola matanya melotot untuk beberapa saat.

Isabelle berteriak histeris, memandang peristiwa kejam di hadapannya dengan tubuh gemetar. Isak tangisnya pecah, mengganggu hewan-hewan liar di tengah hutan dari damainya suasana di sore hari. Seluruh tenaganya seakan menguap akibat kengerian yang memenuhi semua bidang pandangnya.

Menyadari bahwa prajurit itu telah mati, masing-masing bandit mulai menyabetkan pedangnya pada mayat prajurit di hadapan mereka secara berulang kali hingga menyebabkan dagingnya berceceran dan jasadnya terpotong menjadi beberapa bagian yang tidak rapi.

Jiwa Isabelle langsung hancur seketika itu juga.

Gadis itu hanya terduduk dengan tatapan kosong menghadap tubuh Sang Prajurit yang sudah hancur menjadi seonggok daging. Menyadari hal ini, para bandit tertawa penuh kemenangan sebelum akhirnya menarik kasar rambut cokelatnya dan menyeretnya masuk ke dalam sebuah gua di tengah hutan. Selanjutnya, mimpi terburuk selama hidupnya berdatangan sepanjang malam.

"Baumu manis walau kau masih kecil."

Seorang pria mulai melucuti pakaiannya di hadapan Isabelle. Gadis itu hanya terdiam gemetar, wajahnya pucat akibat perlakuan mengerikan yang menimpa prajurit di hadapannya beberapa waktu lalu. Dia layaknya sebuah boneka porselen yang tidak bernyawa. Hanya duduk mematung di atas tempat tidur lusuh di salah satu ruangan dalam gua.

"Layani aku sampai puas, bocah!"

Lelaki itu menarik rambut Isabelle kasar seraya merobek pakaiannya dengan sebuah belati hingga menggoreskan beberapa luka sayatan kecil ke tubuh putih itu. Sadar bahwa Isabelle sama sekali tak bereaksi, sebuah hantaman keras tepat mengenai perutnya, membuat gadis itu terbatuk seketika.

"Lebih hiduplah sedikit! Membosankan jika kau hanya diam saja!" Pukulan kedua mengenai wajah manisnya, meninggalkan luka lebam yang semakin memerah.

Tangisan kesakitan Isabelle kembali pecah, menggema di dalam gua layaknya suara raungan seekor beruang. Menyadari hal itu, gelak tawa penuh cela dari orang-orang dapat terdengar di ruangan sebelah. Tak ada seorang pun dari mereka yang mengasihaninya.

"Ahahah ... lebih keras! Lebih keras!"

Dia memukuli Isabelle secara serampangan, membuat tangis gadis itu tertahan beberapa kali dan berubah menjadi jeritan kesakitan. Lalu, ketika puas dengan perlakuan kejamnya, lelaki itu mulai menyetubuhinya dengan kasar, menodai Isabelle kecil dengan nafsu binatangnya. Kedua tangannya menjambak dan terus memukuli Isabelle tanpa ampun tepat di wajahnya hingga beberapa giginya patah dan membuat gusinya mengalami pendarahan hebat. Isabelle tak sadarkan diri setelah dua jam disiksa dengan brutal tanpa henti.

Gadis itu sudah tak merasakan sakit lagi, semua pandangannya gelap, tak ada suara apa pun yang dapat terdengar.

"Apa aku sudah mati?"

Dia bergumam, duduk di tengah ruangan gelap itu seraya memegangi kedua lututnya. Isabelle kembali menangis meratapi nasibnya yang sudah buruk sedari kecil. Kehidupan damai yang telah dia dapatkan selama dua tahun ini seakan lenyap begitu saja.

Kenapa semua ini harus menimpaku? Aku hanya ingin seseorang yang menyayangiku dengan tulus dan memiliki tempat untuk bernaung. Kenapa? Kenapa orang-orang tega menghancurkan kebahagiaanku yang sederhana?

Isak tangisnya menggema dalam ruangan gelap itu.

Selama hidupnya yang singkat, Isabelle kecil tidak pernah merasakan indahnya kasih sayang dari orangtua. Jauh di lubuk hatinya dia merasa iri pada kedua kakaknya yang terlihat begitu dekat dengan ayah dan ibu. Hal ini membuat hati Isabelle sakit seiring dia tumbuh.

Belakangan, saat gadis itu merasakan indahnya memiliki keluarga yang sebenarnya, segala kebaikan yang mendatanginya kini sirna dalam sekejap, meninggalkan Isabelle dalam kegelapan pekat tanpa adanya cahaya.

Hidupnya sudah hancur untuk selamanya.

Saat dia tenggelam ke dalam keputusasaan, suara yang begitu familier memanggil namanya, membuat Isabelle menghentikan tangisanya untuk sejenak.

"Isabelle?!"

Suara itu, hanya satu orang yang memiliki suara indah tersebut di dunia ini. Suara dari majikan tercinta, seorang gadis cantik yang sudi berteman dengan gadis menyedihkan seperti dirinya. Satu-satunya orang yang membuat hidup Isabelle dipenuhi oleh hangatnya kasih sayang dari figur seorang kakak. Suara dari Almaria von Canaria.

Isabelle bangkit berdiri, mulai berlari ke arah sumber dari suara-suara itu. Dia menangis kencang, memanggil nama Almaria beberapa kali hingga setitik cahaya menyilaukan mulai menelan seluruh bidang penglihatannya.

Gadis itu reflek terpejam, tetapi tidak menurunkan kecepatan langkahnya sama sekali. Lalu, saat bola matanya sudah dapat menyesuaikan dengan cahaya yang masuk, Isabelle mulai membuka matanya perlahan.

Rasa sakit mengerikan kembali menjalar ke seluruh tubuhnya, terasa seperti membakar bagian-bagian dari jiwanya. Sensasi yang diterimanya bahkan jauh lebih menyakitkan jika dibandingkan dengan perlakuan para bandit terhadapnya. Gusinya terasa robek dan ngilu saat beberapa gigi baru memaksa untuk tumbuh menggantikan gigi lamanya yang rusak.

Saat seluruh rasa sakitnya mereda, dia mendapati bahwa dirinya sedang menyandar pada bahu seseorang sehingga membuatnya ingin segera melepaskan diri. Namun, tak ada cukup tenaga baginya untuk melakukan itu.

Setelah beberapa saat terlewat, akhirnya dia sadar bahwa ada sosok lain yang tengah berjalan tak jauh darinya. Sosok seorang gadis terbalut kemeja hitam yang menggendong sebilah pedang dan sepasang belati. Tubuhnya begitu kurus sementara rambut hitamnya memancarkan warna dari kegelapan malam walau ini adalah hari yang cerah.

"Tuan Putri?"

Isabelle berbicara lemah dengan nada penuh keraguan, memandang punggung kecil sosok itu tanpa banyak berharap. Namun, saat gadis tersebut berbalik, senyuman indah dan menawan yang selalu mengisi hari-harinya tercetak jelas di hadapannya, membuat gairah hidup Isabelle perlahan kembali meningkat.

***

Hari ini, tepat 21 hari telah berlalu sejak dia mengikuti Sang Majikan. Selama itu pula Isabelle dirawat dengan kasih sayang tanpa kenal lelah. Walau perjalanan mereka penuh dengan rintangan dan monster-monster berbahaya, kedua majikannya tak pernah sedikit pun berpikir untuk meninggalkan Isabelle yang hanya menjadi beban.

Gadis itu terharu dengan perlakuan kedua kakak-beradik yang juga adalah majikannya.

Hari ini adalah akhir dari perjalanan mereka. Jauh di luar hutan, sebuah kota besar berdiri di sana untuk menyambut ketiga orang itu. Karena hal ini jugalah Alma tidak mengizinkan Isabelle untuk repot-repot menyiapkan sarapan. Kota hanya berjarak dua jam perjalanan dari sini.

"Selamat pagi, Putri. Apakah tidur Anda nyaman?" Isabelle menyapa Alma saat gadis itu mulai membuka mata.

"Ah, cukup baik. Bagaimana dengan keadaanmu, Belle?"

"Sangat sehat. Ini semua berkat pertolongan Anda dan Tuan Muda. Terima kasih banyak."

Alma sedikit memiringkan kepala sebelum menyunggingkan senyum manisnya, membuat suasana hati Isabelle menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Gadis itu lalu bangkit berdiri seraya memasang seluruh perlengkapan tempurnya yang terdiri dari sepasang belati, sebilah pedang hitam, dan sebuah topeng aneh yang membentuk layaknya wajah antara kucing dengan kelinci.

Isabelle sudah bertanya mengenai senjata-senjata itu padanya beberapa hari lalu. Jawaban yang dia dapat sungguh mengejutkan. Alma menerima semua beban mental dari tiga senjata legenda milik para iblis yang merupakan benda pusaka keluarga. Nyonya Besar --yang merupakan Ibunda Almaria-- mempercayakan benda-benda itu saat mereka disergap oleh assassin dan berhasil mengubah arus penyergapan. Sayangnya, Nyonya Besar wafat saat kejadian itu berlangsung.

Isabelle berduka atas kejadian mengerikan yang menimpa keluarga majikannya. Jauh di lubuk hatinya, dia bahkan menyalahkan dirinya sendiri yang tidak datang tepat waktu untuk memperingati mereka.

"Baiklah, semuanya sudah siap, 'kan?"

Isabelle berbalik menatap seorang anak laki-laki di belakangnya. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang, menatap mereka berdua dengan raut wajah yang hangat. Itu adalah Yehezkiel von Canaria, penerus yang sah dalam keluarga sekaligus kakak kandung Almaria.

Awalnya Isabelle pikir bahwa mereka akan menempuh perjalanan untuk kembali ke kediaman Marquis Canaria. Sayangnya, khawatir akan keselamatan diri jika kembali ke wilayah kekuasaan Marquis Canaria pada hari itu juga, mereka memutuskan untuk pergi jauh ke negeri tetangga. Ini memang tidak bisa ditolong.

"Hm." Alma membalas dengan anggukan.

"Kapan saja saya siap." Isabelle membalas sopan seraya membungkuk hormat.

"Baiklah ayo pergi!"

Mereka bertiga kembali melanjutkan perjalanan menuju wilayah paling Timur dari Cygnus Kingdom, Kota Trowell.

--------

Riwayat penyuntingan :

• Kamis, 27 Desember 2018