Aku mengambil salah satu pedang milik seorang bandit yang kepalanya telah terpenggal dengan rapi. Dilihat dari sudut manapun, ini hanyalah sebuah logam biasa yang dibentuk menjadi pedang. Tak ada yang spesial.
Gua yang aku masuki hanya diterangi oleh obor-obor di sepanjang lorong. Ras seperti manusia dan elf pasti akan kesulitan untuk bertarung di tempat seperti ini. Dengan begitu, keunggulan Alma berada pada tingkat yang mutlak. Aku tak perlu memgkhawatirkannya kalau begitu.
Bercak-bercak darah dan beberapa jasad pria bergelimpangan saat aku berjalan jauh ke dalam gua. Masing-masing dari jasad itu hanya memiliki satu luka fatal yang membuat mereka mati seketika. Ini membuktikan bahwa mereka sangat lemah dan sama sekali bukan ancaman. Tampaknya semua hal akan berjalan lancar hingga akhir.
Sebenarnya, untuk memasuki kota, kami butuh mengidentifikasi diri pada para penjaga gerbang. Yah, ini baru saja terpikirkan olehku sesaat setelah aku memasuki gua. Para bandit ini membuatku sadar akan hal-hal dasar seperti ini. Kau tahu, sekumpulan bandit memilih markas di luar gerbang kota karena kendala semacam ini.
Jika aku dan Alma memasuki kota dan mengidentifikasikan diri, aku yakin mereka akan segera tahu bahwa kami adalah keturunan dari penguasa wilayah ini. Berita krusial seperti itu pasti akan langsung menjadi perbincangan di mana-mana dan berakhir dengan terbongkarnya penyamaran kami. Lebih buruknya lagi, situasi politik dan hal-hal menyusahkan lain akan menimpa kami di kemudian hari.
Saat aku memikirkan sebuah solusi untuk masalah yang membuatku sedikit terganggu, aktivasi mana yang cukup kuat segera menyadarkanku. Aku memandang ke depan, melihat pancaran warna merah darah yang samar jauh di dalam gua. Walau masih ada kemungkinan bahwa musuh menggunakan mantra tingkat tinggi, aku rasa seorang bandit tak mungkin dapat melakukannya. Dengan kata lain, Alma tampaknya bertindak terlalu berlebihan.
Awalnya aku memang tak begitu memedulikan hal ini dan secara ceroboh menggunakan mantra tingkat tinggi berkali-kali. Namun, setelah aku pikir-pikir, kemungkinan bahwa heaven god mengenali kami melalui mantra-mantra ini tidaklah nol. Mereka bisa saja sedang berkeliaran di luar dan mencium pusaran mana yang terpancar di sekitar tempat ini. Masalah merepotkan pasti akan menyusul kemudian.
"Tampaknya aku harus memperingatkan Alma mengenai hal ini dan membatasi penggunaan mantra tingkat tinggi." Aku bergumam sendirian.
Beberapa waktu terlewati sejak gelombang mantra misterius itu menghilang. Tidak ada tanda-tanda ledakan atau pengaruh lainnya yang terjadi. Itu berarti dia menggunakan jenis mantra yang tak memengaruhi sekitarnya, seperti orbis, mantra ilusi dan mantra lain yang sejenis.
Kita lupakan saja masalah tidak penting ini. Hal yang terpenting sekarang adalah kenapa dia sampai repot-repot mengeluarkan sejumlah mana hanya untuk melawan para bandit? Apakah mereka sekuat itu?
Aku harus menanyainya tentang hal ini.
Perhatianku kembali teralihkan saat pancaran kelezatan mulai tercium. Di depan lorong gelap yang hanya diterangi oleh cahaya dari obor-obor, sosok manusia dengan aroma ketakutan yang sangat kental tampaknya berlari mendekatiku. Bau ini, sebuah kelezatan yang membuatku bersemangat.
Menyiksanya dan membuatnya mati perlahan tampaknya akan sangat menyenangkan.
Jauh di dalam pikiranku, aku telah mempersiapkan tindakan yang akan aku ambil pada mangsaku ini. Namun, setelah dipikir-pikir, sesuatu yang ganjil melintas begitu saja.
Alma menggunakan mantra tingkat tinggi. Setidaknya sebuah mantra kegelapan tingkat sebelas dan di atasnya. Jika mengukur kekuatan musuh yang kami hadapi, mustahil seseorang dapat berhasil lolos jika Alma tak menghendakinya. Lalu, kenapa dia membiarkan orang ini lolos?
Pasti ada alasan terselubung dari perlakuannya. Apapun itu, hal ini harusnya menguntungkan bagiku juga. Jadi, mungkin lebih baik jika aku mempercayai intuisi Alma dan membiarkan manusia ini pergi.
Sosok lelaki mulai terlihat dari kejauhan. Dia menyeret kaki-kaki gemetarnya dan terus-terusan mengayunkan sebuah pedang ke sembarang arah. Raut wajahnya sungguh menjijikan di samping aura keputusasaan yang kental dan sangat menggiurkan. Benar-benar lelaki yang menyedihkan.
Aku menghindari setiap sabetan pedangnya dengan tanpa hambatan dan membiarkannya pergi. Hasrat besar yang mendorongku untuk segera berbalik dan menerkamnya berusaha aku tahan sekuat tenaga. Kau tahu, ini seperti bagaimana manusia yang kelaparan menahan diri dari seonggok daging panggang yang terlihat lezat. Sungguh sangat menyiksa.
Aku menghela napas lega saat aroma lelaki itu mulai memudar karena jarak kami semakin jauh.
Ketika diriku sampai pada ujung lorong, kudapati Alma sedang menusuk-nusuk salah satu dari tiga mayat di ruangan tersebut. Dari semua hal yang harusnya dia lakukan sebagai seorang bawahan, kenapa dia malah melakukan hal yang tidak berguna semacam ini?
Aku tak peduli.
Pandangan mataku beralih pada peti-peti kayu yang berjajar rapi memenuhi dinding. Botol-botol minuman berserakan, mengeluarkan bau alkohol yang menggantung memenuhi udara. Untungnya, tak sampai pada tahap dimana api unggun kecil di tengah ruangan yang menerangi tempat ini menyambar terhadap alkohol di udara.
"Akhir-akhir ini ada rumor bahwa manusia yang mati sebagian kecil akan menjadi undead."
Alma tiba-tiba berbicara padaku. Dia masih berjongkok sementara tangan kanannya tetap memegang Demeter dan menusuk-nusuk mayat di hadapannya.
"Lalu?"
Aku membalas tanpa melihatnya. Saat ini aku sedang membuka salah satu peti dan tak mau repot-repot untuk datang mendekatinya. Lagipula suaraku pasti jelas terdengar oleh gadis itu.
"Aku memakai Staff of Darkness pada seseorang yang tahu mengenai undead dan mendapati beberapa undead kuat seperti vampir dan Dullahan sudah mulai terlahir ke dunia."
Staff of Darkness adalah salah satu senjata pusaka milikku. Aku memang sudah mengizinkan Alma untuk menggunakan semua senjata di dalam orbis-nya untuk berjaga-jaga jika suatu saat dia melawan makhluk yang kuat. Jadi, bukan sesuatu yang patut diperdebatkan jika dia menggunakannya tanpa perintah dariku. Namun, aku akan memberitahunya untuk membatasi kekuatanya setelah kami keluar dari sini.
"Begitukah?" Pernyataanya aku tanggapi dengan nada tak tertarik.
Di masa lalu, atau lebih tepat jika aku katakan sekitar seribu tahun dari sekarang, kami para iblis sudah pernah berperang dengan kaisar undead yang juga mendapat gelar seorang dewa. Dibanding dengan ras lain, mereka --dan ras dragonoid-- menggunakan konsep sihir di luar pengetahuanku. Namun, akal yang kacau akibat kematian membuat pergerakan mereka tidak terorganisir dan terpecah menjadi beberapa kubu. Undead bahkan sudah hancur dengan sendirinya sebelum aku membunuh Dewa Undead.
Mereka tidak lebih dari sekadar orang-orang kuat yang sudah gila.
"Apakah And--" menyadari bahwa kata-katanya sedikit salah, Alma berhenti sejenak. "Maksudku, apakah kau tak mengkhawatirkan ancaman dari undead?"
"Bukan seperti itu." Tanganku mengangkat dua buah apel dan melemparkan salah satunya ke Alma. Gadis itu menangkapnya bahkan tanpa melihat ke arahku. "Mereka adalah ras yang terpisah. Setiap kelompok memiliki tujuan yang berbeda-beda. Mereka kuat dan berbahaya. Hanya saja, terkadang mereka tak peduli terhadap kita selama kita tak mengganggunya, mengerti?"
Kesalahan yang aku buat di masa lalu adalah karena merusak kekaisaran undead jauh di utara. Aku menyangka bahwa mereka adalah sebuah ancaman yang juga mengincar takhta ketuhanan dan tumbuh semakin kuat setiap harinya. Oleh karena itu, saat ada kesempatan, aku mengerahkan pasukan elitku untuk menghapus mereka dari dunia.
Belakangan aku tahu bahwa mereka sama sekali tak peduli dengan takhta ketuhanan dan tindakanku adalah hal yang membuang-buang sumber daya. Hal ini berlanjut pada tragedi perang besar melawan Heaven Dragon God. Pasukanku yang kelelahan setelah berperang melawan undead menjadi kewalahan saat serangan para naga sampai pada kekaisaranku.
"Anda bahkan sudah mengetahui para undead jauh lebih banyak daripada orang yang aku siksa beberapa saat yang lalu. Seperti yang diduga dari dewa kami yang agung." Alma bergumam.
"Hati-hati dengan ucapanmu, adikku."
Aku menekan kata-kata terakhirku dengan nada dingin yang mengancam. Hal itu membuat Alma langsung menyadari keteledoran yang telah dia buat. Gadis itu terdiam membeku.
Tak tahu harus berbuat apa, Alma menggigit buah apel di tangannya sekadar untuk menenangkan rasa canggung dan khawatir yang mungkin dia alami.
Seluruh detail tempat dan kondisi biasanya akan disampaikan oleh para iblis yang sudah terpanggil ke dunia kepada para iblis di Tartarus. Kemudian, berita-berita itu akan sampai padaku sebagai salah satu persiapan untuk menginvasi. Itulah salah satu alasan kenapa iblis yang baru dipanggil seperti Alma sudah mengetahui detail dari kondisi dunia ini sekaligus alasan yang mendasari kenapa berita dari undead belum sampai ke telinganya.
"Apa kau sudah memeriksa ruangan itu?" Aku menunjuk satu-satunya ruangan yang tertutupi kain.
"Ah!" Alma tampak terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba yang aku lontarkan. "Hn ... "
Gadis itu buru-buru menggelengkan kepala karena panik di tengah-tengah kunyahannya. Terlihat ingin menjawab pertanyaanku dengan segera tapi kesulitan karena daging apel yang memenuhi mulutnya.
Aku membiarkan gadis itu yang mulai bangkit berdiri dari posisi jongkoknya dan memilih untuk membuka kain yang menutupi ruangan tersebut.
Sekali lagi, botol-botol alkohol berserakan di mana-mana, meneteskan cairan-cairan berwarna ungu hingga meninggalkan noda pada tanah. Sebuah meja kayu sederhana tersimpan di sana, dipenuhi oleh tumpukan pakaian wanita berbagai ukuran. Walau tidak terlihat begitu jelas, aku tahu bahwa noda-noda darah yang telah lama mengering mengotori hampir semua ruangan itu.
Tempat penyiksaan, kurasa?
Tepat di tengah ruangan remang yang hanya diterangi oleh satu cahaya dari obor di salah satu dinding, sebuah tempat tidur kotor ditempatkan dengan posisi yang sembarangan. Keadaan dari kasur putih yang kotor oleh noda tanah dan darah membuatku sedikit mengerutkan dahi.
Pandangan mataku kini terfokus pada sosok tubuh yang terbaring telanjang di atas tempat tidur tersebut. Hanya dalam beberapa detik, aku langsung menyadari bahwa itu adalah sosok gadis muda yang terbaring tak sadarkan diri dan hampir meregang nyawa.
Rambutnya yang berwarna cokelat kusut sedikit menutupi wajah hancurnya. Beberapa gigi-giginya sudah hilang dari tempat yang seharusnya sementara darah segar masih mengalir dari mulut dan hidung gadis itu. Di samping kedua matanya yang sudah tertutup, aku melihat jejak-jejak air mata yang telah mengering. Tubuh telanjangnya yang mengkilap karena keringat menampakan warna merah dan biru di mana-mana.
"Bukankah itu adalah luka yang diakibatkan oleh hantaman benda tumpul?" Aku sedikit tertarik melihat tubuh hancurnya, penasaran dengan siksaan apa saja yang dialami olehnya hingga menghasilkan luka separah ini.
Langkah kakiku terdengar menggema di dalam ruangan saat diriku berjalan ke arahnya untuk menatap lebih dekat.
"Sayang sekali dia sudah tak sadarkan diri. Baunya pasti akan lezat kalau saja kesadarannya masih bertahan dengan luka sefatal ini."
Aku sama sekali tidak dapat mencium bau ketakutan dari tubuh itu. Ini pasti karena kesadarannya sudah hilang sehingga tak ada yang tersisa darinya. Menurutku, sekarang gadis itu tak lebih dari seonggok daging yang tidak berguna.
Belakangan aku mendengar suara langkah kaki di belakangku, itu pasti Alma.
"Isabelle?!" Suara terkejut Alma terdengar di belakangku. Mungkin gadis ini adalah kenalan dari Almaria ketika dia masih hidup.
"Apa kau mengenal ... " Aku berbalik dan menghentikan perkataanku saat menyadari sesuatu yang janggal. "Kau ... kenapa kau menangis?"
"Eh?!" Alma segera menghapus cairan yang mengalir membasahi kedua matanya.