Chereads / Kesempatan Kedua di Kehidupan SMA-ku / Chapter 28 - Akhir Pekan Pertama di Tokyo (7)

Chapter 28 - Akhir Pekan Pertama di Tokyo (7)

Kami berjalan bersama menuju tempat untuk berdoa. Tempatnya di depan kuil, sedikit berjalan lurus dari halaman kuil ini. Di tempat itu ramai orang yang sedang memanjatkan doa. Sebelum menajatkan doa, para pengunjung biasanya memberikan persembahan berupa uang, koin ataupun kertas, yang dimasukkan ke dalam tempat kayu.

Kami mengantre sebentar hingga tiba giliran kami. Kuambil uang koin 100 yen dari dompetku dan kulempar ke tempat persembahan. Setelah itu, membungkuk dua kali, menepuk tangan dua kali. Kurapatkan kedua tanganku, lalu berdoa di dalam hati.

Semoga aku bisa membangun hubungan pertemanan dengan murid-murid Keiyou-kou, terutama murid kelas 2-D.

Kuturunkan tanganku lalu membungkuk sekali, dan beranjak dari tempat ini agar orang lain bisa berdoa. Hiroaki terlihat masih berdoa. Sangat serius. Dia memejamkan matanya dan badannya berdiri tegak. Aku menunggunya di bawah pohon besar di sebelah barat sambil melihat-lihat kembali halaman kastil. Kulihat jam di ponselku, ternyata sudah lewat pukul empat sore.Ketenangan tempat ini seperti bisa membuatku berlama-lama di sini hingga lupa waktu.

Taka yang sudah berdoa beranjak ke tempatku dengan wajah yang berseri-seri. Sepertinya ada hal baik yang menimpanya. Baguslah kalau begitu. Karena sekarang sudah pukul empat sore, aku mau tahu tempat apa yang akan kami tuju selanjutnya. Jadi, kutanya langsung ke Taka.

"Taka, sekarang sudah lewat pukul empat sore. Ke mana lagi kita akan pergi?"

"Mm, ke mana, ya… Meiji Jingu di bulan April tutup pukul 17:50 sore, kalau mau di sini lebih lama bisa saja. Masih ada tempat di lingkupan kuil ini yang belum kita tuju."

"Um, iya juga. Aku pernah baca kalau ada tempat yang namanya Kiyomasa no Ido-Sumur Kiyomasa-yang merupakan spot spiritual."

"Iya, di sebelah barat kuil. Di Taman Meiji Jingu."

"Kalau begitu, ayo ke sana sebelum kita pulang."

"Oke. Ayo."

Keluar melalui gerbang barat Meiji Jingu, kami pergi ke arah barat kuil, tempat Taman Meiji Jingu berada. Untuk masuk ke taman ini, pengunjung diharuskan membayar sebesar 500 yen sebagai kontribusi untuk perawatan taman ini. Jam buka taman ini yaitu pukul 9 pagi sampai 5 sore pada bulan Maret hingga Oktober dan pukul 9 pagi sampai 4:30 sore pada bulan November hingga Februari.

Setelah bayar uang masuk, kami masuk ke bagian kawasan Taman Meiji Jingu. Taman ini sangat indah. Saat masuk ke taman ini, tiba-tiba pemandangan di depan mata terbuka dan muncul ladang bunga yang memanjang ke arah selatan. Di ladang ini ditanami bunga iris. Sayangnya, saat ini bunga iris belum mekar. Ada juga pondok yang bisa digunakan pengunjung untuk berteduh dan beristirahat. Kami berjalan pelan sambil melihat pemandangan di sini dan Taka langsung mulai memotret lagi. Lebih baik aku juga.

Aku tidak tahu ke mana Taka melangkahkan kakinya. Kuikuti dirinya dari belakang yang terus berjalan menuju utara. Kenapa ke utara, ya? Ah, iya, tadi aku sempat melihat petaan Meiji Jingu. Dari sini kami ke utara untuk menuju Sumur Kiyomasa.

Menyusuri jalan taman ini, akhirnya kami tiba di Sumur Kiyomasa yang terkenal dengan kekuatan spiritualnya. Di dekat sumur itu ada papan, tertulis "Kiyomasa-Ido (WELL)". Di papan itu juga menjelaskan tentang Sumur Kiyomasa ini. Etto, tertulis kalau sumur ini milik Tuan Kato Kiyomasa selama masa Edo. Sumur ini juga sumber asli dari Nan-Chi dan air murni menyembur keluar dengan aliran yang stabil. Sumur ini terkenal karena kualitas airnya yang superior. Tapi tertulis tidak boleh minum.

Saat tiba di sumur ini tadi, aku merasakan sesuatu seperti luapan energi yang hanya berada di sekitar sumur ini. Taka yang tadi sibuk memotret sekarang hanya terdiam. Aku tidak bisa berkata-kata. Luapan energi itu sangat besar. Karena itulah tempat ini dikatakan titik spiritual.

"Tempat ini, energinya sangat besar." Aku berkata sambil jongkok di dekat sumur.

"Tentu saja. Wajar tempat ini dikatakan pusat spiritual." Taka membalas perkataanku tadi.

"Taka, kukira kamu tidak merasakannya?"

"Enggak mungkin lah."

"Hahaha… Hanya bercanda." Aku tertawa kecil.

"Ryuki, coba kamu tutup mata. Rilekskan tubuh dan biarkan energi itu masuk ke dalam."

"Mm, oke."

Kulakukan seperti apa yang dikatakan Taka. Kututup mataku, kulemaskan tubuhku, kukonsentrasikan tubuh ini untuk menerima energi spiritual yang dipancarkan dari sumur ini.

"Hah…" Aku menghela nafas sambil membuka kedua mataku dan melihat ke sekelilingku.

"Gimana, Ryuki?" Suara Taka terdengar dari arah belakangku. Dia sedikit tertawa saat melihatku terkejut tadi.

"Etto, gimana bilangnya, ya? Rasanya tubuhku penuh dengan energi sehingga membuat tubuhku menjadi berat. Terus, rasanya seperti dibawa ke tempat lain."

"Seperti itulah energi di tempat ini. Sangat kuat, sampai-sampai seperti bisa menarik jiwa seseorang."

"Begitu, ya. Sasuga dari pusat spiritual Meiji Jingu." Aku mulai berdiri karena jongkok terus-terusan hanya akan membuatku lelah.

"Da ne. Ayo kita ke tempat lain, Ryuki."

"Ah, oke."

Kami meninggalkan Sumur Kiyomasa dan kembali menyusuri jalan di taman ini. Jalan yang dipenuh dengan pepohonan lebat ini menyejukkan tubuhku. Padahal aku memakai blazer. Kami kembali ke tempat awal tadi, di mana pemandangan di sekitar kami terdapat bunga iris yang belum mekar.

Saat aku tutup mata tadi, aku penasaran apa Taka memotretku atau tidak. Tapi, rasanya dia memotretku.

"Hey Taka, jangan bilang kalau kamu memotretku saat aku menutup mata tadi?"

"Tentu saja, kupotret."

"Kukira kamu enggak memotret lagi karena tadi terdiam saat tiba sumur itu."

"Fotografi itu sudah menjadi jiwaku. Enggak mungkin aku enggak memotret. Kamu juga lumayan untuk dijadikan model, Ryuki." Taka tertawa kecil.

"Model, katamu? Jangan bicara yang aneh-aneh juga, Taka."

"Aku serius lho…"

"Iya, iya."

"Ngomong-ngomong, gaya bicaramu jadi berbeda, ya."

"Berbeda gimana?"

"Kemarin-kemarin terkesan sedikit formal."

"Ah… aku bicara seperti itu dengan orang yang belum kukenal."

"Oh… aku ngerti."

"Jadi, ke mana kita sekarang?"

"Mm… Kita ke belok kiri ke Kakuun-Tei. Terus ke Otsuri-Dai.Setelah itu, kita pulang."

"Oke."

Kami terus menyusuri jalan di taman ini. Seperti yang dikatakan Taka tadi, kami belok ke kiri untuk menuju Kakuun-Tei. Berjalan terus mengikuti jalan, lalu belok ke kanan, berjalan lagi hingga terlihat suatu bangunan seperti rumah bergaya jepang, lalu menuju bagian depan rumah itu. Tertulis "Kakuun-Tei (Tea House)" di papan informasi yang terletak di depan rumah ini. Tertulis juga bahwa kakuun-tei ini dibangun kerena perintah Yang Mulia Kaisar Meiji untuk Yang Mulia Permaisuri Shoken pada tahun 1900, namun mengalami kebakaran saat perang. Pada musim gugur 1958 direkonstruksi. Rumah ini dipagari karena para pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke halaman rumah ini. Rumah gaya jepang, sangat keren. Ah, jangan lupa dipotret.

Kami berjalan lagi untuk menuju ke arah belakang rumah. Di halaman belakang rumah terdapat tanaman bonsai. Wah, sangat cantik. Berjalan terus ke arah belakang rumah, tiba-tiba pemandangan di depan mata terbuka dan muncul kolam yang luas.

"Taka, ada kolam di sana." Aku memanggil Taka yang berada di belakangku. Dia memang tidak lepas dari genggaman ponsel di tangannya.

"Di sana itu Otsuri-Dai."

"Ooh…"

Aku terus berjalan menuju kolam itu. Ada papan informasi lagi di depan kolam ini, tertulis "Otsuri-Dai (Fishing Spot)". Etto, dijelaskan kalau tempat ini dibuat karena perintah Yang Mulia Kaisar Meiji pada Era Meiji (1868~) dan Yang Mulia Permaisuri Shoken kadang-kadang menikmati memancing di tempat ini. Oke, jangan lupa dipotret.

Di sekitar kolam ini terdapat banyak bangku. Para pengunjung bisa beristirahat di bangku itu sambil menikmati pemandagan di pinggir kolam. Sedangkan di dekat kolam, ada dermaga kecil yang terbuat dari kayu agar para pengunjung bisa melihat dari dekat kolam tersebut. Aku pergi ke dermaga itu, melihat langsung ke dalam kolam ini. Di kolam ini ada ikan koi, di permukaan kolam tumbuh bunga teratai, ada juga bebek yang sedang berenang. Kalau sedang musim panas, pasti tempat ini sangat indah.

Setelah puas melihat kolam dan isinya, kulihat jam di ponselku yang ternyata sudah menunjukkan pukul 4:40 sore. Sebentar lagi Meiji Jingu akan ditutup. Aku berajak dari bangku ini untuk memberi tahu Taka kalau sudah saatnya untuk pulang.

"Hey Taka, sudah hampir jam 5 sore. Ayo kita pergi dari sini."

"Mm, benar juga. Eh, tunggu sebentar. Aku capek. Ayo duduk dulu di bangku sana."

"Baiklah."

Kami berdua duduk di bangku di dekat kolam ini untuk beristirahat sebentar sambil menikmati pemandangan di sekitar kolam. Sudah pasti capek mengililingi kuil ini yang sebelumnya kami juga mengelilingi Taman Yoyogi. Setelah 5 menit, kami melanjutkan perjalan untuk keluar dari Meiji Jingu.

"Taka, coba lihat gambar yang kamu potret tadi."

"Ini." Taka memberiku ponselnya.

"Sankyu."

Kulihat-lihat gambar yang dipotret oleh Taka di ponselnya ini sambil melangkahkan kaki keluar dari Meiji Jingu. Banyak sekali gambar yang dipotretnya hari ini. Mm, hasil gambar yang dipotretnya sangat berbeda dengan gambar yang kupotret di ponselku. Sangat keren. Sudut pemotretannya juga. Seperti yang diharapkan dari orang yang menyukai fotografi. Kulihat terus satu per satu gambarnya. Uwa… bahkan dia banyak juga memotretku. Kenapa aku bisa lebih keren di fotonya ini, ya? Aneh juga.

Tanpa sadar, kami telah tiba di gerbang torii di jalan masuk ke kuil. Suasana sore di kota Shibuya dengan gedung-gedung tinggi mengingatkanku kembali kalau aku berada di Tokyo. Saat masuk ke kuil ini, rasanya aku lupa kalau aku berada di Tokyo. Pepohonan yang lebat membuatku berpikir kalau aku sedang berada di hutan, di sebuah desa yang jauh dari kota.

"Ini, Taka. Keren-keren gambarnya. Sasuga da." Kukembalikan ponselnya Taka.

"Sankyu."

"Jadi, apa kita jadi ke Akibahara?"

"Oh iya, aku bilang kalau kita akan ke Akihabara, ya?"

"Masa' kamu lupa? Padahal kamu yang bilang sendiri."

"Kalau kamu mau, ayo kita pergi."

"Jangan memakasakan diri, Taka. Kamu terlihat kelelahan begitu. Lebih baik lain kali saja. Besok hari Senin, lho…"

"Maaf, padahal aku yang sudah bilang."

"Enggak apa-apa. Masih bisa di lain hari. Kalau begitu, ayo kita pulang. Kamu pulang ke arah mana, Taka?"

"Ke arah Shinjuku. Kalau kamu, Ryuki?"

"Shibuya, Daikan'yamacho."

"Kalau begitu kita berpisah di sini. Kamu pulang naik kereta?"

"Ah, enggak. Aku jalan kaki. Sekalian ada yang mau kubeli."

"Oh… Sampai jumpa di sekolah."

"Ya, sampai jumpa lagi."

Setelah mengatakan selamat tinggal, Taka berjalan menuju Stasiun Harajuku. Ramai sekali orang yang berjalan ke arah stasiun. Tapi aku memilih untuk berjalan kaki. Alasannya, sekalian menikmati pemandangan kota di jalan pulang.

Aku berjalan sambil memikirkan makanan apa yang akan kumakan nanti malam. Memasak makan malam di saat seperti yang mana aku kelelahan karena jalan-jalan sepertinya ide yang buruk. Di saat seperti ini mungkin aku bisa makan malam di luar. Tapi tetap saja tempat untuk makan malamnya belum terpikirkan. Kalau aku pergi ke Center Gai, mungkin bisa kutemukan restoran untuk makan malam, tapi harganya belum tentu sesuai ukuran dompetku. Beginilah nasib orang yang hidup sendiri. Cara terbaik adalah masak sendiri, atau dengan satu cara ultimate yang gampang, yaitu mie instan. Jepang terkenal dengan berbagai macam mie instan yang bisa kudapatkan di konbini manapun. Harga murah dan cepat. Um, um, kalau begitu beli mie instan saja.

Setelah jauh berjalan, melewati Persimpangan Shibuya, Hachiko, Stasiun Shibuya, akhirnya aku sampai di Daikanyamacho dan berjalan sedikit lagi untuk mampir ke konbini. Kubeli 4 bungkus mie instan agar bisa kusimpan untuk kumakan di hari lain dan satu dua botol sports drink. Rasanya aku kekurangan cairan tubuh. Selanjutnya, kembali ke apartemen.

Saatnya istirahat dari hari yang lelah nan menyenangkan ini. Ah, lebih baik kukirim pesan LINE ke Taka karena sudah mengajakku hari ini.

Besok hari Senin. Aktivitasku yang merupakan seorang pelajar akan kembali. Kusiapkan semua hal yang diperlukan untuk jadwal besok.