Chereads / Kesempatan Kedua di Kehidupan SMA-ku / Chapter 27 - Akhir Pekan Pertama di Tokyo (6)

Chapter 27 - Akhir Pekan Pertama di Tokyo (6)

Pemandangan di jalan menuju kuil, di kiri dan di kanan hanya ada pohon. Perasaan tentram dan nyaman mulai terasa. Orang-orang yang sedang menuju ke kuil juga pastinya merasakan hal yang sama. Ini masih di jalan, kuilnya masih jauh.

Setelah berjalan sekitar empat menit, kami tiba di jalan yang di sebelah kiri dan kanan terdapat pemandangan yang berbeda dari sebelumnya, walaupun juga masih ada yang sama yaitu pepohonan. Tapi kali ini ada barel. Barel apakah itu, aku tidak tahu. Jadi, aku mendekat ke arah barel itu. Sebelum ke tempat yang ada barel itu, ada jalan ke kanan. Arah ke kanan itu menuju Pusat Kebudayaan Meiji Jinggu. Itulah yang tertulis di petunjuk jalan.

Saat aku sedang berhenti karena melihat ke arah jalan menuju Pusat Kebudayaan Meiji Jinggu, terdengar suara Hiroaki. "Hey Amamiya, ke sini." Ternyata dia sudah berada di tempat barel yang terletak di sebelah kanan jalan.

Di sini ada enam tingkat barel yang disusun secara vertikal dan secara horizontalnya berjumlah 36. Tertulis keterangan di papan sebelah kanan barel. "Barrels of Sake Wrapped in Straw" dengan Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang. Jumlahnya banyak. Barel sake itu dilapisi dengan kertas putih lagi di bagian luarnya dan tertulis huruf kanji.

Setelah puas melihat barel sake ini, Hiroaki menuju barel yang ada di sebelah kiri jalan. Aku pun mengikutinya. Tertulis di papan keterangan "Provenance of the Bourgogne Wine for Consecration at Meiji Jingu". Barel di sini diletakkan menjadi tiga tingkat dan secara mendatar berjumlah 20. Barelnya terbuat dari kayu dan ukurannya jauh lebih besar daripada barel sake yang tadi kami lihat. Di bagian depan barel wine dari kayu ini terdapat tulisan nama orang dan negara asalnya. Semuanya berasal dari Bourgogne, Perancis.

Setelah melihat barel-barel wine dan sake, kami melanjutkan perjalanan. Aku hanya mengikuti ke mana Hiroaki akan membawaku. Sepertinya letak kuilnya masih jauh.

Terus menyusuri jalan sambil mengikuti Hiroaki, kulihat orang-orang yang pergi ke kuil ini. Ada yang pergi sendirian, bersama keluarga, teman, dan kekasih.

Kulihat orang yang bejalan di dekatku, di sebelah kanan. Seorang laki-laki dan perempuan yang saling berpegangan tangan. Mereka berdua pasti pacaran. Mungkin mereka ingin berdoa agar bisa bersama selamanya. Tidak hanya mereka berdua, masih banyak orang yang pergi ke sini bersama kekasihnya.

Dari barel ini, tidak jauh di depan, kami bertemu dengan gerbang torii lagi. Kami belok ke kiri memasuki gerbang itu. Berjalan lurus lagi mengikuti jalan ini yang berbatu kerikil ini. Belok ke kanan dan akhirnya terlihat halaman depan dari Meiji Jingu.

Sebelum masuk ke halaman kuil, kami ke temizuya yang berada di sebelah kiri. Di temizuya terdapat tempat air yang terbuat dari batu, lengkap dengan gayung dari kayu untuk mengambil air ketika akan membasuh diri. Ritual membasuh diri atau misogi ini bertujuan untuk memurnikan pikiran dan tubuh dengan air sebelum berdiri di depan dewa untuk berdoa. Kami mengantre karena saat ini sangat ramai pengunjung.

Satu per satu pengunjung selesai melakukan misogi dan sekarang tiba giliranku. Kuambil air dengan gayung. Pertama membasuh tangan kiri, lalu tangan kanan. Selanjutnya, air dari gayung itu kutuangkan ke telapak tanganku dan kumasukkan ke dalam mulut untuk berkumur-kumur. Setelah itu, kuminum sedikit airnya. Oh iya, tidak diperbolehkan minum langsung dari gayung ini. setelah itu, kuletakkan kembali gayungnya ke posisi semula dan meninggalkan temizuya. Kutunggu Hiroaki selesai misogi. Setelah itu barulah kami masuk ke halaman kuil yang di tandai dengan gerbang torii lagi.

Aku sudah menemui tiga gerbang torii besar saat tiba di sini.

Hiroaki terlihat memegang ponselnya dari tadi. Mungkin sejak dari Taman Yoyogi. Apa dia mengambil foto?

"Hiroaki, dari tadi kamu pegang ponsel terus. Apa ada urusan dengan orang lain?" Aku bertanya kepada Hiroaki yang sekarang berada di sebelah kiriku.

"Ah, ngga. Aku hanya memotret."

"Oh, begitu. Sejak dari Taman Yoyogi?"

"Yup."

"Ngomong-ngomong, kamu masuk klub apa di sekolah?"

"Aku masuk Klub Fotografi."

"Oh… Pantas saja. Berarti dari tadi kamu lihat ke sana ke mari karena mencari objek untuk difoto, ya?"

"Iya. Ternyata kamu ngerti, ya…"

"Kalau begitu saat pulang nanti, boleh kulihat foto-fotonya?"

"Boleh saja."

"Arigatou."

Akhirnya aku tahu kalau Hiroaki merupakan anggota klub fotografi. Entah klub apa lagi yang ada di sekolah kami, aku tidak tahu. Keiyou Gakuen Koukou merupakan SMA yang luas dan besar. Pasti ada banyak klub lain yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku ada di sekolah itu.

Kami lanjut berjalan ke gerbang kuil dan akhirnya tiba di Meiji Jingu. Berhenti di depan gerbang masuk ini, Hiroaki mulai memotret pemandangan di dalam kuil. Lebih baik aku juga. Kuambil ponsel dan mulai memotret. Pengunjung lain yang berdiri di sekitar kami juga melakukan hal yang sama. Ini luar biasa.

Perasaan nyaman mulai memenuhi hati dan pikiran. Tempat ini sangat tenang walau dengan banyaknya pengunjung di tempat ini.

Tujuan utama orang mengunjungi kuil pastinya bukan untuk memotret, tapi untuk berdoa. Aku berjalan lurus menuju kuil tempat orang berdoa. Namun sebelum itu, ada tempat untuk menulis doa dan harapan di kertas dan plakat kayu. Orang Jepang percaya bahwa doa dan harapan akan terkabul dengan menuliskannya. Di bawah pohon besar ini terdapat plakat-plakat kayu yang digantung, berisi doa dan harapan orang-orang yang mengunjungi kuil ini. Plakat ini disebut ema, dan di ema ini tertulis gan'i (願意)-harapan, sedangkan di kertas tertulis onegaigoto (おねがいごと)-permohonan.

Untuk menuliskan doa dan harapan di ema tersebut, aku harus membayar 500 yen untuk ema, sedangkan untuk kertas onegaigoto tidak perlu bayar. Namun setelah menulis di kertas itu, harus memberi persembahan, berupa uang dengan nominal bebas, yang dimasukkan ke dalam amplop bersamaan dengan kertas itu, lalu masukkan amplop itu ke kotak yang disediakan. Para pengunjung sudah antre untuk membeli dan menulis di ema dan di kertas tersebut. Kulihat Hiroaki yang berada di belakangku masih asik memotret dengan kamera ponselnya.

"Hiroaki, kamu tidak beli ema?"

"Tentu saja beli. Kamu duluan saja, Amamiya. Aku masih ingin memotret sebentar."

"Oh, oke."

Aku kembali ke bawah pohon itu dan mengantre untuk membeli ema. Setelah itu mengantre lagi untuk menulis. Di hadapanku saat ini banyak turis asing yang datang ke sini. Mereka juga membeli ema. Beberapa saat kemudia tiba giliranku untuk menulis doa dan harapanku di ema dan kertas ini, di atas meja yang telah disiapkan pulpen dan spidol.

Kami-sama, lindungi kakek dan nenekku. Berikan mereka kesehatan dan panjang umur. Aku berharap untuk bisa berteman dengan teman sekelasku dan murid dari kelas lain. Aku berharap untuk bisa membuat orang-orang di sekitarku senang.

Setelah selesai menulis doa dan harapanku di emadan di kertas, kumasukkan kertas ini ke dalam amplop berserta dengan uang 100 yen, lalu kumasukkan ke kota. Sedangkan ema ini kugantung di bawah pohon yang dianggap suci ini. Mm, oh iya, Hiroaki. Apa yang dia lakukan sekarang? Kulihat ke arah sekitar ternyata dia sedang mengantre untuk menulis di ema. Lebih baik kutunggu dirinya sebelum berdoa di depan kuil.

Halaman Meiji Jingu ini luas. Ada dua pohon besar yang dianggap suci berdiri tegak di arah barat dan timur. Untuk tempat menggantung ema ada di pohon sebelah timur. Gerbang masuk ke kuil ini ada tiga, yaitu gerbang masuk dari selatan, timur, dan barat. Aku dan Hiroaki tadi masuk melalui gerbang selatan. Aku penasaran akan mengarah ke mana kalau kami keluar dari gerbang timur atau barat.

Saat aku sedang keasikan melihat-lihat, Hiroaki yang sepertinya sudah selesai menulis dan menggantung ema-nya menyapaku dari belakang.

"Amamiya, ayo berdoa di sana."

"Sudah selesai dengan ema-nya?"

"Sudah. Sudah kugantung di sana."

"Lumayan lama, ya."

"Um, ah, iya. Sedikit lama karena banyak orang."

"Hm…" Aku memasang wajah curiga karena jawaban Hiroaki sedikit mencurigakan.

"Kenapa kamu memasang wajah seperti itu?"

"Ah, tidak. Aku hanya mencurigaimu, Hiroaki."

"Cu…curiga kenapa?"

"Memang pengunjung di sini banyak, tapi tempat untuk menulis di ema tidak hanya satu meja. Jangan-jangan kamu, Hiroaki…"

"Ya, iya… tadi aku mencari ema-mu. Warukatta." Hiroaki mengatupkan kedua tangannya di depanku.

"Sudah kuduga. Tidak apa-apa. Lebih baik kalau kamu bilang dulu kalau mau lihat."

"Maaf, maaf. Jadi, apa yang kamu tulis?"

"Doa untuk kakek dan nenekku, harapan untuk bisa mendapatkan banyak teman."

"Ah, kamu hanya punya kakek dan nenek, ya. Teman, ya? Aku ini temanmu, kan?

"Menurutmu?"

"Kenapa kamu yang malah balik nanya?" Hiroaki mengerutkan dahinya, mungkin karena kesal.

"Tentu saja. kalau kamu bukan temanku, mana mungkin aku mau ikut denganmu hari ini."

"Ah, benar juga, ya."

"Ayo kita berdoa." Aku langsung jalan menuju tempat untuk berdoa.

"Tunggu aku dong, Amamiya."

"Panggil Ryuki saja," kataku sambil melihat ke arah Hiroaki yang berada di belakangku. Hiroaki mengejarku dan sekarang telah sejajar denganku.

"Kalau begitu, panggil aku Taka, ya? Yoroshiku, Ryuki."

"Um, oke. Kochira koso, Taka. Tapi apa tidak apa-apa aku berteman denganmu? Kamu kan murid populer di sekolah."

"Hahaha… Aku enggak terlalu memikirkan apa yang akan dikatakan orang lain. Terserahku dong mau berteman dengan siapa."

"Oh begitu. Baiklah, Taka."

Mulai detik ini, kami mulai memanggil dengan nama kami masing-masing. Suatu kemajuan hanya dengan mengikutinya hari ini. Bisa dikatakan hubungan kami sedikit berkembang. Doa yang kutulis tadi sepertinya telah dilihat oleh Kami-sama.