Chapter 41 - Bersama Eikichi (1)

<…..-san….>

<….. TOLONG INGAT ITU!>

Misaki yang tertidur, terkejut hingga kedua matanya terbelalak, suara teriakan itu begitu nyata di telinganya.

Mimpi?

Mimpi apa itu?

Aneh….

Kepalanya sakit sekali. Ia mencoba mengingat-ingat mimpi acak itu.

Seorang pria.

Tapi ia tak bisa melihat jelas siapa lelaki itu dalam mimpinya.

Bahasa tubuhnya terlihat panik, penuh dengan kegelisahan. Suaranya juga begitu ketakutan. Bibir lelaki itu sampai bergetar hebat.

Ya.

Ia hanya bisa mengingat bibir itu dengan jelas. Kepalanya kembali sakit.

Kenapa ia bermimpi aneh seperti itu?

Apa, ya, yang diucapkan laki-laki dalam mimpinya itu tadi? Seketika saja mimpi itu buyar tak bersisa.

Ia tak ingat sama sekali.

"Mimpi yang aneh...." gumam Misaki, memijat-mijat pelipisnya.

Misaki duduk di kursi tunggu tak jauh dari kamar ayahnya dirawat. Ia masih dengan dandanannya sewaktu di acara reuni Wataru.

Sepanjang malam sampai pagi ini, banyak pasang mata yang diam-diam mencuri pandang padanya, tapi tak ada yang berani menegur.

Matanya melihat ponsel, mengecek jam pada kunci layar, pukul 8 lewat 37 pagi.

"Sudah jam segini? Kenapa dia belum datang juga?" Misaki melirik melalui sudut mata ke arah lorong bangsal, bibirnya mengerucut. Lalu menghela napas.

Apa tak masalah jika ia meminta bantuan pada Eikichi seperti ini? Baru juga bertemu, sudah merepotkan lelaki itu saja.

Kepalanya disandarkan pada dinding, ingatannya kembali pada kejadian semalam. Wajahnya berubah suram.

Apa yang dikatakan Reiko itu benar.

Bisa-bisanya ia membuat kontrak dengan iblis seperti Toshio? Setelah tahu betapa kaya dan

berkuasanya lelaki itu, pikirannya serasa dihujam ratusan jarum.

Bagi lelaki itu, melanggar aturan kontrak mereka hanya perkara kecil. Sang dewa bisnis itu bisa mengganti denda berkali-kali lipat, sedang ia apa? Sudah ketakutan setengah mati, ciut bukan main.

Air mata menetes di kedua pipinya.

Perkataan lelaki itu benar-benar melukai harga dirinya yang setengah mati dikumpulkan dan dibangun dengan masa lalu kelam miliknya.

Tapi, apa? Ia dipandang rendah sekali di mata lelaki itu. Apa ia dianggap murahan seperti perempuan yang dikencaninya selama ini? Misaki tidak sama! Meski sudah bukan perawan , toh, itu bukan kemauannya sendiri!

"Brengs*k...." kedua bahunya bergetar menahan amarah.

Lelaki itu tak boleh sampai tahu bahwa ia bukan lagi seorang perawan! Bisa tamat riwayatnya sebagai mainan di tangan monster itu! Semalam saja lelaki itu sudah menghinanya bertubi-tubi, entah apa yang bisa dilakukannya dengan fakta dirinya.

Skenario paling buruk yang dibayangkannya adalah Toshio malah meledeknya, kalau mungkin saja ia yang mulai bergenit-genit ria lalu diperk*sa dengan wajah sok menderita, tapi diam-diam hatinya begitu senang bukan kepalang digerayangi oleh lelaki penuh nafsu seperti di film-film cab*l bergenre role playing.

Misaki menggeleng pelan, menyeka air mata.

Bulu kuduknya merinding memikirkan hal itu.

Polisi?

Pengadilan?

Penjara?

Lelucon apa yang ia pikirkan? Si bej*t itu pasti memiliki koneksi yang luar biasa. Dirinya yang bukan siapa-siapa pasti bisa disingkirkan dengan mudah, terlebih dengan ancamannya dulu yang bisa memutar balikkan fakta.

Dia seorang dewa bisnis, negosiasi dan komunikasi hebat pastinya sudah jadi makanan sehari-hari, wajib dikuasainya.

SIALAN! geramnya dalam hati mengingat perkataan angkuh lelaki itu.

Profesinya sebagai penulis memang menunjukkan kemampuannya dalam mengolah kata, tapi ia bukan tipe yang bisa berbicara baik di depan umum. Menulis dan berbicara secara langsung itu jelas berbeda!

Sekali lagi ia sadar bahwa kehebohan dan kemarahan Reiko di balkon waktu itu memang respon yang wajar dan sangat, sangat masuk akal. Dirinya saja yang bodoh, melakukan kontrak dengan orang yang sama sekali tak tahu latar belakangnya seperti apa demi lima ratus juta yen.

Ia benar-benar terperangkap di tangan seorang iblis. Iblis bermulut tajam dan kasar!

Kepalanya tertunduk, air matanya kembali menetes.

Misaki hanya ingin hidup tenang, damai sembari mencari uang demi keluarganya, tak masalah tak mendapat pasangan hidup, sudah direlakannya sejak hal buruk menimpanya. Namun, saat ini? Semua itu hanyalah mimpi yang lepas dari tangannya.

Badai api panas seolah menghantam masuk ke dalam hidupnya, konyolnya, ia sendiri yang mengundang badai itu.

"Hanya tiga puluh hari.... hanya tiga puluh hari..." hiburnya pada diri sendiri, ia kembali menyeka air mata yang tak henti-hentinya menetes.

Matanya menatap layar ponsel, menggulir daftar kontak, dan berhenti pada nama: Sakura-san.

Ia menggigit bibir. Ibu jarinya mengambang di atas nama itu.

"Tidak. Orang itu pasti sibuk. Tapi aku butuh teman bicara...." Misaki sesenggukan, menghapus air mata di dagunya dengan punggung tangan.

Riasan Jane memang sangat bagus, sampai seperti itu pun, polesan make-up-nya tak hancur. Yang ada malah ia terlihat seperti putri kerajaan yang tengah menangis jelita penuh dramatis di salah satu sudut rumah sakit, orang-orang yang lewat semakin tertarik saja pada perempuan itu.

"Misaki!" tegur suara yang familiar.

"Eikichi..." air matanya semakin deras saja.

Panik, Eikichi buru-buru menghampirinya, tersenyum menghibur seraya menyeka air matanya.

"Kau bisa mengenaliku?" tanyanya heran.

"Bodoh. Mau seperti apapun penampilanmu, aku bisa mengenalimu." Ia tersenyum kecil.

"Aku kira kau tersesat karena tak bisa menemukanku..."

"Sudah, sudah. Kau bicara apa, sih? Penjelasan kamarnya, kan, sangat jelas di pesan. Tadi aku sempat singgah beli makanan. Jadinya agak telat." Ia menunjukkan bawaannya yang cukup banyak, sedang bahu kanannya menyandang ransel biru pucat. Ia memakai kemeja hijau tosca lengan panjang yang digulung sampai siku, celana jeans biru gelap. Di salah satu pergelangannya tersemat bandana lengan berlogo putih, base hitam.

"Maaf merepotkan..."

Eikichi tersenyum riang, ia duduk di samping Misaki dengan santainya. "Harusnya aku yang minta maaf. Sejak dulu ingin membantumu, tapi tak bisa. Saat kau menelepon tengah malam tadi, rasanya mimpi kau meminta tolong padaku dengan permintaan seperti itu. Mataku sampai sadar seolah tersiram banjir bah," dia tertawa.

"Ma-maaf," ia tertunduk malu.

"Kenapa minta maaf lagi?" ia mengacak-ngacak ujung kepala sadako mini market itu. "Tapi, Misaki," ujarnya lambat-lambat, "ada acara apa sampai berdandan begini? Terakhir kali di mini market pun, kau berdandan sampai susah dikenali. Untungnya aku mengenalmu luar-dalam."

Mendengar kata luar-dalam, Misaki tanpa sadar memeluk dirinya sendiri, badannya sedikit menjauh dari lelaki itu.

Eikichi yang melihat reaksi ini tampak salah tingkah, lalu ia tertawa geli. "Maaf. Aku salah omong, ya? Maksudku, bagaimana bisa aku tak mengenali orang yang hampir saja jadi istriku." Ia tersenyum teduh.

"Si-siapa yang hampir jadi istrimu, sih?" Misaki memalingkan muka.

"Nikah, yuk!" katanya enteng, tawanya begitu renyah.

"Eikichi!" semprotnya.

"Iya! Iya! Jangan mulai menceramahiku lagi. Tapi, aku benar-benar penasaran. Apa yang kau lakukan sampai berpakaian seperti ini? Semenjak aku memasuki rumah sakit, kau jadi bahan bisik-bisik orang banyak, loh!"

"I-Itu..."

Misaki kesulitan memberitahukan hal ini. Bagaimana ia menjelaskannya, ya?

Ia memandangi lantai dengan sorot mata kebingungan.