Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 28 - Aksara 18b, Kelas Pertama

Chapter 28 - Aksara 18b, Kelas Pertama

Debar jantungnya menggetarkan dadanya, ia begitu bersemangat. Ia mengepal tangannya, matanya berbinar penuh semangat. Duduk di kasur miliknya, ia teringat kelas terakhir hari ini adalah kelas pengobatan dan anatomi tubuh manusia.

Ia beranjak, berjalan ke arah kamar mandi yang berada di sebelah belakang kamar. Membasuh mukanya di pancuran bambu yang tertutup kayu, menutup lubang dan mengeringkan wajahnya dengan kain lusuh miliknya.

"Sepertinya aku perlu membeli kain pengering baru—handuk," Ia mengeringkan leher dan kepalanya, memakai kaus tipis miliknya, mengenakan jubahnya yang menutupi Glaive di punggungnya.

Ia berjalan keluar, matahari sore seakan menyambut pribadi yang baru. Pribadi yang berjalan dengan percaya diri, ia menatap langit.

"Benar kata pepatah,'Manusia melihat lakumu, namun diri memandang masa depan. Membuat sesuatu yang tak ada menjadi ada, tak ada yang bisa di salahkan, karena kita memandang langit yang berbeda! Kau memandang awan, namun aku melampauinya!"

Ia melangkah beberapa langkah, kemudian berhenti dan memandang ke atas,"Oh iya! Aku salah jalan!"

**

Kereta kuda berhenti di sebuah jalan terbuat dari bata tang tersusun rapi, para siswa berlalu lalang. Pemuda dengan rambut pirang kehitaman berjalan turun, dengan jubah cokelat muda miliknya ia melihat ke kanan dan kiri.

Gedung jurusan pengobatan menyambutnya, berbentuk pohon raksasa dengan lubang besar di dalamnya. Pohon itu begitu besar, hingga batangnya mampu menampung lima gedung besar yang berukuran masing-masing seribu dpa (seribu enam ratus meter persegi) bahkan dua gedung yang berada di tengah berukuran dua kali yang lain sekitar dua ribu dpa atau tiga ribu dua ratus meter persegi.

Pohon-pohon itu menaungi seluruh gedung jurusan, yang membuatnya indah adalah seluruh jalan bata tempatnya berdiri, di naungi pohon berwarna merah muda, bunga-bunga indah yang membuatnya tanpa sadar tersenyum.

Ribuan bunga berwarna merah muda berkerumun, batang-batangnya berbaris seperti barisan pasukan yang memandu mereka yang melintasi jalan. Di bagian tengah dekat pintu masuk terdapat danau dengan air biru yang begitu jernih, dasar dan isinya terlihat dengan jelas. Siswa dan siswi akademi belajar sambil duduk di pinggir danau. Ia berdiri beberapa saat, membuat orang di sekitarnya melihat ke arahnya.

"Kau pasti anak baru ya?!" Suara mengagetkan Hans, ia berbalik dan mendapati seorang gadis memiringkan kepalanya dan menatapnya. Wajahnya memerah, ia menunduk, mundur beberapa langkah. Kedua tangannya dengan sigap menutup kepalanya dengan penutup kepala jubahnya.

"Hihi! Tak perlu malu, namaku Marry. Aku penanggung jawab penerimaan kelas untuk para murid baru." Gadis itu tersenyum ke arah Hans, umurnya kira-kira lima belas tahun, jelas dia adalah senior. Pipi Marry merah muda, rambutnya panjang berwarna pirang kemerahan. Matanya berwarna biru dengan titik berwarna ungu yang bergradasi di pupilnya, matanya begitu indah. Rambutnya tersingkap memamerkan wajahnya yang penuh senyuman, ia gadis manis dalam balutan jubah cokelat tua.

"Namaku Hans Swarawidya, aku murid baru, salam kenal!" Hans membungkuk, sambil terus menunduk.

"Baiklah, ayo kemari, hari ini tinggal satu kelas yang tersisa, yaitu kelas pengobatan dasar dan anatomi tubuh manusia bagian 1. Kelas sudah akan segera di mulai, rupanya kau murid terakhir hari ini. Baiklah aku akan mengantarmu ke sana adik kecil!" Jelas Marry, ia menarik Hans ke arah Bangunan sambil menyeretnya dengan ceria.

Meski Hans terlihat menunduk, namun sesekali ia mengintip wajah Marry yang berjalan di depannya. Setiap melihat Marry ia tersenyum kecil, berjalan di antara pohon sakura ia merasakan gejolak rasa yang baru dalam hatinya. Rasa ketika kita melupakan semua kesendirian dan kesedihan kita, rasa di mana memiliki dia seakan kita tak membutuhkan yang lain. Ia benar-benar gadis yang berbeda, seolah setiap gerak dan aksinya di balut oleh jutaan keindahan.

**

"Ayo masuk!" Ujar Marry yang tengah berdiri di depan pintu aula besar, ia memandang Hans sambil tersenyum. Hans berusaha menahan diri agar tidak tersenyum, namun gagal dan justru tersenyum bodoh ke arah Marry.

"Haha.."

"Kau lucu sekali!" Marry mencubit kedua pipi Hans, keduanya lalu berjalan memasuki pintu aula. Sebuah ruangan besar dengan bangku bersusun seperti anak tangga, pada bagian tengahnya terdapat meja besar dan papan tulis.

Seorang wanita berumur tiga puluh dua tahun dengan kacamata berdiri di tengah aula, merapikan buku dan berkas-berkas lainnya. Rambutnya di ikat, berwarna cokelat tua, dengan wajah yang cantik dan bulu mata yang lentik. Ia memancarkan aura wanita dewasa, yang membubuhkan keindahan terakhir pada kecantikannya. Karisma dan ekspresinya yang dingin namun menawan itu membuat semua pria terpikat dan menghormatinya di saat yang sama.

Ia mengenakan baju terusan berwarna merah tua, dengan sepatu tinggi yang menambah tajam pancaran kecantikannya.

Aula itu di penuhi lebih dari lima puluh siswa yang duduk tidak beraturan, ratusan pasang mata memperhatikan dua orang yang memasuki pintu aula.

"Ayo cepat.." Marry berbisik sambil menggandeng Hans naik dan duduk di bangku barisan paling belakang, yang bertempat di bagian teratas barisan.

Tik

Tik

Suara hentakan kecil terdengar dari pusat aula di mana sang ibu pengajar berdiri. Ia mengetuk permukaan meja dengan kapur di tangannya, seluruh aula kemudian menjadi hening. Meski pada mulanya para murid tidak berani membuat keributan, namun suara bisik para murid masih terdengar.

"Baiklah, kita akan memulai kelasnya!" Ucap sang ibu guru dingin.

"Pertama-tama, kalian harus tahu, bahwa di kelas ini aku yang memegang kendali!"

"Aku mempunyai kendali untuk memutuskan kalian lulus kelasku atau tidak!" Matanya memandang sekeliling, memastikan memandang setiap wajah peserta kelasnya hari itu.

"Aku tidak suka siswa yang berisik." Ia kemudian berbalik dan berjalan ke arah

Ia kemudian menulis angka,"Kalian tidak perlu selalu hadir di kelas bila kalian tidak menyukainya. Namun setiap tiga bulan, akan ada evaluasi untuk setiap mata pelajaran, bila kalian gagal di evaluasi pertama kalian masih memiliki ke sempatan di evaluasi kedua tiga bulan berikutnya," Tangan kanannya menunjuk angka dua yang ia tulis di papan tulis, tangan kirinya menyapu poni depannya dan berbalik menatap para siswa.

"Kalian hanya bisa melanjutkan ke tingkat selanjutnya setelah lulus dari empat kelas utama dan dua kelas pendukung." Ia melingkari angka empat besar dan angka dua kecil.

"Jelas?" Tanyanya sambil membalikkan tubuhnya.

"Jelas bu!" Seisi aula menjawab secara bersamaan.

"Ada pertanyaan?" Ia bertanya lagi.

Seluruh kelas hening, para siswa hanya melihat satu sama lain.

Ketika ibu guru yang dingin itu hendak berbalik, mengabaikan murid-muridnya, seorang siswa mengangkat tangannya. Seketika semua mata tertuju padanya, bocah itu adalah Hans.

"Nyonya bagaimana kami harus memanggilmu?" Hans berdiri sambil membungkuk kecil, tubuh atasnya membungkuk ke depan, bertanya dengan gestur tubuh merendah.

"Kalian bisa memanggilku Margareth, apa ini cukup jelas?" Ia menjawab asal, sambil kemudian berbalik lagi. Mengacuhkan Hans setelah mengucap namanya sendiri. Hans menggaruk kepalanya heran. Merry tersenyum di sampingnya tertawa kecil, ia telah terlebih dahulu mengenal kebiasaan sang guru. Karena sikapnya yang cuek dan dingin, seluruh kampus memiliki panggilan khusus untuk sang guru yaitu,'Nyonya Musim Dingin'

"Baik.." Ia berucap pelan masih dengan nada yang dingin, seperti seisi aula tidak memiliki hubungan apapun dengannya.

Ia meletakkan kapur di kotak khusus di ujung meja, ia kemudian mengetuk meja besar itu tepat di tengahnya. Tak lama meja itu terbuka, para murid berdiri karena penasaran dengan apa yang ada di dalamnya.

"Hahhh!!" Mereka terkejut, mayat manusia laki-laki dan pria tertidur di sana. Meja itu memancarkan hawa dingin, sepertinya berisi mekanisme yang mempertahankan kedua tubuh itu agar tidak membusuk. Hans kini menyadari, mengapa setiap kelas berharga begitu mahal, karena pelajaran yang mereka terima membutuhkan sumber daya yang tidak murah.

Nyonya Margareth kemudian membenarkan kacamatanya, dan mengangkat kedua tangannya. Jiha kemudian mengangkat kedua mayat itu ke udara.

"Kelas pengobatan dan anatomi tubuh manusia bagian satu membahas tentang cara kerja organ manusia."

"Jaringan kulit terluar.." Sang guru menjelaskan panjang lebar dan mendetil. Wajah-wajah muda itu memperhatikan dengan seksama, tak terasa satu jam berlalu Hans tak bergeming memperhatikan semua ajaran Ny. Margaret.

"Luka pada kulit mudah untuk di obati, selama hanya terluka karena kontak fisik dan hanya luka pada permukaan dan tidak melukai urat dan benang-benang jiha. Kita bisa menggunakan anti biotik dan penghilang nyeri untuk mencegah infeksi bakteri."

"Bu!" Suara menghentikan penjelasan Ny. Margareth. Sang guru mengerenyitkan dahinya.

Ia menatap sumber suara itu, matanya tajam seperti tombak,"Aku tidak suka orang memotongku ketika sedang menjelaskan!"

"Lain kali jika kalian ingin bertanya lakukan setelah aku selesai menjelaskan! Jelas!" Ia masih menatap sumber suara itu, adalah seorang bocah dengan kacamata.

Salah satu kutu buku yang mencoba memamerkan pengetahuannya

Hans berujar dalam hati sambil melihat bocah berkacamata yang duduk di sisi lain dari tempatnya duduk. Bocah keriting itu kemudian diam, wajahnya pucat dan tidak berani mengangkat kepalanya sepanjang pelajaran.

"Mengerti bu!" Jawab seisi kelas bersamaan, memandang Hans kesal. Karena mereka pun merasa terganggu ketika Hans memotong penjelasan dari sang ibu.

Ia kemudian melanjutkan menjelaskan,"Letak benang-benang jiha berada di sebelah dalam telapak, lengan hingga ke ketiak." Ia kemudian membentuk pisau bedah dengan jiha di tangannya, jiha yang kemudian berubah menjadi kristal dingin yang memotong epidermis dari mayat laki-laki itu.

"Jiha berkumpul dari diafragma dan mengalir dari benang-benang jiha keseluruh tubuh. Jiha memiliki kemampuan untuk membantu penyembuhan, karena jiha membawa kehidupan dan bukan semata-mata kekuatan untuk membunuh."

Klik

Ny. Margareth menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya, seketika seluruh aula menjadi benar-benar gelap.

"Perhatikan!" Ujar Ny. Margareth, ia kemudian menarik mayat pria yang melayang dengan jiha-nya. Seluruh peserta memiliki jiha sehingga mereka bisa melihat pula gerakkan jiha di udara dengan memfokuskan jiha pada mata mereka. Hal itu membuat mata mereka bersinar di kegelapan, seperti lampu-lampu kecil yang bertebaran di seluruh ruangan.

Ny. Margareth membuat mayat pria itu berdiri di tengah-tengah aula di sampingnya, kemudian mengalirkan jiha ke bagian diafragma mayat manusia itu. Pria malang itu memiliki kepala penuh guratan totem, hidungnya penuh lubang, sepertinya ia merupakan pengguna totem ketika ia masih hidup.

Sesaat setelah jiha milik Ny. Margareth menebus diafragma mayat itu, sebuah kepingan uma yang terlihat mengering menyerapnya dan seperti tersulut api seluruh benang-benang jiha di tubuh sang mayat bercahaya.

"Ini adalah letak seluruh benang jiha yang berada di tubuh manusia. Ingat dengan baik!"

"Kalian dapat memeriksa tubuh kalian dengan mengalirkan jiha mengikuti pola benang jiha ini. Kalian akan menemukan beberapa benang jiha kalian masih tertutup,"

"Sebagian benang yang lain hanya akan terbuka ketika kalian mencapai tingkatan tertentu dalam penggunaan jiha,"

Penjelasan berlangsung satu arah, para murid hanya mengeluarkan decak kagum sambil memperhatikan dengan seksama. Ny. Margareth kemudian membentuk pisau bedah dengan jiha di tangannya kemudian membedah tubuh mayat pria yang masih berdiri. Sinar-sinar pada benang-benang jiha mulai redup kehilangan sumber kekuatannya.