Hans tersadar di antara bulu-bulu berwarna emas, di sebelahnya sang domba tengah tertidur bersandar pada tubuhnya. Ia duduk dan memandang sekeliling, mendapati sang singa besar yang tengah menerawang kegelapan, entah apa yang tengah ia perhatikan.
"Engkau sudah sadar?" Tanya sang singa pelan.
Hans menjawab dengan anggukan.
"Ehm.. Tuan siapakah namamu?"
"Tentu bila kau tidak keberatan aku memanggilmu tuan sepanjang waktu, itu juga tidak apa-apa." Sambung Hans dengan perasaan sedikit canggung dan takut.
"Haha.. Kemarilah duduk di sebelahku nak!" Ujar sang singa tertawa kecil, saat ini ia terlihat seperti seorang tua yang tengah mengagumi malam, meski kegelapan yang menyelimuti mereka tercipta karena gua yang tak memiliki pencahayaan.
"Namaku Yu'da." Sang Singa memperkenalkan diri.
"Tuan Yu'da, dengan kekuatan besar yang kau miliki, bagaimana kau bisa berakhir di tempat ini?" Tanya Hans penasaran.
"Hmm.. Kau tidak menginginken kekuatan lagi? Bukankah sebelumnya kau begitu bersikeras minta di ajari?" Sang singa mengalihkan pembicaraan dan menatap Hans dalam-dalam.
"Sebelum belajar dari anda, aku harus mengenal anda terlebih dahulu tuan. Lagi pula semua amarah sepertinya hilang, aku merasa begitu bebas!" Ujar Hans kecil, seketika ia berucap, ia menjadi bingung dan terdiam.
"Ini akan menjadi cerita jang panjang, engkau bersedia mendengarkannya?" Tanya sang singa. Hans menangguk, kemudian berjalan mendekat dan duduk di sebelah sang singa raksasa. Keduanya duduk berdampingan seperti seorang bapak dan anak yang tengah bercerita.
Hans mendengarkan dan sesekali bertanya, wajah terkejut ketika cerita mengungkap petualangan dan hal-hal yang baru baginya. Awalnya ia bertanya dengan malu-malu, namun setelah beberapa waktu, wajahnya terkejut berkali-kali dan ia sesekali berdiri dan menirukan cerita pertarungan sang singa tua.
Membuat gerakan mengayun seperti tengah menebas, berputar dan sesekali merunduk sambil mendengar cerita sang singa.
"Pada akhirnja, kegelapan dan para penghulu jahat berhasil kami pukul mundur."
"Ketika persatuan manusia dan makhluk suci merasa keadaan sudah membaik, justru saat itulah pertarungan jang sebenarnya terjadi."
"Hari itu adalah kedatangan para naga!"
"Aku jang masih muda kala itu, membunuh puluhan bahkan ratusan dari para naga. Bahkan hampir membunuh sang raja naga, namun ia terluka parah dan melariken diri,"
"Pada waktu itu langit membantu kami, aku melihat ribuan cahaya dan bintang dalam rupa malaikat membantu kami, pada akhirnya setelah lautan darah terbentuk, jutaan pasukan kehilangan hayatnya."
"Kita menang, atau lebih tepatnya manusia menang."
"Setelah kemenangan berhasil di renggut oleh aliansi antara makhluk suci dan para manusia."
"Hari itu pula adalah sebuah awal dari pengkhianatan!" Ketika ia mengatakan hal ini, air matanya tanpa sadar menetes.
Hans hendak bertanya namun terkejut, dan menelan kata-kata yang hendak ia ucapkan.
"Mereka membunuh semua anggota bangsaku, mengambil aksara mereka, hingga akhirnya hanya tinggal aku seorang."
"Mereka tidak berani membunuhku, karena aku adalah makhluk suci dan gambaran semesta yang terlihat, aku membawa anugerah dan kutuk secara bersamaan. Mereka yang membunuhku, akan mendapat kutuk yang bahkan semesta tak mampu menghilangkannya."
"Namun mereka bisa melukai dan memenjarakanku,"
"Mereka berusaha membunuhku, namun bukan dengan kematian, melainkan kesendirian." Ketika ia berucap demikian, Hans seperti melihat dirinya sendiri. Melihat dirinya, yang meski tengah berada di kerumunan ribuan orang, namun hatinya tetap merasa kosong.
Hatinya hampa, meski beribu rasa di lemparkan sahabatnya tak mampu menembus selubung kesendirian yang memenjarakannya.
"Namun mereka salah," Ia terhenti dan tidak melanjutkan perkataannya. Tanpa sadar, Hans memeluk kaki kiri bagian depan milik sang singa. Sang singa besar itu pun seperti menemukan keluarganya yang hilang, entah karena hati yang ia berikan pada Hans, atau karena semesta memilih bocah kecil itu.
**
Di Sebuah Kastil di Departemen Roh dan Jiwa
Marry berlari dengan tergesa-gesa, ketika ia sampai di depan sebuah laboratorium nafasnya tersengal, dahinya berkeringat. Tangannya bergetar sambil membuka gagang pintu perlahan, berusaha tidak membuat suara sekecil mungkin pun.
Kreak!
Pintu berderit kecil, Marry berjinjit memasuki laboratorium yang gelap. Jantungnya berdegup dan di penuhi rasa cemas, ketika ia masuk dan mendapati tidak ada orang di ruangan gelap itu, ia melepas nafas.
"Dari mana saja kau!!" Belum sempat ia merasa tenang, suara terdengar dari belakang tubuhnya, sosok pria tua memandang ke arahnya, yang menyeramkan adalah Marry hanya dapat melihat wajahnya.
"Tt-uan.. Tuan aku bisa menjelaskannya!!" Marry memekik, ia ketakutan, hatinya terguncang.
"Kau! Sudah ku katakan aku memberimu satu hari setiap dua bulan, namun kau tetap harus kembali tepat waktu!"
Plak!
Suara tamparan terdengar, dan jubah penutup Marry ia tarik hingga terlepas. Tubuh Marry yang tanpa jubah hanya berbalut rok selutut dan kaus katun tipis, namun yang mengejutkan adalah puluhan bekas luka di sekujur tubuhnya.
Wajah Marry penuh ketakutan,"Ttuan, ttuan aku mohon jangan lukai wajahku! Aku mohon!" Ia menjerit, namun sosok misterius itu tidak mendengarkan, sosok itu seperti memiliki gangguan pada kemanusiaan dan emosinya.
"Hmm.. Kau terlihat cukup bahagia, aku ingin lihat dampak perubahan drastis dari kondisi bahagia jika tiba-tiba mengalami ketakutan terhadap jiwa manusia! Haha betul, aku akan melakukan percobaan itu padamu sebagai hukumanmu!"
Teriakan keras terdengar dari dalam ruang laboratorium, meski begitu tak seorang pun datang dan berusaha menolongnya. Teriakan semakin keras, menjadi sebuah raungan seperti serigala yang tengah tersiksa.
**
Di Sebuah kamar bilas Asrama Wanita
Seorang gadis menatap cermin sambil menangis, memukulkan kedua tangannya pada kaca cermin yang retak akibat pukulannya.
Dari tangannya darah mengalir deras, sebagian serpihan cermin bahkan menancap di telapak tangan dan sisi-sisi tangannya.
"Kenapa kau menyakitinya! Kenapa?!!" Teriakannya keras sambil memaki cermin retak di hadapannya.
Kepalanya masih tertunduk, air mata menetes. Ia mengangkat kepalanya perlahan memandang sosok di antara retakan-retakan cermin yang menunjukkan refleksi dirinya, tidak, bukan refleksi tapi sosok lain yang serupa namun tengah menyilangkan tangannya memandang gadis itu dengan penuh senyuman.
"Haha, Lanika! Kau seharusnya membiarkan aku menguasai jiwamu maka aku akan melepaskan bocah gendut itu! Hahahah!" Sosok itu tertawa, matanya menatap tajam Lanika dengan kebencian.
"Tidak! Aku tidak akan menyerah, aku akan menaklukkan mu! Aku akan menghapusmu dari tubuhku!!" Lanika kembali meninju cermin di hadapannya.
"Hahaha! Gadis bodoh, aku dapat dengan mudah menguasai tubuhmu! Lihat saja aku akan menghancurkan jiwamu perlahan-lahan!"
"Akan ku bunuh semua yang berharga bagimu!" Ujarnya dan kemudian sosok itu menghilang, berganti dengan Lanika, sedang wajah gadis yang menangis itu kini tersenyum sambil menjilati luka dan darah di tangannya.
"Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu!" Lanika berteriak dari balik cermin yang mulai berjatuhan ke lantai. Sedang tubuh di depan kaca berjalan meninggalkan refleksi yang perlahan juga mulai menghilang.
**
Hans berlari dengan kecepatan penuh, melesat di antara pepohonan. Ia berpamitan setelah sang singa berjanji akan mengajarkannya, dan bergegas untuk pulang. Ia tak sadarkan diri lebih dari satu hari, ia teringat tentang David dan si pelupa Marc bulu kuduknya berdiri memikirkan Marc yang kadang luar biasa aneh.
"Semoga hal buruk tidak terjadi!" Ia memacu tubuhnya agar dapat berlari lebih cepat.
**
Hans menempelkan pengunci pintu kamar asramanya, dan mendapati Marc yang tengah menaburkan ramuan obat ke luka David. Matanya memiliki garis hitam tebal,"Hans! Kau dari mana saja! Kamu membuatku hampir mati ketakutan karena harus menjaga orang sekarat seorang diri!!!"
Marc mengamuk dan memegangi jubah Hans, ia terlihat kelelahan, dan terjatuh di lantai. Buku ajaibnya melayang di udara, mengepakkan dua halaman tengahnya bak sayap yang membawanya terbang ke bagian ruangan.
"Tuan Hans, karena khawatir ia tidak membiarkan matanya tertutup sedetik pun. Bahkan ia memanggilku dan memaksa aku mengingatkan ia setiap kali ia lupa apa yang tengah ia lakukan." Sang peri buku itu menjelaskan dan kemudian menghilang.
Marc berbaring di lantai, memanggil buku ajaibnya itu membutuhkan jiha meski tidak banyak namun menggunakannya lebih dari satu hari terus menerus menghabiskan jiha-nya.
"Maafkan aku Marc, minum ramuan ini!" Ia memberikan ramuan campuran jahe liar dan tumbuhan lain untuk mengembalikan kesegaran tubuh Marc. Ketika ia meminumnya, ia tertidur pulas di lantai.
Hans memeriksa luka pada tubuh David yang mulai tertutup, meski ia pun merasa proses pemulihannya berjalan lebih lama dari yang ia perkirakan.
**
Hari berlalu begitu saja, Hans duduk bersandar di bawah ranjang tempat David yang masih kehilangan kesadaran. Ia menghitung-hitung dengan jarinya, sedang berpikir sekuat tenaga mencari jalan agar David cepat tersadar.
Selama dua hari ini ia menyadari penyembuhan David semakin melambat, ia tidak tidur beberapa hari terakhir mencari penyebab terjadinya hal itu. Menimbang berbagai jenis informasi dari apa yang sudah di ajarkan tuan Atkinson membuatnya yakin pengobatan yang ia berikan telah ia lakukan dengan sangat baik.
Menambah dosis tidak akan mengubah apapun dan justru akan membuat tubuh David bekerja lebih berat dan malah berdampak buruk.
Creak!
Pintu kamarnya terbuka, Marc masuk, terdiam sebentar kemudian membuka buku catatannya. Setelah mengingat siapa Hans ia hendak menyapa, namun Hans justru memakai jubahnya dan berjalan keluar,"Marc jaga David selama aku pergi!"
Hans pergi begitu saja, Marc masih termangu, mulutnya terbuka lebar.
Hans memanggil kereta kuda, yang kemudian membawanya ke arah Departemen Kesehatan dan Pertahanan.
Hans menutup kepalanya dengan jubahnya, berjalan bersesak-sesak dengan para pelajar lainnya. Matanya memandang sebuah gedung dari kejauhan, hari itu masih pagi dan kelas pagi hari memiliki jumlah peserta yang lebih banyak. Namun, kali ini ia tidak datang untuk mengikuti kelas tentang anatomi dan fisiologi namun untuk hal lainnya.
Melihat perkembangan dari proses penyembuhan David, Hans putus asa. Ia kehabisan akal untuk menyembuhkannya, jalan satu-satunya adalah dengan menghubungi guru David yaitu profesor Gyves.
Hans terlihat berjalan sedikit terburu-buru, sepatu kanan dan kirinya berlomba-lomba bergantian membuat suara ketika bergantian terhentak ke lantai marmer lorong departemen kesehatan dan pertahanan.
Ia melewati gedung tempatnya mengikuti kelas, dan melewati danau serta barisan pepohonan yang rimbun. Perlahan jumlah pelajar mulai berkurang, keramaian pun tak terdengar lagi. Cukup jauh ia berjalan, ia melewati fasilitas perawatan. Pemandangannya mulai berganti dari pelajar yang saling berbincang hingga menjadi para perawat yang berlalu lalang.
Ia terhenti dan memandang gedung terakhir yang berada di bagian yang paling belakang dari seluruh bangunan. Tempat itu merupakan sebuah kastil besar dengan menara besar yang cukup tinggi, Hans berjalan mendekat. Namun belum berapa jauh ia berusaha masuk, tubuhnya terdorong jatuh hingga berguling.
Brukk!
"Berhenti!"
"Tinggalkan tempat ini! Tempat ini bukan tempat untuk pelajar! Tidak semua orang bisa masuk ke area ini!" Dua orang berbadan tinggi besar dengan dua perisai besar di tangannya menghalangi Hans.
"Hmm.. Sudah kuduga!" Hans memandang kedua orang itu, ia sendiri pun menyadari bahwa untuk bertemu dengan guru David bukanlah hal yang mudah.
Ia berdiri sambil membersihkan jubahnya,"Tuan, bisakah kau menyampaikan pada Profesor Gyves saya punya pesan penting untuknya." Ucap Hans sopan, dengan sedikit membungkuk.
"Baiklah, cepat katakan apa isi pesannya. Kami akan sampaikan pada profesor!" Jawab seorang penjaga yang berbadan lebih tinggi.
"Ehm, Maaf tuan tapi aku harus menyampaikan pesan ini sendiri!" Hans membungkuk lagi sambil menjawab.
"Err! Tidak! Sudah banyak yang berusaha menipu kami dengan taktik macam ini!" Bentar seorang yang lain.
"Sudah pergi!"
"Sana!" Keduanya membentak sambil mendorong Hans.
"Tuan aku mohon! Biarkan aku masuk dan bertemu tuan Gyves atau ini benar-benar penting!" Hans berlutut dan memohon, bajunya dipenuhi debu, dahinya menyentuh lantai. Sempat terbesit untuk melawan secara paksa, namun kekuatan kedua penjaga itu tidak main-main, masing-masing memiliki kekuatan setidaknya satu kalimat aksara dengan kata lain memiliki setidaknya mereka adalah Magi bintang tingkat dua atau tiga. Karena telah memiliki lebih dari satu aksara.
Magi dibagi menjadi beberapa tingkat Magi bintang, bulan dan matahari, setidaknya itu yang Hans ketahui. Masing-masing tingkat dibagi menjadi empat sub-level, yaitu bintang satu, bintang dua dan seterusnya. Setiap sub-level membutuhkan delapan tetes jiha orang juga biasanya menyebutnya dengan level, meminjam istilah dalam bahasa utara 'level' berarti taraf atau tingkat.
Sehingga Magi Pelajar memiliki level antara 1-8 tetes jiha.
Magi bintang satu memiliki level 9-16
Magi bintang dua memiliki level jiha minimum 32-51, Magi bintang tiga membutuhkan minimal 52-71 level jiha. peningkatan tiap level memerlukan tambahan tetes/level jiha yang jauh lebih besar. Tapi tidak berarti magi pelajar hanya bisa memiliki 8 tetes jiha, seorang magi pelajar bisa memiliki kekuatan lebih dari levelnya, bila ia memurnikan tiap tetes jiha ya g ada dalam umanya. Setiap tetes bisa dimurnikan hingga delapan kali, yang berarti delapan kali jumlahnya, sehingga secara teoritis seorang magi pelajar bisa memiliki level jiha 64 bila memurnikan tetes jiha sebanyak delapan kali untuk delapan tetes jiha yang ia miliki.
Masing-masing tingkat memiliki perbedaan kekuatan yang amat besar, Hans belum memiliki aksara dan masuk ke dalam golongan Magi Pelajar, Magi Pelajar adalah mereka yang memiliki jiha dan uma tapi belum memiliki aksara.
"Tidak bisa!"
"Cepat pergi!" Bentak mereka lagi dan berbalik kembali menjaga gerbang.
Ketika keduanya berbalik dan membelakangi Hans, bocah kecil itu berlari sekuat tenaga berusaha menggunakan kecepatannya untuk masuk melalui keduanya.
Ia memusatkan jiha pada kedua kakinya, ia melesat cepat, melewati celah di antara kedua penjaga yang bertubuh besar itu.
"Aku berhasil!" Ia berseru di dalam hatinya, namun belum sempat senyuman mekar di wajahnya. Tubuhnya terlempar ke arah berlawanan dengan kecepatan penuh, jubahnya mengepak seperti saya burung yang tertiup angin.
Brak!!
Tubuh Hans menubruk tembok , suaranya cukup keras hingga para perawat dan guru-guru yang hendak menyerahkan laporan mengajar mereka berlarian ke arahnya.
"Arghh!" Ia mengerang kesakitan, tubuhnya membentuk senjata yang berada di punggungnya ketika bertubrukan dengan tembok.
Ia bangkit lagi,"Bila sudah begini, satu-satunya cara adalah membuat keributan sebesar mungkin hingga menarik perhatian profesor Gyves!"
Hans mengambil dua bila senjata dari balik jubahnya, ia pasang dengan cepat, sambil memandang dua sosok besar yang juga tengah memandang ke arahnya. Apa yang ia pikirkan tidak ubahnya bunuh diri, secara individu para penjaga itu berkali-kali lipat lebih kuat, ditambah mereka mendatangi Hans berdua.
Hans menelan ludah,"Mereka tidak akan membunuhku bukan?!" Ia mengencangkan genggamannya pada Glaive di tangannya.
"Aku tidak punya pilihan lain!" Hans tidak dapat mengatakan bahwa David berada di tempatnya, atau orang lain akan mengetahui hubungan keduanya, bila memang tidak berhasil ia tentu akan memberi tahu keduanya, tapi ia berusaha sebisa mungkin tidak mengatakannya.
Karena hal itu mungkin akan berbahaya bagi David, ia adalah murid profesor dan tetap ada yang berani melukainya di lingkungan akademi secara terang-terangan. Bahkan profesor tidak berani mengambil tindakkan hal itu hanya berarti satu hal, pribadi yang berada di belakang pelakunya bahkan dapat membuat profesor tidak berani melawan.