Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 33 - Aksara 20b, Membuat Keramaian!

Chapter 33 - Aksara 20b, Membuat Keramaian!

'Klik!'

Kedua bagian Glaive milik Hans terpasang sempurna hingga menimbulkan bunyi yang khas, ia membungkukkan tubuhnya, membuat seluruh massa tubuhnya bertumpu pada dua kakinya kemudian berlari sekuat tenaga sambil menggenggam kuat Glaive di tangannya.

Ia mengalirkan jiha miliknya yang kini berjumlah lima butir di dalam uma miliknya. Ketika ia melakukannya, ia merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasakan udara yang berada di sekitarnya seperti hendak membisikkan sesuatu padanya, merasakan tanah yang ia pijak hendak memberitahukan sesuatu.

Perasaan yang sangat aneh, namun ia mengabaikannya dan kembali berfokus pada dua penjaga yang sudah mengambil posisi untuk menghentikannya. Ia melompat ke salah satu yang lebih tinggi yang berada di sebelah kiri, pria itu kemudian menggerakkan tangannya, menggunakan dua jari tangan kanannya, membentuk pola aksara di udara.

Upala [1]

[1] Upala, Sanskerta, sebuah aksara Jawa hanacaraka berisi kata sansekerta yang berarti batu.

Ketika aksara pertama muncul tanah di bawah kakinya seakan bergetar, kemudian tertarik keluar dan menyelubungi tubuhnya, berubah menjadi dinding bebatuan. Hans menutup matanya, ketika ia melakukan itu, seakan dunia yang ia lihat berubah seketika!

"Apa yang terjadi!"

Hans terkejut, dunia seakan terhenti. Di hadapannya goresan-goresan terbentuk, ia menyadari ia masih menutup matanya, namun mengapa ia melihat goresan-goresan cahaya dalam kegelapan. Dari dalam hatinya seakan ada pesan yang berbisik, menyuruhnya dengan begitu kuat untuk mengikuti garis-garis cahaya yang ia lihat.

Ia di tengah pertempuran, segala sesuatu bergerak sangat cepat. Ia tidak memberi ruang kepalanya berpikir dan mengikuti cahaya yang terpampang di hadapannya itu.

Ketika Ia mengikutinya, seakan udara menyertai setiap ayunan Glaive miliknya. Mereka bersiul-siul membentuk pisau udara yang membayangi senjata Hans. Mungkin itu terlihat seperti udara, namun bukan, melainkan gelombang.

Gelombang tidak dapat dilihat, namun seluruh makhluk hidup di muka bumi berada dalam lautan gelombang yang mempengaruhi bahkan partikel terkecil sekalipun. Yang Hans lakukan saat ini percaya atau tidak, ia tanpa sadar menyelaraskan diri dengan pergerakan gelombang bumi dan udara. Hans yang muda itu, menginjakkan langkah pertamanya dari sebuah pemahaman akan gelombang dan semesta.

Namun apa dampaknya?!

Booom!

Boom!

Boom!

Glaive milik Hans dan dinding batu itu saling beradu, momentum pukulannya begitu kuat. Hans mengayunkan senjatanya beberapa kali mengikuti gerakan cahaya yang ia lihat ketika menutup matanya, namun serangan yang ia lakukan hanya satu kali. Suara dua hantaman lainnya adalah efek dari dari ledakan gelombang yang tanpa ia sadari ia buat ketika mengikuti garis-garis cahaya dalam pikirannya.

Sang penjaga terbelalak, ia tidak tinggal diam, aksara-aksara yang ia buat bercahaya terang. Menyerap seluruh jiha miliknya membentuk dua lapis lagi dinding batu di depannya, ia terpukul mundur beberapa depa akibat serangan itu. Sang kawan yang memperhatikan pertarungan terkejut, sebelumnya ia mengira kawannya itu dapat dengan mudah mengalahkan bocah yang bahkan belum memiliki aksara.

"Bagaimana mungkin?!" Ujarnya, mulutnya terbuka melihat hal yang terjadi di hadapannya.

*

Suara nyaring terdengar, suara itu sangat keras dan terdengar ke seluruh penjuru, semakin lama semakin ramai para penonton yang memperhatikan. Salah satunya seorang wanita dengan ekspresi dingin, ketika ia lewat, para perawat dan penonton yang lain memberi jalan dengan hormat.

"Hans!" Ujarnya wanita itu pelan sambil mempercepat langkahnya, ketika didapatinya sumber keributan adalah murid terpintar di kelasnya.

*

Hans menghantam dinding batu itu dengan Glaive miliknya, mengerahkan seluruh jiha pada lengan dan senjatanya itu. Ia membuka matanya dan terkejut pada apa yang ia temukan, dinding batu itu terbelah, tiga bekas sayatan besar terbentuk di sana. Ia sendiri tidak menyangka efek serangannya akan sekuat itu, ia pun menyadari ia hanya Magi Pelajar [3] yang bahkan belum memiliki aksara. Tiga dinding berdiri melindungi sang penjaga.

"Ehm, luar biasa! Ia mampu membentuk dua dinding lain sesaat sebelum seranganku mengenainya!" Bisik Hans pelan.

"Apa yang aku harapkan?!"

"Dia seorang magi bintang satu sedang aku hanya magi pelajar tanpa aksara, apa aku masih layak di panggil Magi?!" Hans tersenyum kaku sambil menertawakan dirinya sendiri.

"Aku harap ini cukup menarik perhatian!" Hans kemudian terpental jauh ke belakang, tak melepaskan genggamannya pada Glaive miliknya.

Hans terpental, berguling beberapa kali di tanah dan berdiri kembali. Ia tidak menyadari ekspresi terkejut dari sang penjaga pintu, ia tidak percaya bahwa bagian sebelah dalam dari dinding batu pertama yang ia bentuk terbelah oleh tiga bekas sayatan besar.

Hal itu mengejutkannya karena dinding pertama adalah yang terkuat dari ketiga lapis dinding yang ia buat. Ia kemudian memandang bocah yang berada sepuluh depa (dua puluh meter) dari posisinya berdiri seperti tengah melihat setan.

Ia tak mau mengambil risiko, ia membuka ke tiga uma miliknya, mengalirkan seluruh jiha miliknya, puluhan dinding batu bermunculan suaranya seakan gempa dan gemuruh terjadi di hadapan Hans.

Hans terkejut,"Ia tidak sedang berusaha membunuhku bukan?!" Menggenggam senjatanya, ia berusaha berdiri. Sementara di saat yang bersamaan, suara pertempuran menembus tembok dan sela-sela ventilasi gedung besar yang di jaga oleh kedua penjaga.

Seorang pria tua bertubuh gemuk mengernyitkan dahinya, ia dalam pakaian perangnya.

"Sialan kalian semua! Aku tengah mempersiapkan diri untuk menghadap kepala Akademi untuk mencari muridku dan kalian membuat masalah di bawah sana!"

"Kurang ajar!!"

"Kepala akademi! Aku tidak peduli meski ia muridmu ia tetap harus bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan pada muridku! Dia harus bisa menjawab di mana muridku berada! Atau aku akan mengundurkan diri!" Ia berteriak-teriak, seakan tengah marah pada seseorang meski ia sedang berada sendirian di dalam ruangannya.

Ia kemudian mengambil palu besar dan perisainya dan berjalan turun dengan perut gemuknya yang di penuhi amarah!

Hans masih berdiri terkejut, tidak yakin bahwa ia bisa menghadapi penjaga yang berada di hadapannya.

"Sungguh menakutkan! Apakah keributan ini belum cukup untuk memancing pak tua itu keluar!"

"Sial! Aku tidak mau mati di sini!" Hans terjebak dilema, ia ingin menolong bocah gendut polos yang merupakan sahabat baiknya itu, namun ia juga takut mati.

"Ah Bodo amat!" Ia menggenggam erat senjatanya, hendak maju dan menyerang. Baru saja ia hendak lari dan menyongsong sang penjaga, sebuah tangan besar berwarna biru muda menangkapnya! Tangan besar yang menggenggamnya seperti tangan raksasa, ia terkejut, tak mampu menghindar karena serangan datang dari belakangnya.

"Sial! Lepaskan aku!" Ia memekik, dan kebalikan kepalanya dengan susah payah, mencari tahu siapa lagi yang berusaha mengganggu rencananya. Namun ketika ia berbalik ia terkejut dan kemudian menundukkan kepalanya karena malu,"Ny. Margareth!"

"Hans, kau bukan bocah bodoh, tapi aku tidak mengerti mengapa kau melakukan semua keributan ini?" Tanya sang guru pada Hans. Wanita ini beberapa kali menawari Hans jabatan asistennya namun ia menolak, karena apa yang ia dapat dari mengajar privat lebih besar dari pada bayaran menjadi asisten sang guru.

"Aku ingin bertemu tuan Gyves tapi dua penjaga itu tidak mengizinkanku!" Ujar Hans lagi.

"Hmmm.. tentu saja, kau pikir siapa saja bisa masuk ke sana?" Ny. Margareth kemudian memandang Hans, namun tidak satu pun kecemasan ia temui di sana.

"Bocah ini?!"

"Jangan-jangan?!" Ia melihat Hans tersenyum kecil sebelum ia membalikkan kepalanya dan memunggungi dirinya.

"Bocah pintar! Ia melakukannya hanya untuk menarik perhatian rupanya!" Ny. Margareth tersenyum kecil, ketika ia melakukannya wajahnya menjadi begitu cantik dan memesona. Namun tidak berlangsung lama dan kembali ke dirinya yang dingin seperti biasanya.

"Menarik!" Ia memandang Hans, terlihat sedikit penasaran dengan muridnya itu.

Benar saja, tidak sampai berapa lama. Pintu bangunan profesor terbuka bersamaan dengan suara keras.

"Biadap, Sialan! Kurang ajar! Siapa yang berani-beraninya membuat keributan di departemen pertahanan?! Terlebih lagi di gedung milikku!!" Teriakannya menggelegar, aura seorang Magi tiga aksara menyeruak dan membuat semua orang sulit bernafas, Hans menunduk dan bertumpu dengan satu kakinya!

"Siapa cepat berdiri!!" Ujar Profesor Gyves sambil memandang keramaian.

Ny. Margareth masih mampu berdiri, namun wajahnya sedikit pucat.

"Profesor! Jiha milikmu menekan mereka semua bagaimana mereka hendak berdiri?!" Tanya sang guru cantik sambil menggeleng.

"Oh Margareth yang cantik kau benar juga!!"

"Hei kalian berdua, cepat beri tahu padaku siapa yang membuat keributan?!" Profesor Gyves memandang kedua penjaga itu dengan tatapan tajam. Amarahnya belum reda, ditambah lagi rasa khawatir akan muridnya yang menghilang membuat ia semakin tidak dapat menahan dirinya.

"Ja-" Penjaga itu hendak berbicara dan menunjukkan Hans, namun belum sempat ia menjawab Hans terlebih dahulu berdiri dan menjawab.

"Profesor! Aku memohon maaf atas semua keributan yang telah aku sebabkan, tapi semua ini terjadi karena mereka melarang aku untuk menyampaikan informasi penting kepadamu!" Hans berdiri dan menatap sang profesor tanpa rasa takut.

"Bocah ini?! Berdiri di hadapanku meski telah merasakan kekuatanku matanya tidak sedikit pun menunjukkan ketakutan?!" Gyves sedikit terkejut.

"Hmm.. Informasi penting apa? Cepat katakan?!" Gyves menyilangkan lengannya, memandang Hans dengan dagu terangkat.

"Umm.. Aku tidak bisa mengatakannya di sini, bisakah kita ke tempat yang lebih sepi tuan?!" Hans terlihat ragu, ia tanpa sadar mengepal dan menjawab.

"Nah! Lihatlah profesor dia mencari-cari alasan saja!" Celetuk salah satu penjaga.

"HAHH!!! Kurang ajar! Kau mau mempermainkan aku?!!" Mendengar komentar salah satu penjaga, amarah sang profesor terangkat lagi.

Auranya memuncak dan terlontar ke arah Hans, bocah itu terkejut namun tidak menghindar. Ia mengerahkan jiha yang tersisa dalam tubuhnya untuk melindungi dirinya, namun seberapa kuat jiha yang ia punya. Kekuatannya tak ubahnya semut yang berusaha menahan pijakan seekor gajah raksasa!

"Sial! Aku pasti terluka parah!" Melihat kekuatan di balik lontaran energi dari tubuh sang profesor, Hans dapat menyimpulkan satu hal. Kekuatan mereka terpaut sungguh jauh, hanya aura sang profesor yang di arahkan padanya mungkin melukainya cukup parah. Tanpa sadar ia menutup mata, mengangkat kedua tangannya dan ia silangkan di depan wajahnya. Ketika ia pikir ia akan terpental, aura dingin tiba-tiba ia rasakan muncul dan melingkupi dirinya,"Profesor tenanglah! Bocah ini adalah murid terbaikku! Jenius di kalangan para murid baru!"

Nyonya Margareth berjalan ke depan Hans, melindungi tubuhnya dengan jiha es miliknya. Tangan sang guru menyapu jiha profesor yang mengarah padanya.

"Ia bocah yang pintar, pasti dia punya alasan tersendiri!" Wajah sang guru cantik terlihat serius, melawan profesor departemen adalah hal yang serius, bahkan guru sekalipun tidak terluput dari hukuman. Namun guru cantik ini secara sukarela melindungi Hans.

"Hmmm! Margareth!" Ia berteriak kencang, Namun kemudian bernafas panjang dan berbalik.

"Cepat masuk! Aku memberimu dua menit untuk menjelaskan! Bila yang kau jelaskan tidak masuk akal, aku akan menggantung mu di puncak menara tengah kota!!" Ia bergegas masuk meninggalkan kerumunan orang yang saling berbisik dan membuat suara seperti kumpulan lebah yang tengah mengepakkan sayap.

Hans membuka mata, ia mendengar perkataan sang profesor namun matanya terpatri pada sang guru cantik yang melindunginya.

"Terima kasih banyak Ny Margareth!" Hans membungkuk sangat rendah! Ia benar-benar berhutang budi pada guru cantiknya itu.

"Tak perlu berterima kasih! Kau harus membayarnya dengan menjadi asistenku! Aku tidak menerima penolakan kali ini!! Ujarnya tanpa berbalik dan berjalan masuk, meninggalkan Hans yang tersentak sebentar, bocah itu kemudian mengangguk dan mengejarnya.

**

Di dalam ruangan profesor, Gyves duduk di sebuah singgah sana kecil. Di sampingnya ribuan buku penelitian dan meja-meja pembuatan ramuan berbaris rapi, Hans dapat mencium bau residu obat-obatan yang memenuhi ruangan. Ruangan itu sangat luas, dua puluh depa panjang dan tiga puluh depa lebarnya.

Di bawah singgah sana itu berjejer empat singgah sana yang lebih rendah, Ny Margareth duduk di salah satunya.

Hans berlutut pada satu kakinya, menunggu profesor Gyves berbicara.

"Cepat! Waktumu dua menit!" Ujar Profesor Gyves memberi aba-aba untuk berbicara, ia menyandarkan dagunya pada tangannya yang bertengger pada bahu singgasana tempatnya duduk.

"Profesor, sebenarnya aku adalah teman David. Saat ini ia dalam keadaan koma dan berada di kamar asramaku!"

"Ia terluka parah, dan ketika aku menemukannya tempatnya cukup jauh dari tempat ini dan tidak mungkin aku membawanya,"

"Keadaannya kritis dan aku terpaksa melakukan tindakan darurat semampuku!"

"Namun meski keadaannya sempat stabil, namun ia tidak kunjung sadarkan diri. Saat ini tepatnya sudah dua hari setelah aku menemukannya, namun denyut nadi dan nafasnya semakin lemah. Aku mohon tuan menyelamatkan sahabatku itu!" Wajah Hans menyentuh tahan, tanpa sadar ia terisak kecil.

Gyves terkejut ketika mendengar perkataan Hans, bukan hanya karena tentang kabar murid kesayangannya tapi juga karena Hans yang sebelumnya begitu berani saat ini menangis.

Ia tanpa sadar berdiri, karena begitu khawatir ia melompat dari singgasananya dan membawa mengangkat Hans dan membawanya dalam lengannya.

"Cepat tunjukkan jalannya!" Ujar sang Profesor yang kemudian membawa Hans keluar ia melompat melalui jendela dan seketika ia tubuhnya melayang di udara!

"Baik!" Ujar Hans yang terkejut melihat tubuh keduanya terbang di udara. Ny Margareth pun mengikuti keduanya, namun ia menunggangi burung es yang ia buat dengan jiha miliknya.

**

Marc tengah memberi ramuan di bagian luka-luka David yang baru ia bersihkan sebelumnya. Hans mengajari dia bagaimana caranya sehingga ia dapat dengan mudah melakukannya, wajahnya begitu serius. Ia memanggil buku ajaibnya agar dapat mengingatkannya setiap waktu, beberapa hari ini adalah waktu yang berat bagi dirinya, Hans dan David.

Ia harus tetap mengikuti kelas meski telah dengan cukup lelah menjaga David yang tak sadarkan diri. Ketika ia selesai, tubuhnya merasa lemas dan ia mengantuk, matanya hendak tertutup dan tertidur di sisi ranjang namun suara pintu terbuka membangunkannya.

Sosok besar masuk ke dalam ruangan dengan langkah besar yang tergesa-gesa, Marc mengenal sosok itu, sosok yang sebelumnya beradu argumen dengan gurunya.

"Profesor!" Ia membungkuk dan memberi jalan bagi sang profesor untuk lewat.

Sang profesor tidak menjawab tapi dengan hati-hati ia memeriksa tubuh David dan luka-lukanya, dahinya mengernyit dan berbalik,"Kau yang melakukan pembedahan?! Kau gila?!"

Suaranya meninggi, matanya memerah memandang Hans. Nyonya Margareth masuk dan memeriksa bekas luka David, wajahnya berubah dan terlihat semakin serius.

"Ia tuan! Sebagian besar lukanya begitu parah, beberapa bagian terserang racun saraf yang begitu kuat merusak jaringan tubuhnya. Aku terpaksa melakukannya, aku pun tidak ingin sahabatku mati di tanganku."

"Aku tidak bisa memilih antara melihatnya mati di depanku atau membantunya dengan kemampuanku!"

"Pada akhirnya aku memilih berusaha sebisaku!" Hans menjawab namun memandang keduanya dengan tatapan jujur.

"Bagaimana kau melakukannya? Kau hanya murid baru dan kelas pembedahan hanya ada di kelas pengobatan tingkat lanjut!" Ny Margareth menatap Hans tajam.

"Sejujurnya profesor dan Ny Margareth, aku telah mendapat pelajaran ini enam bulan yang lalu, meski aku tidak langsung mempelajarinya dan hanya melihat pamanku melakukan pembedahan namun setiap detilnya masih teringat di kepalaku!" Ia menjawab, meski yang masih mendengarkannya hanyalah Ny Frost, sedang profesor Gyves menyelimuti David dengan jiha air miliknya kemudian membawanya keluar dengan bergegas, sepanjang penjelasan Hans ia tidak memberi komentar apapun dan meninggalkannya bersama Ny Margareth dan Marc.

Hans melihat bayangan tubuh David dalam bola jiha milik sang profesor, keduanya keluar meninggalkan kamar asramanya.

"Hans jangan lupa, kau harus menepati janjimu!" Ujar Ny Margareth di ambang pintu sebelu meninggalkan kamar Hans.

**

Di Ruangan Profesor Gyves

"Marg, siapa nama bocah itu?!" Tanya profesor Gyves, sambil duduk di pinggir kasur melihat David yang kini tertidur pulas dengan nafas yang teratur. Wajahnya kembali segar dan luka-luka di tubuhnya telah menghilang.

"Namanya Hans, jenius dalam kelasku." Jawab Ny Margareth pelan.

"Hmm.. Beri tahu dia, mulai saat ini ia akan belajar pengobatan di bawah bimbinganku!" Ujar sang profesor sambil ia berjalan ke arah jendela dan menatap ke arah langit sore yang mulai gelap.

"Hah?! Jadi kau memilih dia menjadi muridmu tuan Gyves?" Ny Margareth terbelalak, namun tidak mendapat jawaban dari Profesor Gyves yang memandang matahari yang menghilang dalam diam.

"Aku akan mewariskan teknik jiha pada David, sementara ilmu pengobatanku akan ku berikan pada Hans! Haha keduanya adalah sahabat baik, dan bocah keras kepala itu juga memiliki karakter yang baik! Haha kakak ia sungguh mirip denganmu!" Tubuh besar yang menghadap keluar itu, menghalangi Ny Margareth untuk melihat wajah tuan Gyves yang saat ini tengah tersenyum.

**

Di daratan bagian timur, di sebuah tempat yang jauh.

"Hachu!"

"Sial sepertinya si kecil Gyves tengah membicarakan aku!" Seorang pria tua berjalan menyusuri lahar di bawah kawah gunung berapi dengan bertelanjang kaki.

"Haha aku sungguh rindu bocah itu, sungguh jarang bagiku Melsie Decem untuk mengingat bocah gendut itu! Aku rasa aku harus mengunjunginya nanti!" Ia tertawa seraya tubuhnya menghampiri sebuah bunga anggrek berwarna putih keemasan yang tumbuh di tengah-tengah kawah!