"Senyum tak selamanya perlambang kebahagiaan,
Keceriaan tidak pula menjadi ukuran keindahan kehidupan.
Tawa hari ini mungkin adalah cerminan kesedihan yang teramat sangat,
tawa atas menyedihkannya kehidupan.
Ketika air mata habis, dan rasa sedih tak lagi mampu mewakili,
Senyum memikul peran, menjadi pengganti beribu ekspresi!
Tawa yang di sertai perih, seribu tatap menyerah menembus dalamnya hati manusia."
Keduanya melewati bayang-bayang pepohonan yang menghujani kereta, karena cahaya bulan yang terang benderang tanpa halang.
Setelah memakan waktu beberapa lama keduanya tiba di tempat tujuan mereka, tempat itu hanya berjarak beberapa kilometer dari alun-alun. Bila menara tinggi di tengah alun-alun adalah tempat yang menyediakan semua jenis kebutuhan pertapaan dan pertempuran, maka tempat ini adalah surganya makanan dan minuman.
Hans memandang lampion yang menyala di atas kepalanya, begitu banyak, menyaingi bintang yang bertaburan di langit malam itu. Ribuan pedagang berhamburan di sepanjang jalan, sementara ribuan atau bahkan ratusan ribu orang berlalu lalang di antara para pedagang. Bila para pedagang kaki lima berdagang di pinggir jalan, menyajikan makanan ringan dan berbagai kudapan yang beraneka ragam. Maka bangunan-bangunan besar di belakangnya adalah restoran-restoran besar yang menyanjikan makanan mewah dan lezat dari seluruh penjuru daratan.
"Hei Hans! Kau tahu, di tempat ini kau bisa menemukan makanan dari seluruh daratan! Luar biasa bukan?!" Marry menarik tangan Hans dengan tergesa-gesa, gadis itu tersenyum sambil memaksa memasukan semua makan ringan yang ia temui sepanjang jalan yang bahkan ujungnya pun tak terlihat.
Sesekali ia terlihat begitu ceroboh hingga membuat noda bekas makanan menempel di hidung Hans. Keduanya berlarian ke sana kemari menikmati malam. Hans pada awalnya terus menutupi tawanya, berusaha menahan agar tidak menunjukkan ekspresi dan perasaannya.
Namun kebahagiaan dan kehangatan yang ia rasakan malam itu, seperti aliran sungai deras yang menenggelamkannya dalam senyuman. Ia mulai tertawa lepas sambil bercanda dengan Marry. Bergantian saling mengganggu satu sama lain, tak memedulikan sekeliling mereka, tertawa lepas.
Hans malam itu benar-benar lupa, melupakan segala semua penderitaan yang ia alami. Melupakan ambisinya, melupakan segala jenis rencana dalam kepalanya. Bahkan melupakan dirinya, lupa bahwa dirinya adalah yatim piatu, lupa bahwa dirinya pernah begitu sulit untuk mendapatkan teman; lupa bahwa kesedihan pernah menenggelamkannya.
"Bila aku bisa hidup seperti ini, bukankah semuanya begitu indah?!" Ujarnya dalam hatinya, ia memandang sosok gadis yang melambai ke arahnya sambil tersenyum. Hans membalas dengan senyuman pula, wajahnya tersenyum dengan ekspresi jahil terbesit di sudut matanya.
**
Keduanya kemudian duduk di bangku kayu yang berada di bagian belakang setiap pedagang, Hans memegangi perutnya yang kekenyangan.
"Hans! Kau ini benar-benar perut karung! Jumlah kudapan yang kau makan cukup untuk mengenyangkan dua keluarga berisi sepuluh orang! Hahaha!" Ujar Marry meledek sambil mencubit perut Hans.
"Ah! Ah! Aduh ampun kak! Ampun!" Hans memekik kecil, saat ini semua kecerdasan dan kedewasaan yang sebelumnya selalu ia tunjukkan lenyap, dan hanya seorang bocah sembilan tahun yang terlihat di sana.
Keduanya kemudian tertawa,"Hei Hans belikan aku sari buah mangga di sana itu! Cepat-cepat aku haus!" Perintah Marry sambil tersenyum merona, sedikit paksaan terdengar dari nada suaranya.
"Baiklah kak! Tunggu sebentar ya!" Seperti adik kecil yang baik, ia bergegas berlari ke arah salah satu pedagang yang cukup jauh arahnya.
Marry kemudian berbalik, bersembunyi di balik pepohonan dan mengusap air mata yang menetes di pipinya. Tidak Hans ketahui, bahwa bukan hanya dirinya yang merasakan kesenangan, tapi Marry jauh lebih bahagia dari yang ia kira.
**
Hans kembali dari membeli minuman, Marry sudah kembali tersenyum dan menerima minuman yang di berikan Hans.
"Oh iya Hans, aku harus pergi, sudah larut! Sampai bertemu lagi. Kau harus ingat ya, aku akan menunggu di bawah tempat ini bila aku ada waktu!"
"Untuk beberapa bulan ke depan sepertinya aku akan menjalani misi keluar akademi jadi mungkin kita akan jarang bertemu!"
"Terima ini!" Marry kemudian menyodorkan tangannya, menaruhkan sesuatu di tangan Hans.
"Eh, ini?!" Hans terkejut mendapati apa yang Marry letakkan di tangannya bergerak-gerak. Ketika tangan Marry menjauh dari telapak tangannya, ia melihat seekor serangga kecil berukuran ibu jari orang dewasa berwarna hitam bergerak memutari tangannya.
"Ini adalah serangga pembawa pesan, mereka hanya memiliki satu pasangan sepanjang hidupnya. Ia bisa mencari bau pasangannya meski terpisah jarak ribuan kilometer."
"Meski begitu ia hanya bisa membawa pesan yang kecil juga, kau harus menulisnya dalam secarik kertas."
"Cepat beri ia darah mu sehingga ia mengenali kamu sebagai tuannya!" Ujar Marry sambil memegang tangan Hans dari bawah, begitu perhatian seperti seorang kakak pada adiknya.
"Hmm!" Hans mengangguk.
Kemudian menggigit ibu jarinya, kemudian mendekatkan luka kecilnya ke arah mulut sang serangga yang kemudian menempel dengan jarinya.
"Baiklah, kau bisa mengirimi ku surat nanti satu bulan dari sekarang. Karena bila terlalu jauh serangga ini mungkin akan mati sebelum ia mencapai pasangannya."
"Sebulan nanti mungkin aku sudah kembali dari misi, jadi kau bisa mengirimkan suratnya!"
"Jangan lupa ya!" Ia tersenyum sambil mencubit kedua pipi Hans.
"Baiklah sampai jumpa!" Sosoknya melewati kerumunan orang, dan menghilang. Hans masih mematung sambil memegang pipinya yang memerah karena cubitan Marry. Kedua matanya tak lepas dari bayangan Marry yang kini telah hilang di telan kerumunan.
Bocah sembilan tahun di tengah keramaian, berpayungkan ribuan lampion dan kegelapan malam.
**
Hans penuh senyuman ia berjalan menyusuri jalan, mengabaikan ribuan orang yang berlalu lalang. Sambil memegangi pipinya, tak sadar ia menabrak seseorang. Tubuhnya besar, gemuk dan penuh lemak.
Hans seakan tersadar dari pelamunannya, secara refleks ia meraih dua bagian Tisma, guandao miliknya, kemudian mendongak, menemukan sosok yang tak asing.
"Gendut!?" Ia melepaskan kedua tangannya dari senjatanya.
"Hmm!"
Tak ada jawaban, sosok besar itu membalikan kepalanya perlahan, seperti orang yang tengah berjalan dalam lamunan. David terkesan linglung dan memiliki banyak pikiran, sehingga butuh waktu untuk menyadari siapa sosok di depannya.
"Hans!" Ia berujar kecil, kemudian memeluk Hans dan menangis seperti anak kecil.
"hu hu hu! Kau tidak mengunjungiku, ku kira kau lupa padaku!" Tangisnya sambil mengangkat tubuh Hans.
"Hei, hei ,hei!"
"Turunkan aku kau membuat ku malu tahu!" Ribuan orang memandang keduanya dengan tatapan aneh.
"Gendut! Cepat turunkan aku atau aku akan menghajarmu!!" Ujar Hans mukanya memerah karena malu, menarik penutup kepalanya, menyembunyikan mukanya,
"Hah..." David menurunkan Hans, dan merunduk tanpa semangat.
"Ayo ikut aku kita mengobrol sambil jalan!" Ajak Hans, David mengangguk. Keduanya menyusuri sepanjang jalan, Hans meski sedikit lelah, namun melihat ekspresi temannya saat itu. Ia mengerti, bocah ini sedang dalam tingkat stres yang tinggi.
"Ada apa? Kau tidak lapar? Makanan di sini enak-enak!" Hans mengambil beberapa tusuk sate manisan dari salah satu pedagang, namun bocah rakus itu secara mengejutkan menggeleng tanpa semangat sama sekali.
Ini buruk, si gendut ini biasanya akan langsung berliur bila melihat makanan. Namun sekarang kenapa seperti ini!
"Hei! Hei! David ada apa denganmu?" Keduanya kemudian duduk di salah satu bangku kayu yang kosong, bangku itu terbuat dari empat batang kayu yang di jejerkan dengan dua batu di ujung sana dan ujungnya yang sebelah sini.
"Crack!" Suara kayu-kayu yang berbunyi seakan ia akan patah kapan saja. Hans terkejut dan melihat ke bawah memastikan bangku itu tidak patah dan mempermalukan mereka.
"Baiklah, ceritakan apa yang terjadi?!" Tanya Hans.
"..." David mengangkat kepalanya tanpa menjawab, memandang Hans dan melepaskan nafas panjang.
"Jadi begini.." David mulai bercerita panjang lebar, ternyata semua ini bermula semenjak pertemuannya dengan Lanika. Ia jatuh cinta, padahal untuk anak seumurnya cinta adalah sebuah konsep yang begitu membingungkan.
Lanika bukan hanya bersikap dingin padanya, namun dengan terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya, ia lebih memilih para senior yang lebih kuat dan tampan darinya.
Sepanjang cerita Hans tidak berkata apa-apa, karena pada akhirnya ia pun tidak begitu mengerti tentang masalah ini. Keduanya tanpa sadar melewati malam dalam cerita, hingga tanpa sadar David tertidur kelelahan.
Hans kemudian terkejut, lebih tepatnya David pingsan atau kehilangan kesadaran.
"Hei! Kau kenapa!" Hans menepuk pipi David beberapa kali, namun ia tetap tidak tersadar. Ia kemudian memeriksa denyut nadi di lehernya. Ia terkejut!
"Denyut nadinya rendah sekali!" Barulah ia menyadari sesuatu, ia membuka mata David dan memeriksa kelopaknya. Menepuk pelan perut David beberapa kali,"Perutnya kosong!"
Di saat yang sama tubuh Hans bergetar kuat, di tangan yang ia gunakan untuk menepuk perut David, bercak darah menempel. Darah segar yang membuat ia begitu marah dan sedih di saat yang bersamaan.
"David!"
Hans tidak memedulikan orang-orang yang berlalu lalang dan membicarakannya, ia berteriak-teriak seraya membuka pakaian David. Ia buka jubah cokelat muda milik David, seketika itu juga amarahnya memuncak.
"Biadab!" Ia menggeretakkan giginya, mengepalkan tangannya kuat. Namun berusaha mengendalikan dirinya dari amarah yang teramat sangat, matanya memerah akibat perbuatannya itu. Kemudian ia memeriksa dengan seksama setiap luka di tubuh David.
"Luka terbakar, kurang ajar! Lukanya terlalu serius!" Hans menemukan lebih dari empat belas titik luka, di tambah dengan denyut nadi David yang terus melemah.
Ia kemudian menggendong bocah gempal itu di punggungnya, ia menahan tangisnya. Karena kondisi sahabatnya itu ternyata berada dalam kondisi kritis.
"Ini bahkan belum genap satu minggu!"
"Bertahan di sana gendut!" Ia menggunakan bendera-bendera akademi yang berkibar panjang untuk mengikat tubuh David. Orang-orang yang melihatnya berusaha menghentikannya,"Menyingkir atau akan ku tebas kau!" Hans begitu marah dan sudah kalap, ia berteriak-teriak seperti orang gila.
Ketika diikatnya tubuh David dengan kuat, ia berlari ke arah menara di tengah alun-alun. Ia pergi ke salah satu toko yang tidak asing lagi baginya, ia berlari masuk dengan tergesa-gesa ke toko obat tempatnya ia menjual jamur miliknya.
"Creak!"
Pintu terbuka cepat, ia mengabaikan bocah yang menjaga pintu dan langsung menuju ke tempat sang pemilik toko.
"Hoho, bocah kau terlihat bersemangat hari ini! Ada yang bisa ku bantu?!" Ujar pemilik toko.
"Tuan aku butuh.." Belum sempat ia berucap ia terhenti, kepalanya mencari segala jenis tanaman obat yang mungkin ia gunakan.
Daun atau buah pohon mahoni? Tidak obat biasa tidak bisa menghentikan pendarahannya!
Lalu apa?
Aku harus tenang! Tenang, tenang kau bodoh!
Hans menutup matanya, seolah tengah berdebat dengan dirinya sendiri. Sang pemilik toko memperhatikan Hans dan Bocah gendut besar di punggungnya. Hans bercucuran keringat dan terlihat pucat, jelas ia kelelahan. Namun tetap berusaha berpikir dan memfokuskan pikirannya,"Jamur bola! Ya, jamur bola merupakan tanaman obat yang menyerap jiha di pagi hari sehingga memiliki efek dingin dan menghentikan pendarahan!"
Ia membuka matanya, meski terlihat kelelahan, matanya memancarkan cahaya pengetahuan,"Tuan aku membutuhkan satu dharana[1](38 gram) Jamur bola, Lasiosphaera Seu Calvatia [2]."
Lukanya juga kehitaman dan membuat dagingnya menjadi keunguan sepertinya ia juga terkena serangan racun, Lanika aku tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja!
Hans mengingat bekas-bekas luka pada tubuh David, beberapa luka menunjukkan dagingnya yang menjadi ungu akibat racun. Hal ini tidak terbayang kan bagi Hans, karena David adalah salah satu murid petinggi akademi, dan yang paling berbakat di antara yang lain! Tidak mungkin siswa biasa berani melakukan ini padanya.
Sesuatu terlihat mencurigakan!
"Tuan, tolong berikan aku juga satu dhrana (38 gram) akar Radix[3]!"
"Aku mohon cepat tuan, karena temanku dalam keadaan kritis." Hans memohon dengan wajah khawatir. Pak tua pemilik toko pun mengangguk, ia kemudian masuk ke dalam ruangan di belakangnya, Hans mengintip dari celah pintu, sebuah ruangan yang sangat besar terlihat. Di dalamnya ribuan lemari yang bersusun dalam rak-rak menjamu matanya. Sayang ia hanya dapat melihat sebagian saja karena pintu itu segera tertutup.
"Ini, semuanya lima puluh batu semesta!" Pak tua itu keluar sambil membawa beberapa tanaman dalam nampan kayu, ia kemudian memasukkan ke dalam kotak-kotak kayu agar jiha dalam tanaman itu tidak menguap dan membuat mereka rusak.
"Ini tuan! Aku harus segera pergi, terima kasih tuan!" Hans membayar lima puluh batu semesta sambil tergesa-gesa ingin meninggalkan tempat itu.
"Hei nak, kau bisa memanggilku Tuan Zhu!" Suara pak tua itu terdengar sesaat sebelum Hans keluar pintu, ia mengangguk dan memberi salam ala kesatria.
Luar biasa, tanaman ini memang tidak langka. Namun tidak banyak yang mengenal kegunaannya, sepertinya akan ada jenius di bidang ahli obat di akademi ini!
Sang pemilik toko melihat Hans keluar, ia sengaja menyebutkan namanya untuk membangun hubungan lebih jauh dengan sang bocah jenius.
Ia berlari keluar tanpa melihat kanan dan kiri, akibat berat badan David yang luar biasa berat membuat setiap langkahnya membuat bunyi yang cukup keras. Hal itu menarik perhatian banyak orang, namun Hans cuek dan bahkan berlari lebih cepat.
Ia merasa seluruh tubuhnya sakit, namun ia tidak bisa berhenti. Ia kemudian mencari kereta kuda, namun karena tubuh David yang besar ia kesulitan untuk masuk ke dalam. Ia akhirnya berdiri di pintu sedang David mengisi seluruh kereta karena tidak sadarkan diri sehingga tubuhnya menjadi kaku dan tidak bisa duduk.
**
Hans sampai di kamar asrama miliknya, ia membuka pintu dan membawa serta David ke dalam setelah dengan susah payah mengeluarkannya dari kereta kuda. Ketika pintu terbuka, sosok Marc yang hendak mengenakan pakaian menyambutnya bersamaan dengan teriakan bocah itu!
"Tolong ada tukang ngintip!" Jerit Marc. Teriakannya sangat keras, mendengar hal itu wajah Hans menghitam.
"Tutup mulutmu bodoh! David dalam bahaya aku harus menyelamatkannya!" Hans berteriak penuh amarah, meski tanpa maksud jahat dalam nada suaranya.
"Eh! Wajahmu tidak asing!" Marc tentu bergegas melihat buku catatannya, ia kemudian menjadi tenang dan meminta maaf.
"Lain kali ganti bajumu di ruang bilas!" Wajah Hans masih gelap, karena ia malu dan marah di saat yang bersamaan.
"Baik-baik aku benar-benar minta maaf!" Marc terlihat malu dan wajahnya memerah, Hans menggeleng kemudian membaringkan David di kasurnya, kemudian membuka seluruh pakaian David. Hans yang telah terlatih dalam hal pengobatan bersama tuan Atkinson hanya merasa jijik sebentar, bukan karena luka namun tubuh telanjang temannya itu membuatnya geli. Namun wajah Marc menunjukkan ekspresi jijik tanpa akhir.
Hans mengabaikan Marc, kemudian mengambil baki kayu dan mengisinya dengan air. Ia tidak lupa menyalakan api kecil dan meletakkan baki itu cukup jauh dari mulut api sehingga hanya hawa panas yang terserap dan bukan apinya.
Ia kemudian membuka tas miliknya dan menaburkan sejumlah besar garam ke dalam. Diambilnya pula pisau bedah yang ia simpan di dalam tasnya.
"Hei Hans, kau yakin bisa melakukan ini?! Bukankah sebaiknya kita membawanya ke tabib yang lebih berpengalaman?!" Tanya Marc ragu. Hans hanya mengangguk dan tidak menoleh, tidak menjawab. Ia memanaskan pisau dan alat-alat bedahnya di atas api menyala untuk mensterilkan mereka.
"Marc, selama aku melakukan pembedahan jangan berbicara! Entah seberapa penasaran dan ketakutannya dirimu, jangan buat suara!" Ujar Hans tegas, menatap mata Marc dalam-dalam. Marc terkejut melihat perubahan temannya itu.
Ia hanya mengangguk dan menelan ludah karena gugup.
Hans kembali menatap David yang dalam keadaan koma, ia menepuk kedua pipinya sendiri dengan keras hingga memerah,"Fokus!"
"Bertahanlah gendut!" Ujar Hans kecil. Bukannya ia tidak ingin membawanya ke tabib yang berada di departemen kesehatan dan pertahanan, namun tempat itu adalah asrama di mana David tinggal. Namun mrngapa David justru berlari ke arah alun-alun dan bukan ke tempat gurunya?! Sudah pasti ada sesuatu yang aneh tengah terjadi.
[Catatan Kaki]
[1] Dhrana, ukuran yang di gunakan pada jaman kerajaan masa lalu setara dengan 38 gram.
[2] Lasiosphaera Seu Calvatia, jamur puff-ball salah satu keluarga jamur yang berguna untuk mengurangi pendarahan luar dan dalam, juga bisa mengobati gangguan atau peradangan pada leher. (Zhu Zhongbao and Zhu Liu, Chinese Herbal Legends, Beijing, 2016)