Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 27 - Aksara 18a, Tisma

Chapter 27 - Aksara 18a, Tisma

"..." Hans terdiam tak mampu menjawab, ia merasa hadirat yang begitu sakti ini jauh lebih kuat dari apa yang ia rasakan dari Umbara, sang Danyang penguasa gunung. Singa besar itu meski tengah berbaring malas, memberi intimidasi luar biasa padanya.

"Aa..aku.. Hans Swarawidya!" Ia menjawab dengan terbata-bata menyebutkan namanya. Meski singa itu tengah berbaring, ia tetap jauh lebih tinggi dari Hans, ia kemudian memandang Hans dari atas hingga ke bawah.

"Bagaimana engkaoe bisa mendapatken koetoekan dari salah satu Naga?!" Tanya Singa besar yang masih dengan posisinya yang setengah berbaring.

"Kutuk? Maaf, namun aku sungguh tidak mengerti maksud anda!" Hans berkata dengan jujur, tidak mengerti makna di balik kata-kata itu, masih di penuh ketakutan karena tersadar di tempat yang asing ia kebingungan.

"Sepertinja ada jang menghapoes ingatan moe!" Singa itu mengulurkan cakarnya, ujung tajamnya menyentuh kening Hans. Seperti tertusuk, ia menggelinjang, menutup kedua matanya. Tetesan darah kecil mengalir keluar, tetes darah berwarna kehitaman.

"Apa engkaoe merasa ada jang aneh dengan mata ataoe tjara engkaoe berpikir?!" Suara sang singa terdengar di telinga Hans. Darah menetes melewati pipinya, Hans masih tersentak dan tak mampu merespons apa-apa. Kedua matanya mengikuti tetesan darah hitam yang jatuh dari kening, mengalir terus hingga melewati hidungnya.

"Koetoek itoe mempengaroehi doea tempat, kepala dan mata moe,"

"Ia hampir-hampir mengoenci seloeroeh pikiran moe." Jelas sang singa, yang masih berbaring seakan terlalu malas untuk bangkit berdiri. Lantai tempat Hans dan singa itu berada terbuat dari batu berwarna hitam, akibat ruangan yang gelap Hans tidak bisa melihat dengan jelas.

"Jangan-jangan.."

Ia tersentak matanya berkabut, entah mengapa air matanya mengalir keluar. Sebuah ingatan seakan muncul ke permukaan pikirannya, seorang pria yang selalu muncul dari mimpinya berdiri dan tersenyum ke arahnya,"Aruna[1] berbagi cahaya dengan dinginnya dunia, selamat tinggal Swarawidya!"

Pria itu di kelilingi ribuan mayat dan darah yang mengenang, mata Hans berkabut oleh karena air mata. Pria itu masih tersenyum sementara darah keluar dari matanya, bayang hitam besar menutupinya, tubuhnya kemudian berubah menjadi jutaan debu yang terhempas keras ke udara.

Hans menangis, air matanya bercampur dengan darah yang menetes sebelumnya. Singa itu kemudian menarik cakarnya dan kembali tertidur. Matanya menunjukkan kesedihan dan rasa kasihan, namun ia menggeleng.

Lagi-lagi ingatan ini, siapa dia? Apakah dia ayahku?

Ia membatin, setiap ia ingin mengingat siapa sosok itu, kepalanya seperti tersengat dan sakit yang amat sangat menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Argh!" Ia menjerit pelan, sambil menahan sakit.

Merasakan keanehan itu ia berucap,"Tuan, setiap kali aku hendak mengingat sebuah memori dalam kepalaku, rasa sakit yang amat sangat membuat tubuhku lumpuh untuk beberapa saat karena rasa sakit,"

"ditambah lagi, aku tidak dapat membaca aksara tidak peduli seberapa keras pun aku mencoba. Aku tidak bisa memahami arti apapun dari buku dan bacaan!" air matanya mengalir keluar lagi, mengingat buku yang kedua orang tuanya berikan. Ia menyimpan buku itu pada saku, jubahnya. Ia teringat dan mencari di mana jubahnya, dan tersadarlah ia bahwa ia meninggalkannya di tempat pertarungan.

"Tuan mengetahui kutuk ini.."

"Mungkinkah tuan mampu untuk menghilangkannya?!" Hans seperti melihat secercah harapan, tanpa sadar ia menempatkan singa besar ini sebagai sosok yang lebih tua dengan memanggilnya 'tuan'. Ia mengusap air mata dan darah yang membekas di wajahnya, titik kecil di dahinya berwarna merah karena darah masih menyembul keluar.

"Bila tuan mampu, aku mohon dengan sangat! Bantulah aku!" Ia bersujud hingga keningnya menyentuh tanah, membenturkannya beberapa kali untuk memohon.

"Aku mohon bantulah aku!" Ia tidak berhenti bersujud, dan berkali-kali meminta tolong. Inilah satu-satunya harapan yang pernah ia jumpai selama hidupnya mengenai dirinya.

"Bila memang tuan bisa aku rela menjadi hambamu selama sepuluh tahun tuan!" Ia menambahkan, putus asa.

"Anak manoesia, maafken, tapi seperti jang engkaoe lihat. Akoe terpendjara, dan tidak moengkin bagi koe membunuh makhluk itu untuk membebaskan engkaoe!" terbesit bayangan rasa kasihan di kedua matanya, namun apa daya ia sendiri tak mampu menyelamatkan dirinya.

"Kalau begitu biar aku membantumu keluar Tuan! Aku akan mencari cara untuk membebaskanmu!" Ujar Hans lagi, tidak menyerah. Keras kepala, tidak mau menyerah bahkan pada takdir sekalipun.

Singa itu terlihat berpikir sejenak.

"Pergilah, djangan kembali ke tempat ini ketjuali domba ketjil ini mendjempoet engkaoe!" Tida menjawab permohonan Hans, singa besar itu justru menyuruhnya pergi.

"Hei anak domba engkoe antarken anak manoesia ini kembali ke jalannja!" Setelah berucap demikian sang singa menutup matanya dan seolah tertidur.

Anak domba itu kemudian menggigit pinggiran celana Hans, memandang Hans sambil mengangguk kecil. Hans terlihat enggan meninggalkan tempat ini, ia tidak mau berdiri. Namun melihat anak domba yang ketakutan dan terus memaksa Hans pergi ia menyerah. Namun hatinya tetaplah berat, seakan seribu gunung membebaninya, ia masih mempertimbangkan cara untuk membebaskan sang singa raksasa.

Domba itu kemudian membawa Hans keluar penjara, jarak antara jeruji itu begitu besar sehingga Hans dan Domba kecil dapat keluar dengan mudah.

Ketika keduanya keluar dari jeruji tempat sang singa terkungkung, mereka melewati lorong panjang berisi ribuan jeruji lain berisi makhluk-makhluk magis yang begitu ganas, memandang dia dan domba kecil yang menuntunnya dengan tatapan haus darah.

Meski begitu domba kecil itu, justru seperti meledek makhluk-makhluk yang terpenjara di dalam dan berjalan tanpa takut.

Sesampainya di ujung lorong, domba kecil itu tidak membawa Hans keluar lewat pintu masuk utama yang begitu besar, namun memasuki lorong kecil yang tertutup jeruji makhluk buas.

Bentuknya seperti lubang yang di buat secara paksa, lubang itu mengarah ke bawah tanah. Di karena kan kondisi penjara bawah tanah itu sangat gelap, lubang itu menjadi tak terlihat bila di lihat dari jauh.

**

Hans berjalan cukup jauh, daerah itu di penuhi labirin bebatuan dan di penuhi awan hitam. Beruntung ia berjalan bersama sang domba kecil yang membantunya menemukan jalan, meski begitu ia terus menghafal tiap belokan dan jalan pada labirin.

"berbelok kiri dua puluh empat kali, berbalik dua belas kali!"

"Berbelok ke kanan tiga puluh kali, kemudian berbalik dua kali!" Jalan yang domba kecil ambil cukup rumit, namun Hans tetap mengingat semuanya.

Setelah melewati labirin hutan lebat menyambut mereka, keduanya berjalan hampir satu jam, tak terbayang perjuangan berat sang domba kecil ketika membawanya ke dalam penjara untuk di selamatkan. Keduanya memasuki hutan, kabut memenuhi seluruh hutan, setelah beberapa saat mereka sampai di tempat pertarungan sebelumnya.

Tempat itu di penuhi lubang dan tombak-tombak akar, beruntung tempat itu jauh dari jamahan manusia sehingga tak ada yang menyadari terjadi pertarungan di tempat ini. Hans melihat sekeliling, dan menemukan sebuah bola akar berlumuran darah.

Tubuhnya belum pulih benar, sehingga ia mendekat penuh dengan rasa tegang. Ia kemudian menarik kumpulan akar itu, yang kemudian di susul oleh akar lainnya terbuka seperti bunga yang mekar.

Genangan darah mengalir keluar, bercampur dengan tubuh Roni yang kini hanya tersisa potongan demi potongan! Ia memuntahkan seluruh isi perutnya, wajahnya pucat melihat bola mata yang mengalir keluar bersama dengan genangan darah itu. Ia mundur beberapa langkah hingga menabrak pohon yang berada di belakangnya.

Bersamaan dengan bagian tubuh yang tercecer keluar, beberapa kantung kulit pun ikut menggelincir keluar, terlihat kantung-kantung kulit itu juga rusak akibat serangan yang di tujukan pada Roni.

Hans melihat beberapa butir batu semesta terjatuh keluar menggelinding, ia masih jijik dan pucat. Namun ia memberanikan dirinya memungut kantung kulit yang berlumuran darah itu dan juga batu semesta yang tercecer.

Domba kecil yang bersamanya juga menghampirinya, membawa tas ransel miliknya yang sebelumnya berserak di atas tanah ketika pertempuran berlangsung.

Hans mengumpulkan lebih dari tiga ratus batu semesta, sebagian berasal dari kepunyaan Roni. Ia kemudian mengeringkan kantung kulit itu, memisahkan sepuluh butir batu semesta kemudian mengeluarkan cincin yang masih menggantung di lehernya.

Beruntung tidak ada yang mengetahui cincin ini! Apa yang tuan Atkinson katakan memang benar, manusia di sini benar-benar serakah!

Dalamnya lautan ada batasnya, seluk beluk bumi pun dapat di selidiki. Namun ketamakan manusia tidak berdinding, nafsunya dapat menelan seisi dunia.

Ia kemudian mengalirkan jiha ke dalam cincin yang masih menggantung di antara leher dan dadanya. Ia menggenggamnya dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya memegang kantung kulit berisi tiga ratus dua puluh lima butir batu semesta, seketika itu pula cincin yang ia genggam bercahaya dan menyerap kantung kulit di tangan kanannya.

Cincin yang menggantung di lehernya adalah cincin penyimpanan yang sangat mahal, hanya magi yang benar-benar kaya saja yang bisa memilikinya. Karena pasar tidak selalu memiliki stok sehingga harganya meroket, cincin milik Hans memiliki ruang penyimpanan sebesar delapan meter kubik.

Tuan Atkinson begitu memperhatikan pendidikan Hans, sehingga ia memberikan semua buku obat-obatan tingkat lanjut di dalamnya. Harga buku-buku itu sama mahalnya dengan cincin tempat penyimpanannya. Terdapat garis cahaya yang melingkari cincin sebagai penunjuk kapasitas yang masih tersedia, setidaknya masih tersisa setengahnya dari kapasitas maksimal cincin.

Hans kini benar-benar mendapat pelajaran yang begitu mahal, pelajaran yang hampir ia bayar dengan nyawanya.

Ia kemudian berjalan ke arah di mana ia meninggalkan jubahnya, ia memungut kemudian memakainya. Kantung kulit berisi koin emasnya pun ia simpan di kantong jubahnya, beruntung tempat ini jarang di kunjungi manusia sehingga tak ada satu koin pun yang hilang.

Anak domba itu mengikuti Hans, keduanya berjalan menyusuri hutan. Hingga akhirnya setelah memakan waktu hampir setengah hari berjalan santai ia sampai kembali ke alun-alun.

"Pergilah kalau kau mengikuti lebih jauh lagi, akan banyak manusia yang berusaha menangkapmu!"

"Cepat pergi!" Hans memberi isyarat agar domba kecil itu pergi menjauh, domba kecil itu terlihat enggan, namun ia akhirnya pergi dengan kecepatan luar biasa dan menghilang ke dalam hutan. Seluruh hutan akademi tidak memiliki makhluk magis di dalamnya, hanya pada bagian tertentu saja masih tersisa.

Hans melihat sosok kecil itu menghilang di kejauhan hutan, terkejut oleh kecepatan larinya. Menggeleng karena takjub, ia kemudian berjalan beberapa ratus meter sebelum akhirnya kembali ke alun-alun yang ramai.

Ia melihat matahari menyingsing tinggi, setidaknya ia tertidur selama satu hari, itu pikirnya. Ia hendak kembali ke asrama, namun mengingat hal sebelumnya ia menanyai arah pada pengendara kereta kuda dan berjalan ke arah menara perdagangan, kali ini dengan memakai penutup kepala yang menutupi seluruh mukanya.

Perutnya berbunyi, ia kelaparan. Menghampiri salah satu toko kecil penjual bakpao, harum aromanya membuat air liurnya memenuhi mulutnya, ia membeli satu dan langsung memakannya. Tak kenyang, ia membeli lagi dan lagi, hingga bakpao ke sepuluh barulah ia merasa kenyang dan kembali berjalan.

"Apa porsi makanku menjadi sebesar ini karena pertarungan ya?" Ia kemudian memeriksa tubuhnya, kemudian menutupi matanya dan mengalirkan jiha dari uma miliknya, di sekeliling pedang cahaya terdapat empat setengah tetes jiha. Ia terkejut, karena tanpa sebab yang jelas ia mendapat tambahan satu setengah tetes jiha, ia berpikir sejenak namun karena hal itu baik untuknya dia menggeleng dan tidak terlalu memikirkannya.

"Sudahlah kita pikirkan saja nanti." Ia berucap pelan.

Ia berjalan ke arah menara, menelusuri lorong-lorong pertokoan. Beberapa pedagang bahkan menghentikannya dan memintanya untuk mampir, beberapa toko justru mengacuhkannya karena melihat tampangnya yang masih begitu muda.

Menara itu memiliki ratusan tingkat, dengan setiap tingkat di penuhi ratusan toko. Hans yang masih siswa baru hanya di perbolehkan menggunakan tingkat satu sampai tingkat dua.

Setelah beberapa waktu berjalan, ia terhenti di depan sebuah toko kecil dengan lambang pedang di bagian terakhir nama tokonya. Lokasi toko itu sangat terpencil, dan berada pada bagian belakang kawasan pertokoan yang lain. Meski kecil namun Hans tidak punya pilihan lain toko ini adalah satu-satunya toko penjual senjata di menara tingkat satu hingga tiga.

Ketika ia masuk, didapatinya seorang pria paruh baya tengah menempa baju baja di atas meja tempa.

Pria paruh baya itu berambut abu-abu, dengan kumis tipis di atas bibirnya.

"Cari apa?!" Ahli tempa itu bertanya.

Plang!

Plang!

Suara ketukan palu terdengar setelah ia bertanya, Hans masih menggunakan penutup wajah dan menunduk sehingga wajahnya tidak terlihat.

"Apa kau punya golok besar kira-kira dengan ukuran dua setengah hasta (seratus dua puluh lima sentimeter) dengan gagang panjang berukuran satu dpa (satu setengah meter)?" Hans berucap sambil menggambar bentuknya di atas tanah.

Pria itu tidak memedulikan ucapannya"Golok?! Kami tidak punya, deskripsimu lebih mirip tombak dari pada golok?" Ia memegang dagunya dengan tangan kotornya, membuat noda hitam tertinggal di sana.

"Sebentar!" Ia meletakkan apa yang tengah ia kerjakan kemudian masuk ke dalam. Hans melihat-lihat isi toko yang di penuhi berbagai jenis senjata dan baju besi, luas tokonya hanya dua kali dua dpa (tiga meter tujuh puluh lima senti) Ia berjalan masuk, membungkuk dan membuka beberapa kotak kayu yang tertidur di atas lantai, kemudian mengambil enam buah tombak dan membawanya pada Hans.

Hans menggeleng,"Bukan pak, aku butuh tombak namun memiliki mata pedang seperti parang! Apakah kau memilikinya?"

"Hmmm.. Mungkin yang kau maksud itu Guandao[2] atau Glaive[3]?!" Mata pria itu bersinar, seakan lampu menyala dari dalamnya.

"Tunggu, mungkin kau akan menyukainya!" Pria itu bergegas masuk ke dalam tokonya, tak membiarkan Hans yang hendak berbicara melontarkan sepatah kata pun, ia membongkar tumpukkan kotak kayu tua yang membuat debu memenuhi ruangan.

"Uhhuk!"

"Hahaha!" Ia tertawa kecil, terdengar sedikit bodoh.

Ia kemudian membawanya pada Hans, kemudian membuka kotak berisi kain berwarna merah,"Coba lihat ini, ini adalah salah satu koleksiku yang ku dapat dari seorang murid akademi. Dia berasal dari daratan timur, dan menjual pedang ini karena kekurangan biaya untuk membayar biaya kelas!"

"Lagi pula sebagian besar Magi tidak menggunakan senjata, jadi tokoku jarang ada pembeli! Hah sungguh sedih!" Ujarnya sambil memalsukan kesedihan di wajahnya.

"Amatiran!" Ujar Hans ketika melihat ekspresi palsu di wajahnya.

"Aku memang bukan jenius, namun soal berdagang, hah! Jangan coba-coba!" Hans tersenyum jahat di balik penutup wajahnya. Meski muda, Hans berlagak seakan ia adalah pedagang ulung yang berhasil menjual segalanya, termasuk kejujurannya. Hal itu bukan tanpa alasan, ia menemani paman Wiggin berbisnis dengan para penipu dan mengasah kemampuan bisnis dan bakatnya membaca ekspresi.

Ketika di bukanya senjata itu, mata Hans berbinar! Sebuah pedang dengan bentuk seperti bulan sabit besar berkilau, seakan mengedipkan mata padanya. Pedang besar itu memiliki satu sisi tajam sepanjang dua hasta (satu meter) dan gagang yang berwarna hijau dengan dua kepala singa dan rajawali di pertemuan antara sisi tajam dan gagangnya.

Ukiran seperti bulu-bulu singa berwarna emas terlihat di leher senjata itu sedang seluruh gagangnya berwarna hijau. Ia mengangkatnya, beratnya kira-kira delapan puluh kilo. Meski terlihat sedikit kesulitan namun matanya tetap berbinar, panjang senjata di tangannya hampir dua dpa (tiga meter dua puluh sentimeter)

"Apa nama senjata ini?" Hans mengangkat wajahnya, hanya matanya yang terlihat di balik penutup wajah yang ia kenakan. Meski begitu sang pedagang bisa melihat Hans tertarik akan dagangannya.

"Orang-orang dari daratan bagian barat menyebutnya Glaive, sedang orang-orang dari dataran bagian timur menyebutnya, Guandao!"

"Hahahah akhirnya senjata itu laku juga! Sial aku pikir upayaku menipu bocah sipit itu akan sia-sia! Namun, hahaha!" Pedagang itu memandang Hans sambil menyeringai dalam lamunannya.

Haha ia berpikir berhasil menjerat kelinci, padahal yang ia pegang adalah singa berbulu domba!

Hans menyadari apa yang pandai besi itu pikirkan.

Plang!

Hans melemparkan senjata itu kembali ke dalam kotaknya, membangunkan sang pedagang dari lamunannya.

"Berapa harganya?" Hans menatap dari balik penutup kepala yang masih menyembunyikan wajahnya.

"Sepuluh batu semesta!" Pria itu memberi harga dengan percaya diri, meski ia tidak bisa melihat ekspresi bahagia Hans, tapi ia bisa mendengar suaranya bergetar.

"Hehe mau mencoba berlagak misterius! Kau tetap masih terlalu muda bocah!" Ujar sang pedagang dalam hatinya, namun ketika ia berpikir telah berhasil, ucapan Hans membuat hatinya bocor.

"Aku tidak jadi beli!" Hans kemudian berjalan keluar tanpa membalas.

Dagunya menganga, ia tertegun sesaat sebelum kemudian tersadar akan kehilangan pembelinya.

"Eh! Jangan pergi dulu!" Pria setengah baya itu terlihat panik, ia menyadari strateginya tidak berhasil.

"Baiklah sembilan batu semesta!" Hans masih seolah tidak mendengarnya.

"Baiklah delapan! Ayo delapan sudah sangat murah bukan!" Penjual itu seperti kehilangan nyawa saudaranya dan mulai berteriak putus asa.

"Enam batu semesta dan tidak lebih!" Ujar Hans berpura-pura beranjak pergi.

**

Hans menimbang-nimbang Guandao di tangannya, ia berjalan dengan rasa bangga.

"Aku akan memanggilmu Tisma[4]!"

"Jadilah setajam kebenaran, yang memisahkan kepalsuan dari hati manusia!"

Ia kemudian melepas sambungan pada bagian tengahnya dan mengubahnya menjadi pedang, mengikatnya di punggungnya dan beranjak pergi. Setelah tertutup jubahnya tak terlihat ia tengah membawa senjata, kemudian memesan kereta kuda dan kembali ke asrama.

**

Hari itu masih siang hari, ia masuk ke dalam dan mendapati ruangan itu kosong. Ia melamun, menerawang angkasa, berusaha menembus kehampaan yang mengunci hatinya. Ia terbayang-bayang ucapan sang Singa raksasa.

"Jadi aku tidak bisa membaca karena sebuah kutukan?!"

"Bila begitu aku masih memiliki kesempatan untuk bisa menjadi seorang Magi!" Ia mengangkat tubuhnya dan duduk di kasur kayu miliknya, kasur itu berderit-derit. Kasur yang ia tiduri terbuat dari kayu berwarna cokelat tua, dengan kain berisi kapuk di dalamnya.

"Bisakah? Semesta, kiranya harapan ini, kau ulurkan lebih jauh lagi! Biar aku menggenggamnya sekali lagi!" Ia berlutut di lantai, menempelkan keningnya pada lantai kamarnya, seluruh lantai terbuat dari batu halus yang berkilau, seperti marmer.

"Semesta tak berbatas, ia berubah setiap harinya. Manusia yang dapat melewati segalanya, adalah ia yang mampu terus berubah dari kelemahannya menjadi sosok yang sebelumnya tak pernah ada!" Ucapan sang singa raksasa terdengar di kepalanya, ia tak mengerti kapan, namun ketika ia tertidur singa besar itu mengucapkan kata ini berkali-kali, seolah ingin alam bawah sadar Hans mengingatnya.

Ia kemudian terhenti, tersentak.

"Aku bisa memintanya mengajarkanku!"

"Aku akan memintanya! Terus menerus! Sampai ia mau mengajariku! Entah dengan harus mempermalukan diriku! Karena meski singa dan makhluk magis lainnya tidak dapat membaca! Tapi mereka bisa menggunakan Akasara!!" Ia berdiri dan berteriak, seakan menemukan sesuatu rahasia luar biasa.

Catatan Kaki:

[1]Aruna, sansekerta, matahari.

[2] Guan Dao, China, adalah jenis senjata Cina yang saat ini digunakan dalam beberapa bentuk seni bela diri Cina. Dalam , secara sopan Guan dao disebut 偃月刀 yue dao yan ("pisau bulan bersandar"), nama yang selalu muncul dalam teks-teks dari sampai , seperti Zongyao Wujing dan Huangchao Liqi Tushi. Pisau terpasang di jarak 1,5 m sampai 1,8 m (5-6 kaki) dari ujung panjang kayu (atau logam), dengan logam pemberat digunakan untuk menyeimbangkan pisau, terletak di ujung yang lain.

[3] Glaive, inggris, sebuah senjata dengan satu sisi tajam, mirip dengan Naginata dari jepang. Berbentuk seperti pisau berbentuk bulan sabit yang memiliki gagang dengan panjang lebih dari satu setengah meter.

[4] Tisma, Sansekerta/jawa, tajam.

Masalah ada solusinya, tapi kamu tidak ada gantinya! Jangan Menyerah ya!