Angin berhembus begitu kuat, menghempaskan rambut milik Hans ke sana kemari, ia memandang sekeliling sambil memutar tubuhnya. Ketika ia sampai di Akademi awan itu kemudian menurunkannya dan kemudian menghilang terurai begitu saja, ia terpaku dengan pemandangan yang menyambutnya. Setidaknya ratusan orang berserak di sebuah alun-alun luas, namun yang membuatnya tercengang adalah sebuah menara yang begitu besar, ia muncul dari lubang di tengah-tengah alun-alun.
Yang mengejutkan adalah menara besar itu berukuran sebesar lapangan bola dengan tinggi yang ketika ia mendekat untuk melihatnya membuatnya tercengang. Menara itu ternyata berdiri teguh di puncak gunung, terhubung dari mulai tanah hingga ke langit tempatnya berdiri. Di dalamnya ribuan bahkan mungkin puluhan ribu orang berlalu lalang, bahkan kereta kuda, dan juga makhluk magis yang menjadi tunggangan orang-orang.
Di sekelilingnya peserta lain saling berbicara satu sama lain, suasana menjadi begitu ramai. Hans memandang sekeliling dan melihat David yang juga terlihat celingak-celinguk kebingungan, Hans menepuk punggungnya dan ia melompat sambil mengangkat tangannya, mengambil posisi bertarung,"Waduh! Siapa kau jangan macam-macam?! Eh! Hans?!"
Bocah gendut itu kemudian tersenyum ke arahnya dan menepuk kedua bahu Hans," Terima kasih oh Tuhan yang agung! Setidaknya aku menemukanmu! Aku mencari mu ke mana-mana kau tahu?!"
"Oh iya ini jamur-jamur milikmu!" David menurunkan Jamur yang ia pikul di punggungnya.
"Aku di terima di departemen kesehatan dan pertahanan,"
"Lihat! Pak tua itu menunggu sedari tadi, ia marah-marah tanpa henti!!" Ujar David sambil menunjuk seorang tua yang berada di pinggiran keramaian dengan ekspresi tidak sabar. Pria tua itu berkumis abu-abu dengan kaca mata retak bertengger di antara hidung dan matanya, ia Gyves.
"Hah! Terkutuk kau Dyson! Kau mengambil bocah itu dari ku!"
"Beruntung bocah gendut ini terluput! Hahaha! Bocah ini benar-benar mirip denganku! Penuh kalkulasi dan memiliki orientasi untuk bertahan!" Ujarnya sambil membolak-balik perisai milik David di tangannya.
"Hans! Kau harus ke sana, ada hal menarik tentang pembagian divisi dan jurusan!"
"Maaf Hans aku terburu-buru pria tua itu sungguh cerewet!"
"Jangan lupa cari aku ketika kau sudah memilih jurusanmu ya!"
"Sampai jumpa kawan!" David menepuk bahu Hans dan berjalan ke arah pria tua yang terlihat melambai ke arahnya dengan wajah kesal.
"Sampai bertemu lagi gendut!" Ujar Hans sambil melihat sosok besar itu membelah kerumunan dan seperti tertelan hilang dan tidak lagi terlihat.
Hans tanpa sadar seketika itu pula merasa sendirian lagi, namun ia menggelengkan kepalanya dan berjalan ke arah sebuah papan besar di bawah pohon raksasa. Peserta yang lain pun berada di tengah kerumunan masing-masing melepas kalung kayu milik mereka, kemudian memasukkannya ke lubang kecil di pohon raksasa itu.
55
Angka itu muncul begitu saja di permukaan pohon tempat Hans memasukan kalung kayu miliknya, pohon itu begitu besar sehingga ratusan orang itu tetap mendapat tempat bagi mereka masing-masing.
Pohon besar itu bergetar kecil.
Kemudian selembar daun kecil berwarna keemasan terlepas dari rantingnya, ia melayang lambat dan terjatuh tepat di telapak tangan Hans.
Angka '55' tertera di daun itu.
"Nomor lima puluh lima!"
"Peserta yang memiliki nomor lima puluh lima bisa berjalan ke arah ku!" Seorang bocah lain berteriak dari kejauhan, Hans kebalikan tubuhnya mencari sumber suara itu. Dan menemukan bocah berumur empat sampai lima belas tahun berteriak-teriak, rambutnya hitam dan wajahnya memerah karena berteriak dengan semangat.
Hans berjalan mendekat, dan bocah itu menyadari ada bocah lain yang berjalan ke arahnya. Ia berhenti berteriak dan berjalan ke arah Hans,"Kau peserta nomor 55?"
Ia bertanya sambil menarik tangan Hans di mana daun itu terjatuh,"Wah! Daun emas! Berapa banyak poin yang kau dapat?!"
"Poin?!" Tanya Hans bingung.
"Maksudnya nilai yang aku dapat dari membunuh monster saat ujian masuk?" Tanya Hans lagi.
"Betul, tapi kita bisa membicarakan soal ini nanti!" Jawab bocah berambut hitam itu.
"Pertama-tama kau harus menyerap daun itu terlebih dahulu,"
"Caranya dengan membuat luka kecil pada nadimu, kemudian tempelkan daun itu pada bekas luka hingga terkena darahmu!"
"Oh iya, namaku Todoru Maki!"
"Aku lebih tua dari mu satu tahun!" Bocah itu terlihat begitu percaya diri dan tersenyum sepanjang waktu.
"Ini gunakan pisau ini untuk membubuhkan luka pada nadimu!" Maki berucap ringan sambil menyerahkan pisau.
Hans menatap Maki dengan curiga, namun dari setiap sudut wajahnya Hans tidak bisa menemukan kebohongan. Ia sedikit ragu, karena ketika nadi terbuka akan membuat darah mengalir tanpa henti.
Ia kemudian mengiris nadi di pergelangan tangan kanannya, namun ketika pisau milik Maki itu ia gunakan, hanya goresan yang membekas di tangan kanannya.
"Hmmp!" Maki terbelalak, ia jelas melihat seberapa kuat Hans menekan pisau miliknya.
"Oh aku lupa! Maaf-maaf!" Ujar Hans singkat. Kemudian mengalirkan jiha pada tangan kanannya, Jamur miliknya berserak di lantai ketika ia melakukan hal ini.
Pisau itu menembus kulit Hans dan membuat darah mengalir keluar dengan deras, Hans mengontrol nafasnya agar tidak terjadi pendarahan parah. Ia melepaskan pisau di tangannya dan menempelkan daun emas pada luka di tangannya.
Secara ajaib daun itu terserap masuk dan menutup lukanya, ia tercengang, tak lama bekas luka yang tertinggal menjadi sebuah tato daun kecil dengan angka '53'.
"Oke! Sekarang aku akan menjelaskan padamu kegunaan daun itu,"
"Daun itu berguna sebagai penanda kau adalah salah satu murid akademi, dan juga akan menghubungkanmu dengan pohon pelindung ini!" Maki menyentuh pohon besar itu.
"Pohon ini akan mengetahui bila murid akademi mengalami kecelakaan atau mati dalam misi, daun mereka akan gugur. Pohon ajaib ini memiliki dua daun kembar, sehingga bila satu daun mati yang lain pun akan gugur. Nah daun di tanganmu akan tetap hidup selama darahmu memberinya energi. Dengan kata lain bila energi terputus, maka ia akan mengering dan mati."
"Nah, pohon ini juga menyimpan poin kontribusi yang kau dapatkan dari misi! Kau bisa menukarkannya dengan berbagai keperluan yang tidak mungkin kau beli dengan emas atau pun bebatuan semesta!"
"Sekarang ikuti aku, kau harus menentukan jurusan apa yang mau kau ambil," Maki berjalan di depan, menuntun Hans ke bagian tengah pohon raksasa itu.
Hans mengikuti, keduanya memandang pohon besar itu sambil menengadah.
"Akademi di bagi menjadi empat divisi, yaitu departemen penelitian serangan dan kemampuan perang, departemen Kesehatan dan Pertahanan, departemen Penelitian Roh dan Jiwa, departemen Penelitian Makhluk Magis dan Totem!"
"Masing-masing departemen di bagi kembali ke dalam beberapa jurusan, nah terima ini!" Maki menyerahkan sebuah buku tebal pada Hans dan jubah berwarna cokelat muda.
"Buku ini berisi detail dari masing-masing jurusan dan mata pelajaran yang mereka sediakan! Kau tidak di wajibkan untuk langsung memilih jurusan."
"Akademi memberimu waktu satu bulan untuk mempertimbangkan jurusan yang ingin kau ambil! Jadi jangan terburu-buru, lagi pula ini adalah tentang masa depanmu!"
"Jubah ini adalah jubah yang murid baru terima!" Maki mengayunkan jubah ke udara, membuatnya terbuka. Bentuknya seperti jubah besar yang menutupi seluruh tubuh, dengan tali pengikat di depannya.
"Jubah ini tidak perlu di cuci, cukup dengan mengalirkan jiha ke dalamnya, itu akan membuatnya bersih kembali."
"Jubah ini adalah identitasmu, warna cokelat yang lebih tua adalah pakaian para senior!"
"Semakin gelap warnanya semakin tua dan kuat dia!"
"Aku ingatkan padamu, jangan sekali-sekali berurusan dengan para senior. Sebagian dari mereka memiliki prilaku yang aneh!" Ujar Maki dengan ekspresi aneh.
"Tapi kau cukup santai kak!" Ujar Hans.
"Ah! Tentu saja! Tapi tidak semua orang seperti aku! Lagi pula yang lain tidak suka berbicara lama denganku, kau satu dari beberapa orang yang cocok denganku hahaha!" Jelas para senior lain tidak menyukainya, karena ia berbicara tanpa henti di tambah sifat Magi yang biasanya penyendiri itu membuat dia jarang memiliki teman.
"Oh iya, namamu siapa?" Maki sambil tersenyum dan menepuk punggung Hans.
"Namaku Hans!"
"Kak Maki, kau mengambil jurusan apa?" Tanya Hans Singkat.
Maki tersenyum,"Aku mengambil penelitian Aksara Cahaya sebagai fokus utamaku!"
"Aku adalah anggota departemen penelitian serangan dan kemampuan perang!"
"Jujur saja, aku baru kali ini berkesempatan untuk menjadi pemandu anak baru!"
"Kami anggota departemen penyerangan sering kali keluar akademi untuk menjalankan misi, sehingga kita mungkin akan jarang bertemu!"
"Tapi jangan sungkan bila kau membutuhkan bantuan!"
"Kau ini anak baru pertama yang aku bimbing jadi jangan ragu bertanya!" Ia mengusap hidungnya dan tersenyum.
"Baiklah ayo kita pergi ke asrama tempat kau akan tinggal selama beberapa tahun ke depan!" Tanpa penjelasan Maki mengangkat tubuh Hans dan berlari dengan kecepatan tinggi, kepala Hans terasa pusing akibat kecepatan yang luar biasa yang Maki tunjukkan.
"Eh? Kau tidak apa-apa Hans?!" Ketika keduanya sampai di alun-alun Maki melihat wajah pucat Hans.
"Kau terlalu cepat kak! Terlalu cepat!" Hans menggeleng dan terhuyung-huyung.
Gila! Yang benar saja?! Apakah yang seperti ini masih dapat di katakan sebagai manusia?!
"Oh! Maafkan aku, fokus utamaku adalah kecepatan. Karena jenis partikel tercepat adalah cahaya, maka aku mengambil jurusan ini semenjak beberapa tahun lalu!"
"Aku tidak mau menyombong, tapi bila hanya soal kecepatan orang yang bisa menyamaiku bisa dihitung dengan jari!" Maki menyilangkan lengannya sambil mengangkat kepalanya sambil tersenyum.
"Baiklah, Akademi kita terlalu luas. Jadi kita harus menggunakan alat transportasi ini untuk pergi ke berbagai tempat di akademi. Lihat di sana, ada beberapa transportasi yang bisa kau pilih."
"Yang pertama kau sudah melihatnya, yaitu awan ajaib. Tapi biaya yang di perlukan satu kali naik awan ajaib adalah satu batu semesta,"
"Satu batu semesta sama dengan seratus koin emas meski kadang bisa lebih tergantung pasar! Sungguh buang-buang uang bukan? Jadi para murid di akademi biasanya menggunakan kereta kuda, meski cukup memakan waktu. Tapi lebih murah, bisa kau bayangkan jarak antara satu departemen bila di tempuh berjalan kaki mencapai satu atau dua hari."
"Hal ini untuk menghindari pertikaian antar departemen!" Maki dengan serius menjelaskan, namun mata Hans terlihat tidak memperhatikan.
"Satu koin emas sekali jalan?! Apa-apaan?!" Ia merasa kepalanya semakin berputar, satu koin emas untuk satu kali tumpangan, sedang untuk sebuah keluarga di Elim satu koin perak cukup untuk membeli satu karung beras, bukankah satu koin emas sekali jalan itu keterlaluan!
Menaiki awan sama dengan seratus koin emas! Ini sama saja dengan merampok! Ia bekerja keras membersihkan cerobong asap hanya mendapatkan beberapa koin emas saja.
"Hahahah! Kau sungguh bocah yang lucu!"
"Hei Hans, kau pikir kita Magi ini memperoleh uang dengan cara biasa?!" Tanya Maki.
"Tentu tidak dengan cara tidak biasa, tapi uang tidak tumbuh dari pohon bukan?!" Ujar Hans sambil memegang kantung kulit berisi koin emas yang ia bawa.
"Tak perlu khawatir, setiap misi bahkan yang termudah sekalipun seperti membersihkan bangunan sekolah mendapat satu atau dua batu semesta!"
"Tenang saja, kau pasti terbiasa nanti!"
Maki mengangkat tangan, kereta kuda dengan lima kuda besar berlari ke arahnya. Keduanya kemudian naik, kecepatan kereta kuda ini luar biasa. Keduanya seakan tengah berpacu dalam balapan kuda, terlebih jalan rata dan halus yang membuat perjalanan menjadi nyaman.
"Kak maki kau beberapa kali menyebut Batu semesta?! Apa itu kak?!" Maki beberapa kali menyebutkan hal itu, Hans menjadi penasaran.
"Tangkap ini!" Maki melemparkan satu batu semesta pada Hans. Bentuknya tidak rata, namun halus, seperti kristal berwarna biru.
"Batu semesta adalah jiha yang membatu, di dalamnya terdapat jiha murni yang bisa langsung kita serap!"
"Batu semesta memiliki beberapa elemen, tergantung dengan lingkungan di mana dia di temukan! Dan warnanya pun berbeda-beda bergantung pada elemen jiha yang tersimpan di dalamnya."
"Karena perak dan emas pada akhirnya memiliki kegunaan yang terbatas bagi kita, jadi kita menggunakan batu semesta sebagai alat pertukaran," Maki menjelaskan dengan sabar, terlebih sepertinya ia menikmati di panggil kak oleh yunior yang lebih muda darinya.
Hans mengangguk, kemudian memeriksa batu semesta di tangannya. Ia bisa merasakan jiha yang tersimpan di dalamnya. Ia hendak mengembalikan batu itu pada Maki namun ia menolak,"Simpan saja Hans! Anggap saja hadiah dari senior ke juniornya! Ahaha!" Ia tertawa kecil.
Hans tersenyum dan menyimpan batu semesta itu baik-baik, karena itu adalah batu semesta pertama yang ia peroleh. Ia menyandarkan kepalanya pada jendela kereta kuda, dan melihat selain kereta kuda yang berlalu lalang terdapat pula murid akademi yang menunggangi hewan magis!
"Akibat biaya yang cukup besar hanya untuk transportasi, sebagian murid-murid memilih untuk membeli tunggangan. Pasar di menara dekat alun-alun memiliki semua jenis kebutuhan yang kau butuhkan." Jelas Maki, kemudian matanya melihat ke arah bungkusan jamur yang terbungkus dekat kaki Hans.
"Hans, kau sepertinya harus menjual jamur-jamur itu sebelum ia rusak karena terlalu lama di simpan!"
"Kau juga harus berhati-hati, karena meski aku bukan ahli tanaman namun aku bisa merasakan bahwa benda ini cukup mahal!"
"Lebihcepat kau menjualnya lebih baik, kau masih terlalu lemah!" Maki berterusterang, meski terdengar keras tapi Hans dalam hatinya pun mengerti, iamenangguk.