Dua orang penjaga berjaga di depan pintu masuk panti, keduanya tentu merupakan veteran kepercayaan Jendral Lionel yang diperintahkan untuk menjaga panti. Keduanya terlihat berjaga dengan fokus dan memandang sekiling. Keduanya tidak menyadari di empat penjuru panti, hanya berjarak seratus meter dari mereka, sebuah tunas kecil tumbuh dan menyerap udara dan jiha di sekeliling dengan rakus.
Ke empat pohon itu kemudian bertumbuh kian besar, satu meter, dua meter hingga menjadi lebih tinggi pohon yang ada di sekelilingnya. Pepohonan lain memang berhibernasi ketika musim dingin datang. Namun pohon yang baru tumbuh ini memancarkan aura yang berbeda, meski tidak begitu terasa namun bila seorang yang memiliki jiha merasakannya ia pasti tau bahwa pohon ini hidup!
Daunnya yang kecil namun berjumlah banyak berbaris di setiap ranting pohon asam yang kian meninggi itu, carang-carang yang bertingkap-tingkap membentuk daerah teduh di sekitar hutan. Salju yang berjatuhan perlahan tak berani menyentuh permukaannya dan seketika meleleh ketika memasuki daerah sekliling pohon.
Salju mencair dan di serap dengan rakus oleh akar-akar yang bermunculan dari bawah tanah, menggeliat seperti cacing. Hal itu membuat pohon itu berkembang hingga akhirnya mencapai tinggi dua puluh lima meter. Jiha di udara terus menipis, akibat penyerapan yang luar biasa besar dari ke empat pohon bertumbuh hanya dalam beberapa menit itu.
Beberapa Aksara muncul di batang utama pohon itu, aksara yang berkerlip-kerlip, dan kemudian meredup—seperti kunang-kunang.
Pohon ini bukanlah pohon biasa, namun mahluk magis yang berhasil membentuk uma dan bahkan membentuk aksara miliknya.
Aksara yang tertulis di sana adalah,
Raksaka [1]
[1] Aksara Hanacaraka untuk 'raksaka' bahasa sansekerta yang berarti penjaga.
Kumpulan simbol aneh itu adalah empat aksara semesta, yang di eja sebagai 'raksaka' atau berarti penjaga. Buah-buah asam seukuran karung beras menggantung. Uniknya pohon itu hanya memiliki maksimum dua pulu lima buah asam, dengan tiga tonjolan gelembung yang dapat terlihat dari luar. Ketiga biji itu begitu ajaib, ketiganya berdegup disaat yang bersamaan, seperti jantung manusia! Pemandangan itu tentu akan mengejutkan siapapun yang melihatnya, namun kabut tebal menyelimuti pohon itu dan menghalangi orang melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Di dalam panti Suster Evelyn berjalan keluar dengan tatapan serius, ia berdiri di teras depan panti, tepat di balkon sebelum anak tangga turun pertama. Ia memandang ke arah salah satu dari ke empat pohon itu.
**
Di Kastil Keluarga Bangsawan Emmasse!
Bernard duduk tepat di sebelah Jendral Lionel, ia terlihat begitu gugup. Hal itu bukan tanpa alasan, tatapan seisi ruang makan ke arahnya begitu dingin dan penuh penolakan. Meja makan besar itu mampu menampung lebih dari tiga puluh orang, meja makan itu berbentuk oval dengan panjang tiga puluh tiga meter, dengan dua kursi besar di setiap ujungnya—satu milik Jendral dan satu lagi milik isterinya.
"Nak makanlah lebih banyak, daging ini adalah daging binatang magis yang mengandung jiha dan banyak mineral lain yang baik bagi pertumbuhan tubuhmu." Ujar Lionel lembut sambil menaruhkan potongan daging ke piring perak milik Bernard. Bocah polos itu hanya mengangguk, rasa canggung terlihat jelas di wajah dan caranya berprilaku. Anak itu yang biasanya polos dan apa adanya, berusaha keras agar tetap menjaga tindak-tanduknya.
Keluarga Lionel terlihat jelas tidak menyukai kehadiran Bernard, tak satupun dari putra Lionel yang berada di rumah mendapat perlakuan yang sama. Justru sebaliknya, Lionel cendrung dingin dan jarang sekali berbicara pada mereka.
Pandangan mereka mengandung berbagai makna—kemarahan, kecemburuan, kekesalan—membuat Bernard yang seringkali di sebut 'perut karet' ini kehilangan nafsu makannya meski makanan yang begitu mewah dan enak ada di hadapannya.
Entah mengapa, makanan di panti terasa jauh lebih menggugah selera di banding makanan di tempat ini!
Bernard membatin, sambil memaksa mulutnya untuk mengunyah daging dan bubur kentang hangat dari sendok peraknya.
Setelah makan selesai, tak seorangpun beranjak pergi hal ini adalah sebuah aturan dan sebuah tata cara kehidupan bangsawan dan para keturunan raja—Tuan/raja rumah beranjak dan meninggalakan meja makan baru para tamu bisa pergi mengikuti.
Mereka menunggu Jendral Lionel, yang terlihat justru tengah asik berbicara dengan Bernard. Hal itu justru makin membuat Bernard semakin tidak nyaman.
"Oh?! Kalian bisa pergi aku masih memiliki banyak hal yang ingin ku tanyakan pada Bernard" Jendral Lionel mengayunkan tangannya mendandakan agar yang lain pergi sesuka mereka. Namun bukan pergi, namun suasana menjadi sepi dan dua anak laki-laki Lionel yang lain menatap ibu mereka.
"LIONEL!" Sosok wanita cantik dengan rambut perak menatapnya dari sisi lain meja makan, rambut peraknya merupakan sebuah penanda darah ningrat yang mengalir di dalam tubuhnya.
Lionel memalingkan wajahnya dan memandang wanita itu, dahinya mengerenyit, auranya dam tatapannya dingin, tanpa sadar jiha miliknya seakan keluar dengan sendirinya. Wanita itu tersentak, ia tidak pernah mengira Lionel tak ragu-ragu melepaskan jiha miliknya.
Meski begitu, wanita itu seakan tak perduli,"Kau tidak bisa mengabaikan kami seperti ini!! Kami ini keluargamu juga! Aku ini isterimu, dan kedua anak ini juga puteramu!"
Mendengar hal itu, Lionel seakan tersentak, kemudian melepaskan nafas panjang.
"Baiklah, Maafkan aku."
"Kalian berdua kemarilah, mendekat"
"Biar kuperkenalkan pada kakak kalian"
Bernard merupakan anak pertama Lionel, sedangkan dua anak lainnya adalah anak dari Mia. Keduanya adalah sepasang anak kembar, Aaron dan Aaric keduanya memilik paras yang serupa namun Aaron berpostur lebih besar dari Aaric. Aaron memilik wajah yang mirip dengan Lionel sang ayah namun memiliki rambut perak milik sang ibu. Sedang Aaric juga memiliki wajah Lionel namun dengan postur tubuh milik ibunya.
Cara keduanya melihat Bernard masih dingin dan penuh penolakan, namun keduanya tetap taat dan mengikuti perintah sang ayah.
"Aaron, Aaric! Kalian berdua harus patuh pada kakak kalian!"
"Karena dialah yang akan kelak menjaga kalia berduan, terlebih tahun ini ia akan pergi ke Akademi kerajaan, dan tahun depan kalian pasti membutuhkan bantuan darinya!" Lionel melihat kedua putra kembarnya, berusaha terlihat selembut mungkin. Akademi di buka setiap tahun, dan hanya anak berumur sembilan tahun yang diterima di sana.
"Hmmp! Kami tidak membutuhkan bantuannya!" Tanpa basa-basi, kata-kata sang ayah di jawab dengan ketus oleh Aaron.
"Ya benar, aku juga!" Tak lama berselang sang adik Aaric menambahkan.
Bernard yang semula berusaha terlihat ramah dan penuh senyuman menjadi terdiam tanpa tau harus berbuat apa. Meski begitu, ia tidak marah dan berusaha menegaskan kehadirannya.
**
Hans menopang dagunya dengan tangan kanannya, sedang ia bersandar pada jendela kereta kuda. Kereta itu sesekali berguncang akibat jalan yang tidak rata, matanya memandang seluruh hutan dan jalan yang ia lalui. Tak lama kota Withered Pole terlihat penuh hiruk pikuk, terlihat bar milik Paman Wiggin di pusat kota Withered Pole.
Ia dengan lahap menelan semua memori dan kenangan di setiap sudut kota ini, kota mungkin yang tak akan ia kunjungi lagi dalam beberapa tahun ke depan.
Sampai kita bertemu kembali, Withered Pole!
Kereta kuda itu meluncur semakin cepat, tanpa sadar kota Withered Pole hanya menjadi sebuah bayangan yang kemudian tertutup oleh ribuan pohon berbalut salju. Kereta kuda itu begitu sepi, Tuan Atkinson masih sibuk dengan buku yang ia baca.
Tak lama getaran di kereta dan suasan yang sepi membuat Hans tertidur pulas, tuan Atkinson menurunkan bukunya sedikit dan tersenyum hangat.
Kereta itu terus melaju, membelah suasana sepi hutan.
Hans terbangun oleh suara derit pintu, saat itu kereta telah berhenti, ia mengusap kedua matanya mengangkat tubuhnya. Melihat kereta itu telah kosong, ia mengangkat tas pakaiannya, tas berwarna merah yang lusuh—tempat baju dan barang-barang miliknya.
Ketika ia menuruni tangga, sinar matahari menyambutnya. Sinar terang matahari membuat matanya tertutup secara reflek, matanya masih terkejut akibat baru saja bangun membuatnya lebih peka terhadap sinar.
'Plak!'
Tas lusuh miliknya membuat suara kecil ketika tanpa sadar ia jatuhkan, ketika matanya terbuka ia tercengang. Rumah milik tuan Atkinson terangkat dari tanah, kastil yang tersusun dari tiga bilik menara yang saling terhubung dan membentuk segitiga itu kini teragkat lebih dari sepuluh meter dari atas tanah. Hans masih dalam lamunannya, memikirkan jawaban atas bagaimana rumah itu bisa terangkat? Atau lebih tepatnya, rumah itu menggantung di sebuah pohon besar yang kini menjulang lebih dari tiga puluh delapan meter, rumah itu menggantung mengelilingi pohon seperti tas pinggang.
Namun yang membuat Hans terpaku adalah, sebuah kepala besar berbalik dan menatapnya. Ya, pohon itu memiliki kepala!
Ribuan dedauan seakan bergerak mengikuti arah tatap pohon besar itu, daun-daun yang sebelumnya berserak di atas permukaan rerumputan dan salju itu kini mengambang dan menegang.
'Glup'
Hans menelan ludah, ia mundur perlahan dan kakinya bergetar. Seakan keanehan demi keanehan menghampirinya semenjak ia mengenal tuan Atkinson. Beruntung sosok tuan Atkinson terlihat membuka pintu rumah yang tengah mengantung itu,"Hei Hans! Ayo cepat naik!" Ujar tuan Atkinson keras.
Seperti tersedar Hans membalikkan badan-nya hendak melihat kereta kuda yang sebelumnya ada di belakangnya, namun kereta itu hilang, rodanya pun tak bersisa entah ia pergi kemana.
Masih terlihat ragu ia hanya diam di tempatnya berdiri, pohon besar itu memalingkan wajahnya dan tidak lagi menghiraukan Hans. Tuan Atkinson mengayunkan tangannya, aksara terlihat bermunculan dan tenggelam ke dalam tanah.
[2] Tulisan Hanacaraka (Aksara jawa) untuk 'angkura' atau tunas dalam bahasa jawa kuno.
Tak lama tunas-tunas tumbuh di bawah kaki Hans dan membawanya naik ke atas rumah, hari ini adalah pertama kali ia melihat Aksara secara langsung, ia terpaku melihat pohon yang membawanya naik. Ketika ia sampai tepat di balkon rumah misterius itu, ia terdiam kemudian bertanya dengan polosnya,"Tuan, yang tadi itu apa?! Aku seperti pernah melihatnya dalam buku yang di berikan orang tuaku!"
"Hah!" Tuan Atkinson terkejut, ia berbuat demikian untuk memberi pengenalan awal Hans pada Aksara dan fungsinya. Namun di luar dugaannya bocah itu sudah pernah melihatnya.
Ia sudah pernah melihatnya? Di buku peninggalan ayah dan ibunya?
"Betulkah itu Hans?" Tanya Atkinson lagi ragu.
"Umm!" Hans mengangguk dan melepas suara kecil tanda ia setuju.
Bocah itu kemudian mengambil buku lusuh dari balik bajunya, buku itu cukup tebal dan sudah tua, di sampulnya tidak terdapat tulisan apapun kecuali sebuah segel di bagian tengahnya. Ajaibnya ketika tangan Hans memegang buku itu, segel itu kemudian menghilang dan ia dapat membukanya.
Ketika Hans membukanya isi buku itu terlihat, namun ketika tuan Atkinson hendak melihat juga buku itu seketika tertutup.
"Hmmm.." Hal itu membuat tatapan tuan Atkinson menjadi serius, kemudian melihat Hans.
"Hans bolehkan aku meminjam bukumu?" Tuan Atkinson mengajukan pertanyaan.
Hans tanpa menutupi keraguan dari wajahnya bertanya dengan sedikit takut,"Kau tidak akan merusaknya bukan? Ini peninggalan orang tuaku satu-satunya,"
Melihat hal itu mengertilah tuan Atkinson dan tersenyum,"Oh tentu saja, tenang Hans aku tidak akan melakukan apa-apa, aku hanya ingin melihatnya dari dekat!" Nada suaranya tenang dan tanpa menyembunyikan apapun agar meyakinkan Hans.
Hans memeriksa setiap sudut wajah tuan Atkinson dan tidak menemukan ke-anehan, Atkinson tentu tidak menyadari bocah di hadapannya mampu menangkap setiap ekspresi bahkan pada bagian terkecil sekalipun.
Pupilnya tidak berubah, nada suaranya tenang dan jelas. Alis dan hidungnya pun tidak mengembang dan tubuhnya tidak menunjukkan ke anehan.
"Baiklah." Hans kemudian memberikan buku misterius itu pada Atkinson yang memegangnya hati-hati, sesekali melihat ekspresi wajah bocah kecil itu dan tertawa dalam hatinya.
Anak-anak~
Ia membatin saat melihat sifat lugu Hans yang begitu polos tanpa menyembunyikan apapun lewat ekspresinya. Atkinson memegang buku lusuh itu, ia tertarik karena sedikit percikan jiha ketika buku itu menutup dengan sendirinya. Seolah-olah buku itu memiliki jalan fikirannya sendiri.
Ia berusaha membukanya dengan tenaga fisiknya tanpa jiha, namun buku itu tidak bergeming sedikitpun. Ia menyerah, dan mengalirkan sedikit jihanya ke dalam buku itu.
"Ah!" Ia tanpa sadar menjerit kecil, tangannya yang sedang memegang buku itu terluka, tepat di ujung jari di mana ia mengalirkan jiha miliknya. Rasanya persis seperti sengatan lebah, rasa kagetnya belum lah hilang namun ia kembali di kejutkan dengan buku yang sebelumnya ia pegang kini menghilang.
Dan sudah berada dalam genggaman Hans yang berjarak dua meter darinya.
Tentu bukan gerakan Hans yang luar biasa cepat, namun melihat ekspresi terkejut di wajah bocah itu ia akhirnya mengerti. Buku itu dapat memindahkan dirinya sendiri.
"hmmm"
Tuan Atkinson melepas nafas, ia berfikir telah melihat banyak hal aneh di dunia, namun baru kali ini ia melihat hal seperti ini.
"Hans sepertinya seseorang meninggalkan segel pada buku itu, mungkin ayah atau ibumu,"
"Ia sepertinya tidak ingin orang lain mengetahui isinya sehingga memasang segel itu di sana, sehingga setiap orang yang berusaha membukanya secara paksa dengan jiha akan membuatnya menghilang dan kembali pada dirimu." Atkinson menjelaskan, ia memberikan penjelasan yang justru membuat Hans semakin kebingungan.
"Segel?"
"Jiha?!"Wajah bocah itu kini terlihat di penuhi tanda tanya, gabungan rasa terkejut dan kebingunan akan apa yang tengah terjadi pada dirinya. Seorang bocah yang pada awalnya tidak mengerti apa-apa, kini justru terseret makin dalam ke lautan tanda tanya.
Catatan Kaki:
[1] Tulisan Hancaraka untuk kata 'raksaka' bahasa Sansekerta yang berbarti penjaga.
[2] Tulisan Hanacaraka (Aksara jawa) untuk 'angkura' atau tunas dalam bahasa jawa kuno.
[Announcement]
Mohon maaf, Webnovel tidak mensupport kombinasi antara kalimat dengan gambar, sehingga huruf Hanacaraka yang sebenarnya ada dalam paragraf tidak bisa dilihat.
versi detailnya ada di wattpad dengan judul yang sama