Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 6 - Aksara 3, Adopsi

Chapter 6 - Aksara 3, Adopsi

"Kemana aku pergi? Tak jadi masalah. Pergi tak perlu arah, neraka tak buat gerah, gelap pun tak membuat jengah, selama kamu memiliki tempat untuk pulang. Sedang aku, menemukan ribuan obat untuk berbagai wabah, namun gagal mengobati kesendirian."

Melsie Decem, Penulis Buku Ramuan.

"Apa yang terjadi? Mengapa kau terjatuh?" Ujar suster kepala, Hans melepaskan nafas lega, kemudian menggeleng dan berjalan masuk ke kamarnya. Sang suster hanya terdiam sambil melihatnya sedih,"Anak itu begitu dekat dengan Bernard, ia pasti sedih.."

Hans duduk di pinggir kasur miliknya, matanya memandang kasur kosong di sebelah tempatnya duduk—kasur Hans dan Bernard bersebelahan.

Senyum bodoh Bernard seakan muncul di kepalanya, senyum bodoh sahabat baiknya, saudara tak sebapa lain rahin namun sama-sama hidup tanpa orang tua. Di sudut matanya air mata menyembul keluar, ia membalikan pandangnya, menatap adik-adik kecil yang tengah menangis dari dalam selimut mereka.

Ia menarik selimut baru miliknya—ketika ia merabanya terasa lembut— kemudian ia menutupi seluruh tubuhnya. Matanya masih meneteskan air mata, suasana ruangan di penuhi suara tangis dan kesedihan. Ia menangis semalaman, ketika ia kelelahan tanpa sadar ia tenggelam dalam kantuk dan tertidur.

Dinginnya udara musim dingin, kehangatan selimut dan di bumbui suasana kesedihan membuat tidurnya begitu nyenyak. Bahkan mimpi buruk yang selalu datang mengganggunya tak datang malam itu, ia masih lekat dalam pelukan selimut yang di berikan oleh keluarga Ayah Bernard—Sir Lionel Emmasse— meski matahari sudah menggantung tinggi di langit.

Di Pusat Kota Withered Pole

"Minggir! Ada kereta kuda! Minggir!" Pria tua bongkok berteriak sambil ia mengendarai kereta kuda dengan kecepatan tinggi, jalan kota begitu ramai, namun begitu mendengar seseorang berteriak kereta kuda lewat setiap orang bergegas menepi.

Pada zaman ini, orang yang berada di tengah jalan ketika kereta kuda lewat, bila ia mati itu bukanlah kesalahan pemilik kereta kuda. Hal itu sesederhana, karena yang berada di dalamnya adalah bangsawan.

Dua belas kuda menarik kereta berwarna hitam, kereta itu lima empat meter panjangnya dan memiliki enam roda berwarna perak. Cahaya terpantul dari ke enam roda kereta itu, para ahli perhiasaan dan pandai besi pasti mengetahui, bahwa orang kaya pemilik kereta itu menjadikan perak sebagai bahan roda kereta kudanya!

Seorang pria berambut abu-abu dengan kacamata sedang membaca buku dan duduk dengan tenang di salah satu bangku di dalam kereta, tak lupa secangkir teh hangat tersaji tepat di sampingnya. Cabang-cabang pohon menahan cangkir kecil itu di udara, kemudian mendekatkannya pada bibir si pria paruh baya.

Pria itu adalah tuan Atkinson, ia kemudian menutup buku di tangannya 'Melsie, Catatan Herbalis' tertulis kasar di bagian terdepan buku yang terlihat lusuh. Bentuknya seperti buku catatan penelitian yang lama terendam ramuan obat.

"Hei Hibiscus! Pada persimpangan belok ke arah hutan!" Teriak tuan Atkinson memberi arahan, dua ekor burung api terlihat mengitari kepalanya. Kereta meluncur cepat di atas salju, setiap kali mereka hendak lewat ribuan akar-akar tanaman akan terlebih dahulu membersihkan salju dari permukaan jalan.

Tuan Atkinson seperti telah melewati jalan ini ribuan kali, meskipun satu kali pun belum pernah ia lalui daerah ini. Jalan ini adalah jalan menuju panti asuhan, rumah anak-anak tanpa orang tua, rumah seorang bocah bernama Hans.

Kereta kuda itu bergerak cepat tanpa hambatan, hal itu tentu karena akar-akar yang membersihkan jalan dari salju. Tak lama kereta itu berhenti di depan sebuah rumah kayu, dengan dua lantai. Salah seorang suster tengah membawa kayu bakar, suster itu bernama Mirana.

'kingkik!' Enam pasang kuda kekar meringkik ketika kereta itu berhenti, Mirana terhenti dari pekerjaannya. Ia meletakkan kayu bakar di tempat ia biasa mengumpulkannya, kemudian dengan tergesa-gesa membersihkan tangannya sembari berjalan.

Ia sedikit gugup, karena mereka yang memiliki kereta kuda biasanya adalah bangsawan atau anggota kerajaan.

'kreak!' Pintu kereta kuda itu berderit kecil,"Hibiscus beri sedikit pelumas pada pintu ini, engselnya berderit-derit!" Ujar Tuan Atkinson sambil berjalan turun dengan perlahan, ia kemudian membuka payung hitam yang entah di gunakan untuk apa, karena siang itu tidak hujan atau pun panas.

"Selamat Siang Tuan! Ada yang bisa ku ba-ntu?" Mirana bertanya dengan gugup, lidahnya tanpa sadar menjadi kelu dan terbata-bata.

"Halo!" Tuan Atkinson membalas sambil tersenyum ramah, rambut abu-abu dan pakaiannya yang serba hitam membuatnya sedikit aneh, seperti orang yang ingin pergi ke pemakaman orang mati.

"Apakah benar, seorang anak bernama Hans tinggal di sini?" Tanyanya tuan Atkinson.

"Ah! Benar tuan!" Mendengar nama Hans, suster Mirana terkejut, kemudian menjadi ketakutan.

"Maafkan dia tua! Maafkan, ia masih kecil dan polos, ia tidak menyadari telah menyinggung tuan bangsawan, aku mohon maafkan dia tuan!" Mirana setengah berlutut sambil keringat mulai bermunculan. Kali ini ia benar-benar takut, Hans merupakan anak yang keras kepala, ia tidak mengenal takut bila bicara soal berkelahi. Ia berfikir bahwa Hans telah membuat masalah dengan orang yang ia kira bangsawan ini, tuan Atkinson.

Suara Mirana cukup keras hingga terdengar ke dalam panti, sontak suster kepala dan kedua suster lainnya berjalan keluar dengan terburu-buru.

"Mirana! Apa yang terjadi?! Dan siapa tuan ini?!" Suster kepala bertanya dengan penuh wibawa, meski di hadapan pria yang mereka pikir adalah bangsawan ia sama sekali tidak merasa statusnya lebih rendah dari bangsawan. Bukan karena sombong, namun ada sebuah rasa dari dalam dirinya yang menyebabkan ia menjadi seperti itu.

"Suster kepala, tuan ini mencari Hans! Aku pikir bocah itu lagi-lagi membuat masalah!" Mirana yang masih ketakutan berceloteh dengan penuh ketakutan.

"Hmm.. Hans memang keras kepala, tapi bukan berarti ia suka mencari masalah tanpa sebab,"

"Tuan, apa yang sebenarnya terjadi?" Suster kepala menatap tajam ke arah tuan Atkinson, sama sekali tidak seperti tatapan seorang rendahan yang tengah menatap bangsawan.

"Hoho, boleh juga, seorang kepala panti yang tinggal di pinggiran hutan berani menatap langsung ke arahku!" Tuan Atkinson berkomentar dalam hati.

"Oh! Nona-nona, mohon maaf. Sepertinya kalian salah paham, aku datang bukan untuk hal itu. Aku datang untuk hal lain, dan ini menyangkut masa depan Hans!" Seketika wajah tuan Atkinson menjadi serius ketika mengatakan ini.

Suster kepala tersentak, ia terkejut bukan hanya karena ucapan tuan Atkinson namun juga karena ekspresi dan aura yang ia pancarkan.

"Pria ini.."

"Bukan orang sembarangan!" Suster Kepala teringat akan Jendral pada ketika ia malam Bernard dijemput.

Ia hanya mengangguk, kemudian tersadar dan berucap,"Oh iya, silahkan masuk tuan!" Ia dengan cepat bergegas mempersilahkan tuan Atkinson masuk, kemudian memberi kode lewat mata pada ketiga suster yang lain.

Ketiganya seolah paham dan bergegas masuk menyiapkan tempat duduk, dan makanan serta minuman untuk menjamu tamu dadakan mereka siang itu.

Tuan Atkinson duduk bersebrangan dengan Suster kepala, hanya mereka berdua. Sesuai permintaan tuan Atkinson, hanya ia dan suster kepala yang dapat membicarakan hal ini. Kata demi kata yang terucap, suster kepala semakin mengerenyitkan dahi.

**

Hans duduk di atas kasurnya, masih berselimut seakan malas untuk melakukan apapun. Hari ini adalah hari minggu, namun karena kejadian semalam para suster memilih untuk membiarkan anak-anak di kamar, memberikan mereka waktu.

Matanya melihat adik-adik kecilnya yang tengah asik bermain, seolah mereka telah melupakan kejadian semalam. Wajar memang, mereka masih berumur enam sampai tujuh tahun, masa-masa di mana bermain merupakan pelajaran yang sesungguhnya.

**

Matanya menatap kosong dan pikirannya menerawang tanpa arah, membayangkan semua kenangan yang ia habiskan selama berada di panti. Ia tidak mengingat secara pasti berapa lama ia berada di sini, yang ia ingat hanya tiga tahun lalu ia terbangun di kelilingi suster kepala dan Bernard. ingatannya tentang masa-masa sebelum itu kabur dan tak mampu ia ingat.

'tok tok'

Masih dalam lamunannya, pintu kayu tua yang menjaga kamarnya diketuk dari luar. Hans memalingkan wajahnya pelan, dan dengan malas ia berdiri kemudian berjalan ke arah pintu dengan ragu—Ia mengetahui tuan Atkinson berada di luar, suara kuda dan keramaian di luar panti terdengar hingga ke dalam kamarnya.

Beberapa langkah ini menjadi begitu panjang baginya, seperti setiap tahun yang ia lalui di tempat ini terulang dengan cepat. Langkahnya terhenti, anak-anak yang sebelumnya bermain pun terhenti dan memandang ke arahnya. Raut wajah mereka bingung, mengapa Hans terdiam mematung dan kebingungan.

Hans mengepalkan tangannya, memaksa dirinya untuk menjadi 'dewasa' dan mengambil langkah selanjutnya. Meski ia mencoba pada akhirnya ia kalah, ia hanya sepucuk daun kecil yang mengapung di samudra emosi yang membawa rasa, mengubahnya menjadi butiran yang jatuh di pipi. Air matanya jatuh, menetes tanpa suara.

Anak-anak yang lain hendak berdiri dan memeluknya, namun dengan sedikit memaksa ia berjalan keluar—dengan cepat dan tergesa-gesa.

Ketika ia keluar, dua pasang mata seketika tertuju ke arahnya. Entah dari mana ia mengetahuinya, tuan Atkinson kemudian berdiri dan berucap ringan,"Selesaikan dengan cepat, aku menunggumu di luar!" Kemudian ia berjalan keluar meninggalkan Hans yang sudah basah oleh air mata dan kesedihan.

"Suster.."

"Selamat tinggal!" Kemudian ia berbalik, meninggalkan sang suster yang sudah menangis. Hans sadar betul, ia ingin memeluk sang suster untuk terakhir kali, setidaknya merasakan sekali lagi pelukan hangat sosok 'ibu' yang selalu menjaganya.

Ia hanya khawatir, bila ia memeluknya, ia tidak akan mampu meninggalkan tempat ini. Bocah itu berlari, menabrak suster Pudji yang hendak masuk ke pintu.

"Hans!" Teriak suster Pudji yang sudah terbiasa dengan gerak-gerik Hans yang selalu di luar ekspetasi. Suster Pudji jugalah yang paling sering memarahi Hans, dan tentu ia pula yang selalu membela Hans bila terjadi masalah.

Hans berlari ke arah kereta kuda yang berada di depan panti, kereta hitam itu kini telah siap untuk pergi. Suster kepala mengikuti Hans dari belakang juga dengan tergesa-gesa, wakil suster yang lain tak pernah melihat suster kepala dalam keadaan seperti ini.

Ketika Hans hendak masuk ke dalam kereta kuda, dua tangan mendekapnya dari belakang, tepat ketika ia hanya satu anak tangga lagi sebelum memasuki kereta kuda. Saat itu pula punggungnya di basahi air mata suster kepala yang membenamkan kepalanya di punggung kecil itu.

"Bila kau ingin pergi, setidaknya biarkan aku memelukmu sekali lagi nak!" Air mata Hans mengalir deras di pipinya. Kedua tangan kecilnya masih berpegangan pada engsel di pintu kereta kuda, kepalanya tertunduk.

Suster Pudji berjalan pelan membawa tas berisi pakaian milik Hans, tak lupa ia membawa kotak makan kecil milik Hans. Ia kemudian meletakannya tepat di samping Hans kemudian berlutut dan menangis sambil menutupi wajahnya. Keduanya paling sering berseteru, dan keduanya juga sangat dekat.

'tch!'

"Selamat tinggal semuanya!" Hans berbalik dan memeluk suster kepala untuk terakhir kalinya, kemudian menghapus air mata sang suster dengan bajunya yang berlengan panjang. Membantu suster Pudji berdiri dan mengambil tas pakaian miliknya.

"Aku pasti akan kembali!" Matanya memandang seluruh panti untuk terakhir kalinya, ia dapat melihat suster Hany memeluk adik-adik kecilnya yang sudah berlinang air mata dan ingus. Ia melambaikan tangannya kemudian melompat masuk ke dalam kereta kuda.

"Kau sudah siap?" Tanya tuan Atkinson.

Hans hanya mengangguk kemudian membuka jendela kereta itu,"Suster kepala, sehat terus! Yang lainnya juga! Kalian harus sehat terus, aku akan kembali dan mengunjungi kalian nanti! Aku janji!"

Ia berteriak keras seraya kereta mulai berjalan dan meninggalkan tempat itu, tanpa Hans sadari tuan Atkinson pun membuka jendela di dekatnya hanya sedikit saja, membisikan sesuatu ke empat biji buah asam di tangannya kemudian melemparkan keluar jendela.

Ke empat biji asam itu kemudian membelah tanah seolah menyelam di dalamnya, ke empatnya kemudian menembus tanah dan berpisah ke empat penjuru panti asuhan.

Tak seorang pun menyadari hal ini terjadi, sementara itu Hans masih melambaikan tangannya hingga panti asuhan tidak terlihat lagi—tertutupi oleh pepohonan yang tertutup salju. Ketika kereta itu menghilang dari pandangan suster kepala, suster Evelyn keluar dari halaman belakang, entah mengapa ia bersembunyi sedari tadi.