"Hmm.."
"...Dan?" Tanya seorang pria dengan baju zirah yang terbuat dari logam berwarna perak, aura suci menyeruak dari seluruh bagian tubuhnya.
Kesatria tua, Jeremy, terlihat antusias. Ia menceritakan semuanya pada sang Jendral. Sang kesatria suci Lionel Emmasse, kepala pasukan tertinggi di seluruh kerajaan Elim beberapa kali mengerenyitkan dahi.
Cerita terus terdengar, semakin lama ia semakin kagum dan berdiri, Jeremy memandunya keluar dari bangunan besar itu. Lionel berjalan menyusuri lorong dan melewati gerbang besar yang merupakan pintu masuk pangkalan militer itu, matanya jatuh ke sosok yang berada di bagian terdepan pasukan.
Di saat yang lain tengah menangis ia menjadi pemimpin yang menenangkan anak-anak yang lain, setelah mengamati sesaat ia merasa ada kemiripan di wajah bocah itu. Wajahnya berubah menjadi serius, jelas ia sedang berfikir, kemudian ekspresinya berubah menjadi terkejut.
"Wajahnya.."
"Amaril.." Tubuh sang Jendral bergetar, kesedihan menyeruak, terlintas wajah lugu dengan rambut hitam panjang yang tengah tersenyum ke arahnya.
"Amaril.." Tanpa sadar ia membisikan sebuah nama, Jeremy tersentak. Ia mengambil langkah mundur, ia sendiri tidak menyadari apa yang terjadi. Namun Jiha[1]di sekeliling sang Jendral menjadi tidak stabil.
Lionel bergegas berjalan mendekat, mengabaikan penghormatan dari beberapa kepala pasukan, ia langsung menghampiri Bernard.
Bernard yang tengah menolong anak-anak lain yang menangis menahan luka, terkejut, sepasang tangan mencengkram pundaknya kuat. Ia tidak bisa menggerakan tubuhnya, tubuh Bernard yang dapat mengalahkan lima belas seniornya sendirian tak berkutik melawan kekuatan di balik dua tangan itu. Matanya menengadah, ia mendapati sosok tinggi besar dengan bekas luka di leher dan wajahnya, Jendral tertinggi Kerajaan Elim Lionel Emmasse!
"Nak siapa ibumu?!" Tanya Lionel sambil mengguncangkan tubuh Bernard. Bernard yang masih terkejut tak menjawab. Ia masih belum tersadar dari rasa terkejutnya, di hadapan pria ini kekuatan dalam dirinya seolah bersembunyi ketakutan. Bukan hanya dia, bahkan seluruh anak yang lain telah kehilangan kesadaran karena jiha yang di pancarkan Lionel tanpa ia sengaja.
"Jendral! Kau akan membunuh anak-anak itu! Jiha tuan berbahaya bagi anak-anak ini!" Jeremy berlari dengan terengah-engah, berteriak mengingatkan. Hal ini pun baru ia alami, sang Jendral yang selama ini berdiri dengan dingin menghadapi ribuan musuh, berhadapan dengan Naga dan para pengabdi setan. Kini kehilangan kendali atas emosi dan jiha miliknya.
"Hmmmm.." Lionel tersentak, menarik semua jiha yang keluar dari tubuhnya, menarik nafas panjang. Hal itu membuat semua tekanan pada anak-anak dan Bernard berkurang drastis, Bernard menghela nafas dan melepaskannya. Keringat bercucuran, kekuatan dalam dirinya seakan kembali bangkit. Ia tersadar dan menjawab dengan gentar,"Aku tidak tahu tuan, aku bertumbuh di panti asuhan di kota Withered Pole City"
"Sigh.." Lionel menahan air mata yang mengintip di celah matanya, jiha miliknya menyelimutinya, membuat baju bersinar yang terbentuk dari energi semesta. Di baju zirah baru itu tertulis ribuan karakter yang tak Bernard mengerti, tak seorangpun menyadari, hal itu Lionel lakukan untuk menutupi air mata yang mengalir di dalam baju zirah bersinar itu. Baju zirah lengkap dengan helm yang berbentuk bulat di belakang dan mengerucut seperti kepala kapak di bagian penutup muka, dua buah sayap menempel di bagian atas juga tanduk bertingkat bertengger di bagian dahi helm itu.. Lionel memiliki Aksara yang telah membentuk sebuah kata, bersatu dengan tubuhnya dan memberikan ia zirah perlindungan.
"Nak! Mulai sekarang kau adalah ahli waris ku!" Ucap Lionel keras hingga menggetarkan seluruh pangkalan militer. Jeremy dan seluruh pasukan tersungkur di hadapan kekuatan Lionel,"Ahli Waris, apa yang sebenarnya terjadi! Siapa anak ini?!" Jeremy membatin penuh rasa terkejut dan gentar.
Lionel adalah seorang Jendral tertinggi, namun di saat yang bersamaan dia juga menantu raja. Memilih bocah yang baru ia temui menjadi ahli warisnya jelas sangat mengejutkan dan seakan mengacungkan tombaknya ke arah kerajaan!
**
Di dalam Kastil Misterius
"Han.. Han... Hantu!!"
"Tuan kita harus lari! Hantu itu akan membunuh kita!!" Ujar Hans panik.
"Tenanglah nak! Tenang!"
"Dia tak akan bisa menyakiti kita! Biar aku jelaskan terlebih dahulu!"
"Dia bukan hantu, dia Canabis. Teman baikku."
"Canabis sebelumnya adalah seorang pengguna aksara, mereka di kenal sebagai magi, namun ia kehilangan tubuhnya dan hampir mati, beruntung Uma miliknya tidak hancur, jadi ia masih memiliki kesempatan untuk bertahan meski aku pun tak tahu seberapa lama,"
"Baiklah, mungkin menceritakannya padamu justru akan membuatmu semakin bingung," Ujar tuan Atkinson, begitu ia senang di sapa. Ia berdiri, kemudian menutup kedua matanya. Tangannya membuat pola aneh di udara, tak berapa lama ruangan itu seperti berguncang, beberapa tumbuhan seperti bunga mulai tumbuh di atap dan di lantai ruangan.
Bunga-bunga itu kemudian melepaskan sari-sari yang berterbangan dan bersinar, kemudian membentuk gambar ilusi di udara. Mata Hans terpaku pada kejadian itu, tanpa sadar ia merasa di bawa ke sebuah dunia lain.
Ia melihat dua orang yang tengah bertempur dengan cahaya dan simbol-simbol yang melambung di udara. Bersamaan dengan munculnya simbol-simbol itu petir dan gempa terjadi, petir dan celah-celah batu terangkat. Yang satu memihak orang yang berada di sebelah kiri ia mengenakan jubah putih dengan buku di tangan kanannya dan yang lain sebaliknya berada di sisi kanan, terlihat ia menutupi wajahnya dengan topeng dan kain hitam yang menutupi seluruh tubuhnya.
Keduanya bertempur dengan sengit, masing-masing dengan simbol-simbol yang menari membentuk sebuah barisan yang berkelip-kerlip dengan kekuatan luar biasa dan hawa membunuh.
Tanpa sadar Hans meringkuk di bawah, menempelkan erat tubuhnya pada lantai. Ia merasa berada di antara pertarungan itu, ia ketakutan dengan apa yang terjadi. Pemandangan ini belum pernah ia temui sebelumnya, matanya masih memandang kejadian itu, terdengar suara tuan Atkinson seperti berbisik di telinganya.
"Simbol-simbol itu adalah aksara, sesuatu yang tumbuh dari benih Uma yang berada di antara bilik kanan dan bilik kiri dadamu,"
"Aksara adalah goresan penyampai doa, yang memiliki kekuatan menggerakkan semesta,"
"Tidak semua orang bisa memilikinya, tapi yang cukup mengejutkan kau memilikinya, meski belum memiliki uma,"
"Tapi aku dengan yakin dapat mengatakan kau akan memilikinya, karena kau bisa melihat Canabis, yang tebentuk sepenuhnya dari jiha,"
Bersamaan dengan ucapan itu, ilusi berganti menjadi sebuah gambar peperangan. Ribuan bayangan hitam dan manusia berhambur dan saling bertubrukkan, saling bunuh tanpa henti.
"Perbatasan.."
"Daratan ini berada dalam pertarungan terus menerus, manusia melawan manusia. Manusia melawan para ahengkara, manusia melawan para pengabdi setan dan mahluk dunia kegelapan,"
"Aku tidak akan menjelaskan semuanya, cepat atau lambat pun kau akan mengetahuinya,"
"Hanya saja, kerajaan Elim adalah kerajaan para kesatria, tidak ada akademi yang mengajarkan cara menggunakan aksara dan jalan untuk menjadi seorang Magi di tempat ini,"
"Pertemuan kita bukanlah kebetulan, bila kau mau aku akan membawamu ke kerajaan lain, di mana magi ada dan berkuasa!"
Pertempuran bertambah sengit, ribuan mayat manusia bergelimpangan. Darah memenuhi semua tempat, wajah Hans menjadi begitu pucat dan ketakutan. Ia hanya diam seolah tidak mendengar perkataan tuan Atkinson.
Sebuah bayangan hitam terlihat menutupi seluruh medan pertempuran, Hans tidak berani mengangkat kepalanya, bayangan itu memiliki dua sayap besar. Suara keras terdengar, seperti jeritan mahluk besar yang membuat tubuhnya bergetar. Meski dalam keadaan takut, ia berusaha mengangkat kepalanya. Ketika sosok pembuat bayang itu hampir terlihat,tiba-tiba pemandangan itu sirna, Hans kembali dalam ruangan yang sama. Ia pun, masih terbaring di atas lantai dengan penuh ketakutan, sedang Canabis tertawa di sudut ruangan.
"Canabis!" Seru Tuan Atkinson agak berteriak.
"Baiklah-baiklah!" Dengan malas Canabis menuruni tangga dan menghilang.
"Ambil ini!" Tuan Atkinson menyodorkan sebuah burung terbuat dari dedauan, burung itu terbuat dari dedaunan kering. Bentuknya tak lebih besar dari jali kelingking Hans, mata Hans masih kosong.
Rasa terkejutnya belum hilang, tak lama pria tua bongkok datang dan memandunya turun. Kejadian itu mungkin terasa sepintas, tapi matahari sudah bersiap untuk berpindah posisi. Langit berwarna kemerahan dan keunguan, akibat udara dingin langit menjadi penuh warna.
Darmono telah bersiap dengan kudanya, melihat pandangan Hans kosong ia berucap,"Hai nak, apa yang terjadi, ayolah! Mengapa kau melamun seperti habis melihat hantu saja!" Canda Darmono setelah beberapa ratus meter dari rumah tuan Atkinson.
"Aku benar-benar melihat hantu!" Umpat Hans dalam hati, ia kembali tersadar dan melihat kastil dan pohon besar yang makin lama makin mengecil dari arah pandangnya.
Ia melihat burung dari daun kering di tangannya, matanya menerawang, pikiranya melambung entah kemana. Sementara itu kuda yang di tunggangi ia dan Darmono melaju kencang melewati hutan, berharap mendahului malam dalam perlombaan mengejar waktu.
Pemandangan berganti dengan cepat, kilas-kilas bayangan matahari sore memaksa masuk melewati celah pohon pinus kering. Hans masih melamun sambil menggenggam kuat puncah baju Darmono. Sedang kuda cokelat itu berlari dengan cepat menembus salju dan matahari sore.
Beruntung sebelum malam mereka sampai kembali di pusat kota Withered Pole, perjalanan tanp istirahat itu menguras habis tenaga kuda tunggangan mereka. Kuda malang itu segera mencari air dengan mata yang memerah.
Hans berjalan masuk ke dalam bar, masih dengan ekspresi bingung. Meski terkesan tanpa fokus ia berjalan masuk dengan lancar ke dalam bar.
Ketika tubuh kecilnya memaski pintu belakang dengan bermalas-malas, paman Wiggin datang menyambutnya penuh senyum. Ia mengangkat Hans tinggi ke atas sambil tertawa riang,"Haha, Bocah! Terima kasih, Berkat kau aku menjadi orang kaya dalam semalam! Luar biasa, luar biasa!"
"Hei nak! Aku punya ide bagus, bagaimana bila aku mengadopsimu? Luar biasakan ideku ini?!" Tanyanya sambil tertawa keras, masih sambil mengakat tubuh kecil Hans. Ia menurunkan Hans dan bersiul-siul sambil menari mengelilingi bar kecil miliknya itu, seisi bar pun turut serta memeriahkan dengan memukul meja kayu dan benda-benda di sekitar mereka.
Hari itu, bar benar-benar ramai dengan nyanyian dan sukacita, ditambah dengan bir gratis untuk seluruh pengunjung yang menambah semarak. Meski paman Wiggin tetap paman Wiggin, masing-masing penunjung hanya boleh meminum satu sloki, tapi setidaknya ia sudah belajar memberi.
Terlepas dari semua keramaian, wajah Hans pucat dan ia terlihat seperti sakit,"Hei Bocah! Ada apa dengan wajahmu? Kau seperti habis melihat hantu saja! Hahaha!" Paman Wiggin yang telah lupa berapa banyak bir yang ia minum dan mulai mabuk, bukanya memerah dan matanya sayu seakan hendak tertutup kapan saja. Teriakannya itu disambut tawa seisi bar yang turut terbawa suasana.
"Kau tahu? Perhiasan yang orang tua tadi jual ternyata adalah perhiasan yang amat berharga! Bukan hanya mahal! Sangat mahal! Aku membawanya ke toko salah satu sahabatku yang menjual perhiasan mahal, dan ia menjamin perhiasan itu asli! Ditambah seisi tokonya pun tak mampu membelinya! Aku kaya! Aku kaya!" Ucapnya sambil menenggak tegukan bir berwarna kemerahan. Beberapa tetas ikut terciprat dari mulutnya.
"Tenang, kau pun mendapat bagian, tak perlu memasang wajah seperti itu! Ini semua berkatmu bocah! Haha kau benar-benar membawa keberuntungan!"
"Oh iya, oh iya! Aku lupa! Upah dan bonusmu akan ku berikan lewat cara biasa ke panti asuhanmu oke?!"
"Sekarang pergilah! Ini satu rupia untukmu! Belilah makanan yang enak! Tenang ini di luar upah-mu!" Perlu di ingat satu rupiah cukup untuk membeli satu karung beras untuk makan satu bulan. Paman wiggin benar-benar sedang bahagia dan memberinya begitu banyak.
"Tumben sekali..?" Hans menimbang-nimbang koin di tangannya dan bergegas pulang, bila ia terlambat suster kepala pasti akan menggantungnya!
Hans berjalan keluar dan menyusuri lorong kota, salju berjatuhan di sana-sini, sepertinya malam ini akan turun salju dengan lebat. Ia berlari tanpa lupa membeli roti panas dari toko roti ketika ia pulang, di belinya satu kantung penuh dan masih tersisa beberapa sen.
Jalan ke panti gelap, dan jarang di lalui orang. Hans berjalan sambil melihat ke kiri dan kenan, suara kebisingan kota kini lenyap. Hanya terdengar siulan angin dan burung hantu yang saling bersaut-sautan. Namun ia terhenti, matanya memandang bekas roda di atas salju.
"Roda? Bukankah jalan ini buntu dan hanya menuju ke panti asuhan?!"
Ia mendapat firasat buruk, kemudian berlari cepat sambil memeluk kantung roti di dadanya. Hanya beberapa saat kemudian ia mendapati panti di penuhi kereta kuda, puluhan pasukan berjaga di sana.
"Mereka ini siapa?!"
"Suster!" Ia berlari melewati penjagaan para Kesatria, matanya memerah dan hendak menangis. Pikirnya terjadi sesuatu pada keluarga kesayangannya itu.
"Suster! Bear!" Ia berteriak, para penjaga itu melihat ia bingung, ketika ia melewati barigade penjagaan langkah cepatnya melambat, kemudian terhenti.
Suster kepala tengah duduk di teras panti, di seberang tempat duduknya seorang pria dengan pakaian bangsawan duduk dan memancarkan aura dingin. Hans bisa merasakannya dengan jelas, hingga tanpa sadar ia mundur satu langkah ke belakang. Namun pria itu tersenyum ke arahnya, di antara suster kepala dan pria itu, Bernard duduk dan menundukan kepala.
"Bear!" Hans memberanikan dirinya dan maju, suster kepala yang semenjak tadi diam memberi Hans pandangan penuh arti 'berlakulah dengan baik!'.
Hans memelankan suaranya dan berdiri di samping Bernard,"Ada apa ini?!" Bisiknya.
Bernard hanya melihatnya dan kembali menunduk, pria itu kemudian berbicara.
"Nona suster kepala, Bernard merupakan anak dari isteriku yang telah menghilang sembilan tahun yang lalu. Aku mencarinya sampai ke kerajaan lain dan tidak menemukannya, tanpa aku tahu, ternyat anak ini berada di kerajaan ini sedari dulu!" Ketika pria itu melihat Bernard, pandangannya berubah seketika, penuh cinta dan penyesalan.
"Aku telah gagal selama beberapa tahun ini, jadi biarkanlah aku menembusnya dan membantunya beranjak dewasa!" Tambahnya.
"Jendral," Ujar suster kepala pelan, namun matanya menatap tajam pria di hadapannya. Meski mengetahui pria di hadapannya adalah pimpinan militer tertinggi kerajaan Elim, suster kepala tak sedikiti pun takut, cara ia berbicara dan memandang bermaksud menunjukkan rasa hormat.
"Fakta bahwa anak ini adalah anakmu sudah cukup kuat untuk menjadi alasan membawanya pergi bersamamu."
"Hanya dengan begitu masa depannya menjadi lebih baik! Aku berharap anda menjaga Bernard dengan baik!" Tambah suster kepala dengan lembut, tangannya mengusap kepala Bernard penuh kasih sayang.
"Suster kepala aku ingin tetap dis-" Belum sempat Bernard menyelesaikan ucapannya, suster kepala memeluk tubuh Bernard sambil menangis. Seketika semua suara terdiam, Hans di sisi lain mengepalkan tangannya. Kepalanya tertunduk, hanya suara tangisan suster kepala dan Bernard yang terdengar.
Bagi suster kepala, Bernard dan anak-anak lainnya tak ubahnya darah daging yang ia lahirkan sendiri. Ia menjaga mereka, merawat mereka dengan sepenuh hati. Sang Jendral terdiam, ia berdiri dan memberikan Bernard waktu. Berjalan turun dari teras panti yang bertingkat seperti panggung ia berjalan masuk ke dalam kereta kuda megah berwarna perak, membiarkan pintunya terbuka agar Bernard bisa masuk nanti.
Anak-anak panti yang lain berjalan keluar dan memeluk Bernard, mereka menangis. Bernard merupakan anak yang tertua di panti, anak pertama yang tiba di panti asuhan. Ia menjaga semua adik-adiknya seperti adiknya sendiri, meski Sang Jendral memaksa agar panti di pindahkan ke pusat kerajaan, namun suter kepala menolak. Meski begitu ia tetap menerima bantuan makanan dan penjagaan oleh para prajurit.
Hans naik ke atas loteng, menolak mengucap salam perpisahan pada Bernard. Bernard hanya memandang ke atas atap, tempat Hans berdiri sambil memegang puncak atap kayu panti asuhan.
"Hans! Aku akan menjadi kesatria! Kemudian kembali untuk melindungi kalian semua!" Ujarnya keras, namun tidak mendapat jawaban. Hans hanya menahan rasa sedihnya, mengepal tangan kanannya erat.
Ketika bayangan kereta kuda dan para pasukan menghilang, mulailah menetes air matanya. Tangisan tanpa suara, perpisahan dua saudara!
Cahaya membelah realita, membagi bumi dan langit. Dua saudara bertatap muka, namun rindu diam, tak berani memberi balasan ucapan akan pertemuan untuk kedua kali.
Hans tertidur di loteng tempat ia biasa mengunci diri, suasana panti penuh rasa sedih dan hening. Anak-anak yang lain pun memilih tertidur di kamar mereka, menyelimuti diri dengan selimut hangat yang di bawa oleh Jendral dan tentaranya.
Ruang makan di penuhi berbagai makanan, lumbung mereka di penuhi gandum dan padi. Namun tak terlihat sedikitpun keceriaan. Para suster panti pun menangis di dapur, berusaha saling menguatkan satu sama lain.
Hanya suster kepala yang terdiam, ia mulai memasak dan membuat suara panci memecah keheningan.
**
Hans memandang burung daun di tangannya, mengingat perkataan tuan Atkinson sebelum ia meninggalkan tumah misterius itu.
"Aku akan meninggalkan kerajaan ini tiga hari lagi. Pikirkanlah matang-matang sebelum menentukan pilihan!"
Hans duduk bersila, di pangkuannya buku tua lusuh tergeletak. Sementara tangannya masih meneliti burung daun yang ia pegang.
"Baiklah! Aku akan mencari tahu, rahasia tentang siapa ayah dan ibuku!"
Ia membulatkan tekadnya, kemudian berjalan turun. Anak berumur sembilan tahun itu kini tak lagi terlihat sedih, ia menuruni tangga dengan percaya diri. Berjalan ke arah tungku perapian, dan meleparkan burung daun itu.
'Ssessh'
Bunyi daun kering terbakar itu terdengar samar, percikan api di tungku itu tiba-tiba membesar. Tak lama dua bola api timbul dan saling berputar, kemudian berubah menjadi sepasang burung yang berkejar-kejaran. Tiba-tiba keduanya melesat naik dan bertabrakan, kemudian menghilang.
Hans terkejut, ia terdiam. Memandang ke kanan dan ke kiri, memeriksa apakah ada yang melihat kejadiannya. Namun di luar dugaan, hanya suster kepala yang melihat ke arahnya.
"Apa yang terjadi? Mengapa kau terjatuh?" Ujar sang suster, Hans melepaskan nafas lega, kemudian menggeleng dan berjalan masuk ke kamarnya. Bocah itu tak pernah menyadari, pilihan yang ia ambil akan membawanya ke tempat yang tak pernah ia pikirkan!
**
Di Rumah Misterius
"Sink!" Percikkan api muncul entah dari mana, tuan Atkinson yang tengah membaca buku tersenyum. Kemudian menutup bukunya, dua percikkan itu kemudian berubah kembali menjadi dua ekor burung api yang berputar-putar dan masuk ke dalam jari tuan Atkinson.
"Canabis! Besok pagi-pagi siapkan kereta kudaku dan kita jemput anak itu!" Tuan Atkinson berucap, dan berjalan ke arah tangga gelap, tangga itu berjumlah ribuan anak tangga, orang akan ke bingungan ketika memasukinya. Namun tuan Atkinson hanya berjalan santai, namun tiba-tiba sudah berada di dasar tangga. Ia membuka pintunya, dan sosok wanita yang tengah tertidur sambil meminum cairan berwarna hijau menyambut pandangannya. Cairan itu masuk lewat akar-akar yang menembus jantung dan menyuntikan secara perlahan cairan hijau yang misterius.
"Ye'ni," Ucapnya pelan seraya mengusap permukaan kristal yang melindungi tubuh wanita itu, mata tuan Atkinson di penuhi rasa sedih, terlihat rasa cinta yang begitu besar di sepasang pupil abu-abu milikya.
Ia berjalan sedikit menjauh dan menyusuri lorong itu lebih dalam, ketika ia sampai disebuah pintu, ia mendorongnya, dan mendapati ribuan demit[2] terjerat ribuan akar dan perlahan mengering, teriakan mahluk jahat itu terdengar ke seluruh ruangan. Setelah para roh jahat itu mati, akar-akar itu masuk ke dalam tanah dan sebuah bunga mekar dengan lima kuncup yang serupa dari pusat mahkotanya.
Catatan Kaki:
[1] Jiha: adalah kata sansekerta yang berarti jiwa.
[2] Demit: makhluk halus yang jahat dan suka mengganggu manusia; roh jahat.
Terimakasih banyak!