Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 4 - Aksara 2a, Piniji Madyantara

Chapter 4 - Aksara 2a, Piniji Madyantara

"Jiha adalah jiwa dari semesta yang tinggal dalam tubuh manusia yang memberikan mahluk fana itu kekuatan untuk menggetarkan langit dan mengguncangkan bumi!"

~Fidelis Atkinson        

- Di Sekolah -

Bernard memandang kedua tangannya, semenjak ulang tahunnya yang ke sembilan beberapa bulan lalu ia merasa sesuatu bergelora dalam tubuhnya. Ia merasakan sebuah kekuatan besar mengalir dalam pembuluh darah dan setiap jaringan otot badannya. Ia memandang dengan bingung ke tangan dan lengannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?!"

Ia masih dalam lamunannya, namun suara kaki kuda dan hentakan keras terdengar dari luar ruang kelas. Ia beranjak dari tempatnya berdiri dengan mendorong mundur kursi kayu tempat ia duduk menjauh dari meja dan bergegas menuju jendela.

Matanya menelisik halaman sekolah yang cukup luas. Di gerbang sekolah terlihat puluhan pasukan berkuda lengkap dengan zirah perak masuk ke halaman sekolah dengan barisan yang rapi dan teratur. Pemimpin pasukan kecil itu adalah seorang pria tua yang juga dalam baju zirah, namun berwarna hitam berkilau.

"Kami datang membawah titah raja, yaitu untuk berkeliling ke seluruh daerah kerajaan untuk melakukan seleksi kesatria. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya."

"Seluruh rakyat harap mendengar titah ini!" Pria tua itu melemparkan tatapan ke sekeliling. Pandangannya tajam dan membuat setiap orang yang melihatnya menjadi takut, semua orang tertunduk dan mengambil posisi dengan betumpu pada kaki kanan sedangkan kaki kiri mereka tertekuk ke tanah.

"Hendaknya raja bertitah!" Saut semua orang yang berada di sana, guru dan para murid-murid yang lain, tak terkecuali Bernard. Ia pun kemudian berjongkok dan bertumpu pada kaki kanannya, sedang lutut kirinya menyentuh lantai kelas.

"Rakyatku!"

"Perjuangan kita belum selesai!"

"Oleh sebab itu mereka yang telah mencapai umur sembilan tahun akan di uji, kemudian mereka yang lulus akan menjadi pasukan atau bahkan kesatria!"

"Keluarga yang ditinggalkan akan menjadi tanggung jawab kerajaan!"

"Titah selesai!" Pria tua itu membacakan titah sambil berdiri, bahkan para kesatria yang lain pun ikut berjongkok dan mengambil posisi penghormatan.

"Semua anak laki-laki yang mencapai umur sembilan tahun harap berkumpul di sini!" Ujarnya dengan tegas, disambut ratusan suara langkah kaki yang bergegas memasuki halaman sekolah.

Bernard tentunya tidak berani melawan perintah raja, ia berjalan keluar kelas. Ratusan pasang mata saling curi pandang, melihat siapa saja yang memasuki halaman sekolah. Bernard menyadari adik-adiknya dari panti asuhan melihat ke arahnya dengan khawatir. Ia tersenyum dan mengayunkan tangannya, seolah berkata 'aku tak apa'.

Seluruh peserta ujian dadakan kini berdiri di tengah halaman luas, bahkan Clearence dan gerombolannya tidak luput. Namun berbeda dengan wajah cemas para orang biasa, para anak bangsawan justru terlihat sumringah dan percaya diri.

"Heh, akhirnya saat ini datang juga. Aku akan menunjukkan pada mereka perbedaan antara bangsawan dan rakyat jelata!" Clearence memandang sekeliling dengan penuh kesombongan.

"DENGAR!" Suara pria tua itu terdengar begitu keras, Bernard baru menyadarinya ketika ia memasuki halaman sekolah. Seperti ada sebuah atmosfir yang membuat bulu kuduknya berdiri, terutama ketika ia semakin dekat dengan sang pria tua.

"Maju persatu mulai dari barisan yang terdepan!" Ujarnya keras, begitu keras hingga membuat telinga pendengarnya perih. Mata Kesatria tua itu memandang bocah yang berada pada barisan pertama, bocah melonjak karena terkejut, kemudian jalan dengan takut ke arahnya.

"Lebarkan ke dua kakimu!"

"Bungkukan tubuhmu, bayangkan sedang menunggangi kuda!" Ujar sang Kesatria tua, sambil membenahi posisi bocah itu dengan tongkat hitam di tangannya. Dengan gugup bocah itu mengikuti perintahnya, ia menyesuaikan diri dengan tongkat pemandunya.

"Tarik nafas!"

"Pusatkan nafasmu pada bagian di antara perut dan dadamu!" Ujarnya lagi dengan nada tegas, seraya ia berjalan mendekat dan meletakkan tangannya pada bagian diafragma bocah itu.

Tangan kesatria tua itu di lingkupi cahaya, yang ketika menyentuh bagian di antara perut dan diafragma sang bocah. Membuat anak itu mengejang dan hampir-hampir terjatuh.

"Tahan!" Teriakan itu membuat sang bocah menjadi takut, ia memaksa tubuhnya tetap berdiri meski wajahnya layu—pucat seperti kekurangan darah.

"Tarik nafas dan tahan pada bagian yang ku perintahan tadi!" Matanya tak meninggalkan tubuh bocah itu, tak lama berselang terjadi kejadian yang luar biasa. Cahaya bermuncul dari dalam tanah, dari udara dan sekeliling. Cahaya itu berkumpul di bagian diafragma bocah itu.

Bintik-bintik cahaya itu kemudian membentuk sebuah bola kecil dan masuk ke dalam tubuh bocah itu, di-iringi teriakan kecil.

Cahaya kini menyelimuti tubuh bocah itu, keringat bercucuran di keningnya. Anak-anak yang lain menelan ludah dan tertegun, di ikuti tatapan serius para guru. Mereka tentunya telah sering melihat pemandangan seperti ini. Setiap tahunnya kerajaan akan mengirimkan perwakilan untuk membantu anak-anak mendapatkan 'Jamahan Semesta'. Atau pristiwa yang baru saja terjadi, di mana anak-anak melewati batas windu dari hidupnya dan berhak mendapatkan kesempatan untuk merasakan jamahan dari seluruh jagad raya.

Hal ini telah menjadi bagian kehidupan mereka, terlebih ketika perang terjadi, hal ini bahkan di lakukan dua kali satu tahun.

"Tubuhnya lemah, meski mampu memiliki jiha namun masih membutuhkan latihan keras! Baiklah, selanjutnya!" Ujar Pria tua memberi evaluasi singkat.

Kali ini adalah giliran seorang bocah dengan rambut pirang, bocah yang tidak asing lagi. Berbeda dengan peserta upacara 'Jamahan Semesta' yang terlihat gugup dan takut, Clearence justru tersenyum pecaya diri yang sarat dengan keangkuhan juga kesombongan.

Clearence berjalan dengan berani meski begitu di dalam hatinya ia sendiri pun gugup. Tanpa basa-basi ia mereganggkan kakinya, mengambil posisi kuda-kuda seperti bocah sebelumnya.

"HA!" Clearence berteriak keras bersamaan dengan tegapnya posisi kuda-kudanya, terlihat jelas bahwa ia terbiasa melakukan ini. Matanya coba mengintip ke arah Kesatria Tua, mencari apakah pria itu terkejut.

"Hmm.."

Namun sayang, wajah sang Kesatria tua tetap datar tanpa ekspresi,"Sombong!" Pria tua itu berkomentar dalam hati. Tak menunggu lama pria tua itu maju dan meletakkan tangannya di antara perut dan dada Clearence.

"Wa!"

Para guru dan anak-anak lain yang menjadi penonton dan beserta melepaskan suara terkejut, cahaya yang menyinari tubuh Clearence lebih terang dari peserta sebelumnya.

"Hehe, inilah perbedaan antara bangsawan dan rakyat jelata!" Masih berdiri dengan kuda-kudanya, ujung bibir Clearence merekah penuh senyuman.

"Akan ku tunjukkan yang lebih lagi!" Ia kemudian memusatkan perhatiannya, dan cahaya di sekelilingnya menjadi lebih pekat.

Clearence masih sibuk dengan dirinya, ia tidak menyadari sepasang mata memandang ke arahnya. Bernard mengamat-amati dengan cermat,"Ah! Begitu rupanya, punggung harus tegak!"

"Kaki harus kokoh seperti gunung!"

Tanpa sadar Bernard menunutup matanya, sambil membungkuk dan mengikuti gerakan Clearence. Tak seorang pun menyadari apa yang Bernard lakukan, kecuali Kesatria tua.

"Aku seakan menyatu dengan lingkungan sekitar, aneh. Apa ini?"

Ketika ia menutup matanya, ia merasakan kehangatan menjalar pada diafragmanya. Bersamaan dengan itu, lingkungan sekitarnya juga menjadi lebih hangat seperti embun yang menempel pada tubuhnya ia merasakan kesegaran luar biasa.

Bernard tidak menyadari, seluruh tubuhnya di penuhi cahaya. Pada awalnya hal itu memang tidak menarik perhatian, hingga sesaat cahaya mulai bermunculan dan berpusat pada Bernard. Peserta lain yang tengah berfokus pada Clearence melihat beberapa bercak cahaya tertarik dari tubuh Clearence. Cahaya-cahaya itu melewati barisan para peserta, sambil mengikuti arah gerakan bintik-bintik cahaya mereka membalikan kepala.

"WAHHH!!!" Teriakan penuh rasa terkejut terjadi secara bersamaan di seluruh barisan peserta dan guru-guru.

"Luar biasa! Ia mendapat 'Jamahan Semesta' tanpa bantuan dari orang lain!" Kesatria tua itu benar-benar terkejut. Ia tentu bukan orang sembarangan, ia meninggalkan medan pertempuran beberapa tahun lalu untuk pensiun. Kemudian ia di tugaskan untuk membantu para bocah-bocah di seluruh kerajaan membangkitkan jiha dalam tubuh mereka yang di pilih oleh semesta.

Namun, hal seperti ini baru pertama kali ia alami.

"Jiha, ia adalah jiwa dari jagat raya itu sendiri.."

"Sepertinya, semesta memilihnya!"

"Piniji Madyantara!"[1]

Seperti halnya angin, jiha mengitari tubuh Bernard membentuk sebuah pusaran yang besar. Perlahan peserta yang lain menjauh dari Bernard, mereka merasa takut akan kejadian yang terjadi dalam radius lima puluh meter itu.

Karena begitu terpaku pada pemandangan di hadapan mereka, bahkan sang Kesatria tua pun tak menyadari, langit terbuka!

Awan yang yang sebelumnya berkumpul, membuat langit menjadi teduh kini bergeser seperti membuka jalan bagai cahaya dari langit. Cahaya berjatuhan dari langit, tak lama seluruh akademi menjadi begitu terang.

Kesatria tua itu menengadah, tubuhnya bergetar, ia merasakan sebuah kekuatan yang memaksanya menyembah. Ia melawan agar tidak membungkuk dan mempermalukan dirinya.

Keringat bercucuran, seluruh tubuhnya bersimbah keringat. Beruntung ia mampu melawan karena memang ia bukanlah orang sembarangan, namun kesatria muda lain yang mengikuti dia tak kuasa menahan kekuatan tak kasat mata itu dan berlutut di hadapannya.

Bukan hanya mereka, tapi seluruh guru dan peserta lain, bahkan seisi akademi.

"Ini!" Mulutnya benar-benar menganga, tak sedikitipun ia mengerti apa yang tengah terjadi.

**

Clearence merasakan rasa senang dan bangga, ia telah berhasil membentuk Uma [2] dan kini memiliki jiha. Ia berfikir bahwa ketika membuka matanya ia akan melihat semua orang terkejut ketika memandangnya.

Ia membuka matanya, dan ia mendapati semua orang terkejut ia makin sumringah.

"Hahaha.." Ia tertawa dalam hatinya, namun ketika lama ia mengamat-amati ia menemukan bahwa pandangan semua orang bukan tertuju padanya.

"Eh ada apa ini?!" Tanpa ia sadari ia pun membalikan kepalanya, dan apa yang ia temukan mencengangkan dia.

"BERNARD!" Ia hampir-hampir berteriak namun menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Bagaimana mungkin! Dia hanya yatim piatu dan orang miskin!"

**

"Perasaan ini benar-benar menyenangkan!" Bernard berujar, matanya membuka peralahan. Ketika matanya terbuka, kumpulan asap menyambut pandangannya. Konsentrasi jiha disekelilingnya sangat pekat, mereka bergerak-gerak seperti ombak besar dan Bernard hanyalah ikan kecil yang berenang di antaranya.

Tangannya berusaha meraih ombak-ombak jiha yang bergelora bak tirai besar yang mengelilinginya, ketika ia menyentuhnya, ia terkejut karena ia meraih kekosongan— seakan itu tak ada di sana— Namun perasaan yang ia rasakan tidak demikian, ia seperti berada di dalam pelukan suster kepala—ia yatim, pelukan suster kepala tak ubahnya pelukan orang tua baginya.

Ia menarik nafas panjang, membuat seluruh jiha seperti terhisap masuk ke dalam tubuhnya. Jiha itu yang sebelumnya seperti ombak yang hanya mengelilinginya, kini mebentuk angin puting beliung yang berputar mengitari seluruh tubuhnya. Beberapa saat kemudian ia melepaskan nafasnya, udara mengalir keluar dengan deras dari mulut dan hidungnya.

"BOOOOM!!"

Bersamaan dengan itu, jiha yang sebelumnya seperti tertarik masuk itu ikut terhempas dan membuat beberapa orang di dekatnya terdorong. Bahkan menimbulkan suara dentuman kecil ketika mencapai titik terkuatnya, meski begitu kejadian itu tidak berbahaya.

"Dia itu Bernard kan?"

"Ia dia bernama Bernard, murid dari kelas yang ku ajar!" Guru pengajar Bernard berbisik dengan guru lain. Sementara peserta yang lain masih terdiam, mereka masih terjebak dalam rasa terkejut.

"Siapa namamu nak?!" Kesatria Pria itu bertanya sambil berjalan ke arah Bernard.

"Bernard!"

**

"Baiklah! Untuk semua yang memiliki jiha dan memenuhi kriteria dasar untuk menjadi prajurit ikuti kami!"

"Berjalan dalam barisan! Kita ke barak!" Ujar Kesatria tua sambil memimpin barisan berjalan paling depan.

Bernard bejalan mengikuti, ia berada di barisan terdepan, bahkan ia seolah tanpa sadar menjadi pimpinan para pasukan. Di sisi lain, Clearence berulang kali melemparkan tatapan tajam ke arahnya, tatapan penuh kecemburuan dan amarah!

**

Pusat Kerajaan,

[Pangkalan Militer, Kesatuan Kesatria dan Infantri]

Peserta ujian terlihat kelelahan, mereka berkeringat deras meski suhu begitu dingin. Salju membuat keringat mereka membeku, terlebih jarak dari kota Withered Pole hingga ke pusat kerajaan Elim mencapai beberapa kilometer sehingga gesekan antara kulit yang membeku dan sepatu membuat kulit mereka terluka.

Meski begitu mereka terpaksa harus tetap berdiri, sebagian berusaha menahan tangis mereka, sedang yang lain sudah menangis begitu rupa. Bernard tentu juga kelelahan, namun entah mengapa ia tetap merasa tubuhnya di penuhi tenaga, sehingga kelelahan ini bukan sesuatu yang berarti baginya. Ia berdiri sambil melihat sekeliling, pangkalan militer itu di penuhi aura yang membuat bulu kuduknya beridiri.

Aura darah dan kematian!

Ia terlihat tegang, matanya tidak berhenti memandang ke kanan dan ke kiri, terlebih ketika Kesatria Tua pergi meninggalkan dia. Kesatria tua itu ia kenal sebagai tuan Calvin Jeremy.

Calvin dengan tergesa-gesa meninggalkan lapangan pelatihan, ia berjalan dalam pakaian besi yang berderit setiap kali ia mengambil langkah. Memasuki bangunan besar, dengan dua bagian seperti segitiga lancip yang menjepit tombak besar. Markas besar pasukan Tombak Elim!

"Tuanku!"

"Hamba kembali seperti yang tuan perintahkan membawa para anggota kesatria dan prajurit baru!"

"Hmmm.." Suara datar tanpa ekspresi terdengerang dari balik meja, bersamaan dengan itu jiha seakan terhempas membasuh tubuh Calvin yang tengah membungkuk.

Catatan kaki:

[1] Piniji Madyantara : Piniji adalah bahasa sansekerta untuk dipilih, sedangkan Madyantara berarti alam semesta juga dalam bahasa sansekerta. Hal ini berarti Bernard memiliki tubuh yang dipilih oleh semesta/jagad raya.

[2] Uma: adalah bahasa sansekerta untuk benih. Di cerita ini Uma berarti benih-benih aksara, seorang magi harus memiliki uma sebelum bisa menggunakan jiha.