Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 3 - Aksara 1b, Pemilik Rumah Misterius

Chapter 3 - Aksara 1b, Pemilik Rumah Misterius

Withered Pole adalah sebuah kota kecil di pinggiran daratan Eden, kerajaan Elim. Sepanjang jalan menuju ke sekolah, sekumpulan bocah berjalan dalam naungan pepohonan besar yang tinggi hingga membuat cahaya matahari bersusah payah untuk menembusnya. Barisan anak-anak itu terlihat rapi dengan Bernard berjalan paling depan sebagai pemimpin barisan.

Hans berusaha menyusul, ia berjalan dengan sedikit cepat. Tak lama barisan itu memasuki kawasan pusat kota, orang-orang berlalu lalang, kereta kuda dan para pekerja memenuhi jalan-jalan kota. Pakaian para bangsawan dan rakyat biasa dapat terlihat jelas perbedaannya, para bangsawan mengenakan jas dengan warna seperti cokelat muda dan dan biru tua, yang perempuan mengenakan baju terusan dengan brokat dan gaun yang indah. Sedangkan para buruh mengenakan pakaian bengkel, sebagian mengenakan baju kodok yang berlumuran oli dan juga kotoran yang tak akan hilang meski dicuci berkali-kali. Untuk para pengemis terutama yang mengidap penyakit mereka diharuskan tinggal di pinggiran kota dan tidak diperkenankan memasuki kawasanan perkotaan.

Di beberapa sudut juga terlihat anak-anak menggunakan topi pet[1] dengan pakaian lusuh, mereka mengenakan jaket tebal untuk melawan dinginnya hari itu— hari-hari awal musim dingin— di balik pakaian tebal dan lusuh yang mereka kenakan terdapat tubuh kurus dan tulang-tulang yang hanya berbalut kulit tanpa daging. Anak-anak panti pun mengenakan pakaian musim dingin mereka, anak-anak yang mereka lihat tidaklah bersekolah. Mereka meski baru berumur antara delapan sampai dengan lima belas tahun, namun mereka tidak mengenyam dunia pendidikan dan memilih menjadi buruh. Tentu mereka memiliki orang tua, namun justru mereka yang memaksa anak-anak ini bekerja. Para pengusaha menyukai para pekerja di bawah umur karena bayaran mereka murah, meski resiko kecelakaan di tempat pekerjaan menjadi lebih tinggi.

Hans merupakan salah satunya, meski begitu ia selalu melakukannya tanpa sepengetahuan suster kepala. Hasil yang ia dapat pasti ia titipkan pada paman Wiggin, yang kemudian pria tua itu berikan ke panti dalam bentuk sumbangan.

**

Mereka sampai di sekolah, memasuki halaman dan pintu gerbang besar yang terbuat dari batu-batu kokoh. Sekolah itu adalah sebuah kastil tua yang di sumbangkan keluarga kerajaan sebagai tempat untuk anak-anak penduduk kerajaan di kota Withered Pole mengenyam pendidikan. Ketika mereka hendak masuk, sepuluh orang anak-anak lain berdiri di pintu gerbang, mereka sepertinya sedang menunggu sesuatu.

Barisan itu memasuki gerabang dengan teratur, Bernard membuka jalan di ikuti adik-adiknya dari belakang. Semuanya masuk tanpa halangan dan gangguan, namun ketika giliran Hans tiba, kesepuluh anak tadi menutup gerbang dengan tubuh mereka.

"Berhenti!"

"Kau pikir bisa masuk begitu saja setelah kau memukulku kemarin?!" Tanya seorang pemuda berambut pirang cerah, matanya berwarna biru, ia lebih tinggi dua puluh centimeter dari Hans. Hans mendongak melihat sosok tinggi di hadapannya,"Apa mau mu?!" Tanya Hans ketus.

"Anak-anak, hajar dia!" Ucap pemuda tinggi nan tampan itu, tangan kanan dan kiri Hans di pegangi oleh antek-antek si anak tampan. Bocah tampan itu tersenyum jahat, ia meregangkan buku-buku tangannya, menggoyangkan bahu kanan dan kirinya. Tangan kanannya terangkat tinggi, ia hendak memukul Hans tepat di hidungnya, namun tindakannya terhenti.

"Clarence! Jangan paksa aku!" Suara dingin terdengar di telinga pemuda tampan bernama Clarence, asap terlihat di sisi kanan wajahnya akibat nafas dan suara yang beradu dengan dinginya udara pagi itu.

Terlihat wajahnya ketakutan, Clarence menengok kebelakang. Wajah Bernard yang tidak ramah, disisipi amarah di sana-sini membuat ia bergetar kecil, meski dengan mata sipit, tubuh besar Bernard membuat Clarence takut.

"Lepaskan dia dan aku akan biarkan kalian!" Ujar Bernard sambil menggretakkan jari-jari tangannya, bocah lainnya menelan ludah. Mereka tentu menyadari, kekuatan Bernard sang 'Beruang', Bernard adalah legenda, di mana ia menghajar sepuluh orang seniornya yang jauh lebih besar darinya seorang diri.

"Ta.. Tapi..." Clarence hendak membantah, namun rasa takutnya mengalahkan dia. Ia mundur dan lari terbirit-birit di ikuti para anak buahnya. Bernard memandang mereka hingga menghilang ke dalam gedung sekolah. Bernard terlihat lebih tua satu atau dua tahun dari Hans, hal ini tidaklah jelas karena tidak ada surat yang menyatakan tanggal kelahiran mereka.

"Terimakasih Bear!" Ucap Hans sambil membenahi pakaiannya.

"Tak masalah! Dasar mereka itu, anak-anak keluarga bangsawan! Selalu semena-mena pada kita rakyat jelata! Kurang ajar!" Bernard terlihat kesal, wajahnya memerah ketika ia memendam amarah. Hans lah yang paling mengetahui seberapa kuat Bernard sesungguhnya. Ia pun tidak mengerti bagaimana bocah yang berumur tidak lebih dari sepuluh tahun ini menghajar pemuda berumur lima belas tahun, ditambah lagi jumlah mereka sepuluh orang!

**

Pelajaran dimulai, Hans seperti biasa ia berusaha keras untuk memahami tulisan di buku-buku yang diberikan padanya, namun ia tidak pernah berhasil membaca. Meski dalam hal tanya jawab ia tidak pernah salah, mengingat apa yang gurunya ucapkan padanya adalah sebuah hal mudah baginya. Ia mengingat semuanya, dari mulai perkataan ketika pertama kali sang guru masuk hingga kebiasaan-kebiasaan yang bahkan guru-gurunya tidak sadari.

"Sebentar lagi ia pasti menggaruk balakang telinga kanannya.." Ujar Hans pelan, sambil mengamati gerak-gerak wanita paruh baya yang tengah mengajar di depan kelas. Nona Fransiska, seorang guru biologi, benar saja tak seberapa lama guru wanita itu menggaruk telingannya. Hans juga memiliki hobi lain yang cukup unik, ia suka mengamati orang lain, atau lebih tepatnya ia suka mengamati manusia. Mengamati bagaimana mereka berinteraksi, bagaimana mereka berbicara satu sama lain, mengamati kebiasaan dan cara bicara mereka. Ia mempelajari semuanya, bahkan ia memiliki sedikit kemampuan untuk mengetahui ketika seseorang tengah berbohong.

"Ekpresinya terlihat kaku, tangan kanannya menggaruk tangan kirinya,"

"Wajahnya terlihat sedikit malu ketika menjelaskan tentang ayah dan ibunya,"

"Ia menutupi sesuatu," Ujar Hans ketika melihat bocah kurus yang tengah berbicara dengan teman di belakangnya, ia terlihat malu ketika ditanya apakah ayahnya seorang buruh dan ibunya adalah pembantu.

Kemampuan Hans mengamati dan mengingat sangatlah baik. Namun, memang sungguh mengecewakan ia tidak mampu membaca, simbol-simbol yang tertulis adalah musuh besarnya. Ia melihat tulisan itu saling melompat dan bertukar posisi, sehingga sangat sulit untuk di hafalkan artinya.

Pelajaran pun berakhir, jam sekolah hanya berlangsung tiga jam, mulai pukul tujuh hingga pukul sepuluh. Hans membereskan perlengkapannya, ia kemudian melompat melewati jendela, menggendong tas selempang miliknya. Berjalan membungkuk berusaha tidak terlihat oleh seseorang, ia berlari melewati lorong di dekat tembok belakang sekolah, memanjatnya.

"Plak!"

"Aw! Sakit!" Pekiknya, terlihat pelipisnya memerah, bahkan terdapat luka disana. Matanya memburu, melihat ke arah dari mana batu itu datang.

"CLARENCE!" Ia berteriak, melihat sosok yang tak asing dan dua puluh anak buahnya di belakangnya. Sepertinya Clarence belum menyerah dengan balas dendamnya, Hans hanya bisa menahan amarah dan melompat turun ke arah lainnya dan berlari keluar sekolah.

"KEJAR!!" Ujar Clarence sambil berlari mengejar Hans, namun ketika kelompok itu sampai disisi lain tembok, sosok Hans sudah lama hilang.

"Sial! Cepat sekali perginya anak itu!" Ujar Clarence, sambil menendang krikil di pinggir jalan.

**

Hans berlari sekuat tenaga, melihat kebelakang beberapa kali hingga akhirnya menabrak kuda penarik jerami.

"Brukk!"

"Aduh!!" Jeritnya menahan sakit.

"Hei bocah! Jangan berlari di tengah kota! Lihat-lihat kemana kau hendak pergi!" Seorang kakek tua mengomel dari atas gerobak pembawa jerami itu. Melihat Clarence kehilangan jejaknya, Hans dengan cepat meminta maaf dan kemudian melanjutkan perjalanannya, ia menyusuri jalan utama kota, lautan manusia memenuhi jalan kota siang itu. Hans sampai di depan sebuah kedai dengan botol besar menggantung di atas papan besar yang bertuliskan 'Wiggin's Bar', tanpa sedikit pun keraguan ia masuk, namun ia masuk lewat pintu belakang. Hal itu karena orang-orang dewasa akan mengusirnya bila tau seorang bocah memasuki bar, yang notabene adalah tempat orang-orang 'dewasa'.

"Hai Paman!" Ujar Hans mengagetkan pria tua yang tengah membersihkan meja bar siang itu.

"Aih! Hei Hans bisakah kau berhenti melakukan itu!" Paman Wiggin memberikan tatapan tajam, Hans mengangguk sambil tersenyum, kemudian meminta maaf.

"Maaf paman Wiggin, baiklah aku akan mengulanginya! Eh tidak akan mengulanginya maksudku!"

"Hei Paman, Bernard bilang kau punya pekerjaan baru?!" Tanya Hans, kini wajahnya serius.

"Hmmp! Dasar kau ulat kecil!"

"Tunggu dulu, lihat ke sana!"

"Pria dengan topi hitam dan pakaian necis dan perempuan di seberang mejanya," Bisiknya kecil, sambil merangkul Hans dengan antusias.

"Bagaimana menurutmu?" Tanya Paman Wiggins lagi.

"Hmm.."

"Telinganya bergerak-gerak, ia antusias sekali,"

"Aku tidak mengerti ekspresinya, wajahya memerah, matanya sayu seperti mabuk,"

"Sedangkan nona bergaun merah di seberangnya, pupilnya mengecil, alisnya naik tepat di ujung. Dahinya terangkat, meski hanya sesaat dan ia coba tutupi dengan senyuman,"

"Nona itu merasa jijik?" Tanya Hans ragu dengan terkaannya, hal itu wajar, ia masih muda dan belum mengenal konsep nafsu dan tipu daya.

"Hahaha, tidak buruk. Kau akan mengerti nanti bila sudah dewasa!" Ujar Paman Wiggin sedikit terkejut dan kemudian tertawa.

"Sekarang coba lihat, pria berjanggut di pojok ruangan!" Hans mengikuti jari sang Paman.

"Ia sedang menawarkan perhiasaan dengna harga murah, tapi tak ada yang percaya padanya karena terlalu murah!" Paman Wiggins memegang dagunya sambil mengamat-amati.

Hans memfokuskan pandangannya, mempelajari setiap detil dari pria berjanggut itu.

"Sudut luar alisnya menurun, pipi kanan dan kirinya pun terlihat terdorong keluar,"

"Ia sedih, kesulitan dan kelelahan.."

"Tapi, matanya penuh cahaya dan kepercayaan diri, jangan bilang.."

"Paman Wiggins, cepat beli perhiasaannya, ia berkata jujur.." Ujar Hans dengan percaya diri, kemudian mengambil gelas kayu dari rak milik sang Paman, mengisinya dengan air dari tong kayu yang berada di pojok bar.

"Halo pak, minum dulu!" Hans menawarkan dengan ramah, wajah polosnya membuat sang pria tersenyum.

"Ah.. Ah.. Terimakasih nak!" Pria berjanggut itu mengusap kepala Hans kecil dan menerima gelas kayu dari tangannya.

Hans berbalik, kemudian berjalan kembali ke arah Paman Wiggin. Tentu ia tidak lupa dengan tujuan awalnya, ia tidak menyadari saran yang ia beri pada sang paman akan mengubahkan hidup pemilik bar itu.

"Hei Paman, Bernard bilang kau punya pekerjaan baru?!" Tanya Hans, dengan wajah polos dan perhatian penuh, seolah setiap ucapan sang paman adalah masa depannya.

"Tentu saja aku punya pekerjaan baru, kali ini bayarannya cukup tinggi! 10 Rupia sekali kerja, hah, bagaimana?!" Ujar Paman Wiggin bangga, wajahnya sedikit menggoda Hans yang setengah melotot melihatnya.

"Benarkah? Pekerjaan apa yang mendapatkan 10 Rupia satu kali kerja?! Kau tidak menyuruhku menjadi pencopet bukan?!" Hans menaruh curiga pada pria tua itu, matanya memberi tatapan 'orang tua jangan main-main'.

"Ceeh! Tentu saja tidak, namun memang sedikit berbahaya. Bagaimana? Masih tertarik untuk mendengarnya?" Bantah pria paruh baya itu, yang sudah hampir terlihat seperti kakek-kakek.

"Tentu saja Paman, selama untuk membantu adik-adik dan suster di panti!" Ujar Hans dengan penuh percaya diri.

"Bagus! Pekerjaan kali ini adalah membersihkan cerobong asap salah satu bangsawan!"

"Meski seorang bangsawan keluarga ini lebih memilih hidup di dekat hutan, jauh dari keramaian! Bila kau menerimanya aku akan meminta kurir untuk mengantarmu ke sana dengan kuda, dia bahkan bersedia membayar ongkos kudanya hehehe," Senyum terlihat merekah di wajah pak tua Wiggin, bukan karena ia bisa membantu Hans, namun karena sang bangsawan bahkan memberi lima Rupia padanya sebagai ongkos mencari pekerja untuknya.

"Baiklah! Kapan aku bisa mulai bekerja?" Hans terlihat bersemangat, sepuluh Rupia cukup untuk membeli gandum selama satu bulan, atau bahkan lebih. Karena untuk keluarga sederhana dua Rupia sudah mampu mencukupkan kebutuhan mereka selama dua bulan. Bisa di bayangkan betapa besar bayaran yang ia terima kali ini!

"Baiklah!"

[Suara siulan]

Suara melengking terdengar ke seluruh bar, paman Wiggin menggunakan tangannya untuk membuat suara peluit dengan menempelkan jari telunjuk dan ibu jari pada ujung bibirnya.

"Ya boss! Kau memanggilku?!" Sorang pria berambut tipis dengan dan tubuh kurus dengan sigap berlari ke arah Hans dan Paman Wiggin.

"Darmono, tolong kau antar Hans ke tempat tuan Atkinson!" Sumringah, paman Wiggin berbicara dengan suara cukup keras. Pria yang disapa Darmono itu melihat ke arah Hans, menilai dia sekilas, kemudian mengangguk. Darmono merupakan salah satu orang dari suku Javana yang dibawa kesini sebagai pekerja kasar.

"Bocah ayo ikut denganku!" Darmono berjalan lebih dahulu, Hans mengikuti dari belakang, tak lama mereka sampai di kandang kuda di belakang bar milik paman Wiggin.

"Berpengangan yang kuat nak!" Ucap Darmono, ia memacu kudanya melewati keramaian kota, berbelok ke kiri ketika berada di pertigaan dan mulai bergerak ke arah hutan di kaki gunung. Pemandangan kota berganti dengan pohon-pohon yang menjulang, dan suara kicauan burung dan hawa dingin pun semakin menjadi, salju bertebaran, berserakkan di jalan.

"Haie Ho!" Darmono menggumam bahasa aneh sambil memacu kudanya. Bayangan kota kecil dan ribuan orang sakit di pinggir jalan terlihat, sebagian bahkan mati tanpa makanan dan karena dinginya musim dingin. Ketika ia hendak terbawa rasa sedih, kuda yang mereka tumpangi berlari tambah cepat.

"Umm, paman bukankah kita terlalu cepat?!" Hans memegang Darmono sekuat tenaga, khawatir bahwa ia akan jatuh.

"Tentu tidak! Rumah bangsawan itu tepat di kaki gunung, bila kita lambat mungkin besok kita baru bisa pulang, hutan ini akan sangat berbahaya ketika malam." Darmono berujar tanpa membalikan tubuhnya. Benar saja, perjalan membutuhkan waktu hampir dua jam, lebih dari lima sungai kecil mereka lewati. Berbagai jenis burung dan pepohonan mereka jumpai, hingga akhirnya sampai lah mereka di sebuah jalan setapak, yang aneh adalah udara menjadi hangat ketika mereka memasuki kawasan jalan setapak itu.

"Ini.." Hans yang menyadari perubahan suhu dan atmosfir sekitarnya terlihat bingung, dengan kemampuan observasinya yang di atas rata-rata tentu dengan mudah ia dapat menyadarinya. Namun, Darmono berbeda, ia mungkin terlalu lelah untuk menyadari suhu menjadi jauh lebih hangat, dan jalan pun tidak terdapat salju yang menutupi, selju dengan rapi tersusun membentuk tembok kecil di pinggir jalan.

Akhirnya keduanya sampai di halaman milik bangsawan itu, pohon besar terdapat di bagian tengah rumah, atau bisa dibilang kastil kecil itu. Terdapat tiga bagian dari kastil yang membentuk segitiga mengelilingi pohon yang bahkan lebih besar dari kastil itu sendiri.

"Luar biasa!" Hans tak mampu menahan rasa kagumnya, mulutnya melepas pujian tanpa ia sadari. Matanya kemudian memandang cerobong asap yang berada di sisi kiri ketiga bagian kastil yang berbentuk segi empat dan menjorok keluar dari bagian kiri tiap bagian kastil.

"Pantas saja bayarannya sangat tinggi!" Ucap Hans pelan, Darmono menambatkan kudanya di kandang kuda milik bangsawan pemilik kastil itu, tidak terlihat ada penjaga yang mengawal kastil yang besar ini. Keduanya hanya disambut seorang pelayan tua yang tubuhnya membunguk, sehingga ia seolah terkena osteoporosis.

"Ehmm!"

"Tuan sudah menunggu di ruang atas, siapa yang akan membersihkan cerobong asapnya?" Tanya pelayan tua itu, wajahnya penuh keriput dan alisnya meruncing melihat keduanya dengan tatapan dingin.

"Aku!" Ujar Hans, meski ia sedikit takut dalam hatinya. Ia memberanikan diri dan maju satu langkah ke depan, pelayan tua itu melihat Hans, dari kepala hingga kekakinya, tak lama ia menggeleng. Pelayan itu membawa Hans naik, sedangkan Darmono sudah tertidur di bawah pohon rindang, dengan tujuan menghimpun tenaga untuk perjalanan pulang nanti yang akan sangat melelahkan.

"Silahkan, masuk lewat pintu ini,"

"Ikuti saja lampu-lampu minyak yang menyala, tuan sudah menunggu diatas!" Pelayan itu berucap, membuka pintu dan mempersilahkan Hans masuk. Hans masuk melewati pintu yang pelayan itu buka, pintu itu memiliki dua daun pintu, satu terbuka dan yang lain masih tertutup.

"Clak!" Pintu tertutup dari luar, tak lama lampu meredup dan pelayan itu tak lagi Hans temukan. Hans tersentak, belum hilang rasa terkejutnya matanya disambut oleh ruangan yang redup karena tidak berjendela, penerangan hanya berasal dari lampu minyak yang menempel dengan rapi dan berbaris rapi di dinding.

'Kemana pak tua tadi..?!'

'Rumah ini mengapa terasa menakutkan,'

'Tampilan luar dan dalamnya sungguh berbeda..' Hans membatin, jelas saat ini rasa takut mulai menggeliat di hati kecilnya.

Hans menapakkan kakinya di anak tangga pertama, ia mengangkat kepalanya kemudian menengok ke bagian kanan atas tangga, terlihat di sana ada sepasang kaki yang hendak naik, tangga itu sedikit unik dimana bentuknya yang leter-l tertutup pada bagian atasnya oleh tembok dan hanya bagian bawah yang terlihat. Sehingga arah pandangannya terhalang dan hanya bisa melihat sepasang kaki dengan sepatu hitam.

"Oh kau sudah datang? Naiklah aku menunggu," Suara terdengar dari lantai atas.

"Baiklah!" Hans menjawab, ia kemudian bergegas menaiki tangga hendak mengejar figur yang sebelumnya ia temui, meski ia hanya mampu melihat sepasang kaki.

[Suara ketukan]

Kaki Hans membuat suara ketika beradu dengan papan tangga yang terbuat dari kayu, ia sampai di anak tangga ke sebelas, ia berbelok ke kanan dan hendak menaiki susunan tangga selanjutnya. Ia mengangkat kepalanya seraya kaki kirinya hendak membentur tangga, matanya perlahan menangkap sosok pemilik kedua kaki itu, ia pertama-tama melihat celana kain dan jas rapi yang ia gunakan, namun terdapat bercak darah di sana. Ketika ia mengangkat kepalanya lebih lagi untuk melihat lebih jelas.

"HA!"

Yang menyambutnya ialah, sosok tanpa kepala dan berlumuran darah melambai menghadap ke arahnya.

"AHHHH!!!!" Teriakknya kencang, meski begitu, kastil itu seperti menghalangi suara dari dalam. Darmono masih tertidur pulas di bawah pohon, pria itu bahkan tidak menyadari tempatnya tidur tidak terdapat salju, tempat itu seperti memiliki musim berbeda dengan daerah sekitarnya, tempat itu, penuh rumput.

Tubuh Hans bergetar kencang, matanya tertutup, ia tak berani membukanya lagi. Ia masih bergetar, namun tubuhnya kini mengejang, mematung bahkan ia tak berani untuk bernafas. Ia merasakan sesuatu menyentuh punggungnya, lampu-lampu minyak itu mendadak mati dan hanya satu yang menyala, hanya lampu di belakangnya.

"Tolong!!" Jeritnya dalam hati ketika ia hendak memaksa dirinya untuk membalikan badan, perlahan ia menggerakan kepalanya. Sambil perlahan membuka matanya, ketika ia membuka matanya sosok pria tersenyum kepadanya.

"Ah Tuan!" Ia melepas nafas panjang, sepertinya ia pemilik rumah ini dan menolongnya ketika ia berteriak. Namun lehernya terasa kering, ketika ia menurunkan pandangannya, pria itu tak memiliki tubuh, dan hanya kepala melayang dengan darah yang menetes di lantai, jatuh dari leher pria itu.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH!!!" Hans berteriak sekuat yang ia bisa, dan kemudian kehilangan kesadaran.

"Gedebuk!"

Tubuhnya terjatuh dilantai, tak lama suara langkah kaki terdengar dari ruangan atas.

"Hei Canabis! Apa yang kau lakukan!!" Teriak seorang pria paruh baya dengan terburu-buru, ia berteriak pada kepala dan tubuh yang mengelilingi Hans yang kehilangan kesadaran.

"Aku tidak tahu, aku hanya penasaran dengan siapa yang akan membersihkan cerobong asapmu,"

"Dan aku menemukan bocah kecil ini, namun yang mengejutkanku adalah anak ini mampu melihatku tuan!" Ujar hantu itu pada pria paruh baya puncak anak tangga, pria itu berambut abu-abu, dengan kacamata dan rambut tersisir rapi ke kanan. Tubuhnya tinggi dengan kemeja yang di balut dengan swetter berwarna biru tua.

"Ia bisa melihatmu?" Pria itu sedikit terkejut kemudian membawa Hans naik, ia menggendongnya dan membaringkan dia di atas sofa bulu berwarna putih gading.

"Ambil kan air!" Perintah pria itu pada sang hantu.

Hantu itu dengan patuh memerintahkan tubuhnya mengambil air dari meja, membawanya dengan kemampuan aneh sehingga gelas itu melayang, dan sampai di tangan pria pemilik kastil. Pria itu kemudian menepuk bahu Hans dan membangunkannya, tak lama bocah malang itu terbangun.

Kepalanya terasa pusing akibat rasa terkejut yang benturan dengan tangga sebelumnya, kemudian matanya melihat sosok pria di hadapannya,"AHHHHHH!!! SETANNNNN!!!!! TOLONG AKUUUUU!!"

Hans berteriak sekuat tenaga, ia mengira pria di hadapannya adalah setan yang ia bayangkan. Pria itu terkejut akibat suara Hans dan melemparkan gelas ditangannya.

"Tenanglah nak,"

"Tenang!" Ujar pria itu sambil memegang kuat bahu Hans, bocah itu memeriksa sosok di hadapannya dari atas hingga ke bawah, dan kemudian berucap,"Jadi anda bukan hantu?!"

"Bukan!" Jawab pria itu.

[Melepas Nafas]

"Untunglah bila begitu," Ujar Hans, ia memalingkan wajahnya dan kemudian berteriak lagi.

"Han.. Han... Hantu!!"

"Tuan kita harus lari! Hantu itu akan membunuh kita!!" Ujar Hans panik.

"Tenanglah nak! Tenang!"

"Dia tak akan bisa menyakiti kita! Biar aku jelaskan terlebih dahulu!" Pria itu berucap dengan sedikit bingung, berusaha mencari cara paling mudah untuk menjelaskan semua ini.

[1] Topi semi bundar yang digunakan oleh detektif kenamaan Sherlock Holmes hingga pencopet di stasiun kereta..