Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 2 - Aksara 1a, Panti Asuhan

Chapter 2 - Aksara 1a, Panti Asuhan

Kota Withered Pole, Elim

Di sebuah bangunan dengan dinding batu bata dan cerobong asap yang mengepul, menembus udara dingin di luar ruangan yang dipenuhi oleh karpet putih dingin yang terbentuk oleh salju. Seorang anak laki-laki bersembunyi di loteng bangunan itu, ia bersembunyi sambil memeluk kaki-kaki kecilnya.

"Aku sudah mencobanya.."

"Namun huruf-huruf itu tidak beraturan, aku tidak dapat memahaminya mereka semua terlihat sama.."

"uhuk.." Kepalanya menyentuh lantai, tangan kanannya meremas dadanya yang sesak akibat rasa sedih. 

Air matanya menetes, membasahi sebuah buku lusuh di tangan kirinya yang menopang tubuhnya, buku itu berisi begitu banyak tulisan dan banyak hal yang kedua orang tuanya tulis untuknya. Pada masa ini, ingatan dan sebuah kejadian hanya bisa diwariskan dalam gambar dan kata. Satu-satunya memori tentang kedua orang tuanya tertulis di buku lusuh yang tak dapat ia baca.

"Hans!!"

"Hans!!"

"Cepat turun!"

"Kau lagi-lagi bolos sekolah ya?!"

"Hari ini kau tidak mendapat makan malammu!" Ketika ia masih menangis dalam diam, suara ibu suster kepala panti asuhan terdengar dari lantai bawah.

".."

"Untuk apa aku ke sekolah bila tidak ada satu pun yang dapat aku mengerti.." Ia mempererat genggamanannya pada buku tebal di tangannya, membenamkan kepalanya di antara kedua kakinya. Ia dikenal sebagai anak bermasalah, pembangkang dan suka melawan. Namun sedikit yang mengetahui, itu hanyalah pelarian, dan pengalihan dari dirinya yang kesepian dan tertekan.

Waktu berlalu dengan cepat, awan menjadi gelap dan suara burung hantu terdengar samar-samar. Panti asuhan itu terletak di pinggir kota yang berbatasan langsung dengan hutan. Di musim dingin seluruh hutan menjadi putih oleh karena salju yang menyelimutinya.

"Grukkk.. Grukkkk.." Suara perut Hans terdengar, tubuhnya sedikit bergetar karena hawa dingin menyerang tubuh laparnya. Ia adalah seorang anak yang keras kepala, ia tidak ingin turun dan mempermalukan dirinya karena kelaparan, sehingga ia menahan diri dan tetap di sana.

Suara langkah kaki terdengar, keadaan loteng sangat gelap dan menyeramkan, jaring laba-laba dan barang-barang tua yang rusak memenuhi seluruh ruangan. Suara langkah kaki itu semakin kuat, mendekati Hans yang masih bersandar dengan lemas di salah satu lemari tua di pojok ruangan tepat— di sebelah kaca dengan cahaya bulan yang menembusnya.

Seorang bocah lain berdiri di hadapannya, karena gelap dan posisi Hans yang tengah duduk di lantai ia hanya dapat melihat celana dan kaki bocah itu,"Hans, makanlah!" Ucap sosok yang berada di depannya.

Bocah itu adalah Bernard, matanya yang sipit dan kulitnya yang putih ia dapatkan dari sang ibu yang adalah warga keturunan suku di daerah timur, rambutnya tersapu kekiri dan terpotong dengan rapih. Ia juga merupakan salah satu yatim piatu yang tinggal disana, dan ia adalah teman terbaik Hans.

Ketika suara itu terdengar, Hans mendongakan kepalanya. Sinar bulan menyinari wajahnya, rambut cokelat gelat dan matanya yang cokelat terlihat penuh kesedihan. Wajahnya yang pucat itu tetap terlihat lucu dan menawan. Tubuhnya jauh lebih kecil dari bernard, dengan kulit putih orang-orang dari utara.

"Bernard, terima kasih.." Hans mengambil roti dari tangan Bernard dan memakannya, air matanya terlihat membuat matanya menjadi berkaca-kaca. Hans masih berumur delapan tahun, tubuhnya kurus karena kurang nutrisi. Rambutnya panjang dan tidak terurus, memberikan kesan berandal dan nakal, nama lengkap Hans adalah R.M. Hans Swarawidya, setidaknya itu yang tertulis di sana—di buku tua-lusuh miliknya.

**

Hans masih mengunyah roti pemberian Bernard perlahan, sambil mendengarkan ocehan sang kawan. Sebagai kawan terbaik Hans tentu Bernard mengetahui masalah yang ia alami, berusaha menyemangati Bernard berseloroh:

"Tidak apa kawan, aku rasa setiap orang memiliki sesuatu yang tidak dapat ia lakukan,"

"Contohnya saja,"

"Aku tidak bisa berjalan dengan mata tertutup.." Ucap Bernard dengan polos.

"Aku juga tidak bisa!" Hans melihat sambil memakan roti yang diberikan padanya.

"Oh oke, yang lain. Hmmm, aku tidak dapat memanjat pohon dengan tangan terikat!" Tambah Bernard masih belum menyerah.

"Sigh.. Aku juga tidak bisa melakukan hal mustahil seperti itu!" Hans melihat teman baiknya itu sedang menggaruk kepalanya, meski begitu perkataan Bernard memberi arti tersendiri baginya.

"Aku hanya bercanda Hans, haha!" Ujar Bernard sambil tersenyum memberi semangat.

"Ayolah turun, kita beristirahat, sekarang sudah larut malam!" Ujar Bernard sambil menguap menahan kantuk. Mendengar ucapan Bernard, Hans kembali menunduk. Hari ini ia kabur dari sekolah dan menyelinap masuk ke panti asuhan. Ia kerap kali bersembunyi di loteng untuk menenangkan diri.

"Bernard.. Bisakah kau bacakan buku ini untukku? Kau sudah lancar membaca bukan?" Tanya Hans pada Bernard.

"Huh..."

"Hans, aku tidak bisa membacanya, tak ada tulisan di sana. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku benar-benar tak bisa melihat apa-apa di sana!" Bernard menggeleng, wajahnya sedikit sedih dan bingung.

"Maafkan aku.."

"Oh iya! Tadi paman Wiggin mencarimu." Ucap Bernard mengalihkan pembicaraan sambil membantu Hans berdiri.

"Benarkah? Apa katanya?" Tanya Hans lagi, sambil menepuk celana dan lengan bajunya yang kotor karena debu.

"Paman Wiggin bilang, ia punya pekerjaan baru untukmu!"

"Tapi Hans.." Bernard terlihat ragu.

"Bukankah kau tau, bila suster kepala mengetahuinya kau pasti akan di hukum berat lagi!"

"Bila ketahuan kau akan.." Ujar Bernard sambil memotong lehernya dengan jari telunjuknya.

"Tenang saja, aku tidak akan ketahuan!" Jawab Hans sambil menatap mata Bernard yang melotot ke arahnya, yang meskipun tetap saja ia terlihat sipit.

"Kenapa kau tertawa?!" Tanya Bernard ketika melihat Hans menahan tawanya.

"Kau itu sedang melotot?" Hans justru balik bertanya, masih meringis menahan tawa.

"Tentu saja, kau tidak lihat betapa besarnya mataku terbuka!!" Ucap Bernard menjawab sambil menunjuk sepasang bola matanya.

"Hmmpp.. Hahaha, tapi yang terlihat, kau seperti sedang menutup mata!" Hans meledek Bernard sambil tertawa.

"Rasis! Kau bercanda keterlaluan!" Keduanya kemudian saling ledek dan tertawa sambil menuruni loteng. Hal itu adalah pemandangan biasa, terlepas dari kondisi fisik keduanya, dan gaya bicara mereka yang selalu saja dapat menemukan bahan ledekan dari antara keduanya mereka saling menjaga satu sama lain.

Keduanya menuruni anak tangga satu persatu sambil tertawa, namun memasuki lima anak tangga terakhir, yang letaknya setelah kelokan kekiri dan berbalik ke arah berlawanan. Pandangan mereka melotot, meski hanya sesaat. Bernard berdiri di depan Hans.

Bernard dan Hans menuruni satu persatu anak tangga dengan hati-hati, sebisa mungkin agar suster kepala tidak mendengar mereka. Namun semua itu sia-sia,"Eh! Suster kepala! Apa kabar?! Hari yang cerah ya?!" Celoteh Bernard asal, mencoba melunakan suasana yang justru memperkeruh suasana.

Hans hanya menunduk, tidak berani mengangkat kepalanya. Meski begitu ia mencoba memberanikan dirinya, namun belum sempat ia mengangkat kepalanya suara Bernard terdengar lagi. Namun kali ini bukan celotehan bodohnya yang terdengar, melainkan tangisan.

"Huk.."

"Huk.."

"Ssuster kepalaa.."

"Hanss.."

"Hans tidak bermasksud untuk membuatmu marah,"

"La.. Lagi pu..la ia telah menya..dar..i.. Kesa..lahannya,"

"Aku moh..on.. maafkanlah dia.." Bernard menyembunyikan Hans di balik punggungnya, ia mengangkat kepalanya, hatinya bergetar, perasaan yang tengah ia rasakan mendatangkan kehangatan untuk tubuhnya, seakan dinginnya musim dingin hari itu tak berarti bagi dirinya. Ia merasakan sesuatu yang telah lama hilang dari kehidupannya, kehangatan keluarga, baginya Bernard sudah merupakan saudara laki-laki baginya, keduanya tumbuh bersama di panti asuhan ini. Keduanya senasib— yatim piatu— oleh karena perang yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

Hans memegang ujung baju kodok milik Bernard, pelan tanpa tenaga, berusaha memintanya berhenti. Keduanya masih sangat belia, sehingga ia masih bingung akan apa yang harus ia perbuat.

"HANS kemarilah!" Suster kepala sedikit membentak, sontak keduanya sedikit bergetar dan menunduk. Hans hendak beranjak dari posisinya berdiri, namun Bernard berusaha menahannya pelan, ia tahu bahwa Hans pasti menerima pukulan lagi di bokongnya hari ini.

"Tak apa Bear," Bisiknya pelan, bear adalah panggilan yang di berikan Hans padanya. Hans kemudian berjalan melewati Bernard, menuruni anak tangga perlahan, seperti domba hendak masuk penjagalan.

"Tidak Hans! Tidak!" Jerit Bernard seakan Hans mau mati, seakan suster kepala adalah hewan buas yang hendak menelan sahabatnya Hans, Bernard melakukannya bak aktor hollywood, terlalu berlebihan.

"BERNARD! Kembali ke kamarmu!!" Suster kepala tidak lagi mampu menahan amarahnya, semua kekesalannya meluap, dinginya udara tidak dapat membenung lahar panas dari hati sang suster kepala. Bernard terlihat enggan, namun ia tetap turun dan kembali ke kamar.

"Hans! Duduk!" Perintah suster kepala, tegas, tajam dan tak terbantah, suara nyaring suster kepala ketika memberi perintah sangat lekat dalam benak anak-anak panti asuhan.

"Kau mau bicara sesuatu?!" Suster kepala bertanya, seakan Hans berada di ruangan introgasi, tiba-tiba lampu minyak mulai meredup dan suhu udara menurun akibat angin yang menyusup lewat sela-sela jendela, namun keringat mulai bermunculan di kening dan punggungnya. Pada masa ini listrik merupakan sebuah fasilitas yang hanya bisa dinikmati kaum bangsawan dan orang-orang kaya. Sedangkan orang-orang miskin sudah sangat beruntung memiliki uang untuk membeli minyak, bahkan tak jarang ratusan orang meninggal di pinggir jalan akibat udara dingin.

"Aaku minta maaf.." Ujar Hans terbata, air matanya perlahan menetes di meja kayu pinus yang terasa dingin akibat udara musim dingin. Tangannya terkepal, tubuhnya sedikit bergetar, ia adalah seorang anak yang keras kepala, meski begitu ia menyerah, melawan suster kepala bukanlah hal yang baik. Ia menyerah, pasrah, dan hal itu justru membuat dahi sang suster mengkerenyit sebelah.

Anak kecil di hadapannya ini memiliki tingkat keras kepala sekeras berlian, tak perduli dihajar berkali-kali ia tidak akan melunak. Namun hari ini ada sesuatu yang berbeda, ia mangakui kesalahannya.

"Suster kepala,"

"Bukannya aku tidak mau pergi belajar di sekolah,"

"Hanya saja,"

(Suara tangisan)

"Hanya saja, aku tidak bisa memahami sedikitpun dari simbol-simbol itu suster,"

"Mereka semua mengolok-olok aku, aku sudah berusaha sekuat tenagaku bu,"

"Tapi aku tidak bisa memahaminya sama sekali," Tangisan Hans makin tak terkontrol, kini suster kepala sudah kehilangan amarahnya. Ia marah bukan karena kejam, ia marah karena ia perduli, perduli akan masa depan anak-anak di panti asuhan ini.

Wajahnya kini terlihat juga menahan sedih, jelas Hans tidak menyembunyikan apapun. Ia menceritakan semua pengalamannya di sekolah, semua perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya, bahkan tak jarang mereka mulai mengeroyoknya karena Hans yang keras kepala cendrung melawan balik.

"Bahkan guru-guru melihatku dengan tatapan marah dan merendahkanku bu,"

"Mereka pikir aku malas, tapi tanpa mereka sadar aku selalu berusaha membaca dan belajar sepulang sekolah,"

"Bernard berusaha keras mengajarku dengan sabar, namun sangat sulit bagiku untuk bisa memahaminya bu,"

"Simbol-simbol itu seperti berterbangan dan berpindah-pindah, aku pun bingung dengan yang terjadi padaku. Mungkin mereka benar, aku mungkin memang anak terkutuk." Petir menyambar bersamaan dengan ucapan Hans, suster kepala terkejut, kemudian terlihat matanya berembun bahkan rintik hujan terlihat di sudut matanya. Ia berdiri kemudian memeluk Hans, rasa sakit yang Hans rasa terlalu besar untuk anak delapan tahun menanggungnya. Suster kepala sendiri pun tak tau pasti umur Hans, karena bahkan suster kepala tidak tahu dengan jelas kapan ia dilahirkan karena mereka adalah anak-anak korban perang. Mereka berasal dari berbagai belahan dunia, beberapa bahkan tidak memiliki nama ketika mereka datang.

"Hans, kau bukanlah anak terkutuk! Kau mungkin memiliki bakat yang lain!" Suster kapala memeluk Hans erat, tangisan Hans membasahi pundak suster kepala. Sebenarnya suster kepala pun sudah menyadari kelainan pada Hans, namun panti sama sekali tidak mempunyai biaya lebih untuk membawanya ke dokter atau ahli psikologis, yang pada zaman itu tentu masih begitu muda pengetahuannya tentang aspek kesehatan non fisiologis—kesehatan yang bukan berpusat pada tubuh namun pikiran dan intelegensi.

Tak lama Hans tertidur di pelukan Suster kepala, rasa lapar dan lelahnya mengalahkan dia. Ia tertidur lelap dan suster kepala menggendongnya ke kamar, disambut puluhan pasang mata yang memandang ke hadiran keduanya. Mereka memegang selimut terlihat khawatir, Bernard pun demikian. Mereka adalah saudara, tanpa keluarga sedarah mereka semua terlantar, sehingga mereka memandang satu sama lain sebagai saudara dan saling menjaga.

"Tak apa, ia hanya kelelahan," Kalian semua tidurlah, kalian harus bersiap untuk bersekolah besok.

Mendengar perintah suster kepala, tak sebutirpun keraguan tersisa dan semuanya tertidur pulas. Namun Bernard turun dan mendekati Hans dan suster kepala,"Suster kepala, Hans belum makan semenjak pagi. Apakah perlu aku bangunkan agar ia makan?" Bernard memberanikan diri untuk bertanya.

"Berikan saja ia susu ini ketika tidur, persediaan gandum dan roti kita sudah habis. Terlebih musim dingin tahun ini lebih buruk dari sebelumnya, mungkin aku pun harus bekerja untuk mencari tambahan membeli makanan kita," Suster kepala terlihat sedih dan bingung.

"Baik bu!" Bernard bergegas keluar, mengambil susu dingin yang direndam di dalam gentong di luar panti. Ia memakai jaket lusuh untuk menghindari dinginnya angin, kemudian mengambil susu yang hampir beku itu, kemudian memasukannya ke panci dan membawanya ke perapian di ruang membaca.

Sambil menjulurkan tangannya ia menghangatkan tangannya, menunggu susu dingin itu mencair dan menjadi hangat, sebelum memberikannya pada Hans. Tak lama berselang susu itu hangat dan ia membawanya masuk ke kamar, kemudian mulai meyuapinya sedikit demi sedikit ke mulut Hans. Anak-anak yang lain juga melihat hal itu dan memejamkan mata, tidur. Semua anak di sana dekat dengan Hans karena meski ia keras kepala, ia adalah anak yang baik, terutama pada mereka yang lebih muda darinya.

Badai es semakin menjadi, sambil menguap Bernard beranjak ke kasurnya. Masing-masing kasur di susun bertingkat dengan rangka kayu oak, malam berlalu begitu saja, dan hanya Hans yang di hantui mimpi buruk, sesaat sebelum pagi menjelang.

Keesokan Paginya~

Matahari bersembunyi di balik awan, udara pagi itu sangat dingin. Salju terlihat meninggi di pekarangan panti dan menutupi seluruh halaman depan dan belakang, anak-anak terlihat berjalan beramai-ramai keluar panti dengan memakai tas lusuh dengan model sederhana, seperti kantong yang di beri tali di dua sisinya.

"Kami berangkat!" Bernard memimpin anak-anak yang lain, hal itu karena ia memiliki tubuh yang paling besar di antara yang lainnya. Hans memakai topinya, topi woll yang menutup sebagian kepalanya seperti kupluk. Ia terlihat ragu, kemudian berbalik melihat suster Theresia (Suster kepala), dan dua suster lainya yaitu Mirana dan Pudji.

"Umm, suster kepala! Paman Wiggin mencariku, bolehkah aku bertemu dengannya?" Tanya Hans, kakinya menendang salju seraya menundukkan kepalanya, bertanya dengan malu-malu.

"Pak tua itu?! Hans kau jangan terhasut olehnya! Pekerjaan yang ia tawarkan seringkali berbahaya! Kau dengar? Bila ia memintamu untuk bekerja di tambang jangan terima! Kau mengerti?" Nada suara suster kepala meninggi, Hans tentu hanya mengangguk agar terhindar dari masalah.

"Baiklah bu, aku berangkat!" Hans begegas berlari kecil mengejar anak-anak yang lain. Suster kepala hanya menggeleng,"Mirana, Pudji! Sepertinya aku akan mencari pekerjaan juga hari ini, Pudji kau tetap di rumah dan jaga para balita! Evely akan ikut denganku" Ucap Suster kepala, di ikuti seorang suster lain yang keluar dari pintu tanpa mengeluarkan suara, ia Evelyn.

"Mirana kau carilah kayu bakar untuk perisapan memasak siang ini dan juga malam hari!"

"Baaiklah suster kepala!" Keduanya menjawab bersamaan, pada jaman ini panti asuhan seringkali kekurangan dana akibat uang kerajaan digunakan untuk membiayai perang. Sehingga para suster seringkali harus bekerja demi terus memberi makan anak-anak terlantar itu, semua di lakukan atas dasar kasih dan ketulusan.