(Keesokan Harinya)
Ketika matahari baru saja terbit. Penduduk Desa Hakka dikejutkan oleh suara kelompok prajurit berkuda. Mereka mengenakan armor dan senjata lengkap. Salah seorang diantara mereka membawa bendara berwarna hijau dengan lambang singa ditengahnya. Itu adalah lambang kerajaan Meitin.
Seluruh penduduk di kumpulkan di alun-alun desa. Mereka semua menunjukkan ekspresi bingung karena tidak ada kabar bahwa prajurit kerajaan akan berkunjung hari ini. Kepala desa pun tidak tahu apa-apa ketika ditanya oleh para penduduk.
Setelah seluruh penduduk desa dikumpulkan. Terdengat suara terompet. Hal tersebut dilakukan untuk menenangkan para penduduk yang masih ramai. Mendengar suara terompet, para penduduk akhirnya diam dan memperhatikan seorang prajurit yang membuka sebuah perkamen dan membacanya dengan lantang.
"PERINTAH DARI KERAJAAN PUSAT! KERAJAAN MEMINTA SETIAP DESA MENGIRIMKAN REMAJA LAKI-LAKI MEREKA UNTUK MENJADI PRAJURIT YANG AKAN MELAWAN PEMBERONTAKAN PARA PENYIHIR."
Suara gaduh memenuhi alun-alun desa. Saat ini memang banyak berita tentang serangan penyihir yang terjadi di ibukota. Namun para penduduk tidak pernah berpikir bahwa mereka akan melakukan perekrutan di setiap desa. Apalagi mereka menyebutkan remaja laki-laki yang berarti bahwa setiap laki-laki yang berusia 12-20 tahun wajib melaksanakan perintah tersebut.
Prajurit mendata setiap remaja di desa Hakka dan menaikkan mereka kedalam kereta kuda.
"Tolong jangan bawa suamiku!" (Perempuan Desa)
"Tidak. . . Jika anakku pergi siapa yang akan merawatku" (Wanita Tua)
"Bukankah prajurit ibukota sudah cukup untuk melawan para penyihir itu?" (Lelaki Desa)
"Benar! Kami tidak perlu mengikuti perintah tersebut!" (Remaja Desa)
Suara terompet kembali menggema. Kali ini kelompok prajurit tersebut menarik pedang mereka dan mengarahkannya kepada penduduk desa.
"Jika kalian melawan. Maka kalian akan dianggap sebagai pengkhianat!" (Prajurit)
Penduduk desa hanya dapat melihat dan pasrah dengan kepergian remaja lelaki yang dibawa oleh prajurit. Kemudian tibalah giliran Leo untuk menaiki kereta kuda.
Ketika ia akan memasuki kereta, ia melihat kedua orang tuanya sedang menangis. Kemudian ia melihat seorang gadis kecil yang sedang meronta di dalam pelukan ibunya.
"Tidak! Jangan bawa Leo!" (Lisa)
"Ayah. . . Ibu. . . dan. . . Lisa. . . Jaga diri kalian" (Leo)
Leo melangkahkan kaki dan memasuki kereta. Ia menahan ekspresi sedihnya karena tidak ingin melihat orang-orang yang ia cintai menjadi lebih khawatir akan dirinya.
"Tidak. . . Ibu. . . Lepaskan aku! Aku ingin bersama Leo. . . Tidak!" (Lisa)
Teriakan tersebut adalah suara terakhir Lisa yang didengar Leo.
***
(Pada Malam hari di Desa Hakka)
Kesedihan masih menyelimuti suasana desa. Pada hari itu tidak ada senyuman yang biasa menghiasi wajah para penduduk. Mereka semua berkabung atas kepergian remaja lelaki mereka. Salah seorang yang paling menderita adalah Lisa. Ia kehilangan seseorang yang sangat ia sayangi.
Setelah prajurit meninggalkan desa. Lisa kembali ke rumah dan mengurung diri di kamarnya. Ibunya berkali-kali mengetuk kamar Lisa sebari membawa makanan, namun Lisa hanya menjawab 'belum lapar'. Ibunya menyerah dan menaruh makanan di depan pintu kamar.
Lisa sedang duduk di atas kasur sebari memeluk lutut. Matanya merah karena menangis akan kepergian Leo. Ia tidak tahu lagi bagaimana menjalani hari-harinya tanpa Leo.
"PRANG!"
Ketika Lisa masih dalam lamunannya. Tiba-tiba ia mendengar suara keras yang berasal dari jendela kamar. Ia kemudian mencoba untuk melihat apa yang terjadi dan ternyata di depannya sudah berdiri seseorang yang mengenakan jubah merah. Ia tidak dapat melihat wajahnya karena ditutupi oleh tudung jubah tersebut.
Wajah Lisa memucat karena takut. Ia ingin berteriak namun suaranya tidak keluar. Entah mengapa tiba-tiba matanya terasa berat dan kesadarannya mulai menghilang.
"Tolong. . . aku. . . Le. . .o" (Lisa)
***