"Baiklah." (Ibu Lisa)
Ibu Lisa menunjukkan ekspresi serius. Dia mengeluarkan sebuah bola kristal dari balik jubahnya.
"Lisa, aku membutuhkan energi sihir yang besar untuk membuat obat yang dapat mengembalikan kerusakan ingatan. Bisakah kau mengirimkan seluruh energi sihirmu kedalam bola ini." (Ibu Lisa)
"Baiklah, bu" (Lisa)
Lisa menempelkan telapak tangannya diatas bola kristal, matanya terpejam sebari merasakan sensasi dan persiapan untuk mentransfer seluruh energi sihirnya ke dalam sana. Ini bukan lah perkara yang mudah untuk mengendalikan alur energi sihir.
Tubuh Lisa mulai dipenuhi oleh cahaya putih lembut, angin yang entah datang dari mana menggerakkan benda-benda ringan di dalam kamar Leo. Mereka merasakan sebuah energi sihir yang luar biasa.
Mata Lisa terbuka secara tiba-tiba dan cahaya putih yang menyelimuti tubuh Lisa berubah menjadi sinar yang sangat menyilaukan.
"Ugh. . ." (Lisa)
"Terus tahan seperti itu Lisa!" (Ibu Lisa)
"Berjuanglah Lisa!" (Leo)
"Sihirku. . . sudah. . . mencapai batasnya." (Lisa)
"Lisa!" (Leo)
Setelah mentrasferkan seluruh energi sihirnya, Lisa tak memiliki energi untuk berdiri sehingga ia terjatuh. Leo merespon dengan cepat dan menangkap tubuh Lisa sebelum membentur lantai.
Ibu Lisa mendekati Lisa dan menyentuh pipi anak perempuannya dengan halus.
"Kau sudah berusaha dengan baik, nak." (Ibu Lisa)
"Iya." (Lisa)
Bola kristal yang tadinya terlihat seperti bola kaca biasa, kini dipenuhi oleh cahaya putih. Ibu Lisa kembali memasukkannya kedalam jubah.
"Leo." (Ibu Lisa)
"Ya?" (Leo)
"Aku akan kembali ke markas para penyihir untuk membuat obat penawarnya dan memastikan mereka mengkonsumsi obat tersebut. Besok pagi, jika datang 10.000 penyihir dan mulai menyerang istana. Maka anggaplah aku gagal dan telah terbunuh. Jika itu terjadi, aku ingin kau melakukan sesuatu." (Ibu Lisa)
"Apa itu, bibi?" (Leo)
"Tolong jaga Lisa untukku." (Ibu Lisa)
Leo terdiam sejenak, ia merasakan keyakinan kuat terpancar dari mata ibu Lisa. Apakah ia akan mengucapkan kata perpisahan lagi? Ia telah merasakannya 8 tahun yang lalu dan ia tidak ingin merasakan perasaan yang sama. Namun kasus saat ini terbalik, bukan dirinya yang harus dibawa pergi, namun ibu dari teman masa kecilnya yang sering memarahi namun sangat peduli pada Leo.
Tapi adakah pilihan lain yang tidak merenggut orang-orang yang ia sayangi? Pada akhirnya Leo tidak dapat menemukan pilihan tersebut.
Untuk menanggapi kebulatan tekad ibu Lisa, Leo menjawab dengan mantap.
"Serahkan padaku." (Leo)
"Ibu. . . Jangan pergi." (Lisa)
"Lisa." (Ibu Lisa)
Kesedihan memenuhi kamar Leo. Lisa paham bahwa ibunya lah satu-satunya orang yang dapat menyelamatkan kerajaan. Ia tidak dapat menahan ibunya namun ia juga tidak dapat menahan kata-kata kecemasan saat itu.
"Ibu tahu ibu adalah orang jahat. Ibu tidak dapat menyelamatkanmu lebih awal dan saat ingatanmu telah kembali, ibu harus pergi menjalankan tugas berbahaya. Ibu minta maaf." (Ibu Lisa)
"Tidak, bu. Kau adalah ibu terbaik di dunia. Aku tidak marah sedikit pun pada ibu." (Lisa)
Ibu Lisa tersenyum. Namun tidak ada kebahagiaan dalam senyuman tersebut. Itu adalah senyuman pasrah dari seseorang yang telah bersiap untuk menghadapi kematian. Ia berbalik dan mulai merapalkan mantra.
"Lisa. . . Kau tahu. Kau merupakan kebahagiaan terbesar yang ibu miliki. Tetaplah hidup dan carilah kebahagiaan. Ibu tak memiliki banyak waktu. Selamat tinggal." (Ibu Lisa)
"Tidak. . . Ibuuu. . . Hwaaa. . . Kenapa? Kenapa semua orang yang kucintai harus pergi? Kenapa?" (Lisa)
Lisa mulai menangis. Ia memukul lemah dada Leo, berusaha melampiaskan perasaan frustasi dan kecewa, namun karena energinya telah habis. Maka pukulan menyedihkan itulah yang tercipta.
Leo hanya dapat membungkus Lisa dengan pelukannya. Kata-kata terakhir ibu Lisa terus terngiang di dalam kepalanya. Jagalah Lisa Untukku. . .
"Aku pasti tak akan menjaganya untukmu." (Leo)
***