(Setelah penyihir menyerah)
Ibu Lisa menceritakan segalanya.
Setelah ingatan para penyihir pulih. Mereka menangkap pemimpin mereka dan menyerahkannya pada raja. Ibu Lisa juga meminta perlindungan dan pengampunan bagi para penyihir karena mereka melakukan pemberontakan bukan karena keinginan mereka. Raja sempat bimbang namun Leo ikut meyakinkannya.
"Kurasa aku bisa mempercayai sang singa." (Raja)
Akhirnya para penyihir diampuni namun beberapa pemimpin yang mendalangi aksi pemberontakan tersebut akan dieksekusi. Mereka tenggelam dalam sukacita dan rasa syukur.
Setelah seluruh persoalan beres. Leo kembali ke kamarnya dan memberitahukan kabar yang sangat menggembirakan ini pada Lisa.
"Jadi, semuanya telah berakhir?" (Lisa)
"Ya, ibumu baik-baik saja dan tidak ada korban jiwa sama sekali." (Leo)
"Kita dapat kembali ke desa dengan aman?" (Lisa)
"Ya." (Leo)
"Kita bisa melihat sawah desa kita lagi?" (Lisa)
"Ya." (Leo)
"Leo." (Lisa)
"Ya?" (Leo)
"Kita bisa bermain di sawah lagi?" (Lisa)
"Kurasa lebih tepatnya kita akan bekerja disana." (Leo)
"Hehe. . ." (Lisa)
Senyum yang selama ini Leo rindukan terukir di wajah Lisa. Leo pun ikut tersenyum, ia akhirnya dapat kembali ke kampung halamanya. Sebuah desa yang sangat ia rindukan. Ia sangat ingin melihat wajah orang tua dan kerabatnya, entah sudah setua apa mereka. Leo tertawa dalam hati saat membayangkannya.
***
(5 tahun setelah penyihir menyerah)
Leo berlari menuju kerumahnya, ia baru saja selesai memanen kentang dan beberapa sayuran. Matahari sore menciptakan bayangan Leo yang sedang berlali seperti pemiliknya. Setiap orang yang ia lewati mengucapkan perkataan yang sama. Yaitu kata 'selamat'.
Baru saja ia mendapat kabar bahwa istrinya sedang mengalami pembukaan dan akan melahirkan, untung saja bidan desa berada dekat dengan rumah mereka. Leo langsung berlari begitu mendengat kabar tersebut.
Ketika telah sampai. Ia tanpa ampun membuka pintu rumah dengan kasar dan menuju ke kamarnya. Jika sang pintu dapat berbicara mungkin ia akan memaki Leo.
"Hah. . . Hah.. . Lisa!" (Leo)
Tubuh Leo dipenuhi keringat karena berlari setelah berladang bukanlah pekerjaan mudah. Leo melihat Lisa sedang terbaring dengan nafas yang terengah-engah. Kemudian disampingnya terdapat bidan tua, ia sedang menggendong sesuatu.
"Owaaaa. . ."
Suara bayi menyentuh seluruh sudut ruangan.
"Oh, Leo. Selamat ya. Anakmu laki-laki yang sehat dan tampan seperti dirimu." (Bidan Tua)
"Apakah itu anakku? Apakah sekarang aku menjadi seorang ayah?" (Leo)
"Hehehe. . . entah kenapa setiap ayah muda akan mengatakan itu. Tentu saja ini anakmu Leo. Lihatlah!" (Bidan Tua)
Leo mengambil bayi tersebut dari gendongan bidan tua dengan hati-hati dan melihatnya. Rambutnya merah seperti ibunya, namun bentuk mata dan hidungnya mirip seperti Leo. Benar apa yang dikatakan oleh bidan tua tadi. Anak ini tampan.
"Lihatlah Lisa! Rambutnya mirip sekali denganmu." (Leo)
Lisa tersenyum lemah mendengar hal tersebut. Tenaganya terkuras habis. Untuk tersenyum saja rasanya cukup memberatkan.
"Dan matanya mirip sepertimu, sayang." (Lisa)
"Terimakasih. . . Lisa. Terimakasih telah memberiku kebahagiaan." (Leo)
Leo menyerahkan anaknya pada Lisa kemudian ia merangkulnya. Lisa menyandarkan kepalanya ke pundak Leo. Mereka dipenuhi oleh kebahagiaan dan kehangatan. Sinar matahari sore ikut menambahkan kehagatan tersebut. Satu lagi senyum tercipta, di sebuah desa sederhana.