". . ." (Lisa)
Lisa menatap Leo dengan mulut terbuka lebar. Ia tidak dapat berkata apa-apa. Ingatan yang tiba-tiba kembali menghalangi otaknya untuk bekerja. Senang, bingung, sedih, rindu, dan terkejut, dadanya dipenuhi oleh warna-warni perasaan yang sulit dijelaskan.
Lisa kemudian tersadar kembali. Wajahnya memerah setelah melihat posisi apa yang sedang mereka lakukan saat ini.
"Kau berat Leo." (Lisa)
"Ah. . . Ma. . . Maaf." (Leo)
Leo segera bangkit. Ia menjulurkan tangannya untuk membantu Lisa berdiri.
"Aku bersyukur kau tidak apa-apa." (Leo)
"Terimakasih." (Lisa)
"Nanti saja bicaranya. Ayo. Kita pergi sebelum orang lain melihat kita." (Leo)
Mereka melewati lorong penjara tanpa masalah. Tidak banyak orang karena mereka kelelahan akibat pesta yang sedang dilangsungkan di aula. Mereka berdua sampai di kamar Leo.
"Lisa!" (Ibu Lisa)
"Ibu! Hiks. . . Ibu!" (Lisa)
Lisa memeluk erat ibunya. Ibu Lisa merasa lega. Ia akhirnya dapat membebaskan Lisa dari pengaruh sihir yang mengacaukan ingatannya. Ia menunggu momen ini selama bertahun-tahun dan akhirnya ia berhasil. Ibu Lisa memandang Leo dengan tatapan mata berkaca-kaca.
"Terimakasih Leo" (Ibu Lisa)
"Ya. . . *Mengangguk*" (Leo)
Lisa yang ingatannya telah kembali menangis cukup lama dalam pelukan ibunya. Tak heran. Ia telah melalui 8 tahun hidup dalam kekacauan ingatan. Ia membunuh ksatria dan prajurit kerajaan, meniggalkan kampung halamannya, lalu hal yang paling tidak bisa dimaafkan adalah fakta bahwa ia melupakan Leo dan mencoba membunuhnya.
Setelah menenangkan diri. Lisa mulai berbicara.
"Seperti yang telah ibu ceritakan. Para penyihir mengacaukan ingatanku setelah kepergianmu Leo. Kemudian aku bergabung dengan pasukan mereka dan mulai melakukan berbagai pemberontakan.
Selama melakukan itu. Aku selalu merasakan sesuatu mengganjal di dadaku. Aku bahkan terkadang bermimpi tentang dirimu dan bangun dalam keadaan air mata mengalir di pipiku. Aku mencoba mengingat laki-laki yang berada di dalam mimpiku. Namun tak peduli berapa kali aku mencobanya, aku tak dapat mengingat nama lelaki tersebut. Rasanya sangat menyesakkan.
Hingga hari dimana kita bertemu tiba. Aku merasa dadaku sesak saat melihatmu di pertempuran kemarin. Aku menganggap bahwa itu perasaan benci yang terpendam hingga akhirnya aku mencoba untuk membunuhmu. Jadi, maafkan aku Leo." (Lisa)
Leo membelai kepala Lisa dan tersenyum dengan lembut. Itu mengingatkannya pada saat dimana mereka biasa bermain di Desa Hakka. Ketika Lisa menangis, ia akan segera tenang setelah kepalanya dibelai oleh Leo.
"Sudahlah. Aku tahu kau melakukan semua itu bukan karena keinginanmu. Tak perlu menangisi apa yang telah terjadi. Yang terpenting adalah kau baik-baik saja." (Leo)
Lisa menunduk dengan wajah tersipu. Ia sangat senang bahwa Leo tidak banyak berubah. Ia tetap memperlakukan Lisa dengan lembut. Namun Lisa juga sudah berubah. Ia tidak ingin Leo hanya memperlakukannya seperti anak kecil.
"Leo. . ." (Lisa)
"Ya?" (Leo)
"Apa pendapatmu tentang diriku saat ini?" (Lisa)
"Hah?" (Leo)
"Ooooh. . .(Dalam hati: Pendekatan yang bagus, nak!)" (Ibu Lisa)
Leo terkejut dengan pertanyaan yang tidak ia duga. Ia berpikir sebari menggaruk lehernya karena gugup. Ia juga takut memberi jawaban salah yang dapat menyinggung perasaan Lisa.
Leo menatap Lisa, berharap menemukan jawaban dari apa yang dapat dilihatnya. Ia melihat mata hijaunya yang indah, rambut merah yang halus, wajah manis dan pandangan terakhirnya jatuh pada bibir Lisa. Ditambah tubuh Lisa terbentuk baik karena ia telah mengikuti berbagai latihan saat menjadi bagian dari pasukan penyihir.
Leo semakin gugup karena apa yang ada dipikirannya hanyalah Lisa yang semakin cantik dan menarik. Saat itulah mulutnya mulai mengucapkan apa yang ada dalam pikirannya.
"Bibir yang lembut." (Leo)
"Hah!?" (Lisa)
"Oooooh. . ." (Ibu Lisa)
"Eh. . . Ah. . . Tidak. . . Maksudku. . . Aduh. . . Gimana yah?" (Leo)
Leo semakin frustasi. Wajah merah Lisa dan senyum jahil ibu Lisa membuat keadaan menjadi lebih sulit baginya untuk berpikir jernih.
"Yah. Kau menjadi semakin cantik." (Leo)
"Te. . . Terimakasih." (Lisa)
"Enaknya masa muda." (Ibu Lisa)
"Ibu!" (Lisa)
"Hmm. . . Ada apa? Bukankah kau senang Leo memujimu? Oh, ibu juga agak penasaran dengan perkataan Leo tentang 'bibir yang lembut' itu. Ceritakan nanti pada ibu yah." (Ibu Lisa)
Leo dan Lisa melirik ke arah yang tidak jelas, mereka tak tahan mendengar godaan ibu Lisa. Sikap malu-malu dan salah tingkah mereka merupakan pemandangan yang sangat menghibur bagi ibu Lisa.