Matahari terbit dengan sangat indah. Memancarkan sinar yang sejuk di pagi hari. Jendela yang sengaja di buka oleh Ayah Nain saat ingin mandi, di tutup kembali oleh Fiyyin yang baru saja tiba. Ia berbaring di sisi Nain sambil menatap wajahnya. Kemudian memeluknya dan menggenggam tangannya.
"Kau terlihat sangat polos. Aku benar-benar tidak tega melakukannya di saat kau tidur seperti ini." gumam Fiyyin di sela tatapannya menatap wajah Nain.
"Tapi aku sangat merindukanmu." gumam Fiyyin lagi. Nain yang masih terlelap dalam tidurnya menggeliat pelan dan berbalik membelakangi Fiyyin. Fiyyin tersenyum, kemudian meraih tubuh Nain dan memeluknya dari belakang.
"Jika seperti ini. Kau membuatku semakin menginginkanmu." Fiyyin mendekatkan kepalannya ke telinga Nain, "Bangunlah. Aku benar-benar merindukanmu."
Seketika Nain membuka matanya. Rasa kantuknya hilang seketika semenjak Fiyyin berbisik di telinganya. Nain terkejut saat menyadari seseorang tengah memeluknya. Ia lekas berbalik dan hendak berteriak. Dengan cepat Fiyyin menutup mulut Nain dengan jari telunjuknya. Lalu Fiyyin tersenyum, "Jangan berisik. Atau ayahmu akan mendengarnya." kata Fiyyin dengan pelan. "Aku akan menunggumu di luar. Bersiaplah."
Nain menatap Fiyyin sebentar, ternyata dia. Ia pikir orang lain. Ia lekas menggangguk kecil seraya tersenyum.
"Sampai nanti," Fiyyin kemudian menghilang dengan teleportasi. Setelah itu, ayah Nain keluar dari kamar mandi. Ia menatap anaknya yang sudah bangun.
"Kau sudah bangun?"
Nain menoleh kemudian bangun dari baringnya, "Hmm.. Aku akan segera mandi." Nain berlari dengan buru-buru memasuki kamar mandi.
Arsyi berjalan ke arah Fiyyin yang tengah menyandarkan punggungnya di tembok, tepat di dekat kamar Nain. Arsyi kemudian menunduk hormat saat tiba di depan Fiyyin.
"Yang Mulia,"
Fiyyin tersenyum. "Berhenti memanggilku seperti itu. Kau sendiri akan dinobatkan menjadi Ratu. Itu artinya, kedudukan kita hampir sejajar."
Arsyi tersenyum. "Aku terbiasa seperti ini."
"Baiklah." Fiyyin kemudian diam. Arsyi kembali menatap dan memulai pembicaraan. "Sepertinya anda sedang menunggu Ratu."
"Hmm.. Aku ingin mengajaknya jalan-jalan."
"Benarkah? Pasti akan menyenangkan. Bolehkah aku ikut bersama?"
Fiyyin menautkan alisnya, "Apa yang membuatmu berpikir aku akan mengizinkannya?"
"Hhaha.. Sepertinya anda hanya ingin jalan-jalan berdua saja ya."
Fiyyin diam dan melirik pintu kamar Nain. "Kenapa dia lama sekali?"
"Haruskah aku memeriksanya?" kata Arsyi tiba-tiba. "Aku akan membantunya bersiap, agar anda tidak menunggu terlalu lama."
Fiyyin menatap ragu sebentar kemudian memikirkan ucapan Arsyi. Akan lebih baik jika Arsyi membantunya, karena ia tahu, Nain tidak cukup pandai berdandan. "Baiklah."
Arsyi tersenyum. "Kalau begitu. Aku akan pergi membantunya." Arsyi kemudian berjalan ke arah pintu masuk. Ia menatap Nain yang tengah memilih baju.
"Apa aku boleh membantu?"
Nain menoleh begitupun dengan ayah Nain. "Putri Arsyi? apa yang anda lakukan di sini?"
"Tuan, aku akan membantu putrimu untuk bersiap karena Yang Mulia Fiyyin akan mengajaknya pergi." jawab Arsyi.
"Ah, seperti itu. Kalau begitu, aku akan keluar lebih dulu. Aku ingin menemui Raja."
"Hmm.. "Arsyi menunduk hormat dan menatap Rais berjalan keluar.
"Putri Arsyi? Bolehkah aku meminta bantuanmu?"
Arsyi menoleh dan tersenyum. "Dengan senang hati."
"Aku ingin memakai baju itu, tapi sepertinya sulit meraihnya." Nain menunjuk salah satu Gaun dengan model tertutup dan sopan berwarna putih.
Arsyi melangkah mendekat, "Seperti yang di perintahkan. Aku yang akan memilihkan baju untukmu."
"Ah, begitu. Baiklah."
Arsyi kemudian menjulurkan tangannya, dengan kekuatannya ia mengeluarkan dua pasang baju dan meletakkannya di atas ranjang. "Pilihlah. Aku telah memelihkan dua baju untukmu."
Nain menatap tidak enak dengan ke dua baju pilihan Arsyi. Yang satunya terlihat panjang namun transparan, dan satunya lagi terlihat berbahan tebal namun terbuka.
"Ee.. anu. Maafkan aku. Aku tidak biasa memakai pakaian seperti itu."
"Ini adalah saran dari Yang Mulia Fiyyin. Apakah anda akan menolaknya?"
Nain berpikir sejenak. "(Dia yang menyaranknya? Jika aku tidak memakainya, dia akan kecewa karena tidak menghargai pilihannya. Tapi baju seperti ini agak-)"
"Bagaimana?" kata Arsyi memecah keheningan.
"Jika aku memilih itu, akan terlalu tranparan dan terlihat. Haruskah aku memilih yang satunya? setidaknya itu cukup menutup.)" Nain kemudian menjulurkan jarinya dan menunjuk pilihannya, "Aku akan memilih yang itu." Nain menunjuk Gaun berwarna merah dengan bahan tebal dan terbuka."
"Baiklah." Arsyi kemudian berjalan meraih baju itu dan memberikannya pada Nain. "Kau akan terlihat cantik dengan ini."
Setelah beberapa menit, Nain akhirnya siap dengan penampilannya. Ia menatap dirinya di depan cermin dan berbalik menatap punggungnya yang tidak tertutup kemudian memegang dadanya yang terlihat terbuka.
"Kau terlhat sangat cantik." Arsyi tersenyum. "Yang Mulia Fiyyin pasti akan senang melihatnya."
Nain mengangguk pelan, "Setidaknya aku tidak akan membuatnya kecewa dan menghargai pilihannya."
Arsyi kemudian melayangkan jubah dari lemari, "Pakailah ini sementara. Setelah sampai ke tempat yang akan kau kunjungi nanti, kau bisa membukanya."
Nain sedikit bernapas lega dan tersenyum, "Terima kasih." Nain kemudian menatap Arsyi yang terlihat sedih, "Apa yang kau pikirkan?" tanya Nain lembut.
"Aku juga ingin berjalan-jalan. Ini juga pertama kalinya aku berada di wilayah golongan Jalis. Aku ingin mengunjungi beberapa tempat juga."
Nain tersenyum, "Kenapa tidak ikut saja bersama kami? Kita bisa jalan-jalan bersama,"
"Benarkah?"
"Hmm.."
Nain dan Arsyi keluar dari kamar dan menghampiri Fiyyin. Fiyyin tersenyum melihat Nain akhirnya selesai bersiap, Nain myang menyadari Fiyyin melihatnya dengan heran karena mengenakan jubah tertutup langsung membuka suara untuk menjalaskan.
"Aku hanya memkainya sebentar sampai tiba di tempat yang akn di kunjungi."
"Hmm, baiklah. Ayo! Kita bisa langsung pergi." Fiyyin meraih tangan Nain untuk berjalan bersama. Nain seketika menahannya dan berhenti, "Putri Arsyi akan ikut bersama. Ini juga perrama kali baginya berada di sini. Sebaiknya mengajaknya juga."
"Aku hanya ingin jalan berdua." sanggah Fiyyin.
"Tidak apa. Aku tidak perlu ikut. Aku akan menunggu di istana saja." sahut Arsyi menyadari ketifak senangan Fiyyin.
"Eh, tidak. Ikut saja. Lebih ramai lebih enak."
Galtain yang berjalan ke arah Fiyyin menatap heran, kumudian melangkah mendekat, "Wah.. Kalian mau ke mana?"
"Kami akan berjalan-jalan berdua." jawab Fiyyin datar.
"Ti-tidak. Kami bersama Pitri Arsyi juga." sanggah Nain dan membuat Fiyyin menatapnya tidak setuju.
"Aah, begitu. Kalu begitu, bolehkah aku ikut? Agar Putri Arsyi tidak sendiri."
Arsyi menatap kesal ke arah Galtain. Dia selalu saja mengganggu rencananya. Nain kemudian tersenyum menatap Galtain, "Baiklah. Ikut saja."
Fiyyin menghela napasnya kasar. Wajahnya terlihat kesal karena dua orang tidak diundang itu mengganggu kebersamaannya. "Ayo!" Fiyyin menggenggam tangan Nain dan berjalan lebih dulu.
"Kita mau kemana?" tanya Nain penasaran setelah lama berjalan. Pandangannya dari tadi hanya tertuju pada tempat yang seperti pasar namun tidak ada satu orangpun di sana.
Fiyyin baru menyadarinya. Ia lupa jika Nain tidak bisa melihat bangsa jin yang lemah dan tidak menampakkan diri. Jika saja Nain tahu, banyak sekali dari tadi jin yang melihat kearahnya dengan penasaran.
Galtain menahan tawanya melihat kebodohan Fiyyin yang tidak mengingat jika wanita yang ia ajak jalan-jalan ini tidak bisa melihat bangsa jin lemah.
"Banyak sekali orang di sini. Kau saja yang tidak menyadarinya." sahut Galtain berusaha menahan tawanya.
"Benarkah? Aku tidak tahu. Ah, apa karena-" Nain tak melanjutkan kata-katanya saat menyadari yang tidak bisa ia lihat adalah bangsa jin.
"Oh, di belakangmu." Galtain memulai keusilannya. Nain berteriak pelan dan segera memeluk Fiyyin di dekatnya.
Galtain tertawa lepas, "Hahaha.. Kau takut pada hantu lemah? Tapi, kau tidak takut pada pria yang kau peluk saat ini. Dia lebih menyeramkan, kau tahu?"
Fiyyin menatap sinis ke arah Galtain kemudian membalas pelukan Nain dengan satu tangan, "Jangan takut. Aku ada di sini."
Nain mengagguk kecil, kemudian perlahan memfokuskan kembali pandangannya.
Setelah cukup lama berjalan, mereka berhenti tepat di sebuah rumah yang terlihat sederhana di tengah-tengah hutan. Fiyyin menatap Nain sebentar, "Ayo, kita sudah tiba. Ini adalah rumah tetua bangsa kami. Aku mengajakmu untuk mencari tahu, cara menyelesaikan perjanjian antara Raja jin dan kakekmu. Ayo, masuk."
Nain tersenyum kemudian mengikuti Fiyyin dari belakang, begitupun dengan Galtain dan Arsyi. Mereka perisi sebentar saat memasuki rumah itu. Galtain terlihat ragu saat melangkah masuk, mengingat sebelumnya ia pernah membuat kekacauan baru-baru ini.
Pria paruh baya dengan seorang pengawalnya terlihat tengah duduk di kursi dengan meja panjang di tengah. Saat menyadari ada yang masuk, ia tersenyum.
"Tuan, selamat datang di kediamanku." kata pria paruh baya itu."
Fiyyin berjalan lebih dulu dan menunduk hormat pada pria paruh baya yang di sebut tetua itu. "Salam, tetua."
"Duduklah,"
Fiyyin mneggangguk sekali kemudian menoleh menatap Nain. Pria paruh baya itu tersenyum menatap Nain yang terlihat canggung, "Anda bisa melepas jubahnya dan menggantugnya di sana. Tidak perlu sungkan."
"Ah, iya." jawab Nain dengan pelan.
"Biar kubantu." kata Arsyi menghampiri Nain.
Galtain berjalan mendekati Fiyyin dan merangkul lehernya, "Ayo, duduk. Kaki sudah terasa pegal sekali dari tadi." Galtain merarik Fiyyin untuk duduk.
"Senang melihat anda selamat." kata pria paruh baya itu sambil melirik Galtain.
Galtain yang merasa tersindir lekas membuka suara, "Ya, ya. Maafkan atas ulahku sebelumnya."
Pria paruh baya tersebut tersenyum dan kembali menatap Fiyyin, "Apa tujuan anda kemari, tuan?"
"Aku ingin meminta bantuan untuk-" seketika ucapan Fiyyin terhenti saat melihat expresi Galtain yang terkejut, "Oh?"
Begitupun dengan tetua dan pengawalnya. Mereka benar-benar terkejut melihat baju Nain yang terlihat terbuka dan tidak sopan.
"Apa yang dipikirkannya? Tidak biasanya," gumam Galtain tak percaya.