Matanya terlihat sang merah. Bak mandinya dengan warna yang sama membasahi seluruh wajahnya. Lagi-lagi ia menyiram wajahnya dengan air merah dari bak mandinya. Ia tersenyum penuh arti sambil membayangkan air merah itu adalah darah dari manusia yang selama ini ia kejar untuk keabadiannya. Vaqsyi menjulurkan lidahnya dan meminum setetes air yang mengalir di wajahnya. Ia tersenyum, "Sebentar lagi." gumam Vaqsyi menunggu kedatangan Nain.
Saat menyadari seseorang yang paling ia tunggu datang, ia menoleh seraya tersenyum penuh arti. Memakai dan mebenarkan baju mandi yang di kenakannya kemudian berjalan keluar.
Nain yang baru saja tiba tengah tertidur pingsan di gendongan pria asing yang melakukan pemindahannya di perbatasan. Vaqsyi melangkah mendekat, mengusap puncak kepala Nain seraya tersenyum, "Akhirnya. Sangat bersusah payah untuk membunuhnya selama ini. Dan sekarang kau datang dengan keadaan lemah seperti ini. Sangat mengejutkan."
Vaqsyi kemudian menatap baju yang dikenakan Nain, "Tidak kusangka mangsaku menyukai baju seperti ini. Menarik. Kau akan mudah terluka seperti ini."
"Siapkan baju yang cocok untuknya. Aku akan memulai ritualnya malam ini." Vaqsyi berkata pada para dayang yang tak jauh darinya, kemudian perintah itu dituruti dan menyuruh pria yang membawa tubuh Nain untuk mengikuti para dayang.
Baju biru yang di kenakan Nain di ganti dengan baju berwarna pink, kali ini baju itu terlihat lebih tertutup, hanya saja kerah bajunya masih memperlihatkan dadanya dan lengannya yang terbalut kain seperti kelambu namun panjang menutupi seluruh tangannya.
Tak lupa, hiasan kepala dengan warna yang sama di sangkutkan di rambutnya yang terurai panjang. Setelah siap dengan persiapan, para dayang menghirupkan cairan dari tabung kecil pada Nain untuk menetralkan obat bius yang membuatnya tidak sadarkan diri.
Setelah beberapa saat, Nain membuka matanya perlahan seraya menatap sekitarnya dengan heran. "Apakah aku sudah pulang?" Nain masih memperhatikan sekitarnya sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut, "Ini terlihat berbeda dari sebelumnya, apa aku ada di kamar lain?"
Para dayang yang melihat kesadaran Nain lekas membuka suara, "Ini masih ruangan yang sama, tempat yang mulia Raja Ghaur."
Nain tidak mengerti dengan ucapan salah satu dayang itu. Kemudian menatap baju yang dikenakannya yang telah berganti, "Bajuku juga sudah diganti. Ini sama dengan warna yang dipilih olehnya pertama kali." Nain seketika tersenyum membayangkan Fiyyin lagi-lagi yang memilihkan baju untuknya seperti pertama kali. "Apa dia suka warna pink?" Nain mendesah, "Lalu kenapa dia membuatku memakai baju biru sebelumnya dan terlhat lebih terbuka. Setelah itu memarahiku. Aku masih kesal padanya."
"Yang Mulia sudah menunggu anda di kamarnya. Mari, ikut kami." ucap dayang lagi sambil berjalan untuk mempersilahkan Nain mengikutinya.
Kata-kata ambigu 'Yang Mulia' membuatnya berpikir sambil berjalan mengikuti para dayang, mungkinkah Yang Mulia yang di maksud adalah Raja Hartis yang ia temui sebelumnya? Tapi untuk apa ingin bertemu dnegannya?
Vaqsyi menatap keluar jendela. Sementara Nain yang baru saja tiba memasuki kamar itu kemudian menunduk sebentar dengan hormat, "Salam, Yang Mulia. Apakah anda memanggilku?"
Vasyi tersenyum, "Sopan sekali sikapmu yang akan menjadi mangsa."
Nain terkejut mendengar suara yang terdengar familir olehnya. Nain mengangkat kepalanya yang menunduk untuk memastikan pria di hadapannya, bersamaan dengan itu, Vaqsyi menoleh.
"Bapak?" gumam Nain heran.
Vaqsyi tersenyum, "Ah, ternyata kau masih mengenaliku. Ingatanmu cukup bagus juga."
"Apa yang anda lakukan di sini?"
Vaqsyi lagi-lagi tersenyum, "Sepertinya kau belum benar-benar sadar. Akan kuperjelas, ini adalah kerjaanku. Aku tidak membutuhkan izin untuk berada di sini."
"Ke-kerajaanmu? Bagaimana mungkin-" seketika Nain teringat, saat sebelumnya ia tengah berdiri di depan rumah yang di ajak oleh Fiyyin, namun tiba-tiba ia mulai merasa pusing karena seseorang menghirupkan sesuatu dari dalam tabung di dekat hidungnya, bau yang sangat menyengat membuatnya seketika tak sadarkan diri.
Vaqsyi berjalan ke samping nakas dan memgambil sebuah buku. Ia membuka buku tersebut perlembar demi perlembar.
"Apa kau tahu, perjanjian yang membuatmu mengalami mimpi buruk yang bisa merenggut nyawamu?" gumam Vaqsyi namun dengan aktifitas menatap buku di tangannya.
"A-anda mengetahunya?" Nain benar-benar terkejut dengan apa yang barusan ia dengar. Tidak di sangka ada orang lain yang mengetahui tentang mimpinya.
"Tentu saja. Karena akulah yang menawarkan perjanjian itu pada kakekmu. Sangat menyenangkan bisa menjalin kerja sama dengannya."
Nain seketika tergelak. Seluruh tubuhnya seketika kaku. Jantungnya berpacu sangat cepat mendengar ucapan pria di hadapannya. Mungkinkah yang dikatakannya benar? Atau ia hanya membual?
"Sangat bodoh mau menyerahkan cucu terakhirnya. Padahal ke dua cucu pertamanya akhirnya mati." Vaqsyi kemudin berjalan mendekat dan membuat Nain mundur perlahan. "Kau gadis yang sangat polos. Tenang saja, aku akan mengakhiri penderitaanmu selama ini."
Nain membulatkan sempurna matanya saat pria di hadapannya menyodorkan sebuah pedang ke lehernya. Nain memegang dinding belakang yang membutnya tidak bisa bergerak, sementara pria dihadapannya semakin mendekatkan pedang ke lehernya dan sebelah tangannya memegang dinding.
Vaqsyi tersenyum sinis, "Apa yang kau pikirkan? Apa kau mengharapkan seseorang datang untuk menyelamatkanmu lagi?"
Nain meneguk susah salivanya. Benar yang di katakan pria di hadapannya, ia berharap Fiyyin datang untuk menyelamatkannya. Air mata menetes dari pelupuk matanya. Ia benar-benar takut sekarang. Kenyataan bahwa pria dihadapannya ini yang membuat perjanjian konyol itu dan ingin membunuhnya membuatnya benar-benar habis kata-kata. Ingin sekali ia melenyapkan pria ini, tapi tidak, ia terlalu lemah bahkan untuk mengeluarkan kekesalan dari mulutnya.
"Kau tahu, penyelamatmu itu tidak akan pernah sampai ke sini. Kenapa? Karena dia akan mati lebih dulu oleh 95.000 pasukanku jika dia berusaha menyelamatkanmu sendiri. Karena dia tidak akan mendapatkan bantuan pasukan dari Raja Ghaur karena aku sudah mengancamnya."
Nain diam. Vasyi menatap pedangnya, "Sekarang kau adalah milikku. Akan sakit sebentar saja saat aku menyayat lehermu dengan pedang ini. Setelah itu, kau tidak akan merasakan apa-apa lagi. Dan saat kau telah mati, aku bisa meminum darahmu sebagai keabadianku. Setelah itu, perjanjian berakhir. Bagaimana?" Vaqsyi menatap Nain yang diam dan memejamkan mata, ia terlihat kesal dan meninggikn nadanya, "Hei! Bicaralah! Kenapa kau diam saja. Apa kau tidak mendengar semua ucapanku?!"
Nain terkejut dan membuka matanya setelah memejamkan matanya sebentar, "(Apa aku bermimpi? Aku baru saja melihat dia berjalan ke sini.)"
Vaqsyi terkejut mendengar gumaman Nain dalam hati, "Siapa maksudmu dia? Fiyyin?"
*TheSecretOfMyDream*
1 jam sebelumnya. Fiyyin bertekuk lutut dihadapan Hartis. Air mata mengalir deras membasahi pipinya mengingat wanitanya dalam bahaya. Ucapan yang sama berulang kali terucap dari mulutnya sementara Hartis diam seribu kata setelah mengatakan, "Aku tidak mengizinkanmu membawa tentara perangku hanya untuk menyelamatkan 1 manusia. Terlebih, tentara perang milik Raja Ghaur sangat banyak. Aku tidak akan menyianyiakan tentara perangku hanya untuk satu nyawa."
"Kumohon, bantu aku. Kumohon," Fiyyin lagi-lagi mengulang kata-katanya. Sementara Hartis diam. Galtain yang sejak tadi memperhatikan mulai merasa kesal dan mencoba membangunkan Fiyyin, namun Fiyyin menolak dan masih di posisi yang sama.
"Kumohon, bantu aku. Kumohon,"
Arsyi yang melihatnya merasa sedih, ini kedua kalinya ia lihat ketulusan Fiyyin untuk menyelamatkan Nain. Sementara Galtain menatap kesal ke arah ayahnya, "Seperti inikah sikapmu? Apa kau lupa jika Fiyyin sangat membantu mengumpulkan prajurit perang kerajaan Jalis? Seperti inikah balasanmu?!"
Hartis menatap Fiyyin bergantian, "(Aku tidak membuatmu membawa pasukanku. Jika tidak, Vaqsyi akan kembali mengancamku.)" Hartis membatin kemudian membuka suara.
"Aku tetap pada keputusanku!"
"Ayah!" Galtain benar-benar tidak setuju dengan kepitusan Hartis. Sementara Fiyyin mulai berdiri sambil tersenyum kecil. Menatap Hartis dengan mata merahnya dan tangannya mengepal kuat, "Terima kasih sudah membantuku selama ini. Terima kasih sudah menerimaku untuk tinggal sebelumnya di kerjaanmu. Terima kasih telah menunjukkan dirimu yang sebenarnya." Fiyyin kemudian berbalik badan dan menghilang dengan teleportasinya.
"Hei! Kau mau kemana? Kau akan benar-benar terbunuh jika mencoba menyelamatkannya sendiri." seru Galtain sebelum akhirnya Fiyyin melakukan teleportasi.
Galtain kembali memfokuskan pandangannya ke arah Hartis seraya mengepalkan tangannya. "Jika sesuatu terjadi lagi, ini semua kesalahanmu!" Galtain kemudian berbalik hendak melakukan teleportasi.
"Kau! Mau kemana! Jangan coba-coba membantunya!"
Galtain menghentikan langkahnya sebentar, "Aku tidak akan membiarkannya kali ini. Ingatlah, ayah pernah mengatakan suatu saat akan membantu masalahnya. Au harao kau menepati janjimu." Galtain kembali berjalan dan menghilang bersama api birunya.
"S**l!!" Hartis memukul kursi singgasananya dengan tatapan amarah. "Arghhhh!!"