Fiyyin berdiri tepat di perbatasan antara wilayah Ghaur dan Jalis. Sebuah portal yang membatasi masing-masing wilayah di lalui olehnya. Fiyyin menatap ke belakang sebentar, ia mengepal kuat tangannya dan kembali menatap lurus.
"Akan kupastikan semua tak bersisa." Fiyyin menatap kepalan tangannya, kemudian menatap ribuan pasukan yang bersiap menghentikannya di kejauhan. "Aku lebih kuat sekarang. Energi yang ku dapatkan setidaknya bisa menghabiskan sebagian pasukanmu. Selebihnya akan ku pikirkan nanti."
Fiyyin kemudian berjalan mendekat, selama itu pedang yang sangat tajam dan berukuran besar tercipta di tangannya. Fiyyin mulai berlari bersama pedangnya.
Tek berbeda dengan ribuan pasukan, mereka mengangkat pedang dan bersiap membunuh musuh yang mendekat.
Fiyyin mengayunkan pedangnya, dan dari itu keluar kekuatan api yang langsung menyayat tubuh pasukan di depannya. Tanpa menyentuh, Fiyyin terus mengayunkan pedangnya dan kekuatan dari pedang itu terus keluar menyayat pasukan.
Galtain yang baru saja tiba menatap tak percaya, "Energi besar yang di dapatkannya dari manusia itu membuatnya kuat. Tapi itu tidak bisa terus menerus di keluarkan. Ada masa ia akan kehabisan energi melakukannya. Aku harus membantunya."
Galtain berlari sambil menciptakan bola api di tangannya. Saat cukup dekat, ia mengarahkan bola api itu ke pasukan perang. Membuat pasukan yang terkena bola api hancur menjadi abu. Fiyyin yang menyadari kedatangan Galtain tersenyum.
Galtain menoleh, "Ayo lakukan bersama, setidaknya kita bisa menghabiskan sebagian dengan kekuatan kita tanpa terluka. Setelah itu-"
"Haruskah kita melakukannya cara manual?" gumam Fiyyin menyanggah perkataaan Galtain.
Galtain tersenyum. "Hmm.. Ayo lakukan!"
Sementara di kerajaan Ghaur. Tepatnya di kamar Vaqsyi. Vaqsyi menatap ke luar jendela dengan penerawangannya. Mengetahui Fiyyin membunuh banyak pasukan perangnya membuatnya di selimuti kemarahan. "Lagi-lagi dia mengganggu rencanaku! S**l!"
Vaqsyi kembali menatap Nain yang terlihat sangat khawatir. Vaqsyi menyunggingkan senyum sinisnya, "Sepertinya dia sudah mendapatkan energi darimu. Sangat menyebalkan aku baru menyadarinya. Tapi tidak, kekuatan besar itu hanya mampu menghabiskan sebagian pasukanku. Setelah itu, akan kupastikan dia lenyap sebelum sampai di sini. Bagaimana?"
"Tidak. Kumohon lepaskan." Nain seketika berlutut memegang kaki Vaqsyi, "Akan kulakukan apapun, tapi ku mohon lepaskan dia."
Vasyi tersenyum, "Melepaskannya? Itu tidak akan terjadi. Lebih baik dia lenyap!"
"Tidak, kumohon. Kumohon.."
"Gadis bodoh. Dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkanmu. Ah, jika dia mati sudah pasti ini adalah kesalahanmu." Vaqsyi lagi-lagi tersenyum, "Kau lah yang membuatnya dalam bahaya. Bukankah sebaiknya kau mati saja? Dengan begitu Fiyyin tidak akan membahayakan nyawanya lagi. Pikirkanlah, jika kau mengatakan padanya untuk bersedia mati di tanganku, mungkin dia akan mendengarkanmu."
Nain mencerna perkataan Vaqsyi. Perlahan melepas kaki Vaqsyi dan mencoba mengatur napasnya. "Tidak, tidak.."
"Cih! Kau tidak akan menyerahkan hidupmu, ya. Baiklah. Lihat saja apa yang akan terjadi."
Vaqsyi lagi-lagi menyunggingkan senyum sinisnya dan melangkah keluar meninggalkannya. "Persiapkan jubah perangku. Aku akan ke atas menyaksikan kematiannya,"
Nain terisak dalam tangisnya. Dengan tersedu-sedu ia menatap tangannya. "Apa yang harus kulakukan? Aku ingin menyelamatkannya. Sudah cukup ia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkanku. Aku harus bagaimana? Aku-aku.." Nain semakin terisak dalam tangisnya. Berharap pria yang ia cintai tak lagi terluka.
Fiyyin dan Galtain masih sibuk dengan penyerangan. Sudah cukup lama mereka mengeluarkan kekuatan untuk membunuh para prajurit perang di depan mereka. Galtain terlihat mulai merasa lemas namun terus berusaha mengeluarkan kekuatannya.
Fiyyin menoleh ke arah Galtain di sela kesibukannya, "Sudah cukup. Jangan memaksakan dirimu lagi. Kau sudah terlalu banyak mengeluarkan kekuatanmu."
"Tidak, aku masih bisa melakukannya. Tidak akan ku biarkan kau mati untuk ke dua kalinya." Galtain membantah dengan keras kepala.
"Hei, aku tidak pernah mati kau tahu? Sudah hentikan, aku bisa mengatasinya. Setengah dari mereka sudah hancur, jangan melewati batasmu atau kau yang akan mati!" kata Fiyyin lagi dengan napas tersengal.
"Tidak, ah," Galtain seketika berhenti dan memegang dadanya yang terasa sakit.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Fiyyin dengan khawatir. Sementara Galtain kembali menatap pasukan di depannya dan lagi-lagi menyerang dengan kekuatannya.
"Sudah cukup. Kau akan melewati batasmu!"
"Arghh!!" Galtain lagi-lagi memegang dadanya yang terasa semakin sakit saat mencoba mengeluarkan kekuatannya lagi.
Fiyyin lengah dan menoleh ke belakang menatap Galtain dengan khawatir. Bersamaan dengan itu, sebilah pedang menyayat lengannya dan membuat Fiyyin menjerit pelan.
"S**l!" Fiyyin menatap kesal dan kembali memfokuskan dirinya. Mengayunkan kembali pedangnya sehingga menyayat musuhnya.
"Aku tidak bisa berhenti. Jika aku melakukannya, bukan hanya aku yang akan mati, tapi Galtain juga."
Sementara di kejauhan, tepat di teras atas istana, Vaqsyi tersenyum dengan sangat puas. "Sampai di mana batasanmu? Aku tidak sabar melihatnya, kematianmu."
Nain masih terisak dalam tangisnya. "Aku ingin menyelamatkannya. Aku-" Nain seketika menghentikan gumamannya saat tiba-tiba seekor burung pipit terjatuh di depan matanya dengan terluka. Ia terkejut, menyeka air matanya dan lekas meraih burung kecil itu.
"Kau terluka sangat parah." Nain menatap sayap burung yang berdarah. Ia kemudian menatap sekitar untuk mencari obat. Nain mencoba membuka laci-laci nakas, dan matanya tertuju pada botol yang berisikan minyak. "Kenapa sampai terluka?" Nain merasa sesak di dadanya, memikirkan jika Fiyyin akan terluka seperti burung kecil ini.
"Aku hapa ini bisa mmebantu," Nain kemudian hendak mengoleskan minyak itu pada sayap burung, namun tiba-tiba burung itu mengepakkan sayapnya.
Nain terkejut. Bukan hanya karena luka di sayapanya kemudian bisa terbang, tapi burung itu tiba-tiba mengeluarkan suara seperti manusia.
"Aku baik-baik saja,"
Nain menyeka air matanya dan masih dengan tatapan terkejutnya, "A-apa yang baru saja kudengar? Apa aku berhalusianasi?"
Burung itu terkejut. "Anda bisa mendengar suaraku?" tanya burung itu penasaran.
Nain mengangguk ragu.
"Tidak mungkin. Hanya pemimpin kami yang bisa mendengarnya. Mungkinkah?" burung itu mendekat dan mematuk tangan Nain. Nain terkejut. Burung itu menatap tak percaya.
"Anda tidak merasakan sakit meskipun aku mematukmu? Sama seperti pemimpin terdahulu."
"Aku tidak mengerti apa yang di bicarakan."
"Hanya anda yang bisa mendengar suara Hewan Gaib dan tak bisa di sakiti oleh hewan Gaib. Itu artinya, anda adalah pemimpin seluruh Hewan Gaib.h"
"He-hewan Ghaib? A-aku tidak mengerti," Nain merasa sedikit takut dan mencoba mengatur napasnya.
"Setelah sekian lama, akhirnya bertemu lagi dengan pemimpin para hewan Gaib keturunan Issy."
Burung itu seketika mengepakkan sayapnya dan terbang di depan Nain, seketika cahaya biru muda terpancar ke arah Nain dan membuatnya melayang di udara. Baju pink yang di kenakannya seketika berubah model dan warna menjadi putih.
Perlahan tubuhnya di turunkan. Nain sangat terkejut dengan perubahannya. Benar-benar sangat mengejutkan.
Burung itu terlihat bahagia, "Tebakanku tidak salah. Anda benar-benar pemimpin Hewan Gaib."
"Benarkah?" Nain masih memastikan dirinya benar-benar seperti yang di katakan burung kecil itu.
Burung itu kemudian hinggap di bahu Nain, "Duduklah, putri. Aku akan membuat tanda untukmu. Tanda di mana seluruh hewan Gaib akan mengenalimu dan menuruti perintahmu."
Nain perlahan duduk menuruti perkataan burung itu. Tidak ragu lagi, burung di hadapannya benar-benar sebuah kejaiban. Membuat Nain penasaran dan ingin mempercayainya.
Nain mengulurkan tangan kanannya, saat itu juga, sebuah tanda dengan perpaduan kelopak bunga perlahan terukir di tangannya. Membentuk pola bergaris dengan warna biru langit yang sangat indah dan menawan.
Setelah selesai, Nain tersenyum menatap tanda di tangannya. "Cantik,"
"Selamat datang putri. Senang bertemu dengan denganmu." Sahut burung kecil itu dengan segala hormat. Seketika dari arah jendela, segerombolan kupu-kupu datang mendekat. Mereka seperti memberi salam pada Nain atas tanda yang telah terukir di tangannya.
Nain lagi-lagi menatap takjub. Turlukis jelas senyuman bahagia di bibir tipisnya.
"Kami siap melaksanakan perintah, Yang Mulia. Kami akan melindungimu dari segala bahaya yang Gaib dan membantu menghilangkan kesedihan di hati anda." lagi-lagi burung kecil itu membuka suara.
"Bisakah? Aku meminta bantuan dari kalian?" Nain terdengar tertarik dengan tawaran burung itu.
"Dengan segala hormat, Yang Mulia. Kami akan melaksanakan perintahmu."
Nain kemudian melangkah ke arah jendela dan kupu-kupu di sekitar membuat jalan baginya. "Bisakah, aku menyelamatkannya?"
Burung pipit itu terbang mendekat di samping Nain. "Apakah putri ingin kami mengakhiri perang di sana?"
"Bisakah kalian melakukannya?" tanya Nain penasaran.
"Kami akan melakukannya saat anda memerintahkan."
Nain tersenyum, mau tidak mau, setelah semua keajaiban yang baru saja terjadi padanya membuatnya percaya akan perkataan burung kecil ini. "Aku ingin menyelamatkan pria di sana. Dia memiliki garis rahang yang tegas, hidung tinggi,l-" seketika ucapan Nain terhenti karena burung kecil itu terlihat hormat padanya.
"Akan dilaksanakan, Yang Mulia. Kami tahu seseorang yang anda maksud."
"Be-benarkah?"
"Hmm.. Kami akan segera kembali dengan kabar gembira." kemudian burung kecil itu terbang meninggalkan Nain, di ikuti oleh segerombolan kupu-kupu.
Nain menatap nanar dengan senyuman kecil pada burung kecil yang terbang melaksanakan keinginannya. "Aku harap perkataannya benar. Aku akan mempercayainya. Hanya ini harapanku."