Chapter 44 - Kehilangan

Pria paruh baya tersebut tersenyum dan kembali menatap Fiyyin, "Apa tujuan anda kemari, tuan?"

"Aku ingin meminta bantuan untuk-" seketika ucapan Fiyyin terhenti saat melihat expresi Galtain yang terkejut, "Oh?"

Begitupun dengan tetua dan pengawalnya. Mereka benar-benar terkejut melihat baju Nain yang terlihat terbuka dan tidak sopan.

"Apa yang dipikirkannya? Tidak biasanya," gumam Galtain tak percaya.

Seketika kabut tebal mengisi rumah tetua itu saat Fiyyn menjentikkan jarinya. Fiyyin berjalan ke arah Nain dan menutupinya dengan jubah yang tergantung di dekatkanya dan segera membawanya keluar.

Fiyyin menatap kedua bola mata Nain dengan kekesalan. "Apa kau menyukainya?" tanya Fiyyin dengan nada menekankan.

Nain tersenyum dengan lembut. Ia hanya berpikir, jika ia berhasil menunjukkan rasa menghargai. "Hmmm.. Aku sangat menyukainya. Aku benar-benar menyukainya."

Fiyyin tersenyum miris dan bibirnya bergetir. Hatinya benar-benar kesal dan sedih mendengar ucapan Nain. Ia tidak menyangka jika wanitanya ini akan berpakaian minim seperti ini terlebih bertepatan dengan tempat suci yang di ajaknya.

"Kalau begitu, sekalian saja perlihatkan tubuhmu pada semua orang. Tidak perlu menutupinya sejak awal." Fiyyin kemudian menatap jubah di tubuh Fiyyin, "Haruskah aku membantu melepasnya?!"

"Lepaskan?! Ada apa denganmu? Kau sendiri yang-" Nain terdiam sesaat dan mencerna ucapan Fiyyin. "Teganya kau mengatakan itu!" Nain memukul dada pria di depannya berulang kali. "Teganya,"

Fiyyin menatap nanar, lalu memeluk Nain. "Aku terlalu terbawa emosi sesaat. Maafkan aku,"

Nain terisak dalam tangisnya. Kata-kata kasar yang keluar dari mulut Fiyyin membuat hatinya terasa sakit.

"Maafkan aku,"

Nain menenangkan emosinya sebentar kemudian melepas pelukan Fiyyin dan menyeka air matanya, "Aku ingin pulang,"

"Baiklah, aku akan mengantarmu. Tunggu di sini sebentar."

Nain hanya diam dan menatap punggung Fiyyin yang berjalan masuk meninggalkannya.

Galtain menjentikkan jarinya, seketika kabut di dalam ruangan itu perlahan menghilang. Pengawal tetua itu menatap ke arah luar dengan wajah kesal, "Beraninya manusia sepertinya mengotori tempat ini."

Galtain menatap sinis ke arah pengawal tetua, "Beraninya mulut kotormu mengatakan hal seperti itu! Itu hanya kebetulan. Dia selalu menggunakan baju tertutup, kau tahu?!"

Pengawal itu menatap jengah dan membuat Galtain semakin murka, "Makhluk ini! Kau benar-benar ingin cari mati, ya!"

Fiyyin membuka pintu masuk dan berjalan mendekat. Menghentikan Galtain kemudian menunduk hormat, "Maaf atas kejadian hari ini. Aku akan mengirim beberapa dayang untuk melakukan pensucian di tempat anda."

"Tidak apa-apa. Seharusnya yang meminta maaf di sini adalah putri Arsyi. Karena seharusnya, saat dia membantu membuka jubah manusia itu akan melihatnya dan bisa mencegahnya." jelas tetua itu sambil menatap dingin ke arah Arsyi.

"Ke-kenapa aku? Aku hanya membantunya," sanggah Arsyi tak terima.

"Aku tahu ini bukan wilayah bangsamu, jadi, meskipun kau melihatnya tadi kau tidak akan mencegahnya. Keluarlah, sebelum aku yang menyuruhmu melakukan penyucian tempat ini."

"Cih!" Arsyi berbalik dan keluar.

"Sekali lagi maaf atas kejadi hari ini."

"Tidak apa-apa,"

"Sepertinya kita bicara lain kali saja. Aku permisi lebih dulu." kata Fiyyin lagi dengan hormat kemudian berbalik badan saat melihat tetua jin mempersilahkannya.

Saat di luar, Fiyyin menatap sekitar khawatir. Seingatnya ia baru saja meninggalkan Nain di depannya, namun ia tidak melihat keberadaannya sekarang.

"Di mana dia?"

Arsyi menoleh, "Apa maksudmu dia? Ah, Ratu? Bukankah anda sudah mengantarnya pulang, karena pasti dia akan merasa malu setelah-"

"Di mana dia?!" Fiyyin meninggikan nadanya karena masih tak melihat Nain di sekitarnya.

"A-aku tidak tahu. Aku pikir anda sudah mengantarnya dengan teleportasi karena aku tidak melihatnya saat keluar tadi."

"Aishh!!" Fiyyin kemudian berlari mencari Nain berharap masih di sekitar sini jika Nain berpikir untuk pulang sendiri.

Galtain yang baru saja tiba menatap Fiyyin heran yang berlari dengan khawatir. "Apa yang terjadi?"

"Ah, sepertinya manusia itu berencana pulang sendiri dan tuan Fiyyin mencoba mengejarnya."

Galtain kemudian menatap sinis ke arah Arsyi, "Kejadian hari ini, kau merencanakannya kan?"

"Apa maksudmu?"

"Aku tahu benar, manusia itu tidak menyukai memakai baju terbuka seperti itu. Dan hari ini aku melihatmu keluar dari kamarnya, sudah pasti kau yang menyuruhnya."

"Hah, beraninya kau menuduhku seperti itu. Jika dia tidak menyukai baju seperti itu, untuk apa dia memakainya?" jawab Arsyi sambil menatap jengah.

"Karena kau memaksanya. Aku tahu kau menyukai Fiyyin baru-baru ini. Karena itu kau terlihat tidak senang saat mereka bersama."

Arsyi terdiam. Sementara Galtain berjalan mendekat dan membuat Arsyi mundur perlahan. "Sebaiknya berhenti menyukainya. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa."

Asryi mendesah sementara matanya sudah bergenang air mata, "Aku harus mendapatkannya. Kau tahu sendiri, peluangku untuk menjadi Ratu di mata bangsa Issy lebih besar. Karena itu, aku harus memilikinya agar aku bisa lebih mudah menjadi Ratu dan memiliki keturunan."

"Cih! Bermimpilah. Jika Fiyyin menjadi Raja, dia akan tetap memilih manusia itu bukan dirimu. Tidak perduli bangsanya akan menetangnya, dia akan tetap memilihnya dan melindunginya. Seperti itulah kekuatan cinta. Kau yang tidak mengerti apapun sebaiknya berhenti, sebelum menyesal!"

Arsyi tersenyum sinis, "Kita lihat saja, apa yang akan terjadi. Sepertinya salah satu calon Ratu menghilang." Arsyi menoleh ke arah Fiyyin berlari yang berbalik arah.

"Aku tidak bisa menemukannya. Tidak mungkin dia sudah berjalan jauh dari sini sementara aku baru saja meninggalkannya." kata Fiyyin dengan napas tersengal.

"Apa kau sudah memeriksanya dengan benar?"

"Hmm.. Dia benar-benar tidak ada. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya, karena kami sempat bertengkar kecil sebentar."

"Mungkinkah ada orang lain yang mengikuti saat kita ke sini? Kau tahu sediri, banyak sekali yang memperhatikannya saat kita berjalan bersama."

Fiyyin membulatkan matanya, jantungnya seketika berpacu cepat karena gelisah memikirkan jika wanitanya dalam bahaya. "Si*l!" Fiyyin kembali berlari ke sekitar hutan dengan khawatir, "Aku akan menemukannya. Mereka belum jauh. Jika itu jin lemah, seharusnya dia tidak bisa membawanya dengan teleportasi."

Arsyi tersenyum sinis ke arah Fiyyin dan Galtain yang tengah berlari dengan gelisah.

"Sepertinya takdir berpihak padaku. Meskipun sudah pasti aku yang memiliki peluang besar menjadi Ratu, tapi tetap saja memiliki saingan sangat menyebalkan. Kenapa tidak dari dulu saja seperti ini? Dengan begitu, aku tidak perlu repot-repot selama ini mencari kelemahannya. Menyebalkan! Aku harap dia tidak kembali."

*TheSecretOfMyDream*

"Sial! Aku harus segera membawanya ke perbatasan." gumam laki-laki di tangah larinya membawa Nain dalam gendongan kedua tangannya.

Fiyyin masih berlari kesana-kemari berharap menemukan gadis yang ia cintai. Setelah cukup lama, Fiyyin mencoba mengatur napasnya. "Si*l! Aku tidak bisa menemukannya."

Galtain ikut mengatur napasnya, "Sebaiknya kita kembali dan memberitahu ayahku. Kita akan meminta mengerahkan tentara untuk mencarinya."

"Kau pergilah. Aku akan mencarinya lagi."

"Baiklah. Kau akan segera kembali." Galtain mengangguk kemudian pergi dengan teleportasi.

"Aku akan membunuhnya jika sampai menyakiti wanitaku." Fiyyin bergegas mencari ke tempat yang lebih jauh.

Selang beberapa saat, langkahnya terhenti saat menatap kain yang tergeletak di tanah. Ya, seingatnya itu jubah yang dipakai Nain sebelumnya. Fiyyin kemudian menatap ke arah yang paling dekat dari tempatnya berdiri, "Mungkinkah?" Fiyyin semakin khawatir memikirkan perbatasan antara Jalis dan Ghaur.

Fiyyin bergegas berteleportasi ke perbatasan itu. Terlambat, tidak ada seorangpun di sana. Pandangannya kemudian menatap hamparan luas lautan dari atas tebing. Tangannya mengepal kuat bersama darahnya yang mengumpul ke wajahnya. Kelopak matanya di selimuti air mata yang bergenang bersama bola matanya yang berubah merah.

Fiyyin merasa lemas di sekujur tubuhnya dan berlutut meratapi kehilangan wanitanya. Fiyyin menghembuskan napasnya sesal hingga terisak dalm tangisnya.

"Maafkan aku. Maafkan aku," Fiyyin menyesali kecerobohannya. Membiarkan kelengahannya melindungi wanitanya.