"Kau? Bagaimana kau tahu tentang mimpi itu?" Nain mengatur napasnya dan melanjutkan kata-katanya, "Mustahil?" Nain masih tak menyangka jika pria di hadapannya ini adalah jin yang hadir dalam mimpinya dan sekarang menjelma sebagai manusia.
"Kau salah berasumsi." Fiyyin langsung menundukkan wajahnya dan berjalan meninggalkan Nain.
Nain masih tergelak seraya bergumam, "Bagaimana mungkin? Semua sangat masuk akal jika aku memikirkannya." Nain mencoba mengatur napasnya, kemudian menoleh menatap Fiyyin. Air mata mulai bergenang di pelupuk matanya bersama larinya yang mengarah pada Fiyyin. Angin menjadi iringan saat Nain melingkarkan ke dua tangannya pada tubuh Fiyyin dari belakang.
"Terima kasih, terima kasih sudah menolongku." tak lagi memikirkan siapa Fiyyin sebenarnya, Nain hanya mengingat saat-saat Fiyyin selalu meyelamatkannya bahkan di saat tidurnya. Mungkin jika pria yang di sebut jin ini tidak menyelematkannya, Nain tidak akan hidup sampai sekarang.
"Maaf. Maafkan aku tidak mengenalimu dan mencoba membencimu."
Fiyyin tergelak. Jantungnya berpacu sangat cepat semenjak gadis ini memeluk tubuhnya secara tiba-tiba. Wajahnya merona merah.
"A-apa yang kau lakukan?" kata Fiyyin terbata-bata.
Nain mengeratkan pelukannya, "Terima kasih, terima kasih." Nain tersenyum haru.
Setelah beberapa saat, mata Fiyyin seketika mengarah pada pria yang tengah menatapnya, tak cukup jauh pria itu langsung membuka suara.
"Nai?"
Nain sontak mengerjapkan matanya saat menyadari suara yang sangat ia kenali.
"Zei?" Nain membalas panggilan Zei setelah melepaskan palukannya. "Apa kau baik-"
Belum sempat Nain menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Zei berjalan cepat ke arahnya dan menarik tangan Nain menjauh dari Fiyyin.
"Menjauhlan darinya!" kata Zei menegaskan, sambil menatap Fiyyin tidak suka.
"Zei?" Nain tidak percaya dengan sikap Zei yang cukup keras.
Fiyyin menatap sekitar waspada yang mulai ramai semenjak Nain memeluknya. "Aku akan pergi." kata Fiyyin dan berjalan meninggalkan mereka.
Zei kemudian menoleh ke arah Nain dan mempererat genggamannya, " Menjauhlah darinya! Dia sangat berbahaya." Zei menegaskan nada bicaranya.
Nain menatap Zei sejenak seraya mengatur pikirannya, "(Tidak, Zei. Hanya dia satu-satu yang bisa membantuku. Menjelma sebagai manusia cukup lama, aku yakin dia memiliki kekuatan yang besar. Benar, aku tidak bisa mengatasi mimpi itu sendirian, aku membutuhkan seseorang yang kuat untuk menyelesaikannya.)" gumam Main dalam hati.
Nain kemudian memeluk tangan Zei dan menyenderkan kepalanya, "Baiklah."
"(Aku harap kau mengerti, Zei. Aku tidak ingin membahayakanmu lagi.)"
Zei tersenyum, "Berjanjilah."
Nain menganggukkan kepalanya kemudian berkata, "Kau tahu, Zei. Tentang mimpi itu. Aku baik-baik saja. Aku tidak pernah mengalaminya lagi. Aku ingin kau melupakannya dan hidup seperti biasanya."
Zei tersenyum dan mengusap kepala Nain. "Apa kau mengkhawatirkan kondisiku?"
Nain mengangguk seraya tersenyum, "Kembalilah ke rumah sakit agar aku tidak mengkhawatirkanmu."
"Baiklah, baiklah. Padahal aku sengaja tidak mengangkat telponmu karena ingin memberikan kejutan. Bukankah sudah lama kau tidak mengunjungi ayahmu?"
Nain tergelak sesaat saat mendengar Zei menyebut ayahnya. "Ayah? Aku tidak memilikinya."
"Nai?"
"Kembalilah ke rumah sakit, Zei. Kumohon."
"Dia masih ayahmu, Nai."
"Hentikan! Kumohon, hentikan!" Nain membantah nasehat Zei. "Ayah seperti apa yang ingin membunuh putrinya sendiri. Apakah salahku jika saat itu ibuku mati karena melahirkan?" Nain meremuk baju Zei karena emosi.
Zei langsung meraih Nain dalam pelukannya saat melihat orang yang berjalan memperhatikannya, "Hei, tenanglah. Baiklah, aku tidak akan menasehatimu lagi. Ayo, aku akan mengantarmu pulang."
Nain masih mencoba mengatur emosinya dan mengikuti Zei menuntunya berjalan memasuki taxi.
Selama perjalanan Nain hanya menatap jalanan dari balik kaca mobil. Zei yang memperhatikannya sejak tadi akhirnya membuka suara.
"Nai? Apa yang harus kita lakukan pada hubungan kita?"
Pertanyaan yang tiba-tiba mengejutkan Nain, "Apa maksudmu, Zei?"
"Aku mencintaimu, Nai. Tapi aku tidak bisa selalu berada di sisimu dan melindungimu."
"Zei? Apa yang kau bicarakan?"
"Aku sudah melihat hasil pemeriksaanku, Nai."
Nain terkejut. Zei melanjutkan ucapannya, "Apa yang harus kulakukan? Agar aku tetap berada di sisimu?"
Nain bergelinang air mata memeluk pinggang Zei.
"Maafkan aku, maafkan aku, Zei. Semua terjadi karena kesalahanku. Aku benar-benar menyesal."
Zei lekas memegang bahu Nain dan membangunkannya, Zei tersenyum seraya menatap Nain yang menundukkan wajahnya.
"Ini bukan kesalahanmu, Nai. Jika saja aku lebih kuat, hal ini tidak akan terjadi." Zei kemudian meraih kepala Nain dan menyenderkannya di bahunya. Mengusap pelan seraya berkata, "Aku akan pergi untuk sementara waktu untuk penyembuhan penggumpalan darah di kepalaku. Setelah itu, aku akan menemui paman di sana untuk membantu menyelesaikan masalahmu."
Zei kemudian tersenyum, "Berikan aku dukungan. Kau tahu, Nai? Aku sangat takut saat operasi nanti dilakukan."
Nain menyapu air matanya, kemudian memeluk Zei. "Semua akan baik-baik saja, Zei."
Zei tersenyum bahgia dan membalas pelukan Nain.
*TheSecretOfMyDream*
Fiyyin baru saja tiba dan hendak memasuki rumah Nain. Saat membuka pintu, Fiyyin dikejutkan dengan seseorang yang ia temui sebelumnya, "Arsyi? Apa yang kau lakukan di sini?"
Arsyi tersenyum dan melirik keluar pintu. "Di mana Ratu?"
Fiyyin bergantian menatap Galtain yang duduk tak jauh dari tempat Arsyi duduk. "Gal? Kenapa kau membiarkannya masuk?"
"Ratu? Bagaimana bisa gadis manusia itu menjadi Ratu? Dan kau? Raja? Bagaimana mungkin? Apakah ini masuk akal?" gumam Galtain tak percaya.