Galtain menatap jalanan yang macet dari balik kaca mobil taxi. "Wah.. Sudah kubilang kita menggunakan teleportasi saja. Benar-benar menyebalkan."
Nain dan Fiyyin tak menghiraukan ocehan Galtain yang tengah duduk di depan bersebelahan dengan pak supir itu. Kerana sebelumnya Nain sudah mengatakan tidak akan menggunakan teleportasi yang sangat tidak masuk akal baginya.
"Membosankan!" gumam Galtain lagi.
"Kalau begitu, pergilah sendiri." Fiyyin berkata kesal sambil menendang kursi penumpang Galtain.
"Oy! Jangan kasar begitu dong. Aku hanya mengusulkan cara tercepat untuk sampai di sana."
"Terserah!" jawab Fiyyin singkat.
Fiyyin kemudian menatap Nain yang sedari tadi hanya diam menatap jalanan.
"Apa kau baik-baik saja?"
Nain mengangguk sekali sementara matanya masih menatap jalanan. Fiyyin perlahan meraih tangan Nain dan menggenggamnya.
"Ayo kembali. Kau tidak terlihat baik-baik saja."
"Hei! Apa kau gila? Kita sudah mau sampai. Ini adalah hal langka untuk di lihat." Galtain menyanggah cepat.
"Sepertinya di sini kau yang paling ingin pergi." Fiyyin menatap Galtain kesal.
Nain menoleh, "Aku baik-baik saja. Aku benar-benar ingin melihatnya. Lagi pula, Galtain sepertinya sangat ingin melihatnya."
"Benar. Kau harus menemaniku manusia, kau ingat? Aku juga menyelamatkanmu saat itu."
"Hmm.." Nain mengangguk.
"Benar-benar!" Fiyyin menatap Galtain kesal. Galtain langsung membelakangin Fiyyin.
1 jam berlalu. Mobil yang mereka kendarai mulai memasuki hutan. Nain yang terlihat lelah di perjalanan tertidur menengadah di punggung sofa. Fiyyin yang menyadarinya menatap Nain sebentar, kemudian tersenyum. Perlahan meraih kepala Nain dan menyandarkannya di bahunya. "Sebaiknya di sini saja, atau lehermu akan sakit." gumam Fiyyin setelah berhasil menyandarkan kepala Nain di bahunya. Tak lupa dengan genggaman tangannya yang belum lepas sejak tadi. Beberapa detik kemudian Fiyyin tersadar.
"Apa yang kulakukan?" Fiyyin segere melepas genggamannya dan membuang wajahnya. Wajahnya merah mengingat tingkahnya, "Aku benar-benar sudah gi*a!" Fiyyin menutup wajahnya malu. Syukurlah Galtain tertidur, jika tidak, Jin itu sudah pasti akan mengejeknya.
Beberapa menit berlalu, Fiyyin mulai memfokuskan pandangan ke jalanan. Aura yang sangat kuat semakin terasa dekat. Pohon besar begitu banyak yang terlalui, sangat teduh namun terasa menyeramkan.
Fiyyin kemudian membangunkan Galtain dengan kakinya dari belakang. Tak ada pergerakan, hanya dengkuran yang mengisi ruang taxi ini. Fiyyin kembali melakukan hal yang sama hingga Galtain terbangun lemas dengan kantuk yang masih menempel.
"Hoy! Bangun. Kita sudah dekat." Fiyyin menendang kursi Galtain dari belakang.
"Hooaaammm... 5 menit lagi." jawab Galtain sambil menguap dan kembali tidur.
"Cih! Bangunlah!" kata Fiyyin lagi masih menendang kursi Galtain.
Galtain tak menghiraukan Fiyyin dan mencoba tidur. Namun tiba-tiba ia terbangun terkejut saat merasakan aura kuat itu. "Aura ini?"
"Akhirnya," Fiyyin bersyukur akhirnya Galtain terbangun.
"Hei! Kita turun di sini saja." kata Galtain tiba-tiba.
Fiyyin menatap sekitar sejenak, "Baiklah." kemudian beralih menatap pak supir. "Jangan lupa kembalikan kesadaran supir ini saat kita pergi." Gltain membalas mengangguk.
"Ayah!!" Nain tiba-tiba terbangun dan berteriak.
Galtain dan Fiyyin menoleh terkejut. Nain dengan keringat di dahinya masih mencoba mengatur napasnya dan menatap Fiyyin.
"Aku harus segera bertemu dengan jin itu!" Nain menegaskan nadanya.
"Hei, manusia? Bagaimana kau tahu kita sudah sampai?" tanya Galtain penasaran.
"Aku melihat ayahku di sini bersama jin itu." Nain menoleh pada Galtain.
"Apa kau yakin? Itu bisa saja terjadi atau hanya manipulasi dari jin itu agar kau menemuinya dan mengambil jiwamu. Kita sudah sepakat hanya akan melihatnya." jelas Fiyyin yang terlihat khawatir.
Nain mencerna ucapan Fiyyin sebentar, "Tidak ada waktu. Bagaimana jika benar? Aku harus menemuinya." Nain segera membuka pintu mobil dan keluar.
"Hei! Hei! Jin itu sangat berbahaya, kita hanya akan melihatnya dari jauh." seru Fiyyin melihat Nain berjalan cepat meninggalkannya. "Si*l!" Fiyyin kemudian keluar dari mobil dan berlari menyusul.
Galtain tersenyum penuh arti dari mobil, "Semua berjalan lancar. Fiyyin tidak tahu jika aku memanipulasi mimpi manusia itu di saat aku juga tertidur tadi."
Kini mereka tiba di tengah hutan. Fiyyin berjalan di samping Nain sementara Nain berjalan di belakangnya. Bola mata mereka terarah pada keadaan sekitar. Banyak sekali pohon-pohon yang menjulang tinggi, berbatang besar, rindang dan berlumut.
"Apa kau yakin akan menemuinya?" tanya Fiyyin memastikan.
"Aku harus menemuinya. Kau sendiri yang mengatakannya itu mungkin saja terjadi." jawab Nain pasti.
"Benar. Karena ayahmu tidak waras, mungkin karena dia kehilangan jiwanya. Tapi jika kau pikirkan, itu bisa saja karena ayahmu sendiri yang seperti itu." jelas Fiyyin lagi.
"Jika benar, aku akan tetap menjalani kehidupan seperti ini. Tapi jika tidak, dan makhluk menyeramkan itu mengambil jiwa ayahku, akan ada kesempatan bagi ayahku kembali normal. Dan mungkin, ayah mengetahui masalah mimpiku ini dan membantuku menyelesaikannya. Jika aku tidak mengambil kesempatan ini, mungkin aku akan menyesalinya seumur hidupku."
"Baiklah. Jika itu maumu. Kuharap kau tidak akan menyesali keputusanmu." Fiyyin menepuk bahu Nain menenangkan. Nain mengangguk dan tersenyum yakin akan kepitusannya. Sementara Galtain yang sedari tadi memperhatikan tersenyum penuh arti.
Beberapa menit berlalu, langkah mereka seketika terhenti saat melihat di depan banyak sekali rumput ilalang dan yang sangat menarik perhatian, pohon besar di tengah-tengahnya dengan banyak sekali buah merah seperti buah cery tergantung di ranting pohon.
"Kita sudah sampai." gumam Galtain seraya menatap pohon besar itu.
"Sangat indah. Bagaimana mungkin ada pohon seindah ini di hutan?" Nain ikut bergumam, takjub dengan apa yang ia lihat.
Fiyyin tersenyum remeh, "Itu hanya halusinasi yang di buat oleh makhluk menyeramkan itu."
"Ayo!" Galtain berjalan lebih dulu melewati Nain dan Fiyyin. Nain hendak melangkah menyusul Galtain namun tiba-tiba Fiyyin meraih tangan Nain dan menghentikannya.
"Ayahmu? Maksudku, jiwanya. Apa kau benar-benar yakin dia pergi ada di sini? Pikirkanlah lagi."
Nain menoleh kemudian mengangguk pasti. Fiyyin masih merasa tidak yakin dan khawatir dan bergumam dalam hati. "(Jika sesuatu terjadi di sini, haruskah aku meninggalkannya? Perasaanku tidak enak mengenai hal ini. Jin itu sangat kuat, aku bahkan tidak yakin akan bisa melawannya.)"
Nain kemudian mendekat, menunduk dalam menggenggam tangan Fiyyin yang sebelahnya, "Kumohon, lindungi aku. Aku benar-benar membutuhkanmu."
Fiyyin menatap Nain lembut yang tengah menundukkan wajahnya itu. Karena membuat gadis ini mengharapkan bantuannya membuatnya merasa bersalah. "(Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku mengatakan aku akan melindunginya? Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku ingin melindunginya?)"
"Berjanjilah," Nain kembali meyakinkan Fiyyin dan menunggu jawaban darinya.
Fiyyin tersenyum, kemudian meraihnya mendekat sementara tangannya yang satu masih menggenggam tangan Nain, "Maka beri aku waktu sebentar," Fiyyin mulai menatap bibir Nain dan perlahan mendekatkan bibirnya pada gadis di depannya, perlahan tapi pasti, Fiyyin mulai menempelkan bibirnya. Ciuman beberapa menit itu membuat Fiyyin dan Nain saling bertukar air liur dan bersatu napas.
"(Aku akan melindungimu.)" gumam Fiyyin di sela ciumannya. "(Karena itu, aku membutuhkan energi darimu.)"
Beberapa menit berlalu, Fiyyin perlahan melepaskan bibirnya yang menempel, menatap Nain sesaat dan kembali mendekatkan wajahnya, memcium Nain lebih bergairah. Tak berbeda dengan Nain, ia ikut terbawa. Hingga beberapa saat berlalu, Fiyyin perlahan melepaskan bibirnya yang menempel dan mengatur napasnya. Kemudian meraih tubuh Nain dan memeluknya, "Aku akan melindungimu." jawab Fiyyin seraya tersenyum.
"Terima kasih." Nain ikut tersenyum.