Chereads / The Secret Of My Dream - tahap revisi / Chapter 37 - Tak Ada Cara Menyelamatkannya

Chapter 37 - Tak Ada Cara Menyelamatkannya

"Aku mencintaimu... Aku mencintaimu.... Aku mencintaimu...."

"Hah!" seketika Nain tersadar dan terbangun dari tidurnya di sofa ruang tamu. Dahinya berkeringat dan napasnya tersengal. Nain mencoba mengatur napasnya dan mengingat kembali kejadian menyedihkan sebelumnya.

Terakhir kali, Nain masih meletakkan punggung dan kepala Fiyyin di pelukannya, ia masih bisa merasakan napas pelan yang di keluarkan Fiyyin. Yang semakin menyakitkan, ia tidak di izinkan untuk bertemu dengan Fiyyin lagi oleh Galtain. Karena itu, sepertinya Galtain membuat Nain tidak sadarkan diri dan membawanya pulang kerumah.

Ia kemudian menangkup lututnya dan menundukkan kepalanya. Nain terisak hingga air mata terus mengalir membasahi pipinya. Berkali-kali memukul dadanya yang terasa sakit, berharap rasa sakit itu berkurang.

"Maafkan aku, maafkan aku." gumam Nain lirih. Nain memejamkan matanya yang tak tahan dengan semua penyesalannya, namun lagi-lagi air mata terjatuh.

"Aku benar-benar minta maaf."

Tak lama, suara ketukan pintu terdengar dari pintu luar. Nain segara menoleh ke arah sumber suara itu. Mungkinkah?

"Nai?" pria itu masuk. Membuka pintu kemudian tersenyum saat melihat seseorang yang sangat ia rindukan.

"Nain? Anakku.."

"Ayah?" Nain tersenyum haru. Air matanya semakin mengalir deras saat pria paruh baya itu memeluknya. Setelah 9 tahun ia tak mendapatkan kehangatan ini. Perasaan rindu dan penyesalan sempat membenci ayahnya.

"Maafkan aku tidak pernah mengunjungimu selama ini. Jika saja aku tahu dari awal jika ayah terpengaruh jin jahat itu, aku tidak akan melewatkan satu haripun untuk mengunjungimu. Maafkan aku,"

Pria paruh baya itu mengusap lembut kepala anaknya, "Tak apa. Semua sudah baik-baik saja. Kau sudah menjalani hari-hari sulit selama ini."

Nain mengangguk mengingat semua yang terjadi padanya selama ini. Hatinya samakin sakit dan lagi-lagi meneteskan air matanya saat mengingat seseorang yang selalu melindunginya dalam keadaan sekarat sekarang.

"Ayah, kumohon bantu aku. Aku harus menyelamatkannya. Aku tidak tahu harus berbuat apa."

Pria paruh baya itu perlahan melepas pelukan rindunya kemudian mengusap pelan kepala Nain. "Ayah akan segera mengakhiri penderitaanmu. Jangan khawatir,"

****

"Bangsa jin seperti kita bisa mendapatkan energi dari manusia dengan dua cara. Pertama, mengambil jiwa manusia secara paksa dengan hukuman tidak bisa menginjakkan kaki lagi di dunia jin. Kedua, ini hanya bisa dilakukan oleh para jin petinggi, dengan cara pertukaran air liur dan napas, sederhananya berciuman. Tapi dengan syarat, manusia itu harus mencintainya dan jin yang akan melakukannya juga mencintai manusia itu, jika salah satu dari mereka tidak saling mencintai, seperti manusia itu tidak mencintai jin itu, maka manusia itu lah yang akan di untungkan, dengan memiliki sebagian besar kekuatan yang di miliki jin petinggi yang melakukan ciuman itu."

"Lalu bagaimana cara mengembalikannya?" Galtain semakin risau. Jauh-jauh ia mengunjungi tetua jin ini hanya untuk mencari solusi agar Fiyyin bisa selamat.

"Tidak ada cara. Seorang manusia tidak mampu melakukan hal sebaliknya." jawab tetua jin dengan pasti. Memang benar, jika mengharapkan ciuman itu terjadi lagi meskipun manusia itu mencintai jin itu, manusia tidak mampu melakukannya untuk mengembalikan kekuatan jin yang sudah di berikan.

"Tidak. Tidak mungkin! Pasti ada cara lain." bantah Galtain.

Tetua jin itu tersenyum. "Tidak ada. Selama berabad-abad, cara mengembalikannya tidak ada dalam sejarah."

Galtain menghembuskan napasnya kemudian membanting semua barang yang ada di meja milik tetua jin. "Aaaaargghh..." seketika barang-barang di meja itu berjatuhan ke lantai, hancur berkeping-keping.

Tetua itu diam. Sementara anak buah tetua jin tanpa ekspresi, ia kemudian berdiri dari duduknya. "Segera bawa mayat tubuh temanmu. Sebelum membusuk di sini."

"Hey! Beraninya kau mengatakannya mayat, hah!" teriak Galtain kemudian berdiri menarik kerah anak buah tetua jin. "Jaga ucapanmu! Atau aku akan menarik lidahmu!!"

"Dengar. Kau sedang berada di tempat tetua jin. Sebaiknya jaga sikapmu!" anak buah itu menegaskan nadanya.

"Cih!" Galtain melepas kasar kerah baju anak buah tetua jin. Kemudian menoleh, menatap tetua jin yang masih duduk dengan pandangan kosong.

"Temukan cara untuk menyelamatkannya. Atau aku akan membakar seluruh tempat ini tanpa menyisakan apapun!" Kata Galtain menegaskan nada bicaranya.

Galtain kemudian berjalan dan membawa tubuh Fiyyin, dengan teleportasi, mereka menghilang bersama dengan api biru yang mengeringi teleportasi itu.

Anak buah tetua itu tersenyum sinis setelah kepergian Galtain dan Fiyyin. "Sudah di bilang. Tak ada cara untuk menyelamatkannya."

Galtain tiba di depan pintu masuk istana Jalis. Dengan matanya yang merah dan sembab, Galtain menatap kediaman ayahnya itu dengan penuh amarah.

Hartis yang menyadari kehadiran anaknya segera berdiri dari singgasana dan berjalan mendekat. Galtain menatap marah, kemudian dengan gerakan satu tangan, Galtain mengarahkan bola api yang ia ciptakan ke arah Hartis. Hartis terdorong ke belakang dengan kekuatan Galtain yang menyerangnya. Hartis kemudian menghembuskan napasnya dan menatap dengan penuh amarah pada anaknya.

"Beraninya kau melawan ayahmu!" Hartis berteriak lantang. Sementara prajurit dan pelayan di sekitar hany diam, tak berani mencampuri uran keluarga kerajaan.

Galtin tertawa sinis. "Melawan? Sebaiknya kulakukan itu sejak awal. Karena kau, Fiyyin benar-benar sekarat sekarang. Apa yang akan kau lakukan? Kau yang membuatnya seperti ini," Galtain tersedu-sedu, ia benar-benar tidak mengangka, ayahnya akan melakukan semua ini pada sahabatnya yang bahkan sudah ia anggap seperti anak sendiri, "Aku-aku tidak akan memaafkan semua orang jika sampai terjadi sesuatu padanya..." Galtain berkata lirih. Dan lagi-lagi air mata membasahi pipinya.

Tubuh Hartis seketika gemetaran saat menolehkan pandangannya dan menatap wajah Fiyyin yang pucat di rangkulan Galtain. Benar, semua ini terjadi karena Hartis yang menyuruh Galtain untuk merencanakan hal ini. Namun tidak berniat membuatnya sekarat seperti ini. Jauh di dalam hatinya, Hartis cukup menyayangi Fiyyin seperti anaknya sendiri setelah apa yang dilakukan Fiyyin selama ini terhadap kerajaannya.

Tanpa di sadari, air mata mulai mengalir dari pelupuk mata Hartis. Perlahan berjalan mendekat dan tangannya terjulur untuk menyentuh wajah Fiyyin. Belum sempat Hartis melakukannya, tiba-tiba Galtain segara menepis tangan Hartis.

"'Apa yang akan kau lakukan? Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya!"

"Mari akhiri penderitaannya dengan membakar tubuhnya, dengan begitu, jiwanya akan tenang." kali ini Hartis mengusap air matanya dan mencoba meyakinkan Galtain.

"Ah!" Galtain benar-benar tak habis pikir memikirkan pemikiran jahat ayahnya itu. "Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Aku tidak akan mebiarkan hal itu terjadi. Aku akan menemukan cara untuk menyelamatkannya."

"Menyelamatkannya? Jangan bo**h! Hal itu tidak akan terjadi, dia tidak akan bertahan lama." sanggah Hartis tak terima dengan ucapan Galtain yang terdengar gila baginya.

"Sebaiknya tinggalkan kami. Aku akan membawanya bersamaku." Galtain kemudian berlalu dan meninggalkan Hartis dengan tatapan tak percayanya. Hartis kemudian menghembuskan napasnya, "(Hah! Kau tidak pernah mau menuruti perkataanku. Apakah karena kau bukan anak kandungku?)" Hartis seketika meneteskan air mata. Mengingat Galtain tidak pernah menuruti ucapannya.

1 minggu kemudian. Barang-barang di rumah Nain berterbangan di udara. Beberapa-barang yang gagal di kembalikan ketempatnya berserakan di lantai seperti kapal pecah.

Dengan satu tangan, Nain menggerakkan barang berterbangan itu.

Triing!!!!

Tlang!!!!

Lagi-lagi barang berbahan kaca dan alumunium jatuh menyusul barang berserakan di lantai. Bukan tanpa sengaja, Nain melakukannya benar-benar dengan sengaja kerana merasa bosan menunggu ayahnya belum pulang juga sejak Nain meminta untuk membantunya menyelamatkan pelindungnya.

Nain kemudian menghela napasnya berat, dan dengan jentikan jari, Nain membereskan semua kekacauan itu sebelum ayahnya melihat smeuanya. Seketika semua benda yang pecah berkeping-keping terbuat dari kaca kembali utuh dan tertata rapih di tempatnya, begitupun dengan barang lainnya, tersusun kembali di tempat sebelum di jatuhkan.

Nain kemudian segera bangkit dari baringnya dan berlari membuka pintu. Namun saat membuka pintu, Nain terkejut. Bukankah seharusnya ia senang melihat kedatangan pacarnya?

Zei tersenyum lebar. Segera ia melepas rindunya selama ini dan memeluk tubuh Nain. Nain tersenyum melihat Zei kembali dengan selamat, tapi hatinya seperti ada yang janggal. Ia hanya senang melihat Zei selamat saja.

"Aku merindukanmu.." gumam Zei dengan rasa bahagia.

Nain tersenyum kecil. "Syukurlah, kau baik-baik saja." balas Nain yang hanya memikirkan keselamatan Zei. Bersamaan dengan itu, Nain masih memikirkan Fiyyin, matanya terlihat bening dan berkaca-kaca, "Aku merindukannya,"