Akhir-akhir ini, tanpa disadari air mata Vaqsyi sering jatuh membasahi pipinya. Setelah kabar dari Pengawalnya bahwa Fiyyin sedang sekarat merenggut maut membuat jiwa Vaqsyi yang asli terkadang muncul dengan menunjukkan kesedihan.
Vaqsyi sangat kesal dengan reaksi yang mengganggu ini, kemudian lekas mengusap air matanya dan mengumpat. "(S**l! Jiwa Vaqsyi sering bereaksi setelah mendengar kabar Fiyyin. Menyebalkan! Ini benar-benar mengganggu!)"
Vaqsyi kemudian menatap sekitar dingin. "Bagaimana dengan tua bangka itu?!"
Salah satu pelayan berlari mendekati Fiyyin dan menunduk hormat, "Maaf, Yang Mulia. Ayah gadis manusia itu masih di awasi. Ia terlihat menyadari kita mengikutinya untuk mencari bukti dengan membatalkan perjanjian dan menjatuhkan anda. Dan sepertinya ia juga seertinya mencari solusi untuk menyelamatkan tuan Fiyyin."
"S**l! Sudah ku duga ini akan terjadi. Karena itu, dulu aku menyuruh makhluk pengambil jiwa manusia itu mengambil jiwanya. Karena dia akan menjadi penghalang rencanaku. Dan lagi-lagi, karena anak pengkhianat (Fiyyin) itu, ia menghancurkan rencanaku!" Vaqsyi kemudian melayangkan barang di sekitarnya dan berteriak kesal, "Arrrghhh... Kenapa dia belum mati juga! Ini benar-bener mengusikku."
Paman Vaqsyi-Randi menepuk bahu Vaqsyi, "Tenangkan dirimu, Yang Mulia. Seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Jin yang sudah menggunakan api hitam dari neraka seharusnya akan mati, tapi hanya satu yang akan membuatnya tetap bertahan,"
Vaqsyi menoleh. Sebuah ucapan Randi terdengar menarik olehnya. Kemudian Randi melanjutkan ucapannya seraya menyunggingkan senyumnya, "Cinta... Mengingat ia bertahan hingga sejauh ini pasti karena Fiyyin sudah memiliki perasaan itu."
Vaqsyi bereaksi terkejut. "Lalu?" Vaqsyi semakin penasaran.
"Kita hanya perlu mengakhirinya. Jika perasaan cinta itu adalah dengan gadis manusia itu, berarti selama ini Fiyyin masih menunggunya. Kita harus mempertemukan mereka dan mengakhiri penderitaan Fiyyin. Dengan begitu, dia akan pergi selamanya." lagi-lagi Randi menyunggingkan senyum sinisnya.
Vaqsyi mendengarnya sangat puas dan tersenyum penuh arti. Kembali menatap pengawal di depannya, "Suruh beberapa pengawal untuk menangkap ayah manusia itu. Dan titahkan utusan untuk menangkap gadis manusia itu lalu bawa dia ke hadapan Fiyyin, setelah itu bawakan dia padaku."
Randi menoleh pada Vaqsyi, "Apa kau sangat senang? Akhirnya tidak akan ada lagi yang akan mencegahmu dan setelah itu, kau akan dengan mudah menjadi Raja terkuat di dunia ini."
Vaqsyi tersenyum membayangkan semua ucapan Randi. Kehidupan abadi dan kekuasaan yang akan ia perluas benar-benar membuatnya senang.
Tabib istana menatap tak percaya pada tubuh Fiyyin yang sudah sangat pucat, namun masih berusaha bertahan. "Sudah satu minggu ia seperti ini. Ia bisa bertahan selama ini adalah sebuah keajaiban."
"Ia masih ingin bertemu seseorang." jawab Galtain.
"Karena itu, dia masih berusaha bertahan dengan luka dalam separah ini?" tabib akhirnya mengerti kemudian menoleh menatap Galtain, "Lalu apa yang di tunggu, segera pertemukan dia dengan orang itu."
"Tidak, tidak. Aku tidak akan membiarkannya. Bagaimana jika manusia itu malah membuat Fiyyin semakin merasa sakit dan.. dan.." Galtain tak bisa melanjutkan kata-katanya. Memikirkan Fiyyin akan meninggalkannya selamanya membuat hatinya benar-benar sakit.
"Tidak ada cara lain. Kita harus mengakhiri penderitaannya. Membuatnya seperti ini hanya membuatnya semakin tersiksa." tabib mencoba meyakinkan Galtain. Namun Galtain lekas menepis tangan tabib di bahunya.
"Ternyata kau sama saja dengan ayah! Pergilah! Aku tidak membutuhkanmu lagi."
"Tuan," tabib berkata lembut. Masih mengharapkan Galtain memikirkan saran darinya.
"Pergilah!" Galtain semakin meninggikan nadanya.
Tabib merasa tidak enak dan perlahan melangkah mundur.
*TheSecretOfMyDream*
Zei tak berhenti tersenyum menatap Nain yang sedang menyiapkan minuman dari sofa ruang tamu. Nain tak memperhatikannya dan berjalan membawa 2 minuman di tangannya. Perlahan meletakkan ke dua minuman itu di atas meja kemudian menoleh, melihat Zei yang tengah tersenyum padanya.
Nain menautkan alisnya. Heran dengan tingkah pacarnya itu. Zei kemudian meraih kepala Nain dan menyenderkan di bahunya. Tangannya mengusap lembut kepala wanita yang sangat ia cintai ini.
Nain tersenyum. Belaian itu membuat hatinya sedikit tenang. Zei kemudian mengecup puncak kepala Nain dan membuat Nain terkejut dengan bola matanya yang melebar. Nain menoleh cepat namun membuat wajah mereka hampir tak berjarak.
Nain lekas menjauhkan wajahnya dan bangun. Memegangi puncak kepalanya yang baru saja Zei cium, "A-apa yang kau lakukan, Zei?"
Zei membenarkan posisinya dan lagi-lagi tersenyum. "Apa kau sangat terkejut? Aku hanya mengecup keningmu."
"Aku hanya tidak terbiasa."
Zei menggenggam tangan Nain. "Kau harus membiasakan diri, Nai. Kau adalah pacarku. Aku harap, kau tidak lagi menganggapku seperti saudaramu."
"Ba-bagaimana bisa?"
Zei lagi-lagi tersenyum. Kemudian mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. ia membuka kotak tersebut yang ternyata berisikan kalung.
"Ini akan sangat cocok denganmu. Aku membelinya saat perjalanan akan pulang." kata Zei seraya mengenakan kalung itu pada leher Nain. Nain tergelak sementara wajah mereka sangat dekat.
"Cantik." Kata Zei setelah selesai memasangkan kalungnya dan menatap mata Nain dalam.
Nain tersenyum, "Terima ka-"
Belum sempat Nain melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba Zei menempelkan bibirnya.
Hanya 3 detik. Zei kembali menatap Nain sesaat. Nain tergelak dengan perlakuan Zei yang tiba-tiba. Zei lagi-lagi tersenyum dan perlahan mendekatkan bibirnya kembali. Namun tiba-tiba Nain menolehkan wajahnya.
Zei menatap heran, "Ada apa Nai?"
"(Ada apa denganku? Kenapa aku menghindarinya? Apa yang harus kukatakan padanya?)"
"Nai? Apa kau benar-benar belum siap untuk ini?" sepertinya hati Zei mulai terusik dengan sikap Nain.
"Ti-tidak seperti itu, Zei. Tenggorokanku terasa gatal. Aku akan mengambil air putih. Aku lupa membawanya." Nain lekas berdiri dan berjalan ke arah dapur. "(Zei, ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Tapi, aku tidak tahu harus mengatakannya dari mana.)"
Zei masih menatap Nain yang berjalan meninggalkannya. Nain menuangkan air di gelasnya sembari berpikir. "(Apa yang membuatku ragu? Bukankah aku menyukai Zei?)" Nain menghela napasnya kemudian mulai meneguk air di tangannya. Bersamaan dengan itu, Zei memeluk Nain dari belakang.
Nain tergelak. Zei semakin melingkarkan tangannya di pinggang Nain dan berkata, "Aku benar-benar merindukanmu. Aku mencintaimu,"
Seketika gelas di tangan Nain terjatuh. Mendengar Zei mengatakan 'Aku mencintaimu' membuat Nain teringat dengan Fiyyin. Suara itu masih terngiang di telinganya.
Zei terkejut dan segera memastikan keadaan Nain. "Apa kau baik-baik saja. Apakah pecahannya mengenai kakimu, Nai?" tanya Zei dengan sangat khawatir.
Nain sontak meneteskan air matanya. Dadanya terasa sesak mengingat Fiyyin mengorbankan nyawanya selama ini untuk dirinya. "Zei, ada yang harus kukatakan padamu." gumam Nain lirih.
Zei masih menatap Nain khawatir dan mengusap air mata di pipi kanan Nain.
"Aku akan mendengarkanmu,"
Nain perlahan menceritakan semuanya. mulai dari Fiyyin yang selalu melindunginya di saat tertidur hingga di dunia nyata. Tentang Fiyyin dan Galtain yang tinggal di rumahnya. Bahkan tentang ayahnya yang berhasil di selamatkan dengan pengorbanan yang besar.
Zei yang mendengar itu semua sangat terkejut. Lidahnya bahkan kelu saat Nain mengatakan Fiyyin mengorbankan nyawanya untuk melindungi Nain dan mengatakan bahwa Fiyyin mencintai Nain. Seketika air mata menetes dari pelupuk mata Zei.
"Bagaimana denganmu, Nai? Apa kau juga mencintainya?" tanya Zei. Jauh di dalam hatinya ia ingin mendengar kata tidak dari bibi Nain, namun dengan semua yang telah mereka lalui dan terlihat ekspresi sedih yang mendalam saat Nain bercerita membuat Zei ragu Nain tidak memiliki perasaan pada Fiyyin.
Nain diam masih bisu dan menunduk dalam. Air matanya tak berhenti mengalir. Zei kemudian mendongakan dagu Nain, "Apakah karena aku? Kau menjadi ragu dengan perasaanmu?"
Nain mengangguk kecil. Zei tak tahan dengan jawaban Nain dan langsung memeluk tubuh Nain.
"Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?" Zei bergumam lirih. "Aku sangat berat melepaskanmu..." Zei semakin terisak dalam tangisnya hingga tersedu-sedu. Memikirkan wanita yang ia cintai ternyata mencintai orang lain.
"Maafkan aku.." Nain menyesal dengan bergumam lirih.