Nain menyipitkan matanya seraya meregangkan tubuhnya yang terasa pegal dikasur. Rasa kantuk yang masih melekat membuat Nain menguap lepas.
"Hoammm.."
"Tutup mulutmu saat menguap atau sesuatu akan masuk ke sana?" ucap pria tiba-tiba dari sofa terdengar familiar. Tangannya menyilang, sembari tenyuman kecil yang terlukis jelas di bibir tipisnya.
Serasa jantungnya berdegup cepat, Nain menoleh terkejut. "Kau?"
Fiyyin semakin mengembangkan senyumnya seraya melambaikan tangan kanannya. "Halo?"
Nain segera menarik selimut menutupi tubuhnya, "Apa yang kau lakukan di rumahku? Bagaimana kau bisa masuk?"
Fiyyin berdiri dan berjalan ke arah pintu, "Menurutmu apa?"
"A-apa maksudmu? Beraninya kau-"
"Apa yang kau pikirkan? Aku hanya memindahkanmu dari kursi sofa tadi malam. Dan memasuki rumahmu, kupikir kau mengerti bagaimana, karena aku bisa melakukannya. Lagi pula, aku belum sempat melakukan sesuatu padamu." Fiyyin tersenyum. Kemudian menghentikan langkahnya dan menoleh, "Ahh, segeralah mandi dan bersiap. Aku akan menunggumu di lantai bawah untuk memberitahu semua yang ku ketahui tentang mimpimu. Cepatlah."
"Hei! Hei!" Nain berteriak kesal menatap punggung pria tidak sopan itu, meskipun pria itu yang menyelamatkannya selama ini, tetap saja bagaimana mungkin dia bisa masuk sembarangan seperti itu, menyebalkan.
Fiyyin berjalan menuruni tangga seraya tersenyum, memikirkan tingkah Nain yang menggemaskan karena ia goda.
"Apa semua bangsa jin seperti itu? Sebaiknya aku berhati-hati mulai sekarang. Bagaimana jika tiba-tiba ada jin lain yang memperhatikanku sekarang?" Nain melirik di sampingnya , "Atau di sebelahku?"
"Menyeramkan jika aku sampai melihatnya." Nain kemudian menutup wajahnya dengan selimut.
"Aku masih tidak mengangka jika pria yang melindungiku selama ini adalah jin. Aku sedikit takut meskipun dia menolongku. Terlebih dia memasuki rumah orang seenaknya. Ouh! Astaga! Apa yang harus kulakukan?" gumam Nain dari balik selimut dengan risau.
Detik berikutnya, sebuah notifikasi pesan berbunyi, pesan dari Zei muncul di layar kunci ponsel Nain. Nain lekas membuka selimut yang menutupi wajahnya dan duduk mengambil poselnya.
💌 ("Nai, aku sudah tiba di luar kota. Penerbanganku di mulai tadi malam. Maaf tidak memberitahumu, aku tidak ingin membangunkanmu di tengah malam. Jaga dirimu baik-baik. Sampai bertemu lagi.")
💌 (Aku akan sering menghubungimu. Aku menyayangimu, Nai 🤗❤)
Nain menatap ponselnya seraya tersenyum. "Aku juga menyayangimu, Zei." gumam Nain kemudian membalas pesan Zei.
💌 (Jaga dirimu baik-baik. Aku juga menyayangimu.)
"Sebaiknya aku tidak mengganggu Zei dengan memberitahunya situasiku saat ini. Aku tidak ingin membuatnya khawatir."
"Hahh! Apa yang dilakukan manusia itu. Kenapa lama sekali?" Fiyyin menatap sebal ke arah tangga.
"Apa yang kau rencanakan?" kata Galtain dari dapur sambil membuka kulkas.
"Aku akan memberitahunya tentang perjanjian konyol itu." Fiyyin menyilangkan tangannya seraya memejamkan matanya
"Akhirnya! Apa kau benar-benar akan membiarkannya menyelesaikan masalahnya sendiri?" sahut Galtain seraya berjalan menuju sofa dengan membawa makanan ringan.
"Hmmm.. Karena aku akan kembali ke kerajaan Issy. Seluruh kaumku dalam bahaya, mereka lebih berharga dari pada satu nyawa (Nain)."
"Wahh.. Kau benar-benar selama ini melindunginya hanya karena ingin mencegah Vaqsyi membuat masalah. Dan setelah Vaqsyi akan baik-baik saja karena itu, kau berhenti melindungi gadis itu?"
"Hmmm.." Fiyyin mengangguk sekali kepalanya.
"Aku bear-benar pusing sekarang. Vaqsyi tidak hanya mengincar gadis itu tapi bangsa Issy di kota ini. Menyebalkan!" sambung Fiyyin.
Galtain mengangguk mengerti kemudian duduk di sebelah Fiyyin dengan mengunyah cemilan di mulutnya. "Lalu? Kapan kau akan pergi ke kerajaan Issy?"
"Secepatnya."
"Sepertinya aku juga harus pergi dari rumah ini saat kau juga pergi.."
"Benar. Kau harus kembali. Aku tidak akan membiarkanmu tinggal bersama manusia itu." jawab Fiyyin dengan nada sinis.
"Cih! Kau mengatakan itu seperti cemburu padaku."
Fiyyin segera membuka matanya dan menatap Galtain, "Apa maksudmu? Untuk apa aku cemburu. Lagi pula, untuk apa kau tinggal di alam fana, sementara kau di sini hanya untuk membantuku."
Galtain tersenyum kecil, "Hei! Aku di sini tidak hanya untuk membantumu, tapi juga untuk berlibur dari urusan istana, kau tahu."
"Ya! Aku akan membunuhmu jika kau masih di rumah ini saat aku tidak ada."
"Cih! Apa perdulimu. Jika mau pergi, ya pergi saja." Galtain tak menghiraukan Fiyyin. Kemudian menjentikkan jarinya untuk menyalakan tv.
Fiyyin terlihat kesal ikut menjentikkan jarinya untuk mematikan tv. "Jangan berani melakukannya! Kau tahu sendiri gadis ceroboh itu bahkan suka mengganti pakaian di mana saja, dan kadang tidak menutup pintu saat masuk ke kamar mandi."
Galtain tertawa. "Bagus."
"Ya! Kenapa kau tertawa? Jika aku tidak ada, aku tidak akan bisa lagi mencegahmu."
Galtain lagi-lagi tertawa. Fiyyin semakin kesal dan melingkarkan tangannya di leher Galtain. "Hei! Hentikan pemikiran k*tormu itu! Ini peringatan, atau aku akan membunuhmu! Hei!" Fiyyin dengan kesalnya mempererat tangannya yang melingkar di leher Galtain karena Galtain tak henti tertawa.
"Galtain! Aku benar-bener akan membunuhmu ! Dasar jin me**m!"
"Hah!" Nain menghembuskan napasnya tak percaya melihat dua jin pria tengah duduk di sofa rumahnya.
Fiyyin lekas menepis Galtain saat melihat Nain.
"Uhuk! Uhuk!!" Galtain terbatuk seraya mengatur napasnya saat hampir mati karena Fiyyin benar-benar melilit kuat lehernya.
"Sebenarnya kalian siapa? Sejak kapan kalian di sini? Ahh, dan apa alasannya?" tanya Nain setelah berhasil mengumpulkan mentalnya untuk melontarkan pertanyaan dari mulutnya pada jin di hadapannya ini.
Fiyyin tertawa, "Hei! Apa maksud pertanyaannya? Apa kau bertanya pada orang yang tengah kesurupan?"
"Uhuk!" Galtain menyelesaikan batuk terakhirnya kemudian ikut tertawa. "Pffft!! Hei! Dia benar-benar terlihat serius dengan pertanyaannya. Hahaha.." Galtain tertawa lepas.
"Hahaha.. Apakah lucu?" Nain tertawa tidak terpaksa seraya berjalan pelan menuju pintu keluar .
Fiyyin kemudian menghentikan tawanya dan menoyol kepala Galtain yang tak henti tertawa. Kemudian menahan tangan Nain yang hendak melewatinya begitu saja yang hendak keluar rumah karena takut.
Nain terkejut saat menyadari tangannya di genggam, "(Kau bisa melakukannya, Nai. Anggap saja mereka tidak ada. Lebih baik mencari tahu sendiri sekarang.)"
Fiyyin tersenyum kecil karena mendengar ucapan Nain dalam hati, "Duduklah. Aku akan memberitahumu semuanya."
"Tidak perlu. Aku bisa mengurusnya sendiri." Nain menepis tangannya.
"Apa kau takut? Sebelumnya kau sendiri yang memelukku bahkan setelah kau tahu aku adalah jin."
Nain mengerutkan dahinya, "(Benar. Aku berani karena sesaat tidak perduli jika kau adalah jin. Dan saat itu sedang ramai di luar rumah, mungkin karena itu aku tidak petduli.)"
Fiyyin lagi-lagi tersenyum, "Jika kau takut dan membayangkan rupa kami yang menyeramkan maka kami bisa merubah bentuk seperti yang kau pikirkan."
Nain menoleh cepat dan menatap kesal. Fiyyin kemudian menepuk pelan tangannya di dudukan sofa yang kosong di sebelahnya, "Duduklah. Kami benar-benar bisa melakukannya, kau tahu."
Nain menghembuskan napasnya kemudian duduk di sofa dengan terpaksa.
"Apa sekarang kau membayangkan aku sebagai makhluk yang tampan?" Fiyyin tersenyum, menggoda Nain di sebelahnya.
Nain menoleh serius dan berkata lirih, "Berhentilah menggodaku. Aku benar-benar takut, kau tahu. Entah ini perasaan apa, tapi aku senang bisa bertemu denganmu tapi mengetahui indentitasmu aku sedikit takut."
Hati Fiyyin seketika tersentak mendengar semua ucapan Nain yang terdengar lirih dan tulus. Kemudian Fiyyin meletakkan tangannya di kepala Nain dan mengusap pelan, "Semua baik-baik saja. Jangan takut."
Nain sedikit tenang dengan sikap Fiyyin. Menatap Fiyyin dengan mata beningnya kemudian mengangguk pelan, "Terima-kasih."
Fiyyin tersenyum lembut, "Mau jalan-jalan di luar?"
"Eemmm.." Nain mengangguk.
"Baiklah. Ayo!"
*TheSecretOfMyDream*
"Apa yang kau lakukan di istanaku?" Hartis berteriak lantang menatap Vaqsyi yang menerobos memasuki istananya.
Vaqsyi tersenyum kecil penuh arti, "Ayo bekerjasama." Vaqsyi menyodorkan tangannya dari kejauhan.
Hartis menatap tak mengerti dari singgasananya. Sementara Vaqsyi melanjutkan ucapannya, "Aku akan menyerang kerajaan Issy. Ayo bekerja sama menaklukkannya. Dengan begitu, kita akan menjadi kerajaan terkuat di negara ini."
Hartis tertawa tak percaya, "Hahaha.. Aku tidak tertarik."
"Sudah ku duga. Bagaimana jika aku mengungkap rahasia terbesarmu? Jika anakmu saat ini bukanlah-" Vaqsyi menghentikan ucapannya.
Hartis berdiri dari singgasananya. "Beraninya kau!"
Vaqsyi semakin mengembangkan senyum liciknya, "Bekerjasamalah."