Mereka berjalan beriringan dengan Nain berada di pinggir kanan, Fiyyin di tengah dan Galtain di pinggir kiri. Galtain kemudian memiringkan badannya dan menatap Nain.
"Hei! Manusia. Apa kau benar-benar tidak takut pada ke dua jin di sampingmu ini?"
Nain diam sesaat, kemudian menggeleng.
"Hei, kami tidak seperti yang kau bayangkan. Kami benar-benar menyeramkan, kau tahu."
"Hei! Hentikan!" Fiyyin menegaskan Galtain untuk berhenti.
"Tidak, aku tidak takut." Nain menjawab dengan santai dan tersenyum meyakinkan.
"Haha... Apa kau benar-benar mempercayai ucapan hantu ini?" Galtain menyodorkan jari telunjuknya ke arah Fiyyin. Sementara Nain membalas mengangguk.
"Hahaha.." lagi-lagi Galtain tertawa tak percaya. "Jangan mempercayai ucapannya. Kau tahu? Kami bahkan tidak saling mempercayai ucapan kami masing-masing. Ba-bagaimana mungkin kau bisa mempercayainya? Hahaha, dasar bo**h!" Galtain tergelak tawa.
"Hoy! Sudah kubilang hentikan!!" Fiyyin semakin menegaskan nada bicaranya.
"Selama aku memikirkan kalian adalah jin yang tampan, kalian akan menjadi seperti itu. Benar?" Nain menatap Fiyyin dengan harapan.
Fiyyin menoleh ragu kemudian tersenyum, "Benar."
"Wahhh, kau benar-benar mempercayainya?" Galtain tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Hmm." Nain mengangguk, "Kerena dia selama ini melindungiku. Aku harus mempercayainya."
"Wahhh.. Kau serius? Bagaimana jika akhirnya, setelah bertemu dengannya dia malah me-(ninggalkanmu)." seketika ucapan Galtain terhenti saat Fiyyin menutup mulut Galtain dan melingkarkan tangannya di leher Galtain.
"Kau terlalu banyak bicara. Apakah kau ingin mati?" bisik Fiyyin dengan mengancam.
Galtain menepis tangan Fiyyin dan membersihkan mulutnya, "Beraninya kau menutup mulutku dengan tangan kotormu!"
Nain tersenyum melihat tingkah Galtain. Sementara Fiyyin tak menghiraukan Galtain dan kembali menatap Nain.
"Kau mau di mana?" tanya Fiyyin kemudian.
"Hmmm... Aku lapar. Kebetulan sekali di sini banyak restoran. Bagaimana kalau makan dulu?"
"Ide bagus." Galtain menyahut cepat.
"Hei!" Fiyyin menatap Galtain kesal kemudian kembali menatap Nain.
"Aku tidak lapar. Sebaiknya cepat pilih tempat yang nyaman untuk memberitahu tentang mimpimu itu."
"Nanti saja. Aku benar-benar lapar." sanggah Nain.
"Benar. Aku juga lapar karena beberapa hari ini hanya memakan makanan ringan di kulkasmu." kata Galtain.
Nain menatap Galtain heran. "Pantas saja makanan di rumahku tiba-tiba berkurang akhir-akhir ini. Ternyata.."
Tak ingin di salahkan, seketika Galtain mencari alasan, "Aduh, perutku. Sebaiknya kita makan di sini saja. Aku benar-benar sudah tidak tahan." Galtain berjalan cepat memasuki restoran di sebelah kirinya seraya tersenyum kecil.
Nain beralih menatap Fiyyin. Fiyyin tersenyum canggung karena ia juga memakan makanan Nain beberapa hari ini.
"Apa kau juga-"
"Sepertinya aku juga lapar." Fiyyin membalikkan badannya seketika dan ikut berjalan cepat memasuki restoran, "Gal! Tunggu!"
Nain tersenyum melihat tingkah Fiyyin yang canggung, lalu berjalan menyusul.
"Aku akan memesan sup tulang." kata Galtain sembari menunjuk buku menu di meja.
"Pesankan aku juga." sahut Fiyyin.
"Aku pernah mendengar jika bangsa jin menyukai makanan yang bertulang, benar?"
"Benar. Ahh.. pasti indera keenam itu yang pemberitahumu." jawab Galtain menebak.
"Indera keenam?"
"Ah, maksudku, pacarmu. Siapa namanya?"
"Zei?" Nain kemudian tersenyum, "Zei banyak mengetahui tentang kalian, bahkan bisa melihat semua makhluk yang kasat mata. Dia juga sangat baik dan tam-"
"Oh, kau belum memesan. Pesanlah sesuatu lalu kita bisa memanggil pelayannya." ucap Fiyyin tiba-tiba menyanggah ucapan Nain. Saat mendengar Nain membicarakan Zei sepertinya membuat telinganya panas.
"Oh, iya. Baiklah, aku akan memesan."
Fiyyin tersenyum, "Baiklah."
Setelah selesai makan, mereka keluar dari restoran. Galtain memegang perutnya yang terasa kenyang kemudian menatap Nain.
"Hei, manusia. Terima kasih atas makanannya. Sepertinya kau tahu benar cara membalas berterima kasih. Kau tahu, aku juga pernah menolongmu, ingat?"
"Hmm.." Nain mengangguk, "Kau membawaku dari wc saat aku membunuh jin jahat waktu itu dan memberitahu beberapa informasi mengenai mimpiku."
"Bagus. Ingatanmu bagus juga." kata Galtain lagi.
"Sudah. Aku yang paling banyak melindunginya di sini. Seharusnya makanan saja belum cukup."
Nain menatap Fiyyin, kemudian tersenyum. "Benar. Makanan saja belum cukup." Nain membenarkan ucapan Fiyyin.
Fiyyin yang melihat senyum Nain yang begitu lembut dan polos membuatnya menjadi canggung, wajahnya terasa panas menatap Nain seperti ini.
"Sudahlah. Berhenti tersenyum. Ayo pergi!"
"Seperti ini?" Nain memainkan senyumnya.
"Aish! Aku bilang hentikan!"
"Seperti ini? Seperti ini?" kali ini Nain berjalan mundur di depan Fiyyin sembari memainkan senyumnya.
"Hentikan."
Nain tak menghiraukan dan terus tersenyum.
"Hei! Manusia. Hati-hati, kau bisa tersandung." Galtain mengingatkan.
"Tidak, aku ahli dalam ber-(jalan mundur)."
"Eh!" langkah Nain seketika terhenti saat menyadari menabrak seseorang dengan punggungnya.
"Ayah?" tatap Galtain tak percaya.
"Raja jalis?" Fiyyin ikut bergumam karena terkejut.
Nain segera menunduk meminta maaf, "Ahh.. Maafkan aku. Ini kesalahanku karena tidak berjalan dengan benar."
Hartis tersenyum. "Jadi, kau gadis manusia itu?"
Nain menatap bingung, "Anda mengenalku."
"Tentu saja. Fiyyin banyak bercerita tentangmu."
"Benarkah?" Nain tersenyum senang sambil melirik Fiyyin.
Fiyyin tersenyum canggung, kemudian beralih menatap Hartis. "Apa yang anda lakukan di alam fana? Apakah ada keperluan mendesak?"
Hartis melirik Galtain. "Ada hal yang perlu kukatakan pada anak itu."
"Wahh.. Bukankah lebih baik mengatakan namaku dari pada mengatakan anak itu?"
"Pffftt.." Fiyyin menahan tawanya. "Sudah ikut sana."
"Kalau begitu. Sampai bertemu lagi." kata Hartis berpamitan kemudian merangkul bahu Galtain untuk ikut.
"Ayah, aku lebih tinggi, seharusnya aku yang merangkulmu seperti ini." kata Galtain meledek ayahnya yang pas-pasan meraih bahunya.
"Tutup mulutmu."
Galtain segera berhenti bicara dan membuang wajahnya kesal. Selalu saja tidak bisa melawan jika sudah berhadapan dengan ayahnya.
Fiyyin melirik Nain canggung karena hanya tinggal mereka berdua. Ia tersenyum kikuk kemudian menunjuk suatu tempat.
"Apa kau mau ke sana? Sepertinya di sana sangat ramai untuk membicarakan mengenai mimpimu. Dan orang-orang juga tidak akan memperhatikan karena sibuk sendiri."
"iya? Iya." Nain setuju kemudian berjalan bersama.
"Apa di sini tidak terlalu ramai? Karena musim semi, orang jadi banyak mengunjungi bunga sakura putih ini. Kau yakin mereka tidak akan memperhatikan jika kita membicarakannya di sini?" kata Nain saat tiba di bawah pohon bunga sakura putih.
"Tidak, jika kau di suruh memilih tempat sepi atau ramai, sudah pasti kau akan memilih tempat yang ramai." jawab Fiyyin.
"Hmm.. Benar. Kalau begitu cepat beritahu aku."
"Ah! Ya. Kau ingin mengetahui dari mana?"
"Hmm.. Benarkah? Kalua begitu, apakah benar aku bisa bisa mati mekipun dalam mimpiku sendiri?" tanya Nain memastikan
"Benar."
"Lalu perjanjian itu? Kakekku menekan perjanjian dengan Raja Jin yang selama ini mencoba mencelakaiku, benarkah itu?"
"Ya, seperti yang di katakan Galtain padamu. Mereka membuat perjanjian."
"Perjanjian seperti apa? Dan apa alasan mereka membuatnya?" hati Nain seketika terasa sakit saat mendekati yang akan ia ketahui sebenarnya.
"Saat Raja Gifritan masih hidup, aku tidak sengaja mendengar perjanjian itu. Saat itu, aku melihat Raja Gifritan tengah bertemu di kamarnya dengan seorang pria paruh baya, kakekmu. Mereka membicarakan perjanjian bahwa Raja akan mengambil cucu ke tiga kakek itu jika ia laki-laki, namun jika perempuan akan di bunuh. Lalu imbalan dari perjanjian itu, pria paruh baya itu memiliki cucu meskipun hanya sampai 2 cucu saja. Dan kau lah cucu yang terpilih karena saudara kembarmu mati saat ibumu melahirkanmu."
Nain menitikkan air mata dan membasahi pipinya, "Karena itukah, ayah sangat membenciku? Dan bahkan pernah mencoba membunuhku. Karena itu, karena aku membunuh ibuku dan saudara kembarku." Nain berkata lirih.
"Iya."
"Bukankah sebaiknya aku mati saja hari itu. Dengan begitu, ayah tidak akan membenciku dan mencoba membunuhku saat itu?" Nain semakin terisak dalam tangisnya.
"Hei, pelankan suaramu. Kita mulai menjadi perhatian orang." Fiyyin menatap sekitar khawatir.
"Sebaiknya aku mati hari itu. Sebaiknya-"
"Hei," Fiyyin meraih tubuh Nain dan menaikkan dagu gadis ini dengan teleunjuknya, tatapan dalam itu di sambut dengan gugurnya bunga-bunga di sekitar mereka.
"Aku sudah bilang pelankan suaramu kan. Semua sudah terjadi, jangan menyesalinya. Kau hanya perlu memperbaikinya dan menyelesaikan masalah itu. Mengerti?"
Perlahan hati Nain tersa damai kemudian mengangguk. Namun masih dengan tatapan yang dalam, perasaan tenang saat pria di hadapannya ini menasehatinya dengan nada lembut membuatnya terharu.
Wajah Fiyyin seketika merona merah seiring tatapannya yang dalam. Perlahan namun ragu, Fiyyin semakin mendekatkan wajahnya sembari menatap bibir tipis wanita di hadapannya ini. Nain tergelak, entah apa yang ada di pikirinnya, ia memejamkan mata. Wajah mereka semakin mendekat, dan..