"Apa Raja Issy mencoba membalaskan dendam pada kerajaan kita? Karena dahulu kita pernah mencoba menghancurkan kerajaan mereka? Atau mereka tahu mengenai perjanjian itu?" Randi menerka isi pikirannya.
Vaqsyi lantas berdiri tegas dari kursi siggasananya, di ikuti oleh pengawal istana di sekitarnya yang menjamu sikap Vaqsyi.
"Percepat pengumpulan prajutrit perang. Kita akan menyerang kerajaan Issy. Ini kesempatan bagus untuk menyerang negara yang tidak memiliki Raja dan Ratu." Vaqsyi menarik sudut bibirnya dan membuat senyuman penuh arti, "Keberuntungan. Tangkap satu dapat semua."
Vaqsyi kemudian berjalan meninggalkan singgasana dan berjalan menuju ruang kamarnya. Ia menatap bayangannya di depan cermin kamarnya, satu tangannya memegang mahkota di kepalanya seraya bergumam.
"Kehidupan abadi. Setelah aku berhasil membunuh gadis itu dan mengambil nyawanya sebagai tumbal, aku akan hidup kekal di tubuh ini dengan kekuatan besar dan menjadi Raja yang berkuasa setelah berhasil merampas negara bangsa Issy." Vaqsyi tersenyum kecil penuh arti seraya melihat dirinya di depan cermin, "Tunggulah sebentar lagi, nak. Penderitaanmu akan segera berakhir." Terlihat bayangan samar Gifritan di dalam tubuh Vaqsyi dari cermin. Satu tubuh dua roh? Mungkinkah?
.... ***Abad ke-17***
Cratss!! Sringgg!!! Berkali-kali suara sayatan berdenging di telinga. Dari istana Ghaur, kerajaan yang di pimpin oleh Raja Gifritan Gaalxi, sebuah pertarungan antara kerajaan Ghaur yang di pimpin oleh Gifritan dan Kairos terjadi peperangan perebutan kekuasaan. Akibat ingin memperluas wilayah di dasar laut membuat pertumpahan darah di istana milik Gifritan.
Seluruh pengawal dari masing-masing kerajaan hampir habis terbunuh. Sementara Raja Gifritan dan Raja musuh-Kairos kini berhadapan menyilangkan pedang mereka.
"Menyerahlah! Beraninya kalian mencoba merebut kekuasaan yang ku pimpin! Lihatlah pengawalmu, hanya beberapa yang tersisa." ucap Gifritan dengan nada sinisnya.
Kairos membalas tatapan sinis Gifritan, "Kau pikir kau sudah menang? Anakmu Vaqsyi bahkan belum datang membawa pasukannya. Tapi sebelum itu, aku akan membunhmu lebih dulu! Dan menenangkan pertarungan ini."
Kairos dengan lihai memainkan pedangnya, dengan cepat Gifritan menangkis pedang itu.
"Ayah?" Vaqsyi bersama pasukannya baru saja tiba di puntu masuk istana.
Gifritan menoleh, bertepatan dengan itu, Kairos menancapkan pedangnya ke perut Gifritan dan membuat gifritan memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Tidak!!!" Vaqsyi tergelak, badannya kaku menatap ayahnya berlumuran darah dengan pedang yang menembus perutnya. Namun detik berikutnya Vaqsyi tidak tinggal diam dan mengeluarkan perintah, "Bunuh dia! Cepat! dan bunuh pengawalnya yang tersisa agar tidak ada saksi mata atas keberhasilannya menusuk Raja kita. Cepat!!"
"Baik, pangeran."
"Apa yang kalian lakukan? Aku sudah menang melawan Raja kalian. Akulah yang berkuasa dan menjadi Raja kalian sekarang. Ikuti penrintahku!" Kairos gemetaran, kakinya melangkah mundur perlahan melihat prajurit Vaqsyi melangkah mendekatinya.
"Tutup mulutnya. Dan bunuh dia segera! Raja Gifritan masih bertahan. Cepat!" lagi-lagi Vaqsyi memerintah.
"Bed**ah s**l! Alam tidak akan mengampuni kecurangan kalian!"
Cratttss!!! Kalimat itu menjadi ucapan terakhir Raja Kairos setelah prajurit memenggal kepalanya dengan pedang.
Vaqsyi kemudian berlari kecil menghampiri Gifritan. Dengan bergelinang air mata, Vaqsyi memangku kepala Gifritan.
"Ayah, bertahanlah!"
Gifritan menjerit pelan, "(Tubuhku sudah tidak mampu lagi menjadi Raja. Aku harus mencari tubuh lain.)" gumam Gifritan dalam hati di sela rasa sakitnya. "(Seperti yang dikatakan peramal, aku akan mati dalam perang. Beruntung aku sudah membuat perjanjian dengan manusia tua itu, setelah aku berhasil berpindah tubuh nanti, aku akan membunuh cucunya sebagai penyempurna kehidupanku di dalam tubuh baru nanti.)"
"Ayah. Kumohon, bertahanlah." Vaqsyi semakin terisak dalam tangisnya.
"A-nakku. Selamatkan aku."
"Pasti, pasti aku akan menyelamatkanmu, ayah." jawab Vaqsyi dengan khawatir.
"Bawa aku ke kamar. Cepat!" Gifritan menggenggam erat tangan Vaqsyi.
Vaqsyi bersama prajuritnya kemudian menggotong tubuh Gifritan dan membawanya ke kamar.
"Tinggalkan aku bersamanya." Titah Gifritan sambil menatap Vaqsyi. Perintah itu dituruti oleh prajuritnya dan keluar meninggalkannya.
"Ayah? Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus memanggil tabib istana?"
"Tidak, tidak perlu. Tubuh ini sudah terlalu tua untuk bertahan."
"Ayah?" Vaqsyi menyangkal ucapan Gifritan.
"Gifritan menahan rasa sakitnya, kemudian menggenggam tangan Vaqsyi. "Apa kau akan melakukan apapun untuk meyelamatkanku?"
Vaqsyi mengangguk. Gifritan kembali melanjutkan ucapannya, "Izinkan aku untuk memasuki tubuhmu melalui aliran darah."
Vaqsyi tergelak, tubuhnya gemetaran mendengar ucapan ayahnya. Sementara Gifritan kembali melanjutkan ucapannya.
"Hanya sementara. Aku akan berpindah tubuh setelah anak manusia itu tumbuh dewasa dan mengambil alih tubuhnya. Aku pastikan dia adalah laki-laki. Setelah itu, kita akan hidup bahagia seperti biasanya." Gifritan mempererat genggamannya, berharap persetujuan dari anaknya.
"Ini akan menyalahi aturan kehidupan abadi. Tapi jika aku mendapat persetujuan untuk memasuki tubuhmu, dan selama tidak ada yang mengetahuinya, semua akan baik-baik saja." Gifritan menyambung kata-katanya.
Vaqsyi mencoba mempercayai ucapan ayahnya, "Baiklah, ayah. Selama kita masih bisa hidup bersama, aku akan melakukannya. Tapi berjanjilah kau akan berpindah dari tubuhku jika saatnya tiba, aku juga ingin hidup."
Gifritan mengangguk, "Aku berjanji," Gifritan kemudian tersenyum kecil penuh arti dan berkata dalam hati, "(Aku berjanji jika anak manusia itu laki-laki, aku akan mengambil alih tubuhnya. Namun jika perempuan, aku akan membunuhnya sebagai tumbal dan hidup di dalam tubuhmu selamanya, Vaqsyi. Bo**h!)"
...***(bersambung)***
*TheSecretOfMyDream*
Setelah pelajaran selesai berlangsung, Nain yang terlihat kesal mengemasi barang-barangnya untuk segera pulang. Suara bisikan tentangnya membuat darahnya naik.
"Nain serakah, ya. Kemarin Zei sekarang Fiyyin. Apa dia akan mengencani semua pria tampan di sekolah ini?"
"Benar, dasar ja**ng!"
"Euhhh!"
Nain menahan amarahnya dan mempercepat mengemasi barangnya. "Apakah mereka tidak bisa mengumpat dalam hati, agar aku tidak bisa mendengar ucapan menyakitkan itu? Ouh, astaga!"
Nain terburu-buru melangkah ke luar kelas, menghindari tatapan sinis yang mengarah padanya.
"(Semoga mata mereka semua perih!)" doa Nain dalam hati, bersama dengan langkahnya.
Fiyyin yang dapat mendengar doa Nain tersenyum, "Konyol! Benar-benar konyol!" Fiyyin semakin melebarkan senyumnya dan sedikit tertawa. Fiyyin kemudian berdiri dan menyusul Nain.
Nain mengeluarkan ponselnya seraya berjalan, "Kenapa Zei belum membalas pesanku? Dia bahkan tidak mengangkat telponku?" Nain kemudian menoleh waspada, "Aku harus kerumah sakit sekarang dan memeriksa apakah Zei mendapatkan hasil pemeriksaannya. Kumohon! Semoga Zei tidak melihat hasilnya."
"Rumah sakit?" gumam Fiyyin heran dari belakang. "Jadi indera ke 6 itu sakit? Sejak kapan? Dasar lemah."
Di tengah fokusnya Nain menatap ponselnya, tanpa sadar ia tak melihat sebuah batu yang dapat membuatnya tersandung.
"Oh!" Fiyyin langsung menarik tangan Nain. Nain memutar setengah lingkaran dan membentur tubuh Fiyyin.
"Perhatikan jalanmu. Kau bisa tersandung!" Fiyyin mengomel.
Nain masih terkejut dan diam. setelah beberapa saat Nain mendorong Fiyyin menjauh, "Menjauhlah!" Nain kemudian membalikkan badannya dan lanjut berjalan cepat.
Fiyyin menatap heran, "Apa sulit mengucapkan terima kasih? Hei!" Fiyyin berlari kecil menghampiri Nain.
"Sudah kukatakan. Jangan memunculkan wajahmu di hadapanku lagi. Apa kau tidak dengar? Lagi pula. Apa pentingnya ucapan terima kasih dariku." Nain semakin mempercepat jalnnya dan tanpa mengindahkan pria di sampingnya.
Fiyyin terkekeh, "Jika aku tidak menarik tanganmu, mungkin kau sudah tersungkur ke jalanan, kau tahu?"
"Maka biarkan hal itu terjadi." balas Nain dan seketika menghentikan langkahnya. "Jangan pernah membantuku ataupun menolongku lagi. Kau tahu? Aku bisa melakukannya sendiri."
Fiyyin ikut menghentikan langkahnya dan menatap Nain, "Begitukah? Kalau kau bisa melakukannya sendiri lalu bagaimana dengan mimpimu? Apa kau bisa menyelesaikannya sendiri tanpa melukai orang di sekitarmu?!"
Nain seketika tergelak, dunia di sekitarnya seketika terasa terhenti. Pria di hadapannya ini tahu tentang mimpinya? Mungkinkah dia pria itu? Pria yang selalu hadir dalam mimpinya?
"Kau? Bagaimana kau tahu tentang mimpi itu?" Nain mengatur napasnya dan melanjutkan kata-katanya, "Mustahil?" Nain masih tak menyangka jika pria di hadapannya ini adalah jin yang hadir dalam mimpinya dan sekarang menjelma sebagai manusia.