Chereads / The Secret Of My Dream - tahap revisi / Chapter 24 - 24. Apa yang Kau Rencanakan, Vaqsyi?

Chapter 24 - 24. Apa yang Kau Rencanakan, Vaqsyi?

"Bagaimana dengan tubuh Pengawal yang terbunuh, Yang Mulia? Apakah hamba harus mengantarkannya ke peristirahatan?"

Vaqsyi menarik sudut bibirnya kemudian berdecih, "Cih! Mengantarnya? Apa aku terlihat baik sehingga mengizinkannya? Tidak perlu! Biarkan saja dia membusuk di hutan. Mengurus hal kecil seperti itu saja tidak be*us!"

"Baik, Yang Mulia." jawab pengawal utusan.

"Di mana Farzan?!" tanya Vaqsyi kemudian pada pengawal utusan di depannya.

"Dia belum kembali, Yang Mulia."

"Cari tahu di mana Farzan!" perintah Vaqsyi pada pengawal utusan yang berdiri di dekatnya.

"Baik, Yang Mulia." pengawal itu menunduk hormat.

"Apa yang kau rencanakan, Vaqsyi? Pengawalmu yang kau utus untuk membunuh gadis itu sudah mati." bisik Randi dari kursi penasihat.

"Aku berencana turun tangan. Gadis itu, Aku sendiri yang akan membunuhnya dengan tanganku!"

"Apa itu artinya.." Randi mencoba menerka.

"Benar, aku akan ke dunia manusia saat waktu luang."

Sementara Randi menarik sudut bibirnya, membuat senyuman kecil penuh arti. "Baguslah. Dengan begitu kau akan segera menyelesaikan rencanamu selama ini."

Vaqsyi tersenyum kecil, "Siapkan perlengkapanku. Aku akan mulai bergerak besok." perintah Vaqsyi pada pelayan di dekatnya.

"Bagaimana dengan Fiyyin? Dia tidak akan berhenti menghalangimu." sahut Randi lagi.

"Panah itu, hanya gertakan. Aku akan menangkapnya jika dia msih berusaha menghalangiku."

"Yang Mulia." Panggil Farzan saat baru saja tiba.

Vaqsyi tersenyum, "Apa yang terjadi di sana? Bagaimana mungkin manusia itu bisa membunuhnya?"

"Manusia itu tidak sendiri yang mulia, dia di bantu oleh Jin tingkat menengah. Hamba rasa, dia adalah penghuni rumah manusia itu sebelum tuan Fiyyin dan Galtain mengusirnya." jelas Farzan.

"Penghuni rumah? Apakah dia menampakkan diri?" tanya Vaqsyi lagi semakin penasaran.

"Hamba tidak tahu, Yang Mulia. Jin di sekitar sana tidak ada yang berani mengatakannya."

"Menarik sekali. Jika dia menampakkan diri dan membantu manusia itu, sudah pasti dia bukan dari kelas menengah." Vaqsyi menyeringai.

"Lantas bagaimana, Yang Mulia? Apakah hamba perlu mencari informasi tentangnya?"

"Tidak perlu. Aku akan memastikannya sendiri. Ikutlah denganku besok."

"Baik, Yang Mulia."

*TheSecretOfMyDream*

"Bagaimana, dok?" tanya Nain tiba-tiba, saat melihat seorang dokter baru saja keluar dari ruang rawat Zei.

"Apa anda walinya? Saya hanya bisa mengatakan pada walinya." tanya dokter memastikan.

"Saya, saya sudah seperti keluarganya." jawab Nain sempat ragu.

"Di mana walinya?" tanya dokter itu lagi.

"Zei, maksudku pasien hanya tinggal seorang diri selama ini." jelas Nain.

"Hmm.. Baiklah. Mari ikut saya." Dokter itu berjalan lebih dulu dengan tujuan Nain mengikutinya.

"Baiklah."

Nain tiba di ruang dokter dan duduk. Sementara dokter itu mengambil selembar kertas, terlihat gambar hasil CT Scan di sana.

"Ini adalah kepala pasien. Dan ini otaknya. Beberapa gumpalan darah mengumpul di otaknya, pasien harus segera melakukan operasi. Jika tidak, pasien tidak akan bertahan lebih lama."

Setelah selesai mendengar penjelasan Dokter, Nain berjalan oleng di pinggiran dinding setelah keluar dari ruangan Dokter. Seraya mengingat kembali ucapan dokter, "(Sayangnya, kami tidak memiliki dokter yang bisa mengoperasi bagian kepala. Jika anda mengizinkan, kami akan memindahkannya ke rumah sakit yang lebih besar di luar kota agar bisa melakukan operasi di sana.)"

Nain tiba-tiba terduduk di lantai dan menitikkan air mata, "Karenaku, semua karena aku. Zei? Maafkan aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa?" Nain terisak dalam tangisnya dan mengingat ucapan Zei saat kecil, ...

"(Kau tahu, Nai? Apa yang paling kutakutkan?)" Nain menggeleng dan Zei melanjutkan ucapannya, "(Berada di ruang operasi. Di sana sangat menakutkan, organ tubuh kita akan di robek dengan pisau dan alat tajam lainnya akan membuat organ dalam kita terlihat. Aku benar-benar takut saat membayangkannya.)"

"(Benarkah? Aku juga takut. Tapi.. Bukankah paman dan bibi pernah melakukannya? Apa mereka tidak takut?)" tanya Nain dengan suara cemprengnya.

Zei menunduk dalam, "(Mereka pasti sangat ketakutan. Setelah melakukan operasi itu, mereka pergi meninggalkanku. Kata ayahmu, dokter melakukan kesalahan saat operasi, karena itu mereka juga pergi..)" Zei menangis hingga tersedu-sedu. Nain yang mendengarnya takut dan ikut menangis.

... "Zei? Aku takut. Aku takut kau tidak akan melakukan operasi itu." Nain semakin terisak dalam tangisnya.

Sementara di ruang rawat, Dion baru saja tiba dari mini market membawa beberapa cemilan untuk di makan. Zei tersenyum setelah sadarkan diri melihat kehadiran Dion-teman dekatnya.

"Kebetulan sekali aku sedang lapar. Berikan?" Zei menyergap kantong pelastik di tangan Dion.

"Hei! Apa yang kau lakukan? Berbaringlah, kepalamu baru saja di obati!" Dion menatap cemas.

"Aah! Kau berlebihan. Aku sudah tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil. Tapi, cepat bawa aku pulang ya?" Zei memohon di sela makannya.

"Ya! Ya! Aku tahu kau sangat takut dengan rumah sakit. Dasar, lemah!" ledek Dion.

"Enak saja. Aku bukannya takut, tapi-" Zei belum sempat melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba saja Zei teringat dengan Nain, "Hei! Di mana, Nain?"

"Nain? Aku tidak melihatnya di luar,"

"Aish! Kau meninggalkannya? Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Para Jin itu mengincar nyawa Nain!"

"Astaga! Aku lupa. Aku akan segera mencarinya kau tunggu di sini."

Baru Dion membuka pintu, ia langsung mendapatkan Nain tengah berdiri di depan pintu, "Nain? Baru saja aku ingin mencari-"

ucapan Dion terhenti saat Nain melewatinya begitu saja dan tersenyum kecil, "Zei?"