"Hai kawan," sapaan akrab dari seorang pria dibalas senyuman oleh Axton.
"Hai juga Dalton," balas Axton saat pria berusia sama dengannya saat pria itu sudah berada didekatnya.
"Kau kelihatan sepertinya senang? Apa kau sudah mempunyai kekasih atau dekat dengan seorang gadis hah?" Pertanyaan itu hanya dibalas Axton dengan alis mengkerut.
"Kenapa kau berpikir aku seperti itu?"
"Kau ini bodoh atau pura-pura bodoh sih, belakangan ini kau sangat aneh. Senyum sendiri sambil melamun, sering menatap layar ponsel dan yang paling baru akhir-akhir ini kau terlihat membawa bekal. Ayolah Axton, aku ini sahabatmu!" kata Dalton sambil mondar mandir di depan Axton.
Namun, Axton tak mendengar dia malah sibuk membalas chat dari Wenda. Memberikannya kata-kata penyemangat agar jangan menyerah dan menawarinya untuk diberikan kendaraan agar mengantarnya.
Sama seperti biasa, Wenda menolak halus penawaran Axton dan memilih untuk pergi sendiri. Dia jadi agak khawatir dengan keadaan istrinya yang kesana kemari hanya seorang diri.
"Itukan kau tak mendengarku dan memilih untuk chat? Eh, siapa seseorang yang berbalas chat denganmu, coba aku lihat." ujar Dalton mendekati Axton mencoba merebut smartphone.
Tapi Axton dengan sigap menyimpan ponselnya tak ingin memberikan Dalton untuk mengutak atik ponselnya. Dalton mengomel dan mencoba untuk mengambil ponsel Axton lagi yang tersimpan dalam saku jas Axton, Axton juga tak mau kalah dalam mempertahankan ponselnya.
"Tuan Axton," ucapan Cody menghentikan pertengkaran keduanya. Mereka memandang Cody yang berada di depan pintu.
"Semuanya sudah siap Tuan, Rapat akan segera dimulai." lanjutnya lagi. Axton tersenyum penuh kemenangan dan menatap Dalton yang jengkel.
"Aku pergi ke ruang rapat dulu ya, maaf jika aku tak bisa membantumu untuk menyeleksi pegawai baru kita Dalton, tolong kerjakan pekerjaanmu dengan baik ok?"
"Baik Presiden," sahut Dalton malas. Axton lalu pergi meninggalkan Dalton sendirian di ruang kerjanya. Pria itu mendengus kesal dan menggerutu sesaat lalu pergi untuk bekerja.
๐๐๐๐
"Kamu dari mana saja sih?!" marah seorang wanita sambil menatap tajam pada Dalton yang baru saja datang. Wajar saja jika wanita itu mengomel, dia dan salah satu temannya agak kepayahan dalam menyeleksi ratusan orang yang ingin bekerja di Denzel Company.
"Iya, iya maaf. Cih dari tadi dibikin kesal sekarang dimarahi Ukh! apa ini hari kesialanku?!" Gerutu Dalton.
"Hei?! Jawab dong jangan marah-marah nggak jelas! Katakan padaku kenapa kau terlambat?" tanya si wanita dengan tatapan mengintimidasi.
"Heh, kau tak seperti tahu aku saja Brenda. Aku dan Axton itu 'kan soulmate jadi setiap hari aku datang dulu ke ruangan kerjanya."
"Dalton, kau sama sekali tak punya rasa hormat pada Presiden. Walau Presiden itu sahabatmu tak seharusnya kau bersikap seperti itu!" tegur Salsa, teman Brenda.
"Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Presiden?" tanya Brenda penuh minat.
"Dia gila." jawab Dalton sembarangan.
"Dalton!" Dalton terkekeh mendengar suara hardikan dari dua wanita itu.
"Jangan ngomong sembarang Dalton, dia itu atasanmu. Apa kamu mau dipecat hanya karena mulutmu yang ember itu?"
"Lah itu memang kenyataannya, dia itu sekarang senyam-senyum layaknya orang gila, menatap ponsel terus, pokoknya sifatnya itu mirip orang yang lagi kasmaran. Aku pikir gosip itu benar, kalau dia itu sudah punya pacar." bisik Dalton.
"Jangan bercanda kau!?" bentak Brenda tiba-tiba mengejutkan Salsa dan Dalton.
"Eh, kok kamu marah?"
"Ya iyalah karena..." perkataan Brenda terpotong saat seorang wanita masuk. Dalton segera mengambil tempat untuk duduk di samping Brenda. Dia membaca fomulir pendaftaran yang ditulis oleh si wanita.
"Namamu Wenda Kusumo, benar 'kan?"
"Ya Tuan," jawab Wenda.
"Di sini anda hanya lulus SMA, apa anda sudah memikirkan baik-baik ketika anda ingin melamar pekerjaan di sini?" tanya Brenda meremehkan.
"Sudah Nona." jawab Wenda sekali lagi.
"Kalau begitu, kenapa anda ingin bekerja di Denzel Company?" tanya Salsa.
"Selagi untuk belajar saya ingin..."
"Apa belajar?" potong Brenda dengan nada tak bersahabat.
"Kau pikir Denzel Company itu adalah tempat untuk belajar, begitu?!"
"Brenda," Brenda menoleh pada Dalton yang mengisyaratkan agar dia diam.
"Maafkan saya Nona, saya memang hanya lulusan SMA. Tapi saya jamin, saya bisa bekerja dengan baik di sini walau semuanya butuh proses tapi saya akan cepat belajar." ujar Wenda bersungguh-sungguh.
Dalton tersenyum simpul sebelum akhirnya menempatkan semua data Wenda di sampingnya. "Selamat ya Nona Wenda Kusumo, anda saya terima untuk bekerja di sini."
Perkataan Dalton sontak saja mengejutkan Brenda dan Salsa. "Tapi..."
"Saya harap ucapan anda benar-benar terbukti." Wenda tersenyum lebar sebelum akhirnya menjabat ketiga orang yang akan menjadi atasannya.
"Terima kasih Tuan,"
"Sama-sama Nona." Wenda keluar meninggalkan Brenda yang menatap tajam pada Dalton.
"Apa-apaan itu tadi?! Kenapa kau menerimanya?!"
"Karena aku suka dengan semangatnya. Dia sepertinya bisa kita andalkan." jawaban Dalton tak dirasa puas oleh Brenda yang mendecih.
"Sekarang aku tahu kenapa kau lemah karena kau naif," ejek Brenda.
"Dan sekarang aku tahu kenapa kau tak pernah promosi jabatan lagi, karena kau seperti nenek sihir, marah-marah terus." sindir Dalton. Brenda geram dengan sindiran Dalton, jika saja dia tak di tanah oleh Salsa, mungkin saja dia akan menghajar Dalton membabi buta.