"Kau yakin tidak mau kuantar sampai ke depan perusahaan tempat kau melamar?" tanya Axton sekali lagi meragukan keputusan Wenda agar menerima tawarannya.
Tak usah, aku tak mau kau kerepotan. Aku sudah sangat senang karena kau mau mengantarku, lagi pula aku tak mau ada orang yang tahu kalau aku diantar oleh kau. Seperti aturan yang tertulis di dokumen pernikahan kita, kita berdua tak boleh memamerkan pasangan"." putus Wenda.
"Tapi..."
"Aku akan baik-baik saja, percayalah padaku." potong Wenda sekali lagi. Axton membuang napas kasar, baru kali ini dia menghadapi seorang gadis yang sangat keras kepala seperti Wenda.
Anehnya, Axton selalu mengalah pada Wenda padahal dia terkenal akan keputusan bulat yang tak bisa digugat oleh siapapun. Axton melirik pada Wenda yang kini penampilannya berbeda.
Dia nampak cantik dengan kemeja biru dan rok pendek yang dia pakai, Wenda memoleskan lipstick berwarna merah muda di bibirnya tak sadar kalau dia terus diperhatikan oleh Axton.
Mobil mewah Axton berhenti tak jauh dari perusahaan tujuan Wenda. "Aku pergi dulu ya," pamit Wenda pada suaminya itu. Dia berangsur menjauh dari suaminya hendak membuka pintu mobil.
Tapi itu sebelum Axton menariknya mendekat. Wenda menaikkan satu alisnya saat melihat tatapan berbeda Axton. "Kenapa kau melihatku seperti itu?"
"Kau cantik." Darah Wenda berdesir hebat saat mendengar dua kata itu meluncur dari pria yang dinikahinya.
"Aku suka melihatmu berdandan seperti ini. Lain kali berdandanlah untukku ya," Wenda bergumam pelan menjawab pintaan Axton dengan merundukkan kepalanya.
"A-aku harus pergi," kata Wenda berjalan secepatnya keluar. Dia tak berani memperlihatkan wajahnya yang memerah pada Axton.
Nanti makin malu sama pria itu. Axton tergelak kecil melihat Wenda salah tingkah. "Tuan," ucapan si supir menyadarkan Axton.
"Apa kita ke perusahaan sekarang?" tanya supir itu.
"Ya, kita pergi ke perusahaan." jawab Axton.
Wenda menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. "Ayo Wenda, kau pasti bisa melakukannya. Ini saatnya kau keluar dari zona nyamanmu, mudah-mudahan kau bisa mendapat pekerjaan ini."
Dia lalu memberanikan diri untuk masuk ke perusahaan yang berada di daftar perusahaan untuk lowongan pekerjaan. Tapi setelah diwawancara, Wenda keluar dari perusahaan dengan menghela napas berat.
Tapi Wenda tak putus asa dia lalu menuju ke perusahaan lain. satu demi satu perusahaan dia datangi tapi tak ada satu pun yang menerima Wenda.
Wenda menyeka peluh di dahinya sambil memandang bangunan megah perusahaan Denzel Company yang berada di depannya. Ini adalah perusahaan terakhir di daftar Wenda.
"Mudah-mudahan perusahaan ini bisa menerimaku," harap Wenda sebelum akhirnya masuk ke bagunan tersebut.
Berjalan kikuk, dia mendekati meja receptionist. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya receptionist sopan.
"Apa lowongan kerjanya masih buka?"
"Masih, silakan masuk saja ke dalam Nona." sesuai dengan petunjuk, Wenda berjalan masuk tak lupa dia mengucapkan terima kasih pada receptionist.
Setelah dia masuk lebih dalam, dia lalu bertanya pada seseorang yang berada di dekatnya. "Iya benar mbak, silakan isi fomulir dulu dan kumpulkan lagi."
Wenda mengambil fomulir pendaftaran dan menulisnya. Setelah selesai, dia mengembalikkan fomulir yang sudah selesai dia isi.
Wenda menunggu dengan gusar sebelum akhirnya namanya dipanggil untuk wawancara. "Nona Wenda Kusumo,"
"Ya," balas Wenda singkat.
"Silakan masuk."