Chereads / Re:Birth : Greatest Despair / Chapter 1 - Prolog.

Re:Birth : Greatest Despair

🇮🇩Kazafa
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 28.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog.

5 tahun setelah mereka berpisah.

Suasana yang sejuk menyelimuti orang-orang yang tengah berangkat untuk bekerja pagi ini, tetapi ada satu hal yang unik disini, mereka mungkin terlihat rapi dengan atribut kerja mulai dari kemeja, celana atau rok ketat dengan balutan jas berwarna gelap, atau dengan kaos yang ditutupi dengan jas. Mungkin banyak profesi mereka, akan tetapi tidak untuk Azfar pagi ini. Karena baginya, pagi ini adalah hari yang cukup membuatnya tertarik. Entah kenapa, karena hari ini adalah hari dimana mereka bertiga akan bertemu setelah beberapa tahun berpisah untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Azfar tengah berada di sebuah penginapan sederhana di pinggiran kota. Dia masih merapikan penampilan dan juga menggosok gigi dan mencuci mukanya dan mengganti pakaiannya dengan setelan kemeja dan juga jas. serta dompet di sakunya.

Azfar membuka pintu dan menutup pintu seraya menguncinya, dia berangkat pagi-pagi karena takut untuk terlambat. Maklum, dia adalah yang paling susah dalam urusan bertemu. Karena dari kedua temannya itu, dia memiliki nilai paling rendah dan juga rasanya dia tidak mungkin bisa sejauh ini sampai disini tanpa bantuan mereka berdua. Meskipun memiliki kemampuan berbahasa asing yang mumpuni, Azfar tetap saja tidak bisa pergi ke negara yang ingin dia kunjungi. Dan kali ini dia akan jujur pada teman-temannya jika ia telah berhasil untuk mengunjungi sebuah negara, itulah yang terbayang dibenaknya. Tetapi ia sedikit ragu karena kedua temannya telah berada di posisi yang melampauinya.

Azfar melanjutkan perjalannya dengan berjalan kaki di sepanjang trotoar ini sambil berhenti sesekali untuk memastikan jalannya agar tidak jauh dari tujuannya.

Sementara itu di sudut lain dari kota di sebuah hotel, seorang lelaki berperawakan gagah telah bangun dari tidurnya bersama istrinya. I-Lee teman Azfar semenjak berada di sekolah, dia adalah teman pertama dan terakhir baginya, sedangkan I-Lee menganggap Azfar sebagai sahabatnya. Karena anggapan mereka tentang teman dan sahabat saling berbeda, dan I-Lee memaklumi itu. Saat terbangun istrinya membuatkannya secangkir teh hijau.

"Sudah bangun? Cepatlah untuk berganti baju dan makanlah roti serta minum ini sebelum berangkat..."

"Ah, iya... tentu saja aku akan memakan apa saja yang engkau makan."

"Eh, sungguh. Bahkan jika aku memasak sesuatu yang bahkan asing dan terdengar seperti racun? Dan ketika engkau sekarat aku akan berkata dengan nada jahat dan lantang kepadamu, rasakanlah makananku, dan aku akan menguasai seluruh aset-asetmu, hahaha.... apakah kamu akan tetap berkata demikian, sayangku?"

"Bisa engkau hentikan itu? Bahkan karena ucapanmu, aku mungkin akan melupakan apa yang seharusnya aku lakukan pagi ini. Coba cek jadwalku hari ini sayangku?"

"Eh, apa kau tidak ingat dengan janjimu 5 tahun yang lalu?

"Eh memang apa yang aku janjikan?"

"Apa kau benar-benar melupakannya?"

"Eh, sungguh, apa yang kau katakan tentang janji itu? Aku sungguh tidak mengerti, ayo cepatlah jujur padaku. Sebenarnya apa itu?"

"Oke, baiklah. Bukankah hari ini engkau punya agenda dengan kedua temanmu?"

"Hm... tunggu, biarkan aku berpikir sejenak——"

"Sungguh bodoh, bisa-bisanya aku melupakan hal itu."

"Ya ampun, bagaimana bisa suamiku yang cerdas itu melupakan hal seperti itu— ah, dasar."

"Yah, maafkan aku. Aku akan cepat berganti, lalu aku akan menemuimu lagi."

"Ya sudah, cepatlah bergegas bertemu mereka, atau engkau yang akan telat."

Obrolan antara kedua pasangan ini tentu sangat indah, bahkan saat engkau tak mampu menyadari keindahan seperti ini, engkau akan merindukan suasananya. Tetapi ada satu hal penting dalam pernikahan, itu adalah seperti kita memberi, bukan menerima. Karena pada dasarnya kita diperuntukkan untuk saling memberi, seberapa besar kecilnya itu memang tak perlu untuk dihitung. Itu hanya pantas dinilai. Seperti itulah nilai kehidupan kita yang sedikit itu. Maka jika engkau menilai agung sebuah kehidupan dan hubungan, bagikanlah nilai itu kepada orang lain dengan caramu.

—||—

Bandara Internasional,

Seseorang menunggu bangku tunggu. Seperti menunggu seseorang, tetapi bukan untuk itu. Seperti mencari seseorang, tetapi bukan itu. Dia menghubungi Azfar, mengirimkan beberapa pesan pendek.

Azfar: Bagaimana dengan kabarmu?

Robby: Aku baik-baik saja, tentu sekarang bukan saatnya menanyakan kabarku bukan? Kau tahu?

Azfar: Ah, maaf. Sepertinya kondisiku tidak semengkhawatirkan itu.

Robby: Hahaha, sudahlah... aku akan mendengarkan kabarmu langsung hari ini.

Jadi mari kita bercerita di tempat yang kita janjikan.

Azfar: Ah, tentu. Pasti, aku akan menunggumu.

Robby menekan tab memutuskan panggilan, dan tersenyum sendirian dan dan berdiri meninggalkan tempat duduknya, Robby dihampiri oleh seseorang dengan setelan jas rapi dengan kaca mata yang menutupi wajahnya. Dan membisikkan sesuatu sesaat setelah berada di sampingnya. Robby menyerahkan barang bawaannya padanya. Robby dengan setelan jas rapi ia menuju pintu keluar dan menghampiri taxi yang ia pesan. Ia mengatakan sesuatu dalam hatinya.

"Oh, akhirnya. Mungkin aku akan mendapatkan kejutan darinya. Aku tidak pernah tahu tentangnya secara spesifik. Tetapi, antara aku I-Lee memang tidak ada yang pernah mengenalnya dengan begitu dekat. Iya, dia seperti menanhan orang lain untuk mengenal dirinya, tetapi itulah yang membuatnya istimewa. Lain daripada orang-orang yang berada di sekitarku, setidaknya untuk saat ini aku masih menerima itu. Karena kepentinganku dan mereka sejauh ini tidak ada yang perlu aku khawatirkan, dan ketika kepentinganku dan mereka tidak berhubungan, maka merekalah yang harus aku lindungi. Ya, karena itulah gunanya aku sebagai teman mereka."

—||—

Menara Tokyo.

Azfar telah duduk di bangku bersama dengan orang-orang yang banyak disampingnya. Sementara itu jalanan di sekitar Azfar nambak tidak banyak orang lalu lalang, Azfar memegang gawainya untuk menelpon I-Lee.

"Hai Lee, apa kabarmu?"

"Jangan bercanda dan memberikanku sapaan normal seperti itu. Kau tahu saat kau tidak melihat seseorang dalam waktu lama, lebih baik untuk tidak menunjukkan pertanyaan seperti itu bukan?"

"Hey, apa yang kau maksud? Aku benar-benar tidak memahaminya dengan baik. Tetapi nampaknya dirimu baik-baik saja. Sampai mana kamu?"

"Ini sebentar lagi juga akan sampai, lagipula aku jalan kaki. Capek juga ternyata."

"Hahaha... Bukankah kita di sekolah dahulu sering jalan-jalan?"

"Hey, kau bercanda lagi? Disana jaraknya tidak sejauh disini, dan juga disini seluruh orang bisa dikatakan banyak yang berjalan daripada menggunakan kendaraan. Tentu akan lebih baik mengejutkanmu bukan yang sudah menunggu kami?"

"Ah, iya terserahlah, eh aku ada di selatan, nanti disini ada bangku kamu samperin aja disitu. Nanti aku pasti ada disitu."

"Oke, kebetulan sekali arahku memang kesitu. Nanti kita lanjutkan percakapan ini bersama si perfeksionis itu."

"Kau masih memanggilnya dengan sebutan aneh seperti itu?"

"Ya, tentu bukankah dulu kita menyebutnya demikian? Sudahnya nanti kita lanjutkan lagi."

"Oke"

Azfar menutup sambungan teleponnya, ia menuju tempat makan di belakang dari bangku tempatnya duduk untuk memesan roti untuk dia makan. Ia berjalan menuju kasir, ia memesan beberapa jenis roti dan juga segelas kopi. Ketika dirinya menunggu pesanannya ia duduk pada sebuah sudut yang sempurna dimana ia bisa mengamati seluruh orang yang ada di tempat itu secara sempurna. Awalnya dia duduk sendirian, kemudian tak lama berselang datanglah lelaki paruh baya berwajah asing suara sepatu pantofel yang nyaring dan juga perlengkapan pakaiannya dengan overcoat hitam yang ia biarkan terbuka, lalu di dalamnya terdapat rompi yang menutupi kemeja abu-abunya lalu topi fedora yang menutupi sebagian wajahnya dan juga kaca mata hitam. Duduk di depan Azfar dan melakukan beberapa percakapan dengan Azfar.

"Hey anak muda, apa yang engkau lakukan disini?"

"Eh, tunggu pak aku tidak mengerti apa yang kau maksud tetapi yang jelas aku memesan sesuatu disini.."

"Oh, kau memesan sesuatu. Apakah engkau meminta untuk hidup di dunia ini nak?"

"Eh, apa pak? Kenapa? Memesan kehidupan?"

"Iya, kau hidup tidak karena memilih bukan. Ketika hal itu terjadi apa yang akan engkau alami nantinya, pasti banyak hal-hal yang tidak engkau inginkan terjadi bukan. Maka aku akan menjawab hal itu dengan keinginanku."

"Iya, pak aku percaya dengan bapak, tapi setidaknya hormatilah pandangan orang lain yang mungkin berbeda dengan apa yang bapak kira. Bukankah seperti itu pak?"

"Jangan pernah mengigau nak, ketika engkau melakukan apa yang engkau mau. Orang lain yang merasa ada yang salah denganmu dan mereka akan berkomentar, padahal apa yang kau yakini adalah sesuatu yang benar menurutmu. Jadi apakah itu namanya hidup karena alasan diri sendiri? Tidak bukan, maka hari ini akan ada sebuah pertunjukan besar yang akan menyita perhatian dan membuat sebuah perubahan besar pada dunia ini. Percayalah nak, inilah jalan yang benar."

"Baiklah, sepertinya sampai disini pertemuan kita pak. Senang sekali dengan pembicaraan ini, tapi saya menunggu seseorang. Jadi maaf—jika aku harus pergi terlebih dahulu meninggalkan bapak—"

"Tak apa nak, karena setelah ini pun teman-temanmu akan menemuimu, bahkan mereka akan datang lebih cepat."

Azfar yang mengerti maksud dari bapak itu memutuskan untuk berlari menjauhi pak tua itu sembari berteriak secara refleks untuk memperingatkan para pelanggan dan kasir.

Dan suara ledakan menghujam, bangunan di bawah Tokyo Tower runtuh, Azfar terpental beberapa meter dari tempatnya berlari ke depannya. Azfar mengalami benturan hebat dengan tanah dan juga suara yang menghentakkan gendang telinganya. Azfar tidak sadarkan diri. Sedangkan orang-orang yang berada di luar berlarian untuk mengamankan diri, sementara itu I-Lee yang sudah dekat mendengarkan suara itu sangat keras. Ia mengingat sesuatu.

"Azfar!!! Tidak."

I-Lee berlari menuju tempat kejadian untuk memastikan keadaan temannya.

—||—

Mobil Taksi

Sementara itu Robby sedang melihat berita di gawainya kaget dengan berita bom bunuh diri di Tokyo Tower, secara reflek dia menyadari sesuatu mengenai janji itu. Temannya berada disana. Dengan cepat ia menghubungi nomor temannya yang menunggu dirinya. Tiga kali ia mengulangi hal yang sama hingga ia dapat memastikan jika temannya dalam masalah.

Sampai akhirnya ia berkata kepada sopir taksi untuk bergegas.

"—Pak cepat pak"

"Baik."