Chereads / Konsekuensi / Chapter 19 - Ikan Koi, Pembawa Kenangan

Chapter 19 - Ikan Koi, Pembawa Kenangan

Saat yang tepat untuk Isa mengerjakan tugas kuliahnya adalah sekarang, karena ia sedang tidak mengurus apa pun. Sambil memutar-mutar pulpennya, Isa masih terus berpikir.

Sementara itu, Arvin sudah selesai dengan filmnya, ia memutuskan untuk mandi dan memilih berpakaian rapi disaat Ny. Zemira sedang bekerja di ruangan kerjanya.

Di dapur, Indira dan Kania tengah sibuk menyiapkan makan siang. Sembari memotong bawang, Indira mengajak Kania yang sedang mencuci piring untuk mengobrol.

"Rasanya masih belum menyangka ya jika kak Ayang akan berhenti bekerja. Apa Tantri bisa mengerjakan seluruh pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh dua orang?"

"Dia pasti bisa, lagi pula Nyonya Zemira suddah memerintahkan Tuan Kevlar untuk memasang iklan lowongan kerja di banyak koran," ujar Kania.

"Dan kita akan mengenal orang baru lagi."

"Tentu saja. Mengenal orang baru dan sifat baru.".

"Iya."

Dari kamar Tantri, terlihat 3 orang baru saja keluar dari dalamnya. Yap, Tantri berjalan ke arah Ismail yang sedang memberi makan Ikan dan di ikuti oleh Mona dan Zhani.

"Tantri?" ucap Ismail.

"Mau bermain bersama mereka?" tanya Tantri, Ismail pun menoleh ke arah Mona dan Zhani.

"Tentu saja! Kalian mau membantu paman memberi makan Ikan?" tanya Ismail pada Mona dan Zhani.

"Mau! Mau!" jawab Mona dan Zhani secara serentak.

"Yasudah, aku titip mereka disini ya, kak. Aku harus mencuci baju dulu, karena kak Ayang tidak ada, pekerjaanku jadi berganda," ujar Tantri.

"Ya, ya, masuklah," kata Ismail. Tantri pun lantas berjalan ke arah mansion.

"Yang berwarna Oranye itu! Apa itu Ikan Mas?!" tanya Zhani yang menunjuk kolam Ikan yang kedua.

"Hahaha, itu Ikan Koi, warna kulitnya memang mirip dengan Ikan Mas, sebab mereka bekerabat," ucap Ismail.

"Berkerabat?" tanya Mona.

"Ya ... seperti mereka pada dasarnya dari jenis yang sama, tapi lama kelamaan karena beberapa alasan, jenis mereka jadi berbeda, tapi mereka masih terlihat mirip," jawab Ismail.

"Apa Ikan Koi bisa dimakan? Kenapa mereka dipisahkan dari Ikan-Ikan yang lain? Kenapa mereka punya kolam sendiri yang letaknya agak jauh dari kolam yang itu?" tanya Zhani seraya menunjuk kolam Ikan yang sedang Ismail lempari makanan Ikan.

"Ikan Koi itu simbol cinta dan keberuntungan, mereka dibuatkan kolam sendiri karena alasan itu, mereka dijadikam simbol keberuntungan di mansion ini. Dan Koi biasanya hanya dijadikan Ikan hiasan, jadi sangat jarang dimakan."

"Apa paman Ismail pernah memakannya?"

"Tidak, paman tidak tertarik untuk memakannya, hanya menjadikannya sebagai Ikan hias juga sudah cukup."

"Lihat! Ada yang berwarna Hitam juga!" seru Zhani.

Arvin yang sudah berpakaian rapi, keluar dari mansion dan berjalan ke arah garasi, namun ia tidak jadi masuk ke garasi karena melihat Mona dan Zhani sedang asyik bermain dengan Ikan bersama Ismail. Ia tersenyum melihat tingkah laku kedua bocah itu, sampai ia tidak sadar bahwa sebenarnya ia pernah mengalami hal yang mirip seperti itu. Namun kemudian ia mengingatnya.

20 tahun yang lalu adalah masa kecil yang sangat bahagia bagi Arvin. Saat mainannya masih sangat banyak. Kala itu ia hanya bocah berusia 6 tahun, sedang bermain mobil-mobilan di kamarnya, namun tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarnya.

"Arvin! Ayah membeli Ikan baru! Ayo kita lihat!" ajak remaja putri yang berusia sekitar 12 tahun sambil melompat-lompat.

"Kak Jhana tahu dari mana?!" tanya Arvin kecil.

"Ayah baru saja pulang! Ayo kita lihat! Ayo!" jawab Jhana yang kala itu masih memakai bando sebagai perhiasan wajibnya.

Arvin lantas langsung berdiri dan berlari mengikuti Jhana, mereka menuruni tangga secara buru-buru.

"Bisakah kalian lebih berhati-hati ketika menuruni tangga?!" tanya Ny. Zemira yang kebetulan lewat.

"Bisa ibu, tapi kali ini kami sedang sangat buru-buru!" jawab Jhana sambil membuka pintu depan.

"Apa yang akan kalian lakukan?"

"Melihat Ikan yang baru dibeli ayah! Kak Jhana bilang ada Ikan baru yang dibeli ayah!" jawab Arvin.

"Astaga, hanya Ikan rupanya. Dasar anak-anak," gumam Ny. Zemira.

"Ayah, tunggu! Jangan ditaruh dulu Ikannya kedalam kolam!" teriak Jhana sambil berlari memegangi tangan Arvin.

"Cepatlah!" suruh Rasyid yang sudah berada di dekat kolam itu lebih dulu bersama Bunga dan Isa yang masih memegang botol susu.

"Iya, sabar! Arvin larinya terlalu lambat!" gerutu Jhana.

"Jangan salahkan aku!" dengus Arvin.

"Tapi pada kenyataannya memang begitu!"

Arvin kemudian memalingkan wajahnya. Jhana yang tidak sabar kemudian menggendong Arvin dan berlari sambil menggendongnya.

"Apa yang kakak lakukan?! Lepaskan!" jerit Arvin yang memberontak.

"Diamlah!"

Tn. Farzin hanya terkekeh kecil seraya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku kedua anaknya itu, padahal ia sudah siap dengan sebuah ember yang berisi beberapa Ikan Koi.

"Kalian lambat sekali," ujar Bunga pada Jhana dan Arvin yang akhirnya sampai.

"Sudah kubilang yang lambat itu Arvin!" gerutu Jhana.

"Sudahlah! Ayo, ayah! Cepat tuang Ikannya!" suruh Rasyid.

"Satu, dua, tiga!" seru Tn. Farzin yang langsung menuang seluruh isi di ember itu setelah hitungan ketiga.

"Waaah!" Semuanya terpukau melihat keindahan Ikan-Ikan Koi tersebut.

"Di kolam satu lagi masih ada Ikan baru yang siap masuk, ayah akan biarkan kalian menuang Ikan yang ada di ember yang disana. Ayo!" ajak Tn. Farzin.

"Tidak, aku disini saja melihat Ikan yang ini," ucap Jhana.

"Aku juga mau disini saja," kata Arvin.

"Yasudah," ujar Rasyid. Mereka berempat kemudian pergi ke kolam Ikan yang satu lagi, yang berisi Ikan-Ikan siap makan.

Design mansion Dhananjaya di Jakarta dulu sama persis dengan mansion Dhananjaya di Jogja sekarang, sehingga setiap sudut ruangan di mansion Dhananjaya yang sekarang sudah pasti akan membawa para penghuninya teringat akan mansion yang lama.

"Kakak, lihat! Yang warna Hitam akan kuberi nama Arvin," ucap Arvin pada Jhana.

"Yang warna putih akan kakak beri nama Jhana,"

"Yang warna Emas itu ibu, Emas satu lagi ayah."

"Yang itu Rasyid, itu Bunga dan yang itu Isa," ujar Jhana.

Arvin terkekeh.

"Daging mereka enak tidak, ya?" tanya Arvin.

"Ini Ikan Koi, tidak bisa dimakan," kata Jhana.

"Tidak bisa dimakan? Benarkah?"

"Setahu kakak tidak, tapi mungkin ada yang memakannya."

"Jadi untuk apa mereka dipelihara?"

"Entahlah, mungkin hanya sebagai hiasan."

Arvin dewasa kemudian tersenyum mengingat hal itu.

'Terkadang aku merindukanmu, kak. Tapi jika kita bertemu, kurasa aku hanya akan semakin membencimu. Aku tidak mengharapkan kehadiranmu lagi di dalam kehidupanku, tapi aku ingin kakak melihat mereka, dan aku ingin tahu, apa kakak ingat akan hari itu?' batin Arvin, ia kemudian melanjutkan langkahnya menuju garasi.

Dan tanpa diketahuinya, sebenarnya Jhana melihat apa yang dilihatnya tadi. Jhana mengintip dari samping gerbang dan tersenyum melihat anak-anaknya yang terlihat bahagia berada di mansion Dhananjaya.

'Arvin, jika kau melihat mereka, apakah kau akan mengingat hari itu?' batin Jhana.

Jhana yang tadinya fokus kepada Mona dan Zhani, menjadi panik ketika mobil Arvin melaju secara lambat menuju gerbang, ia pun segera berlari ke arah semak-semak di daerah itu dan bersembunyi dibaliknya.

'Itu ... Arvin?!' batin Jhana.

Usai mengerjakan tugas kuliahnya, Isa keluar dari kamarnya untuk menjemput Fina dan keponakan-keponakannya. Disaat yang bersamaan, Ny. Zemira keluar dari ruang kerjanya sambil melepaskan kacamata bacanya.

"Isa?" panggil Ny. Zemira.

"Ya, ibu?" sahut Isa.

"Dimana Arvin?"

"Kak Arvin? Bukankah tadi dia menonton film di ruang tamu?"

"Ruang tamu ada disebelah kirimu dan pintu ruang tamu terbuka."

Isa menoleh ke arah kirinya dan melihat tidak ada seorang pun disana.

"Oh iya. Aku baru saja keluar dari kamar setelah mengerjakan tugas kuliah, jadi aku tidak tahu dimana kak Arvin. Barusan kak Kevlar mengirimkan pesan padaku, dia meminta tolong padaku untuk menjemput Fina dan Arka, jadi aku akan sekalian menjemput Fina," ucap Isa.

"Fina?" Ny. Zemira tampak heran.

"Oh, anak yang itu," sambung Ny. Zemira.

"Yasudah, pergilah," suruh Ny. Zemira.

"Baiklah, aku pergi dulu ya, ibu," pamit Isa.

Pemuda itu kemudian keluar dan berjalan ke arah garasi.

Setelah melihat keadaan Mona dan Zhani yang baik-baik saja, Jhana memutuskan untuk kembali ke masjid dengan berjalan santai. Ia tidak memikirkan apa-apa lagi tentang anak-anaknya, karena ia sudah paham kalau sebenarnya anak-anaknya tinggal bersama Dina dan dititipkan ke mansion Dhananjaya ketika Dina bekerja.

Sudah cukup jauh Jhana berjalan, namun ia berhenti karena mendengar suara mesin mobil dari arah belakang mendekat padanya, Jhana pun segera kembali bersembunyi dibalik semak-semak.

Ia melihat Isa yang sedang memakan roti di dalam mobil itu, dan merasa lega karena keberadaannya tidak disadari baik oleh Arvin mau pun Isa.

Sementara itu, ketika siang sedang pada puncaknya, Wanda terlihat kepanasan dan diberi es teh oleh Andra sang kekasih, Wanda menerimanya tanpa menoleh dan bersikap seperti sedang marah pada Andra.

'Dia masih sangat perhatian padaku, akan sulit bagiku untuk memutuskannya demi kakaknya Isa, jadi sebaiknya aku terus bersikap menjauh darinya,' batin Wanda.

"Ada apa, sayang? Kenapa kau jutek terus?" tanya Andra pada Wanda.

"Tidak ada," jawab Wanda secara cepat.

Sedangkan Dina asyik mengobrol dengan Yahya dan Salma. Salma duduk membelakangi pintu masuk, sedangkan Yahya duduk menghadap ke pintu masuk, itu artinya Dina duduk ditengah mereka. Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak di dekat mesin kasir, namun entah mengapa Wanda menjadi marah.

"Kenapa kalian tertawa?! Tidak ada hal yang lucu dari kami yang perlu ditertawakan!" sewot Wanda.

"Lah?" ucap Yahya. Sontak saja Dina, Yahya dan Salma kembali tertawa terbahak-bahak dengan ke-gede-rasa-an Wanda.

"Apa?!" tantang Wanda.

"Tidak ada yang mentertawakan kakak dan kak Andra, kami hanya tertawa karena cerita masa kecil kak Salma," jelas Dina. Seketika itu juga Wanda merasa malu dan langsung masuk ke kamar mandi untu menutupi rasa malunya.

Tidak lama setelah Wanda masuk ke kamar mandi, sebuah mobil berhenti di tempat parkir. Pemiliknya yang tak lain adalah Arvin kemudian keluar dan masuk ke rumah makan Populer.

"Kak Arvin?" kata Dina.

"Y-ya, hai," sapa Arvin.

"Apa yang kakak lakukan disini?" tanya Dina.

"Aku ingin membicarakan soal kejadian yang kemarin denganmu. Bisakah kita dudu7k disana saja?" jawab Arvin sambil menunjuk meja yang berada di paling ujung.

"Boleh."

"Aku kesana dulu, ya," ucap Dina pada Salma dan Yahya. Ia kemudian berjalan menyusul Arvin yang sudah lebih dulu duduk di kursi yang ada di depan meja yang dimaksudnya tadi.

"Kejadian yang kemarin? Yang mana kak?" tanya Dina.

"Yang di kasino," jawab Arvin.

"Memangnya kenapa?"

"Aku ingin berterima kasih padamu."

"Berterima kasih? Untuk apa?"

"Ya ... karenamu aku meninggalkan dunia yang seperti itu."

"Karenaku?"

"Iya, karenamu. Akhirnya aku sadar jika aku rutin berada di tempat seperti, maka keluargaku juga tidak akan jauh dari tempat seperti itu, dan aku sadar kalau tempat seperti itu sangat berbahaya untuk keluargaku, aku paling tidak bisa melihat keluargaku dalam bahaya, mungkin banyak orang yang tidak bisa melihat keluarganya dalam bahaya, tapi, berkat kamu kemarin, aku jadi sadar kalau dunia yang seperti itu tidak hanya akan membahayakanku, tapi juga akan membahayakan keluargaku. Jadi aku memutuskan untuk tidak bersentuhan lagi dengan dunia yang seperti itu. Terima kasih," jelas Arvin.

Dina tersenyum lebar. "Jadi ...?" ujar Dina sambil melebarkan kedua tangannya layaknya burung yang siap terbang.

"Jadi ...?" ucap Arvin seraya mengikuti gerakajn Dina.

"Hahahahahaha." Dina tertawa terbahak-bahak melihat Arvin yang mengikuti gerakannya.

"Aha-aha-ha-ha." Sedangkan Arvin yang tidak mengerti kenapa Dina tertawa, malah ikut tertawa, tapi dengan sangat kaku.

"Jadi apa?" tanya Arvin.

"APA KAKAK AKAN JATUH CINTA?!" tanya Dina balik, ia menatap mata Arvin dengan serius sambil melipat tangannya.

"A-aku?" kata Arvin.

"Iya. Kakak menjadi nakal karena takut terpengaruh dengan cinta yang menurut kakak akan memperbudak seseorang. Jadi setelah berhenti menjadi nakal, apa kakak akan mencintai seorang gadis?"

Arvin terdiam sejenak, kemudian ia menjawab. "Aku hanya keluar dari dunia yang 'gelap', bukan berhenti untuk menjadi nakal," pungkasnya.

"Hmm, aku tidak yakin akan hal itu."

"Baiklah, kakak mau pesan apa?" lanjut Dina.

"Teh saja sudah cukup," jawab Arvin.

"Tapi tidak gratis, ya!" guyon Dina.

"Aku bawa uang!" ujar Arvin.

"Hahaha, aku hanya bercanda." Dina kemudian pergi ke dapur.

Setelah memesan teh yang di inginkan Arvin, Dina pun kembali duduk di kuris kasirnya.

"Itu siapa?" tanya Salma pada Dina.

"Pesanan siap!" seru salah seorang pekerja dapur.

Dina kemudian menunjukkan ekspresi wajah yang mendapatkan ide yang cemerlang.

"Ambil pesanan itu, antar ke dia dan berkenalanlah dengannya," suruh Dina pada Salma.

"Ihihihihi ayo cepat," timpal Yahya yang mengerti dengan kejahilan Dina.

"Aku?" ujar Salma.

"Iya! Ayo cepat! Jika kakak ingin tahu siapa dia, antarlah!" ucap Dina.

"O-okay, tapi apa yang harus kukatakan padanya?" tanya Salma yang terlihat 'polos' dari luar.

"Tanya saja namanya, atau nomor teleponnya," jawab Dina.

"Benarkah begitu?"

"Iya!"

"Y-yasudah, aku akan mengantarnya." Salma terlihat bingung dengan Yahya dan Dina yang terkekeh tanpa alasan yang jelas baginya. Ia kemudian mengambil teh itu dan berjalan ke arah Arvin yang melihat ke jendela dan membelakangi posisi Salma.

"Itu calon kakak iparmu, kan?" bisik Yahya pada Dina.

"Iya," jawab Dina dengan nada suara yang sama dengan Yahya.

"Siapa namanya?"

"Arvin."

"Apa menurutmu mereka beruda cocok?"

"Kalau menurutku mereka tidak cocok, mana mungkin aku suruh kak Salma mengantar teh itu pada kak Arvin. Aku menyuruhnya kan agar timbul rasa ..."

"Cinta!" sambar Yahya dengan nada yang masih berbisik.

"Hihihi, iya."

'Tapi apa kak Arvin akan menaruh rasa pada kak Salma? Apa dia akan memperhatikan kak Salma?' batin Dina yang sebenarnya tidak tahu apa yang dilakukannya benar atau tidak.

'Semoga saja iya, karena mereka pasti akan serasi, yang satu kaku mengenai percintaan, dan yang satunya lagi tidak tahu apa-apa mengenai cinta,' pikirnya.