Salma tiba-tiba menjadi gugup ketika berjalan mengantar pesanan Arvin. Ia teringat dengan kelakukan Dina dan Yahya yang di anggapnya aneh tadi.
'Ada apa dengan mereka? Kenapa mereka merasa geli? Padahal tidak ada yang lucu. Apa mereka digelitikin? Tapi sama siapa?' batin Salma.
Gadis polos dan culun itu berjalan pelan menuju meja yang dipakai Arvin. Hingga akhirnya ia sampai dan mengangkat gelas yang ada di atas nampannya.
"I-ni tehnya, Tuan," ucap Salma.
"Oh, iya. Terima kasih," ujar Arvin tanpa menoleh dan terus melihat kedepan. Hal itu tentu membuat Salma penasaran dengan wajah Arvin.
Gadis itu kemudian memiringkan kepalanya untuk bisa melihat wajah Arvin. Arvin yang merasa aneh karena masih merasakan kehadiran Salma pun menoleh ke kiri dan terkejut melihat Salma yang memiringkan kepalanya.
Namun keterkejutannya itu bermaksud lain, Arvin terpesona dengan Salma, begitu pula sebaliknya. Mereka berdua saling bertatapan untuk waktu yang cukup lama.
"Lihat itu!" bisik Yahya pada Dina.
Setelah cukup lama bertatapan dengan Arvin, Salma merasa pegal karena posisi kepalanya yang miring. Ia pun segera menormalkan posisi kepalanya dan hal itu menyadarkan Arvin dari lamunannya.
"Apa ada yang ingin Anda pesan lagi, Tuan?" tanya Salma yang terlihat gugup.
"Ada," jawab Arvin, penyebab Salma menjadi gugup, karena Arvin terus menatap Salma.
"A-apa?" tanya Salma.
"Dirimu," ujar Arvin.
"Eh?! Apa?!"
"Ah?! Apa?! Memangnya aku bilang apa?!" tanya Arvin yang akhirnya menjadi 'normal' lagi.
"Aku," jawab Salma.
"Apa yang kau katakan? Kenapa kau sangat aneh? Aku bilang aku ingin pesan daging."
"Daging? Daging sapi?"
"Iya, tentu saja daging sapi."
"Pakai nasi?"
"Tidak usah."
"B-baiklah. Pesananmu akan segera datang, Tuan." Salma kemudian memalingkan tubuhnya dan ketika baru saja dirinya akan berjalan, tiba-tiba Arvin berdiri dan menahan tangan kanannya. Sontak saja tubuh Salma pun sevara refleks berbalik menghadap Arvin dan menciptakan keadaan dimana wajah Arvin dan Salma berada dalam jarak kurang dari 20 cm.
"Jangan panggil aku dengan sebutan 'Tuan', aku bukan Tuanmu, dan namaku adalah Arvin, bukan Tuan," ucap Arvin.
"B-baiklah, Tuan, maksudku, Arvin. Tapi Anda terlalu dekat," kata Salma yang wajahnya tampak sangat merah.
Arvin kemudian semakin mendekat pada Salma. "Jangan gunakan bahasa formal denganku."
"Ok, jika itu kemauan Anda, maksudku, kemauanmu, maka tidak masalah."
"Tapi lepaskan aku, lagi pula kita pada jarak yang terlalu dekat," sambung Salma.
"Nikmati saja," ujar Arvin.
"Nik-nikmati? Maksudmu apa?"
Arvin lantas sadar dengan apa yang dilakukannya, bahwa ia berada pada jarak yang terlalu dekat dengan Salma, seketika itu juga pria berusia 26 tahun itu melepaskan genggamannya pada Salma.
"Maafkan aku. Lanjutkan saja pekerjaanmu," ucap Arvin yang langsung kembali duduk di kursinya.
Setelah Arvin melepaskannya, Salma langsung memalingkan wajahnya dari Arvin dan berlari ke dapur dengan wajah yang lebih merah dari kepiting yang baru saja matang.
"Hihihihi." Yahya dan Dina hanya tertawa geli melihat kejadian itu.
Usai menjemput Arka dan Fina, Isa kini sedang membawa mobilnya menuju sekolah PAUD Shirina. Di bangku tengah, Arka dan Fina terlihat sedang asyik berbincang dan tertawa akan hal yang tidak dimengerti Isa.
'Guyonan anak-anak, ya hanya anak-anak yang mengerti,' batin Isa.
Mereka bertiga akhirnya sampai di PAUD Shirina. Di gerbang PAUDnya, putri semata wayang Kevlar dan Bunga itu tampak tersenyum ceria menunggu jemputannya. Isa kemudian membuka jendela di pintu pengemudi.
"Ayo, naik," suruh Isa pada Shirina dengan senyuman.
"Kenapa bukan ayah yang menjemputku?" tanya Shirina.
"Ayahmu bilang dia sedang ada urusan mendadak, makanya paman yang menjemputmu," jawab Isa.
"Yasudahlah." Shirina kemudian membuka pintu mobil Isa pada bagian tengah.
Gadis kecil itu tidak jadi naik setelah melihat Fina juga berada di dalam mobil itu.
"Paman kenapa anak miskin ini ada disini juga?!" tanya Shirina yang masih belum naik.
"Tidak apa-apa, kan?" ucap Isa.
"Tentu saja apa-apa! Orang miskin itu membawa virus kemiskinan! Jika paman tidak mau kita jadi miskin, maka jangan temani dia! Bahkan jangan mendekatinya!"
"Kau tahu dari mana?"
"Ibu yang bilang begitu."
"Shirina, kau tahu? Kebanyakan orang kaya pada masa kecilnya adalah orang yang susah, jadi Fina tidaklah membawa virus kemiskinan, karena suatu saat bisa saja dia jadi lebih kaya dari kita, jangan pernah merendahkan atau pun meremehkan orang lain," ujar Isa.
"Aku tidak peduli! Aku tidak akan naik dan akan menunggu jemputan ayah saja!"
"Yasudah kalau tidak mau. Paman beri tahu, ya, ayahmu tidak akan kesini selama satu hari ini, jadi jika kau tidak menerima jemputan paman, maka kau akan tidur disini malam ini," ancam Isa, Shirina tampak memikirkan ancaman Isa barusan.
"Bohong!" kata Shirina.
"Tidak percaya? Yasudah, tutup pintunya dan tinggal lah disini sampai besok. Tidak akan ada mainan, makanan enak, tempat tidur empuk, AC yang sejuk dan es krim yang manis sampai besok untukmu."
Shirina hanya terdiam dan menatap tajam Fina dan Isa secara bergantian, Isa membalas tatapannya dengan tatapan jahil.
"Uuuuh!" gerutu Shirina yang terlihat sangat kesal. Ia secara terpaksa masuk ke dalam mobil Isa dan duduk bersebelahan dengan Fina.
Isa lantas terkekeh penuh kemenangan, ia segera melajukan mobilnya setelah Shirina menutup pintu mobil itu.
"Jangan dekat-dekat denganku!" sewot Shirina pada Fina.
"Aku tidak mendekatimu, kau yang datang terakhir, jadi kaulah yang mendekatiku," ucap Fina.
"Diam!" dengus Shirina sambil melipatkan kedua tangannya dan memalingkan wajahnya dari Fina
"Tapi posisi duduk kita memang dekat."
"Kalau begitu aku pindah kebelakang saja! Minggir kau!" ujar Shirina sambil berdiri dan berusaha pindah dari bangku tengah, ke bangku belakang melalui bagian atas bangku mobil itu.
Shirina kesulitan untuk turun karena ia masih dalam keadaan memakai tas. Fina yang mengerti akan kesulitan Shirina pun berusaha untuk menolong sepupunya itu, ia memegang kaki Shirina dengan maksud untuk mendorong Shirina, namun Shirina memberontak.
"Jangan sentuh aku!" seru Shirina sambil menggerak-gerakkan kakinya agar Fina melepaskan genggaman tangannya dari kaki mungil Shirina. Fina pun lalu melepaskannya.
Tiba-tiba ada kucing liar lewat di depan mobil, dan hal itu sontak saja membuat Isa melakukan rem mendadak. Akibatnya, Shirina jadi terdorong masuk ke bangku belakang dan kepalanya terjedut.
"Aduh" keluh Fina yang merasa kesakitan.
"Pelan-pelan, paman!" lanjutnya.
"Ada apa?" tanya Isa.
"Argh!" gerutu Shirina.
Usai terus berjalan sejak pagi, Jhana akhirnya memutuskan berhenti di sebuah outlet Burger yang memakai gerobak bagus untuk berjualan. Jhana mengambil sebuah kursi dan langsung duduk. Tidak lama kemudian, penjualnya tak lain adalah pemuda yang kemarin mendapatkan uang tip 2 juta dari bosnya.
"Permisi, Nyonya, Anda ingin memesan apa? Ini menunya," ucap pemuda itu seraya menyerahkan sebuah kertas menu pada Jhana.
"Burger yang ini saya pesan tiga, ya. Dua dibungkus, satu dimakan disini," ujar Jhana.
"Baiklah."
Jhana secara tidak sengaja melihat nametag yang ada di dada kanan pemuda itu.
"Apakah outlet Burger ini memiliki cabang?" tanya Jhana.
"Iya, Nyonya, ada sebelas," jawab pemuda itu.
"Semua pekerjanya memakai nametag dan pakaian sepertimu?"
"Iya, Nyonya."
"Namamu Joshua, kan? Saya tidak mengenal banyak orang yang namanya berawalan huruf J selain diri saya sendiri."
"Nama Nyonya berawalan huruf J juga?"
"Iya."
"Berbeda sekali dengan saya. Saya banyak mengenal orang yang namanya berawalan huruf J."
"Oh ya?"
"Iya. Saya punya lima saudara tiri, nama mereka semua berawalan dengan huruf J."
"Jadi keluargamu namanya rata-rata berawalan dengan huruf J?"
"Kurang lebih seperti itu, hanya bibi saya saja yang tidak."
"Nyonya bukan penduduk daerah sini, ya?" tanya Joshua.
"Bukan, saya tinggal di dekat titik nol," jawab Jhana.
"Nyonya orang Jogja asli?"
"Saya orang Jakarta, pindah ke Jogja lima tahun yang lalu."
"Ooooh."
"Kau orang asli Jogja?"
"Tidak, saya orang Bandung, tapi sejak kecil saya tinggal di Jogja."
Jhana mengangguk-angguk.
"Kau kuliah?" tanya Jhana.
"Tidak, Nyonya, saya bekerja hanya untuk menafkahi diri saya dan bibi saya," jawab Joshua.
"Lalu bagaimana dengan saudara-saudara tirimu?"
"Mereka memiliki kehidupan masing-masing. Jika mereka bahagia, mereka akan bahagia sendiri, dan jika mereka sedih, mereka akan sedih sendiri. Ya ... begitulah, mungkin karena saya ini saudara tiri mereka, jadi saya tidak terlalu di anggap."
"Apa Nyonya juga memiliki saudara tiri?" tanya Joshua.
"Saya bahkan tidak tahu dimana keluarga saya," jawab Jhana.
"Loh?"
"Sejak bayi, saya di asuh oleh sebuah keluarga. Mereka memperlakukan saya dengan baik tanpa perbedaan dengan saudara-saudara angkat saya. Saudara-saudara angkat saya juga sangat menyayangi saya."
"Dan itu tentu saja berbanding terbalik dengan kelima saudara tiri saya."
"Ini, Nyonya," ujar Joshua seraya memberikan sebuah Burger kepada Jhana.
"Terima kasih," kata Jhana.
Jhana pun segera memakan Burger itu dan sangat menikmatinya. Tidak lama kemudian, sebuah mobil sedan tanpa atap berhenti di depan outlet Burger itu. Jendela pengemudi kemudian terbuka secara perlahan, dan muncul lah sosok Juliet yang tidak dikenal oleh Jhana.
Juliet yang memakai kacamata hitam, segera melepaskan kacamatanya dan melemparkan selembar uang kertas pecahan Rp. 100.000 keluar dari jendela mobilnya.
"Hari ini giliranku menarik uang arisan, aku berikan sedikit uang padamu, tidak perlu berterima kasih, karena dari dulu aku memang dermawan. Aku hanya ingin berbagi rezeki," ujar Juliet dengan angkuhnya pada Joshua, namun Joshua hanya menatapnya, sedangkan Jhana tampak heran.
"Sudah ya, aku tidak bisa berlama-lama di tempat orang miskin seperti ini," sambung Juliet yang kemudian pergi entah kemana dengan mobilnya.
"Itu siapa?" tanya Jhana pada Joshua.
"Hahaha, itu salah satu kakak tiri saya. Kelakukan mereka semua memang seperti itu," jawab Joshua.
"Apa dia memberikan uang itu untukmu?"
"Iya, dia selalu memberikan saya uang dengan cara seperti itu."
Mendengar hal itu, Jhana kemudian mengambil uang yang dilempar Juliet tadi dan memasukkannya kedalam saku celana Joshua.
"Tidak usah diambil, Nyonya. Saya saja tidak pernah mengambilnya walaupun dia terus memberikan saya uang dengan cara seperti itu." kata Joshua.
"Yang namanya rezeki itu tidak boleh ditolak, tidak peduli bagaimana seseorang memberikan uang pada kita, yang terpenting dia ikhlas," ujar Jhana.
"Tapi mereka itu terlalu jahat."
"Jahat?"
"Iya, terlebih lagi pada saya dan bibi saya."
"Mungkin kau pernah menyakiti hati mereka tanpa kau sadari. Makanya mereka jadi seperti ini sekarang."
"Bibi saya bilang, sejak lahir, saya memang tidak pernah diperlakukan dengan baik oleh kelima saudara tiri saya."
"Kenapa bisa begitu?"
"Entahlah, bibi saya selalu tidak ingin membicarakan tentang mereka, jadi saya tidak pernah bertanya akan hal seperti itu."
Jhana terdiam sejenak.
"Oh iya, semuanya jadi berapa? Burgernya enak," ucap Jhana.
"Terima kasih, Nyonya. Semuanya jadi empat puluh lima ribu," ujar Joshua.
Jhana lalu memberikan uang pas kepada pemuda itu, sementara Joshua memberikannya 2 Burger yang telah dibungkus.
"Datanglah lagi lain waktu," kata Joshua.
"Kalau Burgernya seenak ini, ya sudah pasti saya akan datang lagi," ucap Jhana seraya tersenyum. Ia kemudian kembali melanjutkan jalannya pulang ke masjid.
Sambil berjalan, Jhana terus memikirkan kesenjangan status sosial Joshua dan salah satu kakak tirinya, Juliet.
'Yang satu penuh perhiasan berlian dan mobil mewah, apakah yang satu hidup susah bersama bibinya?' batin Jhana.
"Astaga, untuk apa aku memikirkan masalah orang lain jika masalahku saja tidak ada habisnya," gumam Jhana.
Yahya mengantarkan daging sapi yang di inginkan oleh Arvin, sebab Salma terlihat tak sanggup lagi untuk berada di dekat Arvin. Jantung Salma terus berdegup kencang dan nafasnya tak beraturan.
"Tenang, kak, tenang," ucap Dina pada Salma sambil mengipasinya.
"Wajahnya sangat jelas dan dekat, aku tidak tahu perasaan apa ini," ujar Salma yang tampak ngos-ngosan.
"Apa kakak tidak pernah berada dalam jarak sedekat itu dengan seorang pria?"
"Tidak, di kampungku semua pria bau sapi. Tapi di dekatnya, aku merasa sangat nyaman karena dia sangat wangi."
"Jadi, apa yang kakak rasakan?"
"Aku tidak mengerti. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya, aku tidak mengerti perasaan apa ini, tapi, entah kenapa aku ingin terus berada di dekatnya, tapi, aku tidak berani."
"Apa kakak menyukainya?"
"Bagaimana rasanya perasaan suka itu?"
"Astaga, apa kakak tidak pernah menyukai sesuatu?"
"Setahuku menyukai seseorang dan menyukai suatu hal adalah hal yang berbeda."
"Eh? Benar juga."
"Tapi, apa kakak mengaguminya?" tanya Dina.
"Apa dia pria yang baik?"
"Hmm, aku tidak bisa mengatakan bahwa dia adalah pria baik-baik."
"Intinya, aku tidak akan melayaninya lagi, biar saja kak Yahya yang melayaninya."
"Hihihihi," tawa Dina.