[24 HARI MENUJU PERNIKAHAN ISA & DINA]
Ini baru pukul 03:00, sebagian besar orang tertidur pada jam segini, namun Jhana, Arini, Yazid dan pak Ustad Alman terlihat tengah berbincang di masjid. Ya, memang hanya mereka berempat, sebab seluruh warga di desa itu sedang menikmati mimpi mereka.
"Saya tidak menyangka bahwa saya akan menghabiskan waktu disini secepat ini. Pak Ustad, terima kasih atas kebaikan dan nasihat yang bapak berikan kepada saya. Ini waktunya bagi saya untuk pergi, memulai hal yang baru dan mengumpulkan keberanian untuk menyelesaikan masalah lama," ujar Jhana.
"Jangan pernah lupakan saya, Yazid, Arini, masjid ini, desa ini dan seluruh warga disini. Kau memberikan kesan yang berbeda disini, oleh karena itu kami semua tidak akan pernah melupakanmu. Saya mendoakan yang terbaik untukmu," ucap pak Ustad Alman.
"Saya tidak akan pernah melupakan semua yang ada di desa ini, tinggal disini adalah pengalaman yang sangat luar biasa bagi saya."
Pak Ustad Alman terkekeh kecil. "Ambil ini," ia lantas memberikan sebuah kotak kacamata pada Jhana.
"Apa ini, pak Ustad?" tanya Jhana.
"Kacamata dari saya. Jangan anggap ini sebagai gajimu yang sudah membantu Yazid dan Arini menjadi marbot disini, anggap lah ini sebagai kenang-kenangan dari saya yang akan selalu mengingatkan kamu pada seluruh isi di desa ini."
"Tapi, mata saya tidak minus."
"Ini bukan kacamata minus, hanya kacamata gaya. Saya lihat, hanya dengan make-up yang lengkap dan busana muslim beserta hijab, kau masih membuat saya mengenalimu, jadi pakailah ini agar penyamaranmu semakin sempurna."
"Begitu rupanya. Terima kasih, pak Ustad."
"Sama-sama. Semoga hijab dan busana muslim seperti itu akan terus melekat padamu hingga akhir hayatmu."
"Amin."
"Ingat Jhana, bohong adalah sikap yang dibenci oleh Tuhan, ini hanyalah sebuah penyamaran agar kau bisa mengawasi anak-anakmu, jadi jangan terlalu berlebihan, jangan sampai kau menjadi orang lain, jangan sampai kau menjadi sosok Karin Nevilda padahal kau adalah Jhana."
"Baik, pak Ustad."
"Dan satu lagi, kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan. Kebaikan itu membutuhkan waktu untuk meraih kemenangannya, bisa hanya dalam satu hari, bahkan bisa sampai ribuan tahun. Jangan pernah membalas perbuatan jahat orang padamu dengan cara yang dilakukannya padamu, karena kelak perbuatan jahat itu akan mendapatkan balasannya sendiri yang lebih buruk dari kejahatannya. Jadi hargailah waktu untuk menantikan sesuatu yang berharga. Saya mengatakan itu karena sepertinya hidupmu dikelilingi oleh orang yang kurang baik."
"Baik pak Ustad, saya akan terus mengingat perkataan pas Usatd."
Pak Ustad Alman lalu tersenyum lebar.
"Yasudah, ayo kita ke mansion Dhananjaya," ajak Yazid.
"Saya permisi ya, pak Ustad," pamit Jhana.
Sesampainya di mansion Dhananjaya, fajar terlihat mulai menampakkan dirinya. Dan inilah saat Jhana harus berpisah dari Yazid dan Arini yang telah mengantarnya ke mansion itu.
Di depan gerbang, Jhana dan Arini tidak bisa mengatakan apa pun, mereka hanya bisa menangis haru sambil berpelukan, kemudian terkekeh kecil, Yazid pula hanya bisa tersenyum melihat mereka.
"Akhirnya saat seperti ini datang juga," ucap Arini.
"Ya," kata Jhana sambil menghapus air matanya.
"Untuk beberapa saat yang tidak ditentukan, kau akan menjadi seorang wanita bernama Karin. Jadi, Karin, jangan pernah lupakan kami berdua. Waktu kita untuk bersama mungkin hanya sebentar, tapi itu sudah cukup untuk memberikan kenangan yang berharga untuk kita."
"Kau benar. Dan nantinya, mungkin komunikasi kita tidak akan berjalan lancar karena aku akan menjadi lebih sibuk dari biasanya."
"Jangan pikirkan itu, fokus saja pada masalah dan pekerjaanmu, jika kami mengganggu, kami tidak akan berkomunikasi denganmu."
"Jangan katakan itu, kita tetap harus berkomunikasi."
"Jhana, tidak perlu memaksakan jika kau tidak bisa."
"Baiklah, tapi akan tetap kuusahakan agar tetap bisa berkomunikasi baik denganmu atau pun dengan Yazid."
Arini tersenyum bahagia. "Boleh aku memakaikan kacamata itu padamu?" tanyanya.
"Tentu saja," jawab Jhana.
Arini lantas membuka kotak kacamata yang diberikan oleh pak Ustad Alman tadi dan memakaikan kacamata yang ada di dalamnya pada Jhana.
"Jangan pernah melepaskan ini. Kau terlihat sangat cantik dengan semua ini," puji Arini.
"Terima kasih sekali lagi," ujar Jhana, ia kemudian kembali memeluk Arini.
"Kita pasti akan bertemu lagi," sambung Jhana.
"Pasti." Arini tampak yakin.
Mereka berdua akhirnya melepaskan pelukan terakhir itu dan saling bertatap mata, kemudian tertawa lagi. Jhana kemudian bersalaman dengan Yazid.
"Berjuanglah," ucap Yazid pada Jhana.
"Kau juga, berjuanglah dalam pekerjaanmu, jangan mudah menyerah, jadilah sukses dan tetap rendah hati," kata Jhana pada Yazid.
"Amin," ujar Yazid.
Jhana kemudian berjalan melewati gerbang, dan setelah ia berada di dalam, ia melambaikan tangan pada Yazid dan Arini yang melontarkan senyuman padanya. Pasangan itu lantas pulang setelah fajar terbit, dan itu adalah kali terakhir Jhana melihat mereka.
"Kuharap aku bisa bertemu dengan mereka lagi nanti," gumam Jhana, atau yang sekarang juga bisa disebut sebagai Karin, wanita berusia 30 tahun, berkacamata dan berhijab. Mulai saat ini, ia adalah seorang asisten rumah tangga di mansion milik mantan keluarga angkatnya sendiri.
Saat sudah berada di depan pintu, Karin (Jhana) mengetuknya, dari dalam, terdengar suara melangkah menuju pintu. Tidak lama kemudian, muncul lah sosok Indira yang membukakan pintu untuk Karin.
"Maaf, Anda siapa, ya? Apa yang Anda cari disini?" tanya Indira.
"Saya Karin, pekerja baru disini," jawab Jhana.
"Oh? Jadi kau orangnya? Ayo, silakan masuk."
Jhana lantas masuk dan mengikuti Indira berjalan, sebab memang Indira menyuruhnya untuk mengikuti perempuan itu. Jhana dibawa ke ruang tamu, dimana disana hanya ada Ny. Zemira.
"Nyonya, ini Karin, pekerja baru yang Nyonya bilang datang kesini kemarin," ucap Indira.
"Baiklah, suruh Kania kesini," ujar Ny. Zemira.
"Baik, Nyonya."
"Selamat pagi, Nyonya," sapa Jhana. Dari nada suaranya, terlihat sangat jelas bahwa ia sedang canggung.
"Pagi. Kau datang tepat waktu, aku suka orang yang tepat waktu," puji Ny. Zemira.
"Terima kasih, Nyonya."
"Selamat datang disini."
Jhana hanya tersenyum. Tidak kama kemudian, Kania datang tanpa Indira.
"Ada apa, Nyonya?" tanya Kania pada Ny. Zemira.
"Antarkan dia ke kamarnya, beritahu dia apa pekerjaannya, jelaskan tentang setiap sudut ruangan di mansion ini. Dia adalah pekerja baru yang menggantikan Ayang, namanya Karin," suruh Ny. Zemira pada Kania.
"Baik, Nyonya. Karin, ayo ikut aku," ajak Kania.
Jhana hanya mengangguk. 'Dilihat dari luar, design mansion ini sama dengan mansion yang di Jakarta dulu, kalau begini aku akan cepat paham segala fungsi pada setiap ruangan yang ada di mansion ini,' batin Jhana.
Kania membawa Jhana keluar, ke sebelah kiri bangunan rumah besar itu. Ia lalu membawa wanita yang pernah dilayaninya dulu itu ke sebuah kamar kosong dan mengajaknya masuk.
"Ini kamarmu, kau akan tinggal disini selama kau bekerja disini," jelas Kania.
"Baiklah," ujar Jhana.
"Tugasmu disini adalah untuk bekerja sama dengan Tantri untuk mencuci pakaian, membersihkan debu di dalam, membersihkan jendela, mengepel dan sebagainya. Merapikan, membereskan, dan membesihkan adalah tugasmu bersana Tantri."
"Di dalam mansion ada tujuh kamar, satu kamar di lantai satu adalah milik Nyonya Zemira dan Tuan Farzin, lima kamar di lantai dua milik Arka, Shirina, Tuan Isa, Tuan Arvin dan Nyonya Raya, dan satu kamar di lantai tiga milik Nyonya Bunga dan Tuan Kevlar. Ingatlah, kau harus meminta izin dulu jika ingin masuk kedalam kamar Nyonya Raya, kamar Nyonya Bunga dan Tuan Kevlar, juga kamar Nyonya Zemira dan Tuan Farzin, karena mereka akan sangat marah jika kita tidak meminta izin dulu sebelum masuk kedalam kamar mereka," sambung Kania.
"Baiklah," ucap Jhana.
"Apa ada yang ingin kau tanyakan?" tanya Kania.
"Tidak ada, jika ada akan kutanyakan pada bu Kania saja, ya."
Kania terkekeh. "Jangan panggil aku dengan sebutan ibu, seluruh pekerja disini memanggilku dengan sebutan kakak, kecuali Tantri, dia memanggilku dengan sebutan bibi."
"Baiklah, kak Kania," ujar Jhana sembari melemparkan senyum.
"Kau sudah bisa langsung bekerja sekarang, mari kuantarkan kau pada Tantri," ajak Kania. Jhana lantas menaruh tas jinjingnya kebawah ranjangnya, kemudian berjalan lagi mengikuti Kania.
'Bibi Kania dan ibu tidak mengenaliku dengan dandanan seperti ini, syukurlah,' batin Jhana.
Kania mengantar Jhana ke lantai 3, dimana disana Tantri sedang sibuk memasukkan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci.
"Tantri," panggil Kania.
"Ya, bibi?" sahut Tantri sambil menoleh ke Kania dan Jhana.
"Ini Karin, pekerja baru itu, dia yang akan menggantikan Ayang dan bekerja bersamamu," ucap Kania.
"Oh." Tantri mengelap tangannya ke bajunya, ia lalu mengajak Jhana bersalaman.
"Saya Tantri. Kelihatannya saya lebih muda, jadi sepertinya saya bisa memanggilmu dengan sebutan kakak, ya?" kata Tantri dengan ramahnya.
"Karin. Terserah, jika kau mau memanggilku hanya dengan menyebut namaku juga tidak apa-apa," balas Jhana seraya membalas jabat tangan Tantri.
"Aku tinggal ke dapur dulu, ya," pamit Kania.
"Jadi, apa yang bisa aku kerjakan?" tanya Jhana pada Tantri.
"Kak Karin silakan masukkan pakaian yang ada di keranjang itu kedalam mesin yang itu, jangan lupa tambahkan pewangi."
"Baiklah."
Hari ini adalah hari Sabtu, untuk Arka dan Shirina, ini adalah libur mereka dari PAUD, jadi Isa langsung menuju ke kost Dina. Diam-diam tidak hanya dirinya yang memiliki tujuan akhir ke rumah makan Populer, namun juga Arvin yang sudah berpenampilan rapi, padahal ini masih pagi.
Bedanya, Isa sudah berangkat lebih dulu, sedangkan Arvin yang akhir-akhir ini terlihat lebih ceria dan sangat berubah, masih bolak-balik ruang tamu - kamarnya.
Lain halnya dengan kedua putranya yang akan berada di rumah makan Populer, Ny. Zemira justru kelihatan bingung. Wanita tua itu kemudian keluar dan menemui Jaya yang sedang menyiram bunga di dekat pintu masuk.
"Jaya," panggilnya.
"Ya, Nyonya?" sahut Jaya.
"Apa kau melihat Raya?"
"Saya belum melihat Nyonya Raya sejak pagi, Nyonya, mungkin Nyonya bisa tanyakan pada Nyonya Bunga," jawab Jaya.
"Ehm, baiklah."
Ny. Zemira lantas masuk lagi kedalam dan melihat Shirina yang berjalan menuju tangga.
"Shirina!" panggilnya.
"Ya, nek?" sahut Shirina.
"Dimana ibumu?"
"Ibu dan bibi Raya ada di kamar bibi Raya."
"Oh, baiklah."
Setelah mendapatkan jawaban dari Shirina, Ny. Zemira pun langsung naik ke lantai 2.
Juliet sepertinya sudah melupakan kejadian semalam. Hal itu ditunjukkannya dengan memakaikan Romeo jas dan dasi di dalam kamar mereka.
"Terima kasih, sayangku," ucap Romeo.
Juliet hanya tersenyum sebagai jawabannya.
"Aku akan kembali nanti siang untuk mengambil beberapa berkas yang kutinggal disini," sambung Romeo.
"Kenapa tidak menyuruhku untuk mengantarnya saja?" tanya Juliet.
"Kau urus saja Salon dan Spamu, aku juga tahu kalau kau sibuk, jadi jangan membuat dirimu semakin lelah dengan membantuku."
"Tapi aku tidak merasa dibuat repot."
"Juliet, tidak usah, biar aku saja yang mengambilnya."
"Terserahmu saja."
"Yasudah, aku pergi dulu ke kantor."
'Semoga saja ke kantor,' batin Juliet, kali ini tampaknya ia mengingat kejadian semalam.
'Awas saja, hari ini tidak akan kubiarkan wanita genit itu mengganggu Romeo.'
Setelah mengantar Fina ke sekolah, Isa akhirnya sampai di rumah makan Populer untuk mengantar Dina.
"Aku turun, ya," ucap Dina.
"Semangat kerjanya, kak!" seru Zhani.
"Tentu saja, kakak selalu bersemangat," ujar Dina.
"Nanti aku kesini lagi, aku antar mereka dulu ke mansion," kata Isa pada Dina.
"Kau pasti ingin tahu seperti apa kak Salma itu, kan?"
"Itu salah satu alasanku."
"Baiklah." Dina lantas turun dari mobil itu. "Dadah."
Tak jauh dari rumah makan Populer, sebenarnya ada rumah kontrakan yang ditempati oleh Salma dan neneknya. Dan pagi itu, seperti biasa neneknya Salma sedang menonton FTV, sedangkan Salma akan berangkat bekerja.
"Nek, aku pergi, ya!"
"Iya! Tutup pintunya!" teriak sang nenek.
"Jangan lupa makan, nek, FTV tidak akan membuat nenek kenyang!"
"Haaa?!!"
"Aku bilang jangan lupa makan!"
"Apaaa?!"
"Eih, astaga," gerutu Salma.
"Apa?!" tanya nenek Salma yang memutuskan untuk menghampiri cucunya itu.
"Nenekku sayang, jangan lupa makan. FTV-FTV itu tidak akan membuat nenek merasa kenyang."
"Bagaimana nenek bisa tidak makan hanya karena FTV? Tidak makan selama tiga jam saja nenek merasa seperti berada di akhir hayat nenek," ujar wanita tua berusia 60-an itu, badannya mulai bungkuk, namun tidak terlalu terlihat karena badannya yang gemuk.
"Nenek, tidak usah berlebihan. Nenek tidur selama tujuh jam tanpa makan, dan nenek tetap hidup."
"Itu hanya kesalahan teknis dari tubuh nenek."
"Terserah nenek saja. Aku sudah telat, nek, aku pergi dulu ya."
"Iya, iya," ujar sang nenek sambil tersenyum lebar.
"Semoga cucu nenek ini segera mendapatkan suami," sambung nenek itu.
"Eh? Apa nenek bilang?" tanya Salma.
"Iya, nenek mendoakan kau agar segera menikah, umurmu sudah dua puluh lima, di kampung kita itu sudah terlalu tua untuk menikah. Bahkan teman-temanmu yang disana dan seumuran denganmu sudah mulai mencarikan jodoh untuk anak mereka."
"Nenek, menikah muda adalah tradisi di kampung kita, aku tidak mau terlalu cepat menikah."
"Kau hanya takut untuk mengakui cintamu pada seorang pria. Kau tahu? Semasa nenek muda, sebelum menikah dengan kakekmu yang sudah tenang di surga, nenek adalah gadis idola di kampung kita."
"Benarkah?"
"Iya, benar. Nenek tidak ragu untuk mengakui rasa cinta nenek pada kakekmu. Waktu itu umur nenek sudah empat belas tahun, nenek adalah Marimar muda dan siap untuk menikah. Nenek sangat berbeda denganmu, nenek tidak takut untuk mendekati pria, tidak sepertimu."
"Astaga, nenek menikah di usia yang muda sekali."
"Empat belas tahun itu sudah tua. Jangan terbawa gaya hidup orang Eropa yang menikah di umur tiga hingga empat puluh tahun. Seorang gadis itu memang harus menikah dibawah usia dua puluh, dan pria itu harus menikah dibawah usia dua puluh tiga, itulah tradisi di kampung kita. Oleh karena itu, pada usia dua puluh sembilan tahun, nenek sudah punya cucu."
"Tapi, kak Mulyanto sudah tiga puluh dua tahun, kenapa dia belum menikah?"
"Jangan pikirkan tentang sepupumu, pikirkan saja tentang dirimu. Dan satu lagi, jangan panggil dia dengan nama aslinya, panggil dia dengan nama Mat-t-e-eu."
"Matthew, nenek."
"Nah, itu. Matthew adalah pria yang pekerja keras, aku senang memiliki dua cucu yang pekerja keras seperti kalian berdua. Dia terus saja mengumpulkan modal untuk melamar Barbara, dia berpikiran dewasa untuk masa depannya dan Barbara, dia berbeda dari pria lainnya."
"Namanya bukan Barbara, nek, tapi Boneng."
"Terserahmu saja. Tapi intinya, dapatkan pemuda baik hati yang bisa menyayangi nenekmu juga. Jangan seperti FTV yang barusan habis tadi, masa tokoh utamanya mati."
"Tokoh utamanya mati?"
"Iya, padahal nenek sangat suka padanya, hanya karena dia jahat, perannya harus dimatikan, nenek tidak suka hal keji seperti itu, apa lagi dia tampan sekali."
"Peran jahat itu kan memang biasanya menderita di akhir cerita, nek."
"Iya, nenek tahu, tapi nenek hanya tidak suka artis tampan sepertinya harus mendapatkan peran yang ujungnya dimatikan."
"Hanya karena dia tampan, nenek sampai tidak rela kalau perannya dimatikan?"
"Iya. Hei, apa kau pernah bertemu dengan pria tampan di rumah makan itu?"
"Pria tampan? Hm ... pernah, cuma ...."
"Astaga! Aku terlambat! Nenek! Aku permisi!" sambung Salma yang langsung berlari keluar rumah.
"Ya ampun, dia benar-benar membutuhkan seorang suami yang selalu ada untuk mengantarnya bekerja," gumam nenek Salma yang bernama Marimar itu.