Setelah cukup lama menunggu di ruang tunggu, Dokter akhirnya keluar dari ruang UGD, Kevlar pun langsung bangkit dari duduknya untuk bertanya pada sang Dokter mengenai keadaan Joshua.
"Anda keluarga pasien?" tanya sang Dokter.
"Bukan, Dok. Saya orang yang tidak sengaja menabraknya," jawab Kevlar.
"Bagaimana keadaannya?" sambung Kevlar.
"Pasien sudah sadar dan dalam kondisi baik, lukanya tidak terlalu parah, hanya ada luka lecet di bagian tangan dan kaki. Tapi terlalu banyak luka lecet di kakinya, jadi untuk sementara, pasien belum bisa berjalan karena akan menimbulkan rasa sakit apa bila pasien menggerakkan kakinya, ditambah lagi ada beberapa luka lebam yang cukup besar di bagian kaki dan badannya."
"Lalu, kenapa dia bisa pingsan?"
"Kemungkinan pasien belum sarapan, dan ketika tertabrak, pasien sepertinya dalam kondisi lemas. Otomatis ketika pasien tertabrak, pasien langsung pingsan."
'Huft, syukurlah, aku tidak mau menghabiskan waktu yang lama disini,' batin Kevlar.
"Saya permisi," ucap sang Dokter. Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruang UGD yang dipakai untuk Joshua.
"Maaf, pasien mengatakan kalau Anda bukan keluarganya melainkan orang yang menabraknya. Apa benar demikian?" tanya si perawat pada Kevlar.
"Iya, benar," jawab Kevlar.
"Kalau begitu silakan melakukan pembayaran di ruang administrasi dengan menyerahkan kartu identitas pasien sekalian. Jika Anda tidak memiliki nomor ponsel keluarga pasien yang bisa dihubungi, maka pihak rumah sakit yang akan menghubunginya dengan mencaritahu lewat kartu identitas pasien."
"Baik. Boleh saya masuk?"
"Silakan."
Kevlar kemudian masuk kedalam ruangan itu, sedangkan si perawat tadi pergi.
"Dimana ponselku? Hubungi bibiku," ujar Joshua ketika Kevlar masuk.
"Nanti akan kuhubungi bibimu, yang jelas aku akan bertanggung jawab dengan menanggung seluruh biaya pengobatanmu," kata Kevlar.
Tiba-tiba saja ponsel Kevlar berbunyi karena ada sebuah pesan masuk dari Ny. Zemira.
- Kenapa kau tidak berada di kantor? Dimana kau? -
Begitu isinya.
'Sial, kenapa dia bisa tahu kalau aku sedang tidak di kantor? Apa ada orang kantor yang memberitahu hal itu padanya?' batin Kevlar.
- Saya terjebak macet -
Jawab Kevlar.
'Biaya pengobatan pemuda ini pasti akan memakan banyak biaya, Bunga tidak boleh tahu soal ini, kalau tidak dia bisa memarahiku dan menciptakan keributan. Tapi aku tidak ingin uangku terkuras. Kalau begitu solusinya adalah mengambil uang Zemira di brankasnya. Ada banyak sekali uang di brankas itu, jika aku mengambil beberapa belas juta saja pasti tidak akan diketahui olehnya,' batin Kevlar.
'Aku memiliki keuntungan karena mengetahui kata sandi brankas itu,' batin Kevlar.
Usai bermain bersama Ismail, Mona dan Zhani berencana untuk kembali ke kamar Tantri sebab Ismail pergi ke kandang Kuda, namun mereka dikejutkan dengan kehadiran Raya yang tiba-tiba berada dibelakang mereka.
"Hai," sapa Raya sambil menaikkan satu alisnya. Mona langsung menutup matanya tatkala ia melihat Raya, sebab apa bila ia melihat Raya, ia akan teringat tentang kejadian yang menimpanya 3 hari yang lalu.
"Jangan takut, gadis kecil. Aku hanya ingin memastikan, kalau kau tidak menceritakan hal yang sebenarnya terjadi tiga hari yang lalu pada siapa pun, kan?" bisik Raya dengan nada yang menyeramkan pada Mona, sedangkan Zhani hanya bisa diam di belakang Mona.
"Tidak," jawab Mona.
"Bagus ..., kau ingin berteman denganku?" tanya Raya, ia masih berbisik.
"Aku dan adik-adikku tidak akan bermain dengan Arka lagi dan tidak akan bersentuhan dengan rumah itu lagi. Jadi jangan ganggu kami lagi, biarkan kami hidup tenang tanpa diganggu dan mengganggu," ucap Mona.
"Hahaha, bodoh sekali kau. Kau tinggal di dalam gerbang yang sama dengan mansion, jadi pikirlah apa yang kau katakan barusan."
"Aku hanya tidak ingin diganggu lagi olehmu, bibi. Peraturannya kan kami tidak boleh bermain dengan Arka, kami sudah mentaatinya, jadi pergilah."
"Siapa memangnya kau disini? Berani sekali kau mengusirku."
"Aku hanya meminta bibi untuk menjauhi kami."
"Apa yang kau lakukan bersama anak-anak itu, Raya?" tanya Bunga yang berada 15 meter dibelakang Raya, tampaknya ia baru saja hadir disitu.
Raya yang tadinya menyesuaikan tingginta dengan Mona agar bisa berbisik, kini menegakkan tubuhnya dan menoleh kearah Bunga.
'Kenapa dia hadir disaat baru saja aku akan bertanya tentang ibu mereka?! Argh! Sial! Sialan kau Bunga!' gerutu Raya di dalam hatinya.
"Aku ..., aku hanya menyuruh mereka untuk diam di kamar Tantri, karena jika tidak, mereka akan mengganggu para pekerja di halaman belakang, kan?" jawab Raya.
"Benar, tapi, jaga jarakmu dari mereka."
"Ah, tentu saja."
"Kak Karin, ini dia nona Dina," ucap Tantri pada Jhana yang masih membelakangi Isa dan Dina.
"Aku baru sadar jika kak Karin ada disini," ujar Isa.
"Kebetulan sekali," sambungnya, Dina kemudian tersenyum.
"Kak, ada apa? Kenapa kakak tidak berbalik badan?" tanya Tantri.
"Eh? Apa?" kata Jhana yang kehabisan ide.
"Nona Dina disini, kita sebagai pembantu tidak baik jika mengabaikannya." Tantri masih berusaha untuk membuat Jhana berbalik badan.
Baru saja Jhana akan berbalik badan karena sudah tersudutkan, tiba-tiba ponsel Dina berdering dan Dewi Fortuna berpihak kepada Jhana. Dina segera menerima panggilan itu dan pergi dari sana untuk berbicara di ruangan yang lebih sepi dengan orang yang menghubunginya.
"Loh?" Jhana tampak heran, namun di satu sisi ia terlihat sangat lega.
"Kakak terlambat," ujar Tantri.
Melihat hal itu, Isa hanya tersenyum. "Aku kesana dulu ya."
"Iya, Tuan, silakan," balas Tantri.
"Aku ..., ingin ke kamar mandi dulu, ya," kata Jhana setelah Isa pergi. Tantri menjawabnya dengan sebuah anggukkan.
Di rumah sakit tempat Joshua berada, sang bibi yang sudah dikabari oleh pihak rumah sakit perihal kecelakaan yang menimpa keponakannya itu pun langsung berlari menuju kamar yang dipakai oleh Joshua. Wanita tua itu tampak panik dan terus meneteskan air mata. Sementara Kevlar tampaknya sudah pergi dari rumah sakit tersebut.
"Ya ampun, nak," ucap bibinya Joshua sambil memasuki kamar pasien yang ditempati oleh keponakan kesayangannya itu. Ia berlari memasuki kamar tersebut dengan air mata yang masih menetes dan langsung memeluk Joshua dengan sangat sangat sangat erat.
"Ya Tuhan ..., jangan buat aku berpisah dari keponakanku lagi. Sudah cukup aku kehilangan Renatta, jangan buat aku kehilangan Joshua pula," ujar wanita tua itu sambil terus memeluk Joshua dengan tangisan yang tiada henti.
"He-n-t ... t-i ... k-k ... k-a-n, bibi. Bibi m-m-me ... memelukku terlalu e-rat. A-aku ... t-ti dak bisa bernafas," kata Joshua, namun bibinya tidak menggubrisnya.
"Aaaah, ya Tuhan." Bukannya melepaskan pelukannya, si bibi justru semakin memeluk Joshua dengan semakin erat dan terus menangis.
"Bibi ..." Joshua tampak mulai sesak nafas.
"Bibi ..."
"Bibi Veyani!"
Wanita tua itu lantas melepaskan pelukannya ketika ia mendengar keponakannya menyebut namanya.
"Jangan sebut namaku! Itu akan membuatku semakin merasa menjauh darimu!" seru bibi Vey.
"Bibi memelukku dengan sangat erat, aku tidak bisa bernafas."
"Itu adalah bentuk rasa khawatir dan takutku mengenai kondisimu. Jika sampai kau kenapa-kenapa, aku belum siap untuk kehilangan keponakanku lagi. Bayangkan, dari mana aku bisa makan jika hal yang buruk menimpamu? Aku juga mati bila kau mati."
"Sssshhhttt. Tidak baik bibi berkata seperti itu. Bibi tidak akan mati jika aku mati. Jika bibi ikut aku mati, aku jadi tidak bisa menghantui bibi."
"Kau ini!" Bibi Vey mencubit kaki Joshua.
"Aw! Sakit, bibi! Lukaku kebanyakan di kaki!" keluh Joshua.
"Iya, maaf. Siapa yang menabrakmu?"
"Seorang pria kantoran. Dia sudah membayar seluruh biaya pengobatanku, dan dia memberikanku uang untuk mengganti sepedaku yang rusak. Dokter bilang aku bisa pulang hari ini, tapi dengan bantuan kursi roda. Semua obat yang harus kuminum juga beberapa salep yang harus kupakai juga sudah dibayar olehnya, jadi kita hanya tinggal menyewa taksi untuk pulang dan memberitahu pak Wahyu mengenai kejadian ini."
"Syukurlah. Tapi kenapa dia pergi? Seharusnya dia bertanggung jawab hingga kau benar-benar berada dirumah."
"Aku yang menyuruhnya pulang, aku tahu kalau dia pasti sibuk dan harus mengurus pekerjaannya, jadi dia pasti tidak bisa berlama lama disini."
"Argh! Sayang sekali, padahal bibi ingin menghajarnya karena telah menabrak keponakan tersayangku ini."
"Bibi, bibi tidak boleh menyalahkannya begitu, ini juga salahku karena tidak memperhatikan jalan. Masih mending dia ingin bertanggung jawab, kalau tidak?"
"Dia harus bertanggung jawab! Dia yang menabraknya, bukan kau yang menabraknya! Siapa namanya?!"
"Aku kurang mengingatnya ..., tapi, kalau tidak salah, nama belakangnya adalah Novandiro."
"Bibi, apa mereka berlima tahu akan hal ini?" tanya Joshua.
"Tidak. Dan mereka tidak perlu tahu. Lagi pula, apa yang kau harapkan dari mereka? Mereka tidak akan peduli meskipun mereka tahu," jawab bibi Vey.
Joshua hanya terdiam, kemudian tertunduk setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.
Di ruang tamu mansion Dhananjaya, Dina tampak duduk di sofa dan memutuskan sambungan ponselnya dari orang yang menghubunginya. Tidak lama kemudian, Ny. Zemira masuk kedalam ruangan tersebut.
"Siapa yang menelpon?" tanya Ny. Zemira sambil duduk di salah satu sofa.
"Ibuku, bibi. Hanya mengajarkan soal sopan santun dan etika yang baik ketika aku menjadi menantu di keluarga ini nanti. Belakangan ibuku memang suka mengajarkanku tentang hal-hal yang seperti itu," jawab Dina.
"Itu bagus, aku juga melakukan hal yang sama pada Bunga ketika dia akan menikah, namun sepertinya hal itu tidak berguna padanya sekarang, karena dia tidak tinggal bersama mertuanya."
"Setidaknya dia memiliki pengetahuan mengenai hal itu, kan?"
"Yah ..., kau benar."
"Apa bibi juga pernah diajarkan perihal hal seperti itu oleh ibunya bibi?"
"Aku sedikkit berbeda denganmu, Dina."
"Apa maksud perbedaan itu?"
"Sampai detik ini, aku tidak pernah menceritakan tentang perbedaan itu kepada siapa pun."
"Benarkah? Ceritakanlah padaku, itu pasti akan menjadi kisah yang menarik."
"Hahaha, kupikir tidak ada hal yang menarik untuk diperbincangkan mengenai hal itu."
"Kenapa? Padahal aku sangat ingin tahu."
"Perbedaan yang kukatakan tadi adalah tentang masa mudaku dulu. Tapi jika membahas masa mudaku, tidak akan lengkap rasanya apa bila tidak membahas tentang seluruh kisah kehidupanku."
"Kalau begitu, ceritakanlah kisah hidup bibi padaku. Tak salah, kan? Aku juga ingin tahu."
"Suatu saat kau akan mengetahuinya sendiri. Kau tahu? Bahkan anak-anakku saja tidak tahu tentang kisah hidupku dulu, dan aku berniat untuk tidak membeberkannya kepada orang-orang hingga aku mati nanti."
"Apa itu sebuah privasi untuk bibi?"
"Kurasa begitu. Lagi pula kisah hidupku dulu hanyalah masa lalu, tidak perlu dibahas lagi."
Dina kemudian tersenyum.
Di kamar mandi, Jhana masih memikirkan sebuah rencana untuk bisa terus menghindari Dina. Namun ia kehabisan akal. Bagaimana mungkin ia bisa menghindari Dina sedangkan dirinya selalu mondar-mandir di dalam mansion itu?.
'Aku selalu mondar-mandir di mansion ini. Tidak mungkin aku bisa menghindari Dina. Jika aku membersihkan ruang tamu, pasti aku akan bertemu dengannya. Jika aku ke dapur, dia juga pasti bisa ada disana. Jika aku ke halaman belakang, sesekali dia pasti juga kesana untuk sekedar melihat-lihat,' batin Jhana.
'Apa yang harus kulakukan?'
'Tapi, kalau dipikir lagi, selama aku tidak diam disatu titik, aku akan aman. Jika aku berada disatu tempat dalam waktu yang cukup lama, kemungkinan Dina bisa melihatku karena dia pasti akan berada diseluruh ruangan di mansion ini selama satu harian ini. Kalau aku terus sibuk, mondar-mandir kesana-kemari, maka aku bisa menghindari Dina ketika dia berada di satu ruangan.'
'Itulah kuncinya, aku harus terus berpindah-pindah ruangan dan lantai. Dengan begitu kesempatan kami untuk bertemu semakin kecil, dan aku akan aman.'
'Huft. Baiklah, aku akan keluar sekarang.'
Setelah cukup lama berada di kamar mandi itu, Jhana akhirnya membuka pintunya. Namun ia dikejutkan dengan kehadiran Isa yang mendorong Tn. Farzin menuju arah kamar mandi yang dimasuki olehnya. Kamar mandi itu memang berada di lorong yang sama dengan kamar Ny. Zemira dan Tn. Farzin, namun letak kamar mandi itu ada di awal lorong, sedangkan kamar sang Tuan dan Nyonya besar itu berada di ujung lorong. Meski kamar mandi itu bukan jadi tujuan ayah dan anak itu, tapi tetap saja jika mereka ingin keluar dari lorong itu, mereka harus melewati kamar mandi tersebut. Dan jarak mereka dari kamar mandi itu hanya 2 meter.
Sontak saja Jhana terkejut melihat Tn. Farzin yang begitu dekat darinya dan tidak menyadari keberadaannya. Wanita yang memiliki 3 anak itu tadinya baru mengeluarkan kepalanya, tapi secara spontan ia masuk lagi kedalam kamar mandi.
Akibat keterkejutannya, Jhana membanting pintu kamar mandi itu dan langsung terengah-engah karena panik.
Suara bantingan pintu kamar mandi itu pun membuat Isa dan Tn. Farzin kaget setengah mati. Mereka yang tadinya fokus kedepan, langsung bergetar tubuhnya ketika mendengar suara bantingan pintu itu.
Bahkan Ny. Zemira dan Dina yang sedang berada di ruang tamu pun ikut terkejut mendengar suara bantingan pintu yang dibuat Jhana tersebut. Ny. Zemira dan Dina pun langsung bangkit dari duduk mereka dan berjalan menuju pintu ruang tamu, kemudian menoleh kearah sumber suara dan melihat Isa juga Tn. Farzin yang berada disana.
Ny. Zemira pun lantas bertanya pada Isa tentang apa yang terjadi dengan bahasa isyarat melalui gerakan kepala, putra bungsunya itu kemudian menjawabnya dengan gelengan kepala dan bahu yang terangkat.