'Astaga, apa yang telah kulakukan?!' batin Jhana, ia masih terlihat terkejut.
Dari luar kamar mandi, Isa memutuskan untuk mengetuk pintu kamar mandi itu untuk mengetahui siapa yang berada di dalamnya.
'Aku bodoh! Aku bodoh!' gerutu Jhana di dalam hatinya setelah Isa mengetuk pintu, kini keadaannya semakin genting dan menyulitkan untuknya karena perbuatannya sendiri.
"Siapa di dalam?!" tanya Isa.
"S-saya, Tuan!" jawab Jhana.
"Maaf?!"
"Saya, Karin!"
"Apa yang terjadi?!"
"Saya sedang mengalami masalah pencernaan, Tuan! Maaf jika saya sudah mengganggu ketenanganan Anda!"
"Oooh! Baiklah!"
Usai mendapatkan jawaban dari Jhana, Isa kembali mendorong ayahnya menuju ruang tamu, menghampiri Ny. Zemira dan Dina.
"Siapa yang berada di dalam kamar mandi itu?" tanya Ny. Zemira pada Isa.
"Karin, ibu," jawab Isa.
"Kenapa dia membanting pintunya?"
"Sepertinya dia sedang diare, makanya dia masuk kedalam kamar mandi dengan terbirit-birit karena takut jika sampai bocor."
"Hahahaha." Dina tertawa mendengar penjelasan Isa, sedangkan Ny. Zemira hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ya ampun, ada-ada saja. Setidaknya tutuplah pintu dengan cara yang lebih baik," ucap Ny. Zemira.
"Nah, ayo," ucap bibi Vey kepada seorang sopir taksi, mereka berdua lantas mengangkat kursi roda yang sedang di duduki oleh Joshua.
"Terima kasih telah membantuku. Ini, aku lebihkan uang untukmu sebagai upah," ujar bibi Vey.
"Terima kasih, Nyonya. Saya permisi," pamit si sopir taksi. Bibi Vey menjawabnya dengan sebuah senyuman.
Setelah sopir dan taksi itu pergi, bibi Vey membawa Joshua masuk kedalam kamar sang keponakan, dan sebelumnya ia telah menutup pintu rumahnya.
"Tunggu disini, akan kuambilkan teh hangat dan cemilan untukmu," kata bibi Vey sambil membantu Joshua untuk naik ke ranjangnya.
"Es teh saja, bibi," pinta Joshua.
"Es teh tidak baik untuk orang yang sedang sakit, teh hangat saja."
"Kata siapa aku sakit? Aku kecelekaan, bibi."
"Ck, jangan membantah perkataan bibimu!"
"Iya, iya."
Bibi Vey lantas menghela nafas dan pergi ke ruang tv, berjalan menuju ponselnya. Wanita tua itu lalu mencari kontak pak Wahyu, bos Joshua. Setelah mendapatkan kontak yang ia cari, bibi Vey pun langsung menghubungi pak Wahyu.
"Halo?" Bibi Vey memulai percakapan.
"Ini Veyani, bibinya Joshua."
"Ya ..., aku memang ingin membicarakan tentangnya."
"Jadi begini, pak. Tadi pagi ketika dia hendak berangkat bekerja, dia mengalami kecelakaan. Sebuah mobil menabraknya ketika dia sedang mengendarai sepedanya. Bahkan sepedanya saja hancur meskipun aku tidak melihatnya."
"Ya, dia baik-baik saja. Tapi dia menerima banyak luka lebam dan lecet."
"Tidak, dia tidak sampai dirawat di rumah sakit, sekarang saja kami sudah pulang."
"Terima kasih atas doamu, semoga Tuhan mengabulkannya. Dan aku ingin ke inti pembicaraan ini sekarang."
"Aku ingin meminta cuti untuk Joshua, mungkin dia baru bisa bekerja dua minggu lagi, Dokter bilang kondisinya baru akan pulih dalam waktu dua minggu dari sekarang."
"Iya, aku tahu jika usahamu akan rugi kalau dia cuti sampai selama itu, tapi kondisinya memang benar-benar tidak memungkinkan. Tenang saja, soal gaji, potong saja sesuai dengan seberapa lama dia tidak bekerja."
"Cobalah untuk mengerti. Sulit untuk mencari pekerjaan, jika kau memecatnya, dia tidak akan memiliki pekerjaan setelah sembuh, dan jika hal itu sampai terjadi, keuangan kami akan semakin menipis, kami bisa tidak makan jika begitu."
"Aku tahu, tapi, mau dikatakan apa lagi? Meliburkan satu outletmu selama dua minggu tidak akan membuatmu rugi besar, kan?"
"Kumohon, pikirkan lagi."
"Baiklah, aku menghargai keputusanmu, setidaknya aku sudah berusaha untuk meyakinkanmu, tapi ternyata aku tidak memberikan pengaruh padamu. Terima kasih atas waktunya."
Bibi Vey kemudian memutuskan sambungan teleponnya, wajahnya tampak sedih, namun kemudian ia mengingat tentang janjinya kepada Joshua untuk membuatkan teh dan cemilan untuk keponakannya itu.
Jhana baru saja keluar dari kamarnya dan sedang berjalan menuju mansion, namun ketika ia baru saja akan membuka pintu depan mansion, seseorang telah mendahuluinya untuk membuka pintu tersebut, yaitu Isa.
"Kau ingin masuk, kak?" tanya Isa.
"Iya, Tuan keluar saja dulu," jawab Jhana. Isa lantas tersenyum.
"Tuan, Anda ingin pergi kemana?" tanya Jhana ketika Isa menuruni tangga.
'Kenapa dia bertanya soal itu? Kupikir hal itu agak tidak sopan untuknya, dia tidak berhak untuk memiliki rasa penasaran tentang hal itu. Apa dia menganggapku sebagai adiknya sendiri sehingga dia bertanya seperti itu? Tapi dia memanggilku dengan sebutan Tuan,' batin Isa.
"Aku ..., ingin menjemput keponakan-keponakanku. Memangnya ada apa? Ada yang ingin kau sampaikan padaku?" jawab Isa, ia lalu bertanya balik.
"Tidak ..., aku hanya ..., bertanya. Maaf jika kurang sopan."
"Tidak apa-apa." Isa lantas pergi ke garasi, sementara Jhana masuk kedalam mansion, dan secara tidak sengaja, ia saling melihat dengan Ny. Zemira yang sedang berada di lantai 2.
"Karin," panggil Ny. Zemira yang turun setelah melihat Jhana.
"Ya, Nyonya?" sahut Jhana.
"Kau diare, kan?"
"Iya, Nyonya."
"Pekerja dirumah ini dilarang sakit, jika ada yang sakit, maka harus sembuh hari itu juga, dan aku harus terus memantau kondisi kalian agar sembuh besoknya. Ambillah obat di kotak P3K yang berada di dekat kamar Bunga dan Kevlar, disana ada berbagai macam obat, mulai dari obat batuk, obat flu, sampai obat diare seperti yang sedang kau alami pun ada. Jangan lupa diminum sesuai dengan aturan yang tertera pada bungkus obat itu."
"Baik, Nyonya. Terima kasih."
"Sama-sama."
Ny. Zemira kemudian berjalan menuju ruang tamu, sedangkan Jhana mengikuti arahan dari ibu angkatnya itu meskipun sebenarnya ia tidak sakit, hanya demi membuat Ny. Zemira percaya, Jhana pun naik ke lantai 3, walaupun nantinya ia juga tidak akan meminum obatnya.
Sesampainya di lantai 3, Jhana langsung bisa melihat kotak P3K yang dimaksud oleh Ny. Zemira tadi dan langsung menghampirinya.
"Baiklah, aku akan mengambil satu papan saja," ucapnya.
"Obat disini lengkap dan utuh semua. Padahal dulu tidak tersedia kotak P3K beserta isinya. Apa mungkin karena ayah jatuh sakit, mereka menjadi waspada akan penyakit dan mulai menyediakan obat disini?" gumam Jhana.
Wanita itu lantas menutup kotak P3K tersebut setelah mengambil 1 papan obat diare. Jhana baru saja berbalik badan, namun tiba-tiba ia merasa ada hal yang janggal.
'Utuh?' batin Jhana. Kini ia kembali menatap kotak P3K tersebut.
Jhana lalu teringat akan percakapannya dengan Kania 3 hari yang lalu setelah para pekerja di mansion Dhananjaya 'disidang' oleh Isa mengenai kejadian tenggelamnya Mona. Kala itu, percakapan mereka terjadi di dapur, bersamaan dengan pembicaraan Isa, Ny. Zemira, Bunga, Raya, Arka dan Zhani mengenai tenggelamnya Mona dan hal yang sebenarnya terjadi pada Arka.
Kebetulan pada saat itu hanya ada mereka berdua di dapur, jadi mereka lebih leluasa untuk mengobrol.
"Kak, boleh aku bertanya satu hal padamu?" tanya Jhana.
"Ya, silakan saja," ujar Kania sambil mencuci tangannya.
"Apa yang terjadi pada Arka tadi pagi? Kenapa kakak dan Indira menyuruhku dan Tantri untuk diam?"
"Oooh, soal itu," kata Kania sambil duduk berhadapan dengan Jhana.
"Semalam Nyonya Raya mengatakan kalau Arka sedang sakit, Nyonya Raya bilang anak itu sudah diberi makan dan obat olehnya dikamarnya, makanya Arka tidak bergabung dengan keluarganya ketika makan malam. Namun tadi pagi, Arka ditemukan pingsan dikamarnya sendiri oleh Nyonya Zemira dan Nyonya Raya, makanya Nyonya Zemira berteriak histeris."
"Memangnya apa yang terjadi pada Arka?"
"Entahlah, aku juga belum tahu."
"Apa mungkin ada hal yang disembunyikam oleh Nyonya Raya?"
"Nah, itu. Aku juga berpikir hal yang sama denganmu."
"Memangnya ada apa?" sambung Ny. Zemira.
"Tidak, aku hanya penasaran. Tiba-tiba aku teringat akan hal itu dan jadi ingin tahu tentang hal itu, dan itu sangat mengganggu pikiranku, makanya aku bertanya kepada kakak agar rasa penasaranku hilang."
Usai mengingat percakapannya dengan Kania 3 hari yang lalu, Jhana pun lantas merasa kalau ada hal yang disembunyikan oleh Raya.
'Menurut kak Kania, Raya sudah memberikan obat kepada Arka, tapi kenapa semua obat disini sangat utuh? Seharusnya ada yang berkurang,' batin Jhana.
"Tantri menjelaskan kepadaku pada hari pertama aku bekerja kalau obat di kotak P3K ini isinya baru diganti dengan yang baru sekitar seminggu yang lalu dan akan diganti setiap dua bulan sekali, dan sampai sekarang semuanya masih utuh. Jika dihitung berdasarkan hari, ketika Arka jatuh sakit, seharusnya obat-obat disini adalah obat-obat baru yang sudah diganti, jadi seharusnya sekarang ada obat yang berkurang. Tapi kenapa semuanya masih utuh?" gumam Jhana.
"Apa mungkin Raya mengambil satu papan obat untuk Arka, sama sepertiku mengambil satu papan obat ini?"
"Jika iya, seharusnya obat itu berada di kamar Arka sekarang, karena obat itu tidak akan berguna jika berada di kamar Raya, sedangkan kalau berada di kamar Arka, obat itu bisa digunakan untuk berjaga-jaga jika Arka kembali jatuh sakit."
"Namun jika tidak, itu artinya Raya telah berbohong perihal dia sudah memberikan obat kepada Arka. Lagi pula, kenapa Arka pingsan jika dia sudah diberi obat? Tega sekali kau, Raya. Tidak heran kalau kau pernah hampir membunuh ibu, jika pada anakmu saja kau bisa berlaku seperti itu, apa lagi pada mertuamu."
"Lebih baik sekarang aku mengecek kamar Arka untuk menemukan jawaban yang sebenarnya."