Dari ruang kerja Ny. Zemira, terlihat sang pemilik ruangan keluar dari ruangan itu, tak lama kemudian sosok Kevlar juga keluar dari ruangan tersebut.
"Ibu, jika ibu tidak memiliki waktu, biar saya saja yang datang ke dinas kependudukan untuk mencaritahu identitas Karin," ujar Kevlar dengan nada yang pelan.
"Kenapa kau sangat ingin tahu tentang identitasnya? Biarkan saja semuanya berjalan, bahkan jika ibu memiliki waktu, ibu akan langsung memeriksanya hari ini juga." Ny. Zemira lantas pergi menuju kamarnya.
Setelah ibu mertuanya pergi, Kevlar terdiam, ia teringat saat dimana ia baru pulang tadi, dan berbincang dengan Bunga di dalam kamar mereka sebelum Ny. Zemira dan dirinya mendiskusikan masalah identitas Jhana lagi.
"Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Kevlar pada Bunga.
"Ya, tentu saja semuanya baik-baik saja," jawab Bunga sambil menata kotak-kotak perhiasannya.
"Kenapa kalian semua berkumpul di kamar Arka tadi?"
"Ooh, soal itu. Arka pingsan tadi, jadi kami semua berkumpul dikamarnya."
"Apa ada masalah dengan anak bernama Mona itu?"
"Jangan sebut nama anak miskin itu lagi. Aku sudah muak dengan dia dan adik-adiknya yang merebut Isa dari kita semua."
"Kenapa?"
"Isa menjadi selalu membela mereka dan memarahi aku, terkadang Raya juga. Intinya, Isa jadi menjauh dari kita karena anak-anak itu."
"Ketika aku pulang tadi, aku bertanya pada Karin perihal apa yang terjadi, tapi dia hanya menjawab kalau Mona tenggelam. Dia tidak memberitahuku tentang apa yang terjadi pada Arka."
"Yah ..., begitulah. Mereka sama-sama orang kelas bawah, jadi Karin hanya peduli dengan orang sekelasnya. Aku tahu hal itu rada tidak nyambung, tapi, yang jelas aku tidak ingin membahasnya lagi," pungkas Bunga yang lantas pergi dari kamarnya dan Kevlar.
"Kenapa aku menjadi risih dengan kehadiran Karin? Sejak awal dia diterima aku selalu memikirkannya. Dia adalah pembantu disini, tapi kenapa jawabannya justru membuat dia terlihat hanya memikirkan Mona yang bukan anak majikannya? Kenapa dia tidak memberitahuku tentang apa yang terjadi pada Arka? Dan dari wajahnya terlihat sekali dia sangat mengkhawatirkan dan memikirkan Mona. Ada apa dengannya? Dia baru beberapa jam bekerja disini dan sepertinya belum lama mengenal anak itu, dan make upnya juga mengangguku," gumam Kevlar setelah Bunga pergi.
Ketika siang memuncak, penantian Dina akhirnya terbayarkan. Isa yang telah ditunggunya sejak pagi, akhirnya sampai di rumah makan Populer. Namun bukannya Dina yang dilihat Isa pertama kali saat tiba di rumah makan tersebut, melainkan Arvin yang tampak sedang serius memainkan ponselnya.
"Itu, kak Arvin?" tanya Isa pada Dina.
"Ya, itu dia, sejak pagi dia disini dan jangan pedulikan dia. Katakan, dari mana saja kau sejak pagi?" jawab Dina.
"Aku ... aku akan menjelaskannya padamu."
Dina menghela nafasnya. "Baiklah."
Di lain tempat, tampak Juliet yang sedang membuntuti mobil Romeo dengan mobilnya sendiri. Ia terus mengikuti suaminya itu, hingga akhirnya Romeo berhenti di sebuah gedung yang belum jadi. Juliet lantas juga berhenti, namun dari jarak yang agak jauh. Di gedung itu terlihat banyak sekali pekerja.
'Dimana kau, Nesha?' batin Juliet.
Wanita itu lalu mendapati Romeo yang sedang mengobrol dengan seorang pimpro. Setelah cukup lama berbincang dengan sang pimpro, Romeo kembali ke mobilnya dan memutar balik.
'Dia kembali? Itu artinya Nesha tidak disini? Apa dia tahu kalau aku mengikutinya?' batin Juliet.
Dengan barang belanjaannya, Tantri terlihat membuka gerbang kecil mansion, kemudian masuk berjalan menuju kamarnya.
"Kak Tantri?" ucap Mona saat Tantri masuk kedalam kamarnya.
"Apa itu?" sambungnya.
"Coba tebak," ujar Tantri.
"Hmmm. Entahlah."
"Ini makanan-makanan enak yang Tuan Isa suruh beli semalam."
"Kenapa banyak sekali?" tanya Zhani.
"Kakak juga ingin berbagi dengan para pekerja lainnya," jawab Tantri.
"Ini punya kalian," lanjut gadis tersebut sembari mengeluarkan 3 kotak makanan.
Usai mengeluarkan ketiga kotak makanan itu, Tantri lalu menghampiri Mona yang sedang menonton tv.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Tantri.
"Aku merasa lebih baik sekarang, meskipun masih sedikit terngiang di kepalaku tentang kejadian itu," jawab Mona.
"Katakan jika kau merasa ada hal yang aneh dipikiranmu. Kakak tahu kau pasti merasa takut untuk berada di kolam atau bahkan dekat kolam lagi."
"Jangankan untuk berada di dekat kolam, masuk kedalam rumah itu lagi pun aku tidak mau."
Tantri tersenyum. "Jika kau sudah siap untuk mengatakan segalanya mengenai kejadian tadi, katakanlah, jangan ditunda, jika tidak, pasti kau akan merasa takut lagi."
"Baiklah, tapi jangan terus mengingatkanku tentang kejadian itu."
"Ok. Kakak kembali bekerja dulu, ya?"
Mona hanya mengangguk. Tantri kemudian keluar dari kamar itu, dan secara bersamaan mobil Kevlar juga keluar dari gerbang. Tantri lantas menghampiri Jaya yang sedang menyapu halaman depan.
"Paman Jaya!" panggil Tantri, Jaya kemudian menoleh kearahnya.
"Ada apa?" tanya Jaya.
"Ini. Ada rezeki dari Tuan Isa, jadi aku membagikannya juga pada paman dan yang lainnya," jawab Tantri.
"Wah ..., apa makanan ini dibeli dari uang Tuan Isa?"
"Iya, ambillah."
"Terima kasih banyak."
"Jangan berterima kasih padaku, berterima kasihlah pada Tuan Isa."
"Baiklah, baiklah."
Saat sedang membereskan ruang tamu, Jhana kembali memikirkan tentang Mona. Ia terus merasa bersalah karena tidak melakukan apa-apa ketika Mona berada di ambang kematian tadi.
'Apa benar aku ini seorang ibu? Tapi kenapa aku tidak berperasaan pada anakku sendiri?' batin Jhana.
Ketika Jhana sedang sendirian di ruang tamu, Tantri masuk dan menghampirinya.
"Kak Karin," panggil Tantri.
"Ya?" sahut Jhana.
"Ada makanan untuk kakak, uangnya Tuan Isa. Ini, ambil."
"Kau berikan saja untuk anak-anak itu," ujar Jhana.
"Mereka sudah mendapatkan jatah mereka sendiri, ambillah jatah kakak."
"Apa Tuan Isa memberikan makanan itu hanya untuk para pekerja?"
"Iya, dia memberikanku uang satu juta semalam dan menyuruhku untuk membeli ini semua."
Baru saja Jhana akan menjawab lagi, tiba-tiba bel mansion itu berbunyi.
"Bawalah makanan-makanan itu ke dapur, aku akan membuka pintu dulu," suruh Jhana.
"Baiklah." Tantri lantas pergi ke dapur, sedangkan Jhana berjalan menuju pintu.
Segera Jhana membuka pintu dan mendapati Shirina bersama 1 pria dewasa, 1 wanita dewasa dan 1 anak perempuan yang tak dikenalinya.
"Karin!" sapa Shirina, Jhana hanya tersenyum.
"Dimana ibuku?" tanya Shirina.
"Nyonya Bunga ada di dalam kamarnya," jawab Jhana.
"Awas, biarkan aku masuk."
"Ibu!" seru Shirina sambil berjalan menuju kamar orangtuanya.
"Silakan masuk, Tuan, Nyonya," ucap Jhana pada pria dewasa yang tak lain adalah Jacob, dan pada wanita dewasa itu.
"Iya," kata Jacob. Kakak tiri Joshua itu lalu mengajak Agatha dan wanita yang bersamanya untuk masuk.
Setelah mereka bertiga masuk dan berjalan menuju ruang tamu, Jhana justru memusatkan perhatiannya kepada wanita yang datang bersama Jacob, Agatha dan Shirina itu. Padahal tidak ada yang menarik dari wanita gemuk itu.
'Rambutnya sama sepertiku,' batin Jhana.
"Dimana mereka?" tanya Bunga yang baru saja keluar bersama Shirina dari kamarnya pada Jhana.
"Mereka ada di ruang tamu, Nyonya," jawab Jhana.
Bunga dan Shirina lantas berjalan ke arah ruang tamu, sementara Jhana pergi ke dapur.
"Halo," sapa Bunga ketika ia memasuki ruang tamu.
"Hai," balas Jacob.
"Siapa wanita ini?" tanya Bunga.
"Namanya bibi Jasmine, dia adik paman Jacob dan bibi Juliet, ibu," ujar Shirina.
Bunga kemudian menatap Jasmine berulang kali dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Perkenalkan, aku Bunga," ucap Bunga.
"Ya, aku Jasmine," balas Jasmine.
"Kalian ingin minum? Biar aku suruh asisten rumah tangga disini membuatkan kalian minum," kata Bunga.
"Boleh saja, tapi kami tidak lama disini, karena kami akan mengadakan acara keluarga," ujar Jacob.
"Baiklah, sekalian aku panggilkan Raya." Bunga lalu pergi dari ruang tamu.
Di dapur, Kania, Jhana, Indira dan Tantri tampak memegang kotak makanan mereka masing-masing.
"Ismail dan Jaya dapat?" tanya Kania pada Tantri.
"Sudah kubagikan, bibi," jawab Tantri.
Baru saja mereka berempat akan memakan makanan mereka, tiba-tiba Bunga datang dan terkejut dengan menu makanan yang akan dimakan oleh para pekerja mansion itu.
"Astaga. Kalian mencuri uang majikan kalian dan membeli makanan-makanan mahal ini? Ha?!" bentak Bunga.
Sontak saja mereka berempat terkejut dengan kehadiran Bunga yang datang dengan amarah.
"Tidak, Nyonya, bukan seperti itu," ucap Tantri.
"Sini, bawa kemari makanan-makanan itu! Sini!" suruh Bunga.
"Nyonya, kami tidak mencuri."
"Dari mana uang kalian untuk bisa membeli makanan-makanan ini?!"
"Tuan Isa mentraktir kami, Nyonya."
"Jangan buat alasan palsu! Kau pasti mencuri uangnya, kan?!"
"Tidak, Nyonya."
Bunga lantas menghampiri meja yang digunakan oleh mereka berempat untuk makan, dan mengambil keempat kotak makanan tersebut, kemudian membuang makanan-makanan itu ke tong sampah.
"Kali ini aku memaafkan kalian, dan tidak akan memberitahu perbuatan kalian pada siapa pun. Tapi ingat, jika kalian mengulanginya lagi, gaji kalian akan dipotong lima puluh persen," ancam Bunga.
"Satu lagi, jangan mimpi untuk bisa memakan makanan enak, kalian tidak pantas untuk memakan makanan seperti ini," sambungnya.
"Buatkan jus buah untuk lima orang, antar ke ruang tamu, cepat," suruh Bunga sebelum akhirnya pergi dari dapur.
"Ya ampun ..., harga makanan-makanan itu sangat mahal, dan Nyonya Bunga membuangnya begitu saja," ucap Tantri.
"Kita benar-benar tidak diperlakukam secara manusiawi olehnya," ujar Indira.
"Sudahlah, buatkan saja jus yang disuruhnya, nanti dia bisa marah lagi," kata Kania.
"Tapi, kak, harga makanan-makanan itu sangat mahal dan kita bahkan belum sempat memakannya," keluh Indira.
"Itu artinya belum saatnya bagi kita untuk memakan makanan-makanan itu, tenang saja, kita pasti akan memakannya suatu saat nanti."
Jhana hanya diam menatap Tantri yang terlihat sedih. 'Bunga ..., dia semakin menjadi-jadi,' batin Jhana.
"Aku ingin kalian berjanji padaku," ucap Tantri tiba-tiba.
"Janji?" tanya Indira.
"Ya, janji. Selain kita, yang mendapatkan makanan itu adalah paman Jaya, kak Ismail, Mona, Fina dan Zhani. Aku mau kita semua menutup mulut kita perihal hal ini. Jangan katakan pada mereka kalau makanan kita dibuang oleh Nyonya Bunga, katakan saja kalau kita juga sudah memakannya. Jangan biarkan mereka merasa iba pada kita. Untuk benar-benar meyakinkan mereka, aku akan membuang sampah yang ada di tong itu nanti. Bagaimana? Kalian bisa berjanji, kan?" jelas Tantri.
"Nak, niatmu sangat baik, kenapa bisa kami tidak bisa berjanji akan hal itu?" ujar Kania.
"Kami akan berusaha," kata Jhana seraya tersenyum.
Sejak kejadian tadi pagi, Arka belum berani keluar dari kamarnya dan hanya menetap di kamarnya. Ia hanya duduk di teras kamarnya sembari menikmati pemandangan dari teras kamarnya itu.
Lain pula dengan Raya. Istri Rasyid yang telah dicerai mati itu bercermin di kamarnya dan teringat akan masa lalunya.
Sekitar 19-20 tahun yang lalu, Raya adalah gadis yang beranjak remaja. Hari pertamanya memasuki sekolah setelah lulus dari sekolah dasar adalah masa saat pertama kali dirinya bertemu dengan Rasyid yang tak lama lagi akan memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Anak Jambi yang pindah ke Jakarta itu menyatakan cintanya pada Rasyid di hari pertamanya bersekolah menengah. Di lorong sekolah mereka, Raya berteriak tatkala Rasyid sedang kumpul bersama teman-temannya.
"Kak Rasyid aku mencintaimu!"
Seluruh siswa-siswi yang berada di sekitar lorong tersebut seketika terkejut dan memusatkan perhatian mereka pada Raya yang berdiri di tengah-tengah lorong itu, begitu juga dengan Rasyid remaja yang langsung menoleh kearah istrinya di masa depan itu.
"Rasyid? Aku?" tanya Rasyid pada Raya.
"Iya, aku suka padamu," jawab Raya.
"Maaf, kau siapa? Aku baru ini melihatmu."
"Aku murid baru disini, aku baru hari ini masuk, dan aku suka padamu. Kau mau berpacaran denganku?"
"Eh? Berpacaran denganmu? Tapi, bagaimana bisa aku berpacaran dengan gadis yang tidak kusukai?"
"Jadilah pacarku! Tidak peduli jika kau tidak menyukaiku."
"Ha?" Rasyid lalu menyentuh jidat Raya.
"Dia sakit," ejek Rasyid. Seluruh siswa-siswi yang melihat mereka pun tertawa terbahak-bahak.
"Sudahlah, aku tidak melayani anak yang stress," sambung Rasyid.
"Ayo," ajak Rasyid pada teman-temannya, mereka kemudian pergi, meninggalkan Raya yang menjadi bahan tertawaan.
Besoknya, di hadapan seluruh guru dan seluruh murid, Raya memegang segelas air yang dikatakannya mengandung racun.
"Kak Rasyid harus menjadi pacarku dan menerima cintaku! Jika tidak, aku akan meminum racun ini!" seru Raya. Rasyid juga melihat hal itu, dan maju mendekati Raya.
"Apa kau gila?!" ucap Rasyid.
"Terima aku sebagau pacarmu!"
"Hentikan, Raya!" ujar seorang guru.
"Kenapa pak guru khawatir? Itu hanya air putih biasa, dia anak yang mengalami keterbelakangan mental, dia hanya mengancam dengan mengatakan kalau itu racun," kata seorang teman Rasyid.
"Ini betul-betul racun!" tegas Raya.
"Rasyid, kau bertanya tadi padanya, dan jawabannya sudah pasti iya."
"Hahahaha." Seluruh murid di sekolah itu lalu tertawa.
"Benar juga, ayo kita pergi dari sini," ucap Rasyid.
"Aku akan meminumnya! Aku akan meminum racun ini jika kau tidak menerima cintaku! Aku sangat mencintaimu!" teriak Raya, namun Rasyid tak menggubrisnya dan terus berjalan menjauh darinya bersama teman-temannya.
"Raya, hentikan!" suruh seorang guru lainnya.
Tanpa pikir panjang, Raya meminum air yang mengandung racun itu dan seketika merasa kepanasan di area perut hingga kerongkongannya. Bukannya khawatir, para murid justru semakin menertawainya karena menganggap bahwa itu hanyalah sebuah akting, sedangkan Rasyid memilih untuk tetap berjalan menjauh.
Lalu Raya jatuh pingsan.
Para guru yang tadinya hanya mengernyitkan dahi ketika Raya mengeluh kepanasan, mulai menjadi panik kala Raya pingsan, sementara para murid memutuskan bubar dan masih tertawa, menganggap kalau Raya berakting. Padahal Raya benar-benar pingsan dan yang diminumnya adalah karbol, terbukti dari aroma gelasnya yang berbau karbol dengan bau yang menyengat khas karbol.
"Dia benar-benar tidak mempedulikanku saat itu," gumam Raya dewasa.
"Lalu aku sekarat dan berhasil bertahan hidup. Aku kembali ke Jambi karena kejadian itu, dan bertekad untuk membalas dendam padanya. Semua tujuanku akhirnya tercapai, aku berhasil membuat Jhana terusir, membuat Rasyid bunuh diri, dan membuat Tuan Farzin sakit. Kemudian muncul anak-anak itu, anak-anak menyebalkan yang memiliki latar belakang tidak jelas, yang membuatku selalu disudutkan. Siapa sebenarnya mereka? Ibu mereka bernama Jhana dan entah kemana ayah mereka."
"Tunggu, Jhana? Apa mungkin mereka adalah anak-anaknya Jhana? Tapi Jhana hanya memiliki dua anak. Tapi kenapa ibu mereka menghilang? Apa mungkin Jhana sebenarnya sedang hamil ketika ibu mengancamnya?"
"Sebaiknya aku mencaritahu identitas ibu mereka, tapi hal itu akan sulit, mengingat Mona pasti akan terus menghindariku, namun aku harus memastikan kalau dia tidak menceritakan kebenaran dari kejadian itu, kalau tidak aku akan berada di posisi yang tidak menguntungkan. Dasar anak-anak kurang ajar."