Arvin tidak menemukan Isa ketika ia mencarinya, secara tidak sengaja, dirinya melihat Raya yang terlihat menuruni tangga. Arvin pun menanyakan keberdaan Isa pada Raya.
"Kak, apa kakak melihat Isa?"
"Isa? Sepertinya dia ada dikamarnya," Raya menjawab dengan santai seolah tidak ada yang terjadi padanya tadi.
"Baiklah." Arvin kemudian naik ke lantai 2 dan berjalan menuju kamar Isa, sedangkan Raya berjalan keluar mansion.
Raya melihat Arka yang sedang mengobrol dengan ketiga anak Jhana, wanita itu pun lantas menghampiri mereka berempat dan menarik paksa tangan putranya dan Rasyid itu.
"Sudah ibu bilang jangan bermain dengan mereka!" bentak Raya pada Arka.
"Lagi pula siapa sebenarnya mereka?! Dimana ayah dan ibu mereka?!" sambung Raya.
"Hei kalian anak nakal! Apa telinga kalian berfungsi?! Kubilang jangan dekati anakku! Kenapa kalian masih mendekatinya?! seru Raya sambil menjambak rambut Mona dan Fina, kedua gadis kecil itu lantas meringis kesakitan, sedangkan Zhani berdiri dan berjalan mundur secara perlahan.
"Kalian dengar tidak?!" lanjut Raya yang menambah kekuatan jamabakannya, dan disaat yang bersamaan, Ismail kembali dan melihat kejadian itu. Ia segera berlari menghampiri Mona dan Fina, namun ia menabrak Zhani secara tidak sengaja dan membuat suara keluhan yang membuat Raya sadar kalau Ismail melihatnya menjambak Mona dan Fina tadi. Raya pun segera melepaskan jambakannya dan menarik tangan Arka untuk mengikutinya.
Ketika Ismail menoleh ke arah Mona dan Fina, ia melihat kalau Raya berjalan masuk dengan Arka dan disaat yang sama ia melihat Mona dan Fina mengusap sisi rambut mereka yang dijambak oleh Raya tadi, tanpa pikir panjang, Ismail pun langsung menghampiri mereka berdua.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Ismail yang masih terlihat terkejut dengan tindakan Raya. Mona dan Fina hanya menjawabnya dengan anggukan sambil terus mengusap rambut mereka. Ismail pun lantas melihat ke arah Raya dan Arka seraya bergumam.
"Kenapa Nyonya Raya sangat kasar? Selama ini yang kutahu dia hanya agak sombong, tapi baru kali ini aku melihatnya menjadi brutal dan tega seperti itu."
"Masuk kau!" bentak Raya pada Arka sambil mendorong putranya itu masuk kedalam kamarnya sendiri.
"Sekarang kau sudah berani melawan perintah ibu?!" sambungnya.
"Ibu ... bukan begitu."
"Diam! Ibu akan mengunci kamar ini sampai besok pagi sebagai hukumanmu! Kau tidak boleh makan, minum dan keluar sampai besok pagi! Dan kalau kau masih mengulangi kesalahanmu lagi, hukumanmu akan jadi lebih berat!"
"Tapi yang aku lakukan tidak salah."
"Diam!"
"Ibu, jangan hukum aku, aku akan kelaparan jika tidak makan, setidaknya berilah aku makan nanti malam."
"Ibu tidak peduli! Inilah hukumanmu!"
Raya kemudian keluar dari kamar Arka da mengunci pintunya, mengurung putranya itu sampai besok pagi.
"Raya, ada apa?" tanya Bunga yang bertanya dari lantai 1 sebab tadi ia berada di dapur.
"Hanya ocehan seorang ibu, kau tahu lah bagaimana seorang ibu jika anaknya melakukan kesalahan," jawab Raya sambil turun ke lantai 1.
"Memangnya Arka salah apa?"
"Bunga, bagaimana aku tidak marah jika dia masih bermain dengan anak-anak rakyat jelata itu?!"
"Astaga! Itu sangat mencemari status sosial kita."
"Itulah kenapa aku sangat marah padanya."
"Untung saja Shirina mengerti pada siapa dia seharusnya berteman."
Di kamar Isa, Arvin melihat adiknya itu bersikap dingin dan tidak mempedulikannya, Isa hanya berdiri di balkon teras kamarnya, sedangkan Arvin berbaring di atas ranjang yang ada di dalam kamar itu. Ia mengurungkan niatnya untuk bertanya ketika melihat Isa bersikap tak seperti biasanya.
'Jika aku bertanya, sepertinya dia tidak akan menjawabku dengan sikapnya yang sekarang, jadi sepertinya lebih baik aku diam saja,' batin Arvin.
Namun ia baru berada di dalam kamar itu dalam waktu yang sebentar, ia kelamaan menunggu Isa yang tak kunjung membukakannya pintu, Isa baru membuka pintunya ketika Raya marah pada Mona dan Fina tadi, jadi tidak ada yang melihat kejadian itu selain Ismail dan Arka juga Zhani.
Merasa bosan, akhirnya Arvin memutuskan untuk berdiri dan pergi dari kamar itu. Tapi ia berhenti melangkah tatkala melihat foto keluarganya bersama Jhana ketika dirinya masih anak-anak di salah satu meja yang ada di kamar Isa.
Mereka semua tampak bahagia di foto itu, dan kenyataannya memang begitu pada masa itu. Namun Arvin justru jadi lebih fokus pada Rasyid.
'Kakak, aku tidak tahu siapa yang sepatutnya aku salahkan mengenai kehidupanku yang berubah sejak kematianmu, apakah seharusnya aku tidak membenci kak Jhana? Dan apakah seharusnya dari awal aku membencimu? Atau seharusnya aku tidak membenci kalian berdua? Entahlah, tapi yang jelas, kematianmu berdampak sangat besar padaku. Kak, kakak adalah satu-satunya panutan hidupku, aku tidak pernah melihat sisi buruk kakak, dan aku menganggap kakak tidak memiliki keburukan. Bahkan terkadang aku menyamakan derajat kakak dengan ibu dan ayah, tapi kenapa kakak bisa melakukan hal itu? Dan setelah itu melakukan aksi bunuh diri? Apa aku selama ini aku melihat dirimu yang menggunakan topeng agar terlihat sangat baik? Kak, aku sangat hancur ketika kakak memutuskan untuk bunuh diri, aku tidak pernah berpikir bahwa kakak akan melakukan hal yang sangat buruk sampai dua kali, sehingga aku memutuskan untuk berubah menjadi seseorang yang tidak ingin mengenal cinta dan tidak ingin dicintai agar aku tidak menjadi seperti panutanku,' batin Arvin.
'Tapi akhirnya seseorang membuatku sadar dengan kejadian buruk yang hampir menerimanya. Kak, orang itu adalah calon adik ipar kita. Dia membuatku sadar kalau sebenarnya aku membutuhkan cinta, aku sama sepertimu yang mencinta dan dicinta, tapi aku hanya berusaha untuk tidak mengakui itu karena kematianmu. Sekarang aku sadar kalau caraku hidup setelah kematianmu sangat salah. Awalnya aku takut bersentuhan dengan yang namanya cinta agar tidak berakhir sepertimu yang menjadi panutan hidupku, tapi akhirnya aku tahu kalau cinta bukanlah suatu hal yang buruk dan tidak perlu dihindari, agar tidak berakhir tragis, kita hanya perlu kekuatan untuk bisa mengendalikan cinta. Sekarang aku tahu kalau cara kakak mengendalikan cinta salah besar. Kenapa kakak tidak jujur sejak awal kalau kakak dan kak Jhana saling mencintai? Bukankah itu akan berakhir lebih baik?'
'Kak, Dina membuatku sadar kalau makhluk hidup bisa hidup karena cinta. Sebenarnya semua manusia membutuhkan cinta untuk melindungi dan dilindungi. Aku melindungi Dina karena aku mencintainya sebagai adikku, meskipun aku melakukannya secara refleks, tetap saja itu karena aku mencintainya. Aku sadar kalau suatu saat aku juga membutuhkan cinta dari orang lain untuk melindungiku. Dan karena itu aku memutuskan untuk berubah, aku tidak akan menjadikanmu sebagai panutan hidupku lagi, aku yang akan menjadi panutan orang lain, akan kutujukkan padamu bagaimana cara mengendalikan cinta itu, akan kutunjukkan padamu bahwa sebenarnya cintamu pada kak Jhana tidak salah dan begitu pula sebaliknya, yang salah adalah pengendalian cinta kalian. Kak, lihatlah bagaimana aku akan menjadi diriku sendiri, lihatlah bagaimana aku akan menjadi mahir mengendalikan cinta, dan dicintai oleh banyak orang.'
Arvin lantas tersenyum dan berjalan menuju pintu kamar Isa, ia kemudian membukanya, namun sebelum keluar, Arvin berujar "Isa, aku jatuh cinta." dengan sebuah senyuman, setelah itu ia pun keluar dan menutup pintu kamar tersebut.
Isa yang dari tadi hanya melamun dan memikirkan tentang Raya dan Bunga, menjadi terkejut dan melihat ke arah pintu kamarnya.
Di depan pintu kamar Tantri, Ismail dan pemilik kamar itu tampak sedang mengobrol, sedangkan anak-anak Jhana menonton tv di dalam kamar Tantri.
"Benarkah?" tanya Tantri pada Ismail.
"Iya, sebaiknya jangan mempertemukan mereka dengan Nyonya Raya lagi, aku merasa kasihan melihat mereka," jawab Ismail.
"Bagaimana dengan Nyonya Bunga?"
"Aku tidak tahu, tapi yang jelas, ketika itu Nyonya Raya begitu kasar, kurasa Nyonya Bunga tidak akan bertindak sebegitu jauhnya."
"Baiklah, mungkin akan lebih aman bila mereka seharian berada di kamarku."
"Dan jangan biarkan Nyonya Raya tahu kalau kita sudah membicarakan tentang perlakuannya tadi."
"Tenang saja, aku akan tutup mulut, aku juga tahu akan seperti apa bahaya yang kita terima apa bila Nyonya Raya tahu kita sudah membicarakannya."
"Baiklah kalau begitu, aku kembali bekerja ya."
Tantri mengangguk. Setelah Ismail pergi, Raya masuk kedalam kamarnya.
"Anak-anak, ada makanan di tudung saji itu, ambil saja jika kalian lapar, tapi kakak mohon jangan keluar dari kamar ini, ya? Jika kalian mau ke toilet, kamar mandi ada disebelah kamar ini," ujar Tantri pada anak-anak Jhana.
"Baik, kak," ucap Mona.
Ismail berjalan menuju gerbang sebab ia melihat 2 wanita yang terlihat memandangi mansion itu dari luar.
"Maaf, Nyonya, Nyonya, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Ismail pada 2 wanita berhijab yang tak lain adalah Jhana dan Arini.
"Apa benar ini mansion Dhananjaya?" tanya Jhana yang pura-pura tidak tahu.
"Iya, benar," jawab Ismail.
"Kami datang karena iklan lowongan kerja yang ada di koran, saya menghubungi nomor yang tertera di iklan itu dan seorang pria menjawab panggilan saya, pria itu menyuruh saya untuk langsung datang ke mansion ini dan memberikan alamatnya pada saya. Saya membawa teman saya ini untuk menemani saya, boleh kami masuk?"
"Jadi Anda yang ingin melamar kerja? Boleh, tentu saja boleh."
"Iya, saya, teman saya ini hanya menemani saya."
"Tunggu sebentar, biar saya buka gerbang kecilnya dulu."
"Ayo, ikuti saya," ajak Ismail yang berjalan ke arah mansion, Jhana dan Arini kemudian mengikutinya.
Tantri, Ismail, Jhana dan Arini sampai di pintu secara bersamaan.
"Kak, mereka ini siapa?" tanya Tantri pada Ismail.
"Ini adalah wanita yang ingin melamar kerja, dan yang itu adalah temannya. Tantri, bisa kau temani mereka sebentar disini? Aku akan memberitahu tentang kedatangan mereka pada Nyonya Zemira dulu," kata Ismail.
"Ah, iya, tentu saja, temuilah Nyonya Zemira dulu."
Ismail kemudian tersenyum, lalu masuk kedalam mansion.
"Tunggu sebentar ya, Nyonya, biasanya jika ada yang ingin melamar kerja langsung di mansion ini, salah satu pekerja akan memberitahu tentang kedatangannya kepada Nyonya yang berkuasa disini. Maaf jika kalian harus menunggu disini," ucap Tantri pada Jhana dan Arini.
"Iya, tidak apa-apa," ujar Arini.
Setelah Tantri, Jhana dan Arini menunggu selama 2 menit, akhirnya Ismail kembali ke pintu depan.
"Antarlah mereka ke ruangan Nyonya Zemira, aku akan kembali bekerja, bisa kan? Soalnya kan kau juga mau kedalam, jadi sekalian saja," kata Ismail pada Tantri.
"Boleh, ayo Nyonya, Nyonya," ajak Tantri.
Ketika Jhana akan melangkah, jantungnya tiba-tiba berdebar sangat cepat, ia menjadi sangat deg-degan.
'Perasaan ini ... apa aku belum siap untuk bertatap muka dengan ibu lagi? Bahkan dengan penyamaran ini, kenapa aku masih takut?' batin Jhana.
"Jhana, ayo," bisik Arini.
"Ok," ucap Jhana.
'Aku siap, aku siap,' pikir Jhana.
Jhana tidak mengetahui kalau sebenarnya anak-anaknya berada di dalam kamar gadis yang mengantarnya dan Arini ke ruangan Ny. Zemira, padahal ia melihat Mona dan Zhani bersama Tantri tadi pagi.
"Jadi Arvin itu adalah calon kakak iparmu? Dan dia adalah orang kaya?" tanya Salma pada Dina.
"Iya. Tapi, memangnya kenapa kalau dia adalah orang yang kaya?" tanya Dina balik.
"Soalnya aku menyukainya, tidak mungkin dia akan menerima gadis miskin sepertiku," ceplos Salma.
"Benarkah?! Kakak menyukainya?!" Dina tampa girang.
"Eh? Apa aku mengatakan hal itu?"
Dina sontak saja mendengus mendengar ucapan Salma barusan.
"Aku tidak mengerti bagaimana perasaan cinta itu," ujar Salma.
"Apa kakak tahu? Jika kakak benar-benar menyukai dan mencintainya, itu artinya kakak jatuh cinta pada pandangan pertama."
"Jatuh cinta pada pandangan pertama? Maksudnya?"
"Iya. Kakak baru saja melihat wajahnya, namun sudah jatuh cinta padanya, dan itu namanya jatuh cinta pada pandangan pertama."
"Ooooh."
"Aku jarang sekali bertemu dengan orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama."
"Apa itu sebuah hal yang spesial?"
"Tentu saja, tak banyak orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, dan aku baru mengenal satu orang saja yang jatuh cinta pada pandangan pertama, yaitu kakak."
"Tapi apa Arvin juga jatuh cinta pada pandangan pertama padaku?"
"Entahlah, jika pun iya, kurasa dia tidak akan mengatakannya."
'Jika besok si Arvin itu datang lagi, aku akan memulai tak-tikku, mengabaikannya hari ini, besok aku akan melayaninya dengan lebih jual mahal,' batin Wanda.
"Tapi Salma menyukai Arvin, dan aku tidak mau bersaing dengan Salma yang sudah kulebih-lebihkan dari Jhana di hadapan Dina, oleh karena itu, sudah kuputuskan kalau aku akan menyingkirkan Salma sebelum hal yang tidak kuinginkan terjadi pada Arvin dan Salma. Arvin tidak boleh membalas rasa suka dan cinta Salma dengan hal yang sama. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi," gumam Wanda.
"Salma, aku telah melebih-lebihkanmu di hadapan Dina, aku tidak menyesal akan hal itu, jadi aku tidak akan menjadi sainganmu, karena kau tidak pantas menjadi sainganku, jadi aku hanya akan menyingkirkanmu dari jalanku," sambungnya dengan nada yang pelan.