Chereads / Konsekuensi / Chapter 21 - Alasan Personal

Chapter 21 - Alasan Personal

Di mansion Dhananjaya, Mona terlihat sedang memberi Kucing-Kucing makan, sedangkan Arka tampak melompat-lompat mengikuti gerakan Kelinci yang dikejarnya.

Ismail tengah sibuk memberi jerami pada Kuda-Kuda di kandang Kuda, dan kandang Kuda sendiri berada agak jauh dari halaman depan karena letaknya berada di luar mansion.

Ketika Mona dan Zhani tengah asyik bermain dengan hewan, Isa akhirnya sampai bersama anak-anak yang dijemputnya dan memberhentikan mobilnya di dalam garasi. Fina dan Arka kemudian keluar, sedangkan Shirina keluar belakangan dan langsung masuk kedalam mansion dengan langkah yang menunjukkan amarah dirinya.

"Fina, kau bawa baju ganti, kan?" tanya Isa.

"Iya, bawa," jawab Fina.

Mona melihat adiknya dari kejauhan dan berlari menghampirinya sebelum adiknya itu ikut masuk kedalam mansion bersama Isa dan Arka. Setelah berhasil menghampiri Fina, Mona langsung menahan tangan adiknya tersebut ketika Fina baru saja akan masuk kedalam mansion.

Mona lalu menggeleng-gelengkan kepalanya pada Fina, pertanda ia melarang Fina untuk masuk.

"Kenapa?" tanya Fina yang mengerti maksud kakaknya.

Mona hanya terdiam sambil menunduk, berharap Fina akan mengerti, namun adiknya itu justru tak kunjung mengerti, dan akhirnya ia membuka suara.

"Kita ini orang miskin, tidak pantas berada di dalam rumah itu, kita di kamar kak Tantri saja," ucap Mona.

Isa tidak menyangka kalau Mona masih memikirkan hal itu, anak bungsu Ny. Zemira dan Tn. Farzin itu kemudian melihat Mona dan Fina yang berjalan menuju kamar Tantri, kali ini ia hanya diam dan tidak mengambil tindakan. Isa pun lantas mengajak Arka untuk masuk.

Juliet terlihat sedang asyik memainkan ponselnya sambil meminum segelas sirup di ruang tamu rumahnya, tak lama kemudian bel rumahnya berbunyi, pembantu di rumahnya pun langsung membukakan pintu depan.

"Siapa itu, Hena?!" tanya Juliet.

"Tuan Jacob dan nona Agatha, Nyonya!" jawab Hena, pembantunya.

Juliet lantas langsung berdiri dan berjalan menuju pintu depan rumahnya.

"Aku kembalikan dia padamu," ucap seorang pria dewasa yang bernama Jacob itu.

"Kenapa cepat sekali? Apa kalian sudah ke tempat wisata yang baru dibuka kemarin?" tanya Juliet.

"Terlalu ramai orang, Agatha saja sampai tidak mau masuk. Yasudah akhirnya kami pulang saja," jawab Jacob.

"Oooh, begitu."

"Ibu, hari ini Agatha senang sekali," ujar seorang gadis kecil yang kira-kira seumuran dengan Fina, gadis kecil itu bernama Agatha, anak semata wayang Juliet.

"Pamanmu itu memang yang nomor satu jika membahas soal membuat orang senang," kata Juliet, Jacob kemudian terkekeh kecil.

"Maaf, Tuan, apa Anda ingin saya buatkan minum?" tawar Hena.

"Tidak usah, aku langsung saja. Juliet, aku pulang, ya," pamit Jacob.

"Kenapa terburu-buru sekali?" tanya Juliet.

"Aku akan pergi bersama teman-temanku, kami sudah membuat kesepakatan kemarin," jawab Jacob.

"Jangan pulang terlalu malam, kak."

"Aku ini tinggal seorang diri, tidak ada yang perlu ku khawatirkan jika aku pulang hingga larut malam."

"Aku hanya memperingatimu, itu saja."

"Iya adikku."

"Carilah seorang wanita untuk menjadi pasanganmu agar setidaknya kakak punya seseorang yang kakak khawatirkan."

"Tidak perlu, aku bahagia hidup sendiri."

"Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu."

"Hahaha, aku pergi dulu ya."

Juliet mengangguk. Jacob kemudian berjalan masuk kedalam mobilnya.

"Dia belum tahu bagaimana kebahagiaan seseorang ketika memiliki pasangan, meskipun tidak semua orang bahagia dengan pasangannya," ucap Juliet pada Hena ketika Jacob sudah pergi, Hena hanya tersenyum.

"Ayo masuk, sayang," ajak Juliet pada putrinya.

Usai menghabiskan waktu bersantai yang cukup lama di rumah makan Populer dengan ponselnya, Arvin akhirnya memutuskan untuk pulang. Ketika dirinya berbalik badan, ia kembali melihat sosok Salma tanpa disadari oleh gadis itu, sebab Salma sedang berbincang dengan Wanda di dapur. Arvin pun langsung berjalan menuju kasir.

"Jadi berapa semuanya?" tanya Arvin pada Dina.

"Tidak usah, simpan saja uang kakak," jawab Dina.

"Dina, aku serius, aku bawa uang."

"Yasudah aku juga serius, tidak usah bayar."

Arvin lalu mengambil uang lembar pecahan Rp. 100.000 dan meletakkannya di atas meja kasir dan langsung pergi.

"Hei! Teh dan daging sapimu sudah kubayar, kak!" teriak Dina.

"Yasudah ambil saja uang itu untukmu!" seru Arvin.

"Tapi ini masih ada kembaliannya!"

"Ambil saja kembaliannya untukmu atau gadis itu!"

"Apa?!!"

"Ambil saja kembaliannya!"

"Mantap," ucap Dina yang langsung mengambil uang tersebut.

Isa sedang memperhatikan halaman depan dari teras kamarnya, ia melihat Mona, Fina, Zhani dan Arka sedang bermain lempar-lemparan tulang dengan seekor Anjing, namun perhatiannya teralihkan tatkala ia melihat mobil Bunga melewati gerbang dan melaju menuju garasi. Isa pun memutuskan untuk segera turn dan berdiri di depan pintu menunggu Bunga dan Raya masuk.

Tak lama setelah berdiri di depan pintu, Isa melihat pintu itu di dorong dari luar dan muncullah Bunga dan Raya setelah pintu itu terbuka.

"Aku tidak mengerti hati kalian terbuat dari apa," ujar Isa.

"Aduh, maaf, ya, aku ingin kencing sebentar," ucap Bunga yang langsung lari menuju kamar mandi dengan sepatu high heelsnya.

"Apa yang kau maksud?" tanya Raya pada Isa setelah Bunga pergi.

"Apa salah anak-anak itu?" Isa bertanya balik.

"Bicaralah yang jelas, anak-anak mana?"

"Katakan padaku, kenapa kalian sangat membenci Mona, Fina dan Zhani? Atau katakan saja alasan personal kak Raya."

"Mereka itu miskin, dan aku tidak sudi jika mansion ini dan aku di dekati oleh rakyat jelata."

"Asal kakak tahu ya, sifat sombong itu sama sekali tidak keren. Sombong adalah suatu kebobrokkan yang lebih rendah derajatnya dari pada kotoran sekali pun," ucap Isa dengan penuh kata-kata pedas.

"Aku tidak akan tanggung-tanggung dalam bertutur kata sekarang, karena aku merasa sangat jijik kepada orang yang sombong," pungkas Isa, pemuda itu kemudian kembali ke kamarnya dan meninggalkan Raya seorang diri.

"Dia menyamakanku dengan kotoran? Dan mengatakan kalau aku ini sombong?" gumam Raya.

"Pertama kakaknya dan kemudian adiknya, lihat saja nanti, pembalasanku semakin nyata karenamu, Isa. Kau mengatakan kalau kau tidak akan tanggung-tanggung lagi? Akulah yang tidak akan tanggung-tanggung lagi. Dulu aku sempat merasa semuanya sudah cukup dengan kematian Rasyid, tapi ternyata belum. Keluarga ini lebih menjijikkan dari kotoran sapi yang masih memiliki harga. Dan sepertinya aku harus mengajari mereka bersikap seperti orang kaya sungguhan, kasihan jika salah satu dari mereka tidak mengerti tentang cara bersikap ala orang kaya," lanjutnya.

"Loh? Dimana Isa?" tanya Bunga yang baru selesai buang air kecil.

"Bukan urusanku," jawab Raya sambil berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Bunga dalam kebingungan.

"Apa yang terjadi?" gumam Bunga.

Jauh dari kesan kekesalan seperti Raya, Jhana justru sedang tidak merasakan apa-apa, sampai akhirnya ia tiba di masjid dan langsung dicegat oleh Yazid yang terlihat memegang sebuah koran.

"Aku menunggumu sejak tadi!" ujar Yazid.

"Memangnya ada apa?" tanya Jhana yang tampak heran.

"Lihat ini!" Yazid menyodorkan koran itu pada Jhana, Jhana pun menerimanya dan memmbaca berita di koran itu.

"Astaga! Apa ini benar?!" Jhana terlihat gembira.

"Tentu saja! Berita ini sudah tersebar di berbagai media."

"Apa Arini tahu akan hal ini?"

"Kau orang pertama yang aku beritahu tentang berita ini."

"Ini baru satu hari sejak iklan ini dibuat, itu artinya aku memiliki dua hari lagi untuk mengambil kesempatan ini."

"Kenapa harus menunggu hingga batas waktunya? Iklan ini seperti sebuah perlelangan, siapa cepat dia dapat. Kau pergi hari ini juga sebelum ada yang menyerobot kesempatanmu!"

"Kau benar. Baiklah, aku akan ajak Arini."

"Cepatlah, pasti banyak orang yang tergiur dengan iklan ini."

Jhana mengangguk dan langsung berlari masuk kedalam.

Mobil Kevlar akhirnya terparkir di garasi, pemiliknya pun turun dan berjalan menuju ruang kerja Ny. Zemira. Ia mengetuk pintu ruangan punya Ny. Zemira itu, dan terdengarlah suara Ny. Zemira dari dalam yang menyuruhnya untuk masuk, Kevlar lantas masuk.

"Ada apa?" tanya Ny. Zemira.

"Ibu, ini belum genap dua puluh empat jam sejak saya membuat iklan lowongan kerja di mansion ini, tapi sudah ada sepuluh orang lebih yang mendaftar," jawab Kevlar.

"Ada yang kau terima?"

"Tidak ada yang sesuai dengan kriteria ibu, makanya saya pulang, agar para calon pekerja langsung berhubungan dengan ibu saja."

"Baiklah, setidaknya kau sudah berusaha untuk mencari pengganti Ayang."

"Hanya tinggal menunggu telepon dari para calon pekerja lainnya yang akan menanyakan alamat."

Ketika sampai di ruangan kamar marbot, Jhana langsung mengetuk pintu kamar Arini dan Yazid dengan kencang.

"Iya, sebentar!" seru Arini yang berada di dalam kamar itu.

"Jhana? Kenapa kau mengetuk pintu ini dengan sangat keras?" tanya Arini setelah ia membuka pintunya.

"Kabar gembira! Kabar gembira! Lihat ini!" ucap Jhana yang memperlihatkan koran itu pada Arini.

"I-ini benar?" ujar Arini yang terlihat tidak menyangka.

"Iya!" jawab Jhana sambil melompat-lompat. Ibu 3 anak itu lantas langsung memeluk Arini, dan pelukannya dibalas oleh istri Yazid itu.

"Kau dapat koran ini dari mana?" tanya Arini.

"Dari Yazid, dia menungguku di gerbang," jawab Jhana.

"Yasudah, sebaiknya kita langsung pergi ke mansion Dhananjaya untuk lamaran kerjamu!"

"Tapi ... tidak mungkin aku kesana seperti ini."

"Gunakan hijab dan pakaian gamis, serta gunakan make-up yang memanglingkan mereka, itu adalah penyamaran yang bagus. Dan sebuah tahapan yang baik agar kamu nantinya bisa benar-benar berhijab."

"Baiklah, aku tidak akan lama," ujar Jhana yang langsung masuk ke kamarnya.

Setelah Jhana masuk, Arini kembali membaca iklan di koran tersebut yang berjudul : MANSION DHANANJAYA MEMBUTUHKAN SEORANG PEKERJA YANG BERTUGAS MEMBERSIHKAN BAGIAN DALAM MANSION. AKAN ADA BONUS SATU JUTA RUPIAH DI BULAN PERTAMA BEKERJA (IKLAN INI HANYA BERLAKU SELAMA TIGA HARI DIHITUNG SEJAK TANGGAL 4).

'Kami kewalahan mencari lowongan kerja di kebun buah Dhananjaya, dan tanpa diduga lowongan yang ada justru yang sangat dibutuhkan oleh Jhana untuk berada di dekat anak-anaknya. Jika Jhana diterima, maka dia akan menjadi sangat dekat dengan anak-anaknya dengan penyamarannya,' batin Arini yang membuat senyuman di wajahnya.

Raya menutup pintu kamarnya dengan kasar, alias membantingnya. Ia tiba-tiba menjadi emosi dan mengoceh sendiri.

"Kenapa aku bodoh sekali?! Kenapa bisa aku menjadi nyaman berada di keluarga ini?! Kenapa aku baru sadar akan hal itu setelah penghinaan yang dilakukan Isa padaku tadi?!"

"Aku adalah wanita yang dulunya pernah sekarat karena Rasyid. Cintaku ditolak semasa kami sekolah dulu, dia adalah kakak kelasku yang kuberi pernyataan cinta, namun ditolak secara terang-terangan olehnya, dan karena itu aku melakukan aksi bunuh diri agar memancing perhatiannya dan membuatnya merasa bersalah lalu menerima cintaku, namun yang terjadi malah sebaliknya, dia benar-benar tidak peduli padaku hingga membuatku sangat sakit hati. Tujuanku menikah dengannya adalah untuk menghancurkan kehidupannya seperti yang pernah dilakukannya padaku dulu, tapi kenapa aku puas hanya dengan kematiannya?"

"Seharusnya aku puas dengan kematian seluruh anggota keluarga ini! Mungkin sebaiknya aku harus berterima kasih pada Isa yang telah menyadarkan jalan pikiranku yang sebenarnya."

Arini dan Yazid menunggu Jhana di gerbang masjid, usai menunggu cukup lama, mereka akhirnya melihat Jhana yang tampak berbeda dalam balutan busana muslim dan dengan full make-up.

"Jhana?" ucap Arini yang tampak pangling.

"Iya, ini Rinjhana," ujar Jhana sambil terkekeh.

"Tidakkah kau harus membuat identitas baru?" tanya Yazid.

"Memikirkan nama samaran bukanlah hal yang sulit. Syarat yang disertakan tidak memasukkan keharusan membawa data diri, di iklan itu hanya dibuat kalau para calon pekerja harus meluangkan waktu untuk ditanya-tanya oleh salah satu pihak dari keluarga Dhananjaya," kata Jhana.

"Tapi apa kau sudah yakin dengan ini? Maksudku, apa tadi kau menemukan anak-anakmu?" tanya Arini.

"Ya, mereka dalam kondisi yang baik di mansion itu," jawab Jhana. Arini dan Yazid kemudian saling menatap dan tersenyum.

"Yasudah , ayo kita berangkat, takutnya nanti kesempatan ini akan hilang," ajak Arini.

"Benar sekali. Ayo," ucap Jhana.

Sementara itu, Arvin baru saja memberhentikam mobilnya di garasi, namun ia tidak turun karena terus saja mengingat wajah Salma.

"Siapa namanya?" gumam Arvin.

"Apa dia pekerja baru yang menggantikan ibu anak-anak itu? Jika iya, apa Isa mengetahui namanya?"

"Sebaiknya aku menanyakannya saja langsung, mobilnya ada disini, artinya dia ada di dalam." Arvin kemudian turun dan melihat Fina yang sedang bersembunyi di sebelah mobil Raya.

"Ssshhhhttt," ucap Fina. Arvin mengernyitkan dahinya pertanda ia bingung.

Fina kemudian berjalan menuju pintu garasi dan mengintip keluar, Arvin hanya melihat gadis kecil itu beraksi seperti seorang agen rahasia yang sangat berhati-hati. Pria itu lantas melihat Zhani yang melihat ke segala arah secara bergantian, dan akhirnya Arvin mengerti kenapa Fina menyuruhnya untuk diam.

'Dasar anak-anak,' batin Arvin. Ia kemudian berjalan keluar dari garasi tanpa menutup pintunya