Arvin dan Dina akhirnya sampai di rumah makan Populer, Dina mengirimkan pesan pada Isa bahwa ia dan Arvin sudah tidak berada di kasino itu lagi. Setelah menahan kencingnya selama setengah jam lebih, Dina akhirnya bisa mengeluarkannya ketika sampai ditempatnya bekerja.
Wanda yang baru kali ini melihat Arvin pun terpesona denga ketampanan yang dimiliki pria itu, ia bahkan tidak memikirkan Andra lagi dan langsung mendekati Arvin yang duduk di kursi pelanggan.
"Maaf, Tuan, Anda mau pesan apa?" tanya Wanda dengan sopannya, ia tidak mengetahui kalau yang Arvin datang bersamaan dengan Dina memiliki hubungan.
Arvin hanya diam dan memalingkan wajahnya ke arah lain.
'Aduh! Dia sangat dingin! Keren sekali!' batin Wanda.
"Tuan?" lanjut Wanda.
Andra melihat mereka berdua dari kejauhan. Arvin tampak masih emosi dan mengingat-ingat saat Dina hampir dilecehkan.
"Jika Anda tidak mau pesan tidak apa-apa, saya akan menemani Anda disini," ucap Wanda.
"Apa Anda sudah kenyang, Tuan?" tanya Wanda seraya duduk disebelah Arvin.
Arvin akhirnya menoleh ke Wanda. "Ya, aku kenyang," jawabnya.
"Anda sudah makan tadi? Ah! Tidak apa-apa jika Anda hanya ingin duduk disini."
"Tidak, aku tidak makan siang hari ini," ujar Arvin.
"Jadi, bagaimana Anda bisa kenyang?" tanya Wanda.
"Aku minum minuman beralkohol sebanyak beberapa gelas hari ini, dan itu membuatku kenyang."
Sontak saja Wanda terkejut dengan jawaban Arvin dan terlihat tidak percaya. "Hahaha, itu lelucon yang bagus," kata Wanda.
"Tanya saja pada Dina. Dan, oh iya, melihatmu justru membuatku menjadi mual," ucap Arvin.
"Apa?!" sewot Wanda yang langsung berdiri sambil membanting tangannya ke meja.
"Pergilah," suruh Arvin yang kembali memalingkan wajahnya.
"Hei, pria brengsek! Apa orangtuamu tidak pernah mengajar tentang sopan santun?!"
"Sudahlah, jangan melawannya dan menciptakan keributan disini, kak Wanda hanya akan semakin kesal dengannya," ujar Dina yang kembali duduk di kursi kasirnya.
"Kau pikir aku takut pada pria seperti ini?! Kenapa selalu saja ada orang yang membuatku kesal?! Setelah Jhana lalu pria ini! Siapa rupanya dia?!" seru Wanda.
"Dia kakaknya Isa, dia adalah calon kakak iparku," ucap Dina.
"Eh?" Wanda terkejut.
'Itu artinya dia adalah pria yang kaya? Kalau dia adalah kakaknya Isa, berarti dia lebih kaya dari Andra. Walaupun dia mengesalkan, setidaknya aku harus memenangkan hatinya dan mencampakkan Andra, aku tidak butuh Andra lagi sekarang,' batin Wanda.
'Pertama aku akan jual mahal dulu,' pikir Wanda, ia lalu pergi ke dapur seolah ia adalah wanita berkelas yang tidak melayani pria brengsek.
Tidak lama kemudian, mobil Isa berhenti di depan rumah makan Populer, pemiliknya lantas masuk ke rumah makan itu.
"Huft, mencari kalian rasanya seperti berkeliling dunia, aku cari kemana-mana tapi tidak ada," ucap Isa.
"Aku kan sudah kirim pesan," ujar Dina.
"Jauh sebelum kau kirim pesan, aku dan anak-anak itu sudah mencari kalian kemana-mana. Orang-orang di tempat itu mengusir kami dan mengancam akan membunuh kami jika kami tidak keluar."
"Orang-orang di tempat itu?"
Isa memberi isyarat melirik Arvin beberapa kali untuk membuat Dina mengerti kalau 'tempat' yang dimaksudnya adalah kasino tadi.
"Oooh. Lalu dimana anak-anak itu?" tanya Dina yang mengerti maksud Isa.
"Mereka di dalam, aku akan membawa mereka ke mansion saja," jawab Isa.
"Kenapa?"
"Terlalu berbahaya meninggalkan anak-anak kecil seperti mereka dirumah tanpa pengawasan orang dewasa."
"Oh iya! Apa yang terjadi pada anak-anak itu?! Gas! Gasnya!"
"Sssshhtt!"
"Mereka tidak apa-apa," lanjut Isa. Dina pun membuang nafas lega.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Dina yang tampak mulai tenang.
"Mereka ingin memasak, tapi gasnya habis, jadi mereka memasang gas baru yang ada di dekat situ juga, padahal mereka bilang mereka tidak tahu cara memasang regulator pada gas, jadinya ada suara gas berbunyi dan bau gasnya terus keluar, dan itu membuat mereka panik," jawab Isa.
Anak-anak Jhana kemudian keluar.
"Kak Dina, maafkan kami," kata Mona.
Dina tersenyum dan menghampiri mereka.
"Tidak apa-apa, memangnya kalian ingin memasak apa?" tanya Dina.
"Kami ingin membuat teh, tapi gasnya habis, jadi aku pasang yang baru, dibantu oleh mereka juga, tapi yang keluar malah bau tidak enak dan suara mendesis."
"Kenapa anak-anak Jhana ada disini?" tanya Wanda yang baru keluar dari dapur.
"Tidak masalah, kan? Semua orang berhak datang kesini," ucap Dina.
"Terserahmu saja," ujar Wanda sambil memutar kedua bola matanya.
"Yasudah, aku akan membawa mereka ke mansion dulu, disana lebih aman bagi mereka karena ada pengawasan. Jika mereka mau minum atau makan juga akan ada yang buatkan. Atau sebaiknya setiap kamu kerja, mereka di titip ke mansion saja," kata Isa pada Dina.
"Astaga ... siapa sebenarnya anak-anak itu? Dimana orangtua mereka? Kenapa kalian yang repot mengurus mereka?" tanya Arvin.
"Mereka anak yatim," pungkas Wanda, semua pekerja seketika meliriknya.
"Anak yatim?" Isa tampak heran.
"Dina, kenapa kau tidak memberitahuku kalau mereka hanya punya ibu?" sambungnya.
"Ng ... apa itu penting?" tanya Dina balik.
"Kemana ibu mereka sekarang? Kenapa mereka bisa ada dengan kalian? Oh astaga, sejak kecil mereka adalah anak yatim, dan sekarang mereka akan menjadi anak yatim piatu. Mereka bahkan belum satu dekade hidup, tapi hidup yang mereka jalani berat sekali," ucap Wanda. Yahya hanya memutar kedua bola matanya ketika Wanda berbicara barusan.
"Mereka adalah anak salah satu pekerja disini, aku membawa mereka ketika acara makan malam semalam." Dina menjawab pertanyaan Arvin.
"Lalu kemana ibu mereka? Kenapa mereka bisa ada dengan kalian? Apa kalian mengasuh mereka untuk training sebelum kalian menikah agar kalian memiliki pengalaman sebagai orangtua sebelum menjadi orangtua sungguhan?" tanya Arvin.
"Sudahlah, kak. Kami mengurus mereka atau tidak, tidak akan ada dampak apa pun untukmu, jadi berhentilah bertanya. Lagi pula kenapa kakak dan Dina bisa sampai disini? Apa yang terjadi ditempat itu?" timpal Isa.
Arvin dan Dina kemudian saling melirik.
"Anu ..., pergilah antar kak Arvin dan anak-anak ini ke mansion, biarkan kak Arvin menjawab di mobil. Pergilah," suruh Dina.
"Hm? Ada apa rupanya?" tanya Isa.
"Berisik," ujar Arvin seraya berjalan masuk ke mobil Isa.
"Memangnya aku salah? Kan aku hanya bertanya," gumam Isa.
"Kak Dina, bukankah dia pria yang kakak tunjukkan fotonya waktu kita di taksi semalam?" tanya Fina yang terlihat antusias. Dina mengangguk.
"Itu dia?" tanya Mona.
"Dia bagaikan api dan aku bagaikan es, ketika dia berada di dekatku, aku jadi meleleh," lanjut putri sulung Rasyid dan Jhana itu.
Dina dan Isa lantas menepuk jidat mereka masing-masing karena ucapan Mona barusan.
"Yasudah. Nanti aku akan menjemputmu dan mengantarmu pulang, jangan pesan taksi lagi. Dan besok aku akan menjemputmu, mengantarmu kerja, mengantar Fina ke sekolah dan membawa Mona dan Zhani ke mansion. Kita akan lanjut membahas kejadian semalam nanti, setuju?" ujar Isa.
Dina lalu berpikir. "Setuju," jawab gadis itu.
Isa tersenyum. "Ayo." Ia kemudian mengajak anak-anak Jhana pergi.
"Enak, ya, punya kekasih tapi bisa dijadikan sopir," sindir Wanda.
"Tentu saja. Dari pada punya kekasih tapi tidak bisa berbuat hal yang meringankan pekerjaan kita," balas Dina, Wanda kemudian mendengus.
Disaat sedang tidak ada pekerjaan, Ayang menyempatkan diri untuk membereskan pakaian dan barang-barangnya di kamar miliknya, namun ketika ia akan menarik resleting kopernya, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Ayang pun lantas membuka pintunya dan melihat Tantri dengan wajah sedih.
"Tantri? Ayo masuk," suruh Ayang. Tantri pun kemudian masuk dan duduk di atas ranjang Ayang.
"Aku mendengar dari Nyonya Zemira langsung. Apa benar kakak akan berhenti bekerja?" tanya Tantri.
"Ya ... begitulah," jawab Ayang.
"Tapi aku belum lama bekerja dengan kakak, bagaimana bisa aku bekerja tanpa kakak?"
"Tenang saja, Nyonya Zemira pasti akan mencari seorang pekerja untuk menggantikanku. Dan kau akan menjadi seniornya."
"Tapi aku belum siap."
"Dengar, aku bekerja disini selama sepuluh tahun, dan sebelum kau bekerja disini, aku pernah memiliki enam junior. Ya, mereka bekerja di bidang yang sama denganku, membersihkan isi dalam mansion Dhananjaya. Tapi aku tidak pernah siap untuk menjadi senior dan membimbing juniorku. Aku takut mereka tersinggung ketika aku memberitahu mereka cara kerja disini dan beberapa hal terkait dengan bekerja disini. Namun setelah kupikir-pikir, seseorang yang berpengalaman awalnya pasti membutuhkan orang yang berpengalaman untuk membuat dirinya berpengalaman nantinya, jadi bahkan aku tidak takut untuk memarahi mereka ketika mereka melakukan kesalahan. Satu bulan aku menjadi seniormu, dan kurasa sekarang kau sudah mengerti banyak hal yang kuajarkan padamu, dan dengan begitu, menurutku kau sudah bisa menjadi seorang senior. Kau harus berbagi pengalamanmu pada juniormu nanti, agar juniormu nanti bisa berpengalaman sepertimu juga. Dan aku yakin, kau bisa."
Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Hingga akhirnya Tantri buka suara.
"Aku tahu kakak tidak suka ini, tapi, boleh aku memeluk kakak?"
"Kemarilah, ini akan menjadi yang pertama dan terakhir kalinya kita berpelukan, sebab mulai besok aku sudah tidak lagi disini," ucap Ayang, Tantri pun langsung berdiri dan menghampiri Ayang yang berdiri di depan pintu dan langsung memeluknya.
Di dalam mobil, Isa yang sedang mengemudi kembali bertanya pada Arvin dengan pertanyaannya tadi.
"Kak"
"Hm?" sahut Arvin.
"Apa yang terjadi di kasino itu? Kenapa kakak dan Dina bisa ada di rumah makan Populer? Dan kenapa Dina telat mengabarkan padaku kalau kalian sebenarnya sudah berada di rumah makan itu?"
"Salahkan dirimu yang bodoh dan gila," jawab Arvin.
"Eh? Apa salahku?"
"Kenapa kau suruh dia untuk kencing di toilet di kasino itu?"
"Itu adalah solusi terbaik, dia ingin kencing, tidak mungkin kan kalau aku menyuruhnya kencing di parit atau di tengah jalan? Tidak ada tempat terdekat untuk kencing selain di kasino itu."
"Solusi terbaik? Aku baru tahu kalau solusi terbaiknya adalah dia harus mengalami pelecehan dulu sebelum bisa kencing."
"Apa?! Pelecehan?!"
Anak-anak Jhana hanya terdiam mendengar kakak-adik itu berbincang.
"Hampir," ujar Arvin.
"Apa maksudmu?! Katakan dengan jelas!"
"Aku tidak tahu bagaimana, tapi, ketika aku melihatnya dia sudah ditahan oleh dua orang pria yang menjadikan dia sebagai bahan taruhan."
"Lalu, apa yang terjadi?!"
"Dua pria itu berjudi dengan pria lainnya dengan hadiah utamanya adalah Dina, dan seorang pria memenangkan perjudian itu, pria itu berusaha menyentuh area sensitif Dina, dan aku menghalanginya dengan cara menghajarnya."
"Area sensitif?"
"Aku tidak mungkin mengatakannya secara jelas, bodoh!"
"Lalu, apa yang terjadi setelah kakak menghajar pria itu?"
"Aku membawa Dina keluar dan aku keluar dari daftar anggota di kasino itu."
"Kenapa kakak keluar dari daftar anggota di kasino itu?"
"Jika dirimu saja mendapatkan ancaman pembunuhan, apa lagi aku. Tempat itu sudah menjadi tempat yang berbahaya bagiku."
"Kalau begitu, berterima kasihlah padaku," ucap Isa.
Arvin yang terlihat bingung memilih mengabaikan adiknya itu.
"Karena kalau aku tidak menyuruh Dina kencing di kasino itu, mana mungkin kakak keluar dari dunia gelap seperti itu," lanjut Isa.
"Aku tidak akan keluar jika aku membiarkan pria itu melakukan hal yang lebih jauh kepada tunanganmu, dan aku bisa saja melakukan itu. Pikir ulang, siapa yang harusnya berterima kasih pada siapa. Cam kan itu," pungkas Arvin.
'Tega sekali dia jika sampai hal yang tidak di inginkan terjadi pada Dina,' batin Isa.
"Baiklah, baiklah. Aku berterima kasih padamu. Tapi, apa Dina sudah kencing?" tanya Isa.
"Tanya saja sendiri pada orangnya, itu bukan urusanku," jawab Arvin.
"Tinggal jawab 'sudah' atau 'belum' saja apa susahnya," gumam Isa.
Di mansion Dhananjaya, Bunga, Raya dan Shirina tampak akan pergi ke suatu tempat, Ny. Zemira yang kebetulan melihat Bunga membuka pintu depan pun langsung bertanya.
"Kalian mau kemana?"
"Kami mau pergi ke salon dan spa, sekalian kami juga ingin meni-pedi. Ibu mau ikut?" jawab Raya.
"Tidak."
"Bunga, tolong suruh Kevlar datang ke ruangan ibu ketika dia pulang nanti, ada yang ingin ibu bicarakan padanya," sambung Ny. Zemira.
"Untuk apa, bu?" tanya Bunga.
"Biarkan kau tahu dari Kevlar saja nanti," jawab Ny. Zemira.
"Baiklah, kami pergi dulu ya ibu," pamit Bunga. Ny. Zemira kemudian mengangguk.
Sementara Bunga, Raya dan Shirina pergi memanjakan diri, Arka tengah asyik bermain dengan kucing-kucing peliharaan keluarga Dhananjaya bersama Ismail.
Ismail tertawa melihat Arka yang kewalahan mengejar kucing-kucing yang baru saja dibebaskan dari kandang mereka.
"Arka, kemarilah," suruh Ismail, Arka pun menghampirinya.
"Kalau kau mau membuat mereka mendekat, beri ini," ucap Ismail sembari memberikan makanan kucing pada adik tiri Fina itu.
"Apa setelah aku memberikan makanan kucing ini mereka akan mendekatiku?" tanya Arka.
"Tentu saja, karena mereka pasti sudah lapar. Mau paman temani?" jawab Ismail.
"Boleh."
'Anak ini ..., kebaikan hatinya sama dengan Tuan Rasyid,' batin Ismail yang masih tersenyum.