Chereads / Aku Dipinang Tentara / Chapter 9 - Delapan Belas

Chapter 9 - Delapan Belas

Setelah inseden jatuhnya Mega saat lomba lari dengan Abdi, dengan penuh semangat Mega membersihkan kamarnya memebreskan beberapa berkas laporan keuangan yang baru saja kemaren di verifikasi oleh pak Zikri dan untuk ke sekian kalinya Zikri ngomel tanpa perasaan karena ada beberapa SPJ yang tidak sesuai, kalau saja bukan sepupunya sudah ia sumpahin.

Mega menelisik beberapa berkas dan di susunnya dengan rapi, di sela kesibukannya itu nada dering Hp berbunyi dengan nyaringnya setelah mencari sumber suaranya ternyata itu nada dering Hp milik Abdi, walnya Mega ragu untuk menerima telpon itu tapi rasa penasaran menghantui, ketika Mega ingin menggeser tombol hijau tanda menerima telpon nada dering itu telah berhenti. Mega meletakkan kembali Hp itu tapi beberapa saat kemudian Hp itu berdering lagi dan dengan cepat Mega menekan tombol hijau di layar dan terdengar suara perempuan di seberang sana.

"Hallo Abdi... kamu dengar saya" kata perempuan di seberang sana, Mega diam mengamati suara siapa tapi nihil dia tak mengetahui pemilik suara itu.

"hallo Abdi.. kamu masih di sana? " orang di seberang sana berujar lagi, Mega tetap diam seribu bahasa fikirannya mulai di liputi keraguan siapa gerangan perempuan ini.

"Ini saya Nike sepupu kamu, aku di rumah nenek, katanya kamu baru saja menikah makanya aku pulang dari Belanda" kata perempuan yang bernama Nike, setelah mendengar penuturan lawan bicaranya akhirnya Mega beruara.

"ini saya istrinya " jawab Mega dan terdengar gelak tawa yang renyah di seberang sana.

"alhamdulillah, kamu Mega ya? " tanya Nike lagi setelah berhenti tertawa.

"iya.. saya Mega" kata Mega menjawab pertanyaan Nike.

"Mega... aku pengen ketemu kamu, soalnya dari kemaren Ayu banyak cerita tentang kamu makanya aku ingin bertemu " sahut Nike

"Insyaallah hari ini kerumah nenek, tadi mas Abdi juga berencana mau ke sana kita ketemu di sana ya! " pinta Mega dengan lembut kepada sepupunya Abdi. Telpon itu di tutup oleh Nike setelah mengucapkan salam dan di balas lembut oleh Mega.

"Mega" Panggil Abdi dari arah kamar mandi. Mega menolehkan kepalanya ke arah panggilan tadi dan mendapati Abdi memunculkan kepalanya di balik pintu. Mega sedikit bingung.

"kenapa? " tanya Mega

"ambilkan handuk yang ada di kasur! saya lupa membawanya"

Mega agak ragu untuk berjalan tapi desakan Abdi makin menjadi dan akhirnya Mega berjalan menuju pintu kamar mandi yang tadi di tutup Abdi lagi. Agak ragu ia mengetuk pintu putih itu tapi akhirnya ia memberanikan diri untuk mengetok pintu itu tapi ketika pintu itu terbuka ia buru-buru menutup matanya dan mengarahkan handuk itu.

Abdi bingung melihat istrinya yang tiba menutup mata saat menyerahkan handuk itu kepadanya. Awal semula Abdi hanya ingin mengambil handuk yang ada di tangan Mega kini ia tergoda untuk menarik istrinya itu masuk ke dalam kamar mandi.

"kenapa kamu menutup mata? " tanya Abdi

"tidak apa-apa, ini handuknya " kata Mega berujar sambil menyerahkan handuk yang masih belum di sambut oleh Abdi.

Niat hati untuk mengambil handuk tapi niat itu buyar melihat tingkah Mega yang membuat ia tergoda untuk menariknya kedalam.

"lupakan handuknya" kata Abdi berujar berbarengan ketika ia menarik tangan Mega untuk masuk kemar mandi dan menutup pintu itu lagi.

****

Suasana di caffe itu terlihat lenggang, musik pop mengalun lembut terlihat di pojokan meja Mala dan Jec sedang mendiskusikan sesuatu, terlihat dari ekspresi Mala yang tak berhasabat.

" sudahlah.. lupakan.. dia sudah menikah" nasehat Jec tak mengena di hati Mala, perempuan itu sama sekali tak menggubris nasehat temannya itu.

"tapi.. Abdi itu milikku" Kata Mala menggebu-gebu tidak mau kalah.

"aku tidak ikut campur, masalah ini kamu urus sendiri jika suatu hari kamu bermasalah dalam hal ini jangan libatkan aku" terang Jac yang tak mau di libatkan sama sekali.

"ingat Mala, Abdi bukan tipekal orang yang mudah goyah, ketika dia terusik apalagi mengganggu apa yang sudah menjadi miliknya, kamu bisa.. " Jac belum menyelesaikan kata-katanya tapi Mala menyela dengan keegoisannya.

"aku tidak perduli, Abdi milikku dan akan tetap menjadi milikku"

"jangan egois Mala, dulu kamu mati-matian memisahkan Abdi dengan Tania setelah mereka berpisah apakah kamu mendapatkan Abdi? tidakkan, kamu harusnya menerima dengan lapang dada"

" sudahlah... kamu tidak bisa di ajak kerjasama, aku akan urus sendiri, dulu aku bisa memisahkan Abdi dengan Tania sekarangpun aku masih bisa" kata Mala sambil berlalu meninggalkan Jac yang kebingungan dengan sifat Mala dari dulu tidak berubah dan malah makin menjadi -jadi.

***

Rumah nenek Ara terlihat lenggang, tak tampak banyak kesibukan. Rumah sederhana bertingkat satu, tamannya bertata rapi terlihat asri dan sejuk.

Terlihat di sebuah kursi di taman belakang rumah itu Mala, Nike dan nenek Ara sedang bersenda gurau. Tawa mereka terdengar sampai ke depan ketika Mega dan Abdi menginjakkan kaki di rumah itu.

"sepertinya ada tamu lain" Mega berujar sambil mengikuti langkah Abdi yang lebar menuju ke dalam rumah.

"mungkin" sahut Abdi.

Langkah mereka berhenti di halaman belakang, terlihat Mala menolehkan kepalanya menyambut ke datangan Abdi, Mala menawarkan senyuman yang manis ketika melihat Abdi berjalan mulai mendekat. ia berdiri ketika Abdi dan Mega sudah dekat.

"ini yang namanya Mega? " kata Nike berujar ketika pandangan matanya kearah wanita berkerudung merah mudah terlihat manis senada dengan gamis yang ia pakai.

"iya" sahut Mega dengan lembut, arah mata Mala terjutu pada Mega, mengunci rapat wajah itu, inilah perempuan yang tanpa melakukan apapun malah mendapatkan Abdi dengan mudahnya.

"apa kabarnya nek? " sahut Abdi memecah suasana yang mulai terlihat tegang.

"alhamdulillah.. baik" sahut nenek Ara sambil menyambut uluran tangan Abdi dan Mega.

Suasana itu kembali mencair, Mega sudah bisa berbaur dengan mereka, sementara Abdi tak ambil pusing dengan kehadiran Mala, sebab dia memang sering datang kerumah neneknya, melihat waktu itu neneknya membela Mala mati-matian di depan ibunya sudah jelas condong hati neneknya hanya ke pada Mala.

"Abdi bagaimana kabarnya? " tanya Mala antusias.

"seperti yang kamu lihat" sahut Abdi santai sambil menarikkan kursi untuk Mega.

"aku kok ngak tau kamu sudah menikah, ini istri kamu ya? " tanya Mala yang arah pandangannya tak lepas dari Mega. Abdi tak menggubris pertanyaan Mala, ia malah duduk dekat istrinya dan menyapa sepupunya yang berprofesi sebagi pengacara itu.

"oh ya Abdi minggu depan reuni sekolah kita loh, kamu ikutkan? " tanya Mala

"kita lihat nanti, soalnya saya ada tugas di luar kota" kata Abdi berujar.

"oh ya.. dimana? " Abdi belum menjawab pertanyaan Mala, Nike mengajukan pertanyaan untuk istrinya.

"kamu kerja Mega? " tanya Nike, Mega menganguk sekenanya, karena wanita cantik tanpa jilbab yang duduk di sampingnya ini terlihat ramah dan tak ada tanda-tanda tidak menyukainya.

"memang harus begitu, apalagi Abdi sering pergi jadi kalau Abdi pergi kamu masih ada kesibukan" sahut Nike yang antusias berbicara dengan Mega.

"tapi kalau saya sih mending di rumah aja setia menunggu suami, benarkan nek? " kata Mala berujar dan mendapatkan respon baik dari nenek Ara, Abdi dapat melihat istrinya kurang nyaman dengan kehadiran Mala. ingin ia mengajak istrinya itu untuk pulang saja tapi kata-kata itu tak mampu ia utarakan melihat Nike sangat menyukai kehadiran Mega.

"saya permisi ke dapur dulu! " kata Mega berdiri

"saya antar! " tawar Abdi tapi di tolak halus oleh Mega.

"tidak apa-apa, Mega sendiri saja" tolak Mega dengan halus. Setelah mendpatkan anggukan dari Abdi, bergegaslah Mega membawa kakinya menuju dapur padahal ia belum tau arah dapur itu di mana, tapi ia terasa sesak nafas berlama-lama di sana, melihat tatapan Mala yang kurang bersahabat tapi selalu menawarkan senyuman manis ke arah suaminya.

Mega menuangkan air putih kedalam gelas, setelah bertanya kepada pembantu di rumah itu akhirnya ia menemukan dapur di rumah nenek Ara.

"jadi itu yang namanya Mala Agustina, pantesan... orangnya cantik" keluh Mega di dalam hatinya, rasanya nyalinya menciut Melihat Mala yang begitu cantik dan sangat dekat dengan Abdi, sementara dia sangat susah mengawali pembicaraan dengan Abdi yang notabennya sangat irit bicara.

"Mega Aira" panggil Mala yang ternyata mengikutinya ke dapur. Ia berjalan mendekat, menelisik dalam -dalam perempuan yang ada di depannya" tanpa polesan make up bagaimana mungkin wanita ini sangat cantik" Mala beujar di dalam hatinya.

"ada apa? " tanya Mega yang merasa jengah dengan kehadiran wanita ini.

"hanya mengigatkan saja" kata mala

"tentang" sahut Mega

"Abdi.. tentang Abdi" kata Mala menjeda sebentar melihat reaksi Mega tapi wanita itu diam, tenang dan mengikuti arah pembicaraan Mala.

"Aku harap kamu mundur dengan teratur, bercerai baik-baik dengan Abdi maka aku akan sedikit berbelas kasih denganmu" kata Mala.

"kenapa kamu membicarakan sesuatu yang tidak penting, ingat nona saya ini bukan tipikal orang yang takut ketika di takut-takuti, kamu menyukai suamiku? " tanya Mega.

Terlihat Mala sangat emosi ia seperti tak mampu mengendalikannya.

"kalau kamu menyukainya, kenapa repot -repot mengancam saya dan ingat satu hal, sampai matipun saya tidak akan pernah bercerai dengan Abdi" Mega berujar lagi hal itu membuat Mala emosi dan melayangkan tamparan keras ke pipi Mega.

"lihat... kamu sudah kalah, biasanya orang yang sudah melayangkan tamparan itu tandanya sudah kalah, kalah oleh emosinya sendiri" kata Mega berujar lagi tak mau kalah ia malah mengatakan sesuatu yang membuat Mala tambah emosi.

"perempuan perusak, kamu fikiri dengan menampar saya kamu meresa hebat, sana katakan kepada Abdi jangan malah menekan saya" sahut Mega lagi panjang lebar.

"kamu itu hanya perempuan pengganti, yang namanya pengganti akan selalu di buang ketika sudah tidak di butuhkan lagi" kata Mala, tapi Mega malah tak terpancing sama sekali dengan kata-kata yang di lontarkan Mala.

Suasana di dapur itu sangat tegang, Abdi yang baru saja datang melihat situasi yang kurang baik, Mala begitu emosi seperti ingin menelan habis istrinya.

"Ada apa ini? " tanya Abdi yang tiba-tiba datang, keduanya serempak diam membisu.

"tidak ada apa-apa, aku mau pulang, kita pulang ya! " ajak Mega.

Abdi mengiyakan ajakan istrinya itu, mereka berdua pamit dengan nenek Ara dan juga Nike , padahal Nike sudah merengek dengan Abdi agar Mega menginab di rumah neneknya tapi Abdi tak mengabulkan permintaan sepupunya itu.

***

Ketika di dalam mobil Mega diam seribu bahasa, Abdi yang sedang menyetir sedikit kebingungan hingga ia berfikir ini Gara-gara kejadian di kamar mandi ketika ia menarik Mega.

"Mega apa kamu masih marah atas kejadian pagi tadi? " tapi Mega belum menyahut ketika Abdi menanyakan itu.

"Mega... oky saya minta maaf! jika ini berhubungan dengan kejadian pagi tadi, tapi saya ini halal untuk melihat semuanya Mega termasuk.. " Abdi belum menyelesaikan kata-katanya Mega sudah menyelanya.

"tidak, bukan masalah itu" sahut Mega yang masih setia dengan arah pandangannya keluar jendela.

"terus" kata Abdi tidak sabar.

Mega tetap diam fikiranya masih melayang tentang perdebatannya dengan Mala, ia tidak habis fikir terbuat dari apa hati Mala itu hingga begitu membatu dan keras kepala tapi entah memiliki keberanian dari mana hingga ia mampu menang telak dengan Mala yang mulutnya sungguh tak bernorma. Sebenarya dari tadi tangannya masih gemetar dan rasa gemetar itu berlangsung hilang ketika sudah meninggalkan jauh rumah nenek Ara.

Abdi masih menunggu jawaban dari Mega tapi perempuan itu sepertinya tetap tutup mulut dan Abdi juga tidak tau tentang insiden penamparan yang di lakukan Mala.

" tunggu dulu! ini pipi kamu merah begini kenapa? " tanya Abdi ketika mengarahkan pandangannya ke sisi kirinya tempat Mega duduk.

"tidak apa-apa " sahut Mega berusaha menyembunyikan. Abdi tak mempersoalkan lagi tentang itu ia kembali fokus di balik kemudinya menuju rumah mereka, memeprsiapakan keperluan untuk pergi besok. Tapi ia masih penasaran dengan sikap bungkamnya istrinya itu, Mega memang sangat susah terbuka dengan orang lain saat ini pun mereka masih dalam tahap membangun hubungan dan mencoba untuk saling terbuka karena dua orang yang berbeda di satukan dalam ikatan pernikahan tidak segampang membalikkan telapak tangan untuk menyatukan prensip dan saling terbuka. Mereka adalah dua orang asing yang di pertemuka oleh takdir dan di ikat oleh ikatan suci.

***