Sekarang aku dan Madoka berada di kamarku.
"Katanya mau kasih tau ayah dan ibu."
"Teman-teman ku belum pulang! Aku takut nanti paman dan bibi menyerahkan ku kepada mereka!".
Walaupun aku sudah bilang ingin menghadapi masalahku, tapi belum saatnya aku bertemu dengan mereka apalagi dengan Reina.
Aku sama sekali tidak ingin bertemu dengan Reina. Bukan karena dendam atau kesal kepadanya tapi hatiku tidak enak jika bertemu dengannya.
"Dasar Kaname… sebentar. Kalau Kaname rasanya gak enak manggil kamu."
"Jadi kamu enaknya gimana?".
Madoka mendekatiku lalu mendekatkan dahi nya ke dahi ku. "Gimana kalau Kakun?".
"Kakun?".
"Iya, Kakun. Nama Kazuto dan Kaname huruf depannya kan Ka, nah kalau ditambah Kun jadi Kakun."
"Aku merasa seperti jadi ayam Kalkun."
"Hehe. Gak papa kan?".
Dengan wajahnya yang begitu dekat ini, rasanya ingin kucium dia. Tapi belum saatnya, ada waktu yang tepat untuk melakukannya.
"Jadi besok kasih tau ibu dan ayah ya Kakun."
Serius, aku merasa seperti jadi ayam Kalkun kalau dipanggil seperti itu. Sama sekali tidak enak dipanggil seperti itu.
"Sudah, sudah! Panggil aja Kaname! Anggap aja itu panggilan khusus mu untukku."
"Baiklah kalau begitu. Memang Kaname yang paling dipanggil nya."
Dasar.
Tapi setelah kupikir-pikir lagi Madoka ini adalah tipe perempuan idamanku. Rambut yang panjang, badan yang… yah gitulah, dia sangat penyayang, dan dia pakai kacamata. Walaupun perempuan berkacamata bukanlah tipeku tapi kalau Madoka cocok banget pake kacamata.
"Kaname, apa kau serius tidak ingin menyapa teman-teman mu?".
"Aku masih takut bertemu dengan mereka Madoka. Apalagi dengan Reina…."
Wajah Madoka langsung cemberut. "Apa maksudnya itu? Kau masih menyukai Reina?".
"Bukan, bukan. Aku tidak enak bertemu dengannya. Setelah dia mengatakan hal seperti itu, aku takut sekali bertemu dengannya."
Madoka memegang kedua tanganku. "Setidaknya kamu temui lah teman yang kamu paling percaya diantara mereka."
"Teman yang aku paling percaya? Aku tidak punya—".
Tiba-tiba wajah jelek Mamoru melintas dipikirkan ku. "Baiklah. Tapi Madoka harus ikut denganku ya."
Aku berdiri dan Madoka ikut berdiri juga. "Pasti! Kaname kan gak bisa-bisa kalau gak ada aku."
"Oh? Sudah sombong ya. Dan juga cara bicaramu dengan ku sudah sangat tidak formal ya."
"Kan kita seumuran. Ngapain aku harus formal dengan orang yang seumuran."
Aku langsung menjentik dahinya.
"Ih! Apaan sih!".
"Lagi kepengen aja."
Lalu Madoka membalasnya dengan mencubit pipi kiriku.
———
Sekarang aku berada di halaman belakang penginapan sambil menunggu Madoka membawa Mamoru kesini.
Madoka kuperintah untuk membawa Mamoru dengan cara seolah-olah Madoka meminta Mamoru untuk membantunya mengangkat sofa di belakang halaman.
Tapi apakah Mamoru mengenali penampilan ku yang sekarang? Rambutku masih putih perak, belum ku luntur kan warnanya. Lalu ada garis luka yang besar di bagian pipiku. Luka ini kubuat saat dikereta menuju Takayama. Luka ini adalah tanda dosaku lari dari masalah.
"Dimana sofanya?" aku sudah mendengar suara Mamoru.
"Di halaman ini."
Mamoru membuka pintu halaman belakang dan kami berdua saling bertatap muka. Mamoru memasang wajah penasaran yang artinya dia tidak mengenaliku sekarang ini.
"Terima kasih Madoka."
"Hehe, nanti elus kepalaku ya."
"Iya, iya."
Aku mendekati Mamoru "Lama tidak bertemu."
"… Kau siapa?".
"Aduh duh, masa sama teman baik saja lupa. Kita baru satu bulan tidak bertemu."
Wajah Mamoru terlihat terkejut. "K-Kazuto?…."
"Kazuto, bukan aku Kaname. Kan Madoka."
"Iya!".
Mamoru memukul perutku dengan keras lalu dia memukul wajahku hingga aku terjatuh.
"Woi! Apaan dah!".
"Bodoh! Apa kau tau seberapa khawatir nya aku denganmu!".
Aku melihat tangan Mamoru yang bergetar hebat. Dia memang mengkhawatirkan ku ya selama satu bulan.
"Hampir kupikir kau sudah bunuh diri!".
Madoka membantuku berdiri. "Bunuh diri? Aku gak bakal bunuh diri, walaupun sempat kepikiran."
"Kalau dia bunuh diri juga sudah pasti kucegah kok!" Lalu Madoka tersenyum kepadaku.
"Terus, apa-apaan penampilan sok keren itu?".
"Rambut dan luka ini? Ini namanya mengganti penampilan. Namaku sekarang Kaname, bukan Kazuto."
"Jadi kau pelayan yang menyamar jadi Scream tadi malam?".
"Iya."
Mamoru tersenyum dan dia menepuk pundak ku. "Sepertinya dalam satu bulan ini kau berubah ya Kazuto."
"Berubah? Maksudnya penampilan?".
"Bukan itu. Maksudnya aura mu berubah banget. Satu bulan lalu rasanya kau seperti orang hidup tapi punya satu tujuan saja. Sekarang kau seperti orang hidup dengan tujuan yang banyak dihidup nya."
Aku terkejut karena tidak menyangka jika Mamoru mengatakan hal sebagus itu. Aku membalasnya dengan senyuman lalu aku menarik tangan Madoka.
"Mungkin berkat dia."
"Hooh, jadi dia siapa?".
"Hmm… tunangan resmi ku?".
"Serius?".
"Iya. Berkat Madoka aku bisa bertahan sampai sekarang, berkat dia aku dapat menemuimu, berkat dia aku sudah berani menghadapi masalahku, dan berakt dia aku pun dapat tujuan baru."
Mamoru melihat kearah Madoka yang tersenyum manis. "Sepertinya yang kali ini benar-benar mengubah hidupmu."
Mamoru mendekati Madoka. "Terima kasih ya, telah menyelamatkan temanku dari keputusasaan."
"Hehe, sama-sama. Aku Madoka, salam kenal ya."
"Aku Mamoru, salam kenal Madoka."
Setelah itu aku berbincang-bincang dengan Mamoru tentang apa yang terjadi selama aku menghilang dalam satu bulan.
Selama aku menghilang selama satu bulan, kepala Sekolah SMA Tojidai berhasil dikeluarkan berkat ayahku yang memberitahukan semua kebusukan nya. Reina tetap menjadi guru di SMA Tojidai dan dia mengganti namanya menjadi Yuuki Reina. SMA Tojidai dibeli oleh keluarga Kigahara dan ayahku menjadi kepala sekolahnya.
"Sampai hari ini ayahmu mengirimkan banyak sekali agen-agen rahasia untuk menemukanmu," ucap Mamoru.
"Tapi agen-agen itu tidak berhasil menemukan ku," jawabku.
"Siapapun tidak akan menemukan mu jika kau diam di daerah yang sangat terpencil ini."
"Hehe. Walaupun tempat ini terpencil, tapi setiap harinya aku bangun dengan semangat yang tinggi untuk bekerja. Desa ini memiliki atmosfer yang membuat semua orang yang tinggal disini lebih bersemangat dalam melakukan aktivitas sehari-hari nya. Benarkan Madoka?".
"Iya benar."
Mamoru memperhatikan aku dan Madoka secara bersamaan. "Kalian berdua cocok banget ya."
"Iya! Kami berdua cocok banget!," Ucap Madoka.
"Tapi tidak kusangka jika Kazuto bakal berubah berkat seorang perempuan."
"Berisik, semua orang punya cara sendiri untuk mengubah dirinya," balasku.
"Jadi Kazuto kapan kau akan kembali?".
"Setelah tahun baru. Aku akan disini selama satu bulan lagi."
"Baiklah, akan kutunggu kedatangan di tahun depan."
"Iya. Dan jangan beritahu siapapun ya kalau aku disini."
"Baik, baik. Aku tau kau ingin bermesraan dengan pacar barumu."
"Berisik, kalau iya memangnya kenapa?!".
Lalu Mamoru meninggalkan kami berdua di halaman belakang. Tak lama kemudian salju turun dengan sangat cepat di malam yang indah ini.
"Ayo masuk Kaname. Disini dingin banget."
"Iya. Ayo masuk."
———
Keesokan harinya, mereka semua pulang. Sebelum Mamoru pulang, dia memberikan ku handphone ku yang telah ku buang satu bulan lalu. Aku kaget dia bisa menemukannya.
"Kaname…."
"Apa?".
Saat ini handphone ku ada ditangan Madoka dan dia sepertinya menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ada disana.
"Aku tau kamu pernah tinggal serumah dengan Reina tapi…." Madoka memperlihatkan foto ku yang tertidur dan disebelah ku ada Reina yang sedang setengah telanjang yang bangun sambil mengambil foto.
"Hapus saja."
"Bisa jelaskan ini?".
"Intinya aku masih suci."
"Mana aku percaya kalau kamu masih suci kalau liat foto begini!!".
Benar juga apa yang dia katakan. Kalau begitu hanya ada satu cara yang dapat kulakukan agar aku dapat memberitahukan kepadanya kalau aku benar-benar suci.
Aku mendekatkan wajahku ke telinganya Madoka. "Aku saja masih bingung bagaimana melepas kaitnya."
Wajah Madoka langsung memerah. Aku membalikkan badanku dan masuk ke dalam. "Ada apa Madoka?".
Madoka masih terdiam mematung dengan wajah yang memerah. "K-K-KALAU BEGITU AKU AKAN MENGAJARIMU NANTI!".
"Ah tidak usah, gak perlu juga kayaknya. Aku lebih suka menyingkapnya daripada melepasnya."
Setelah itu pembicaraan kami tambah vulgar dan berhasil di berhentikan oleh paman yang kebetulan lewat saat kami membahas hal itu.
"Jadi Kaname, apa yang ingin kau bicarakan?".
"Pertama aku ingin berterima kasih kepada paman dan bibi yang telah merawatku selama satu bulan ini," ucapku sembari bersujud didepan mereka sebagai tanda terima kasihku.
"Kedua, aku ingin kalian tahu kalau aku adalah Kigahara Kazuto. Hashida Kaname adalah nama palsu, bukan lebih tepatnya persona saya selama berada disini."
Paman mendekatiku lalu dia memegang pundak ku. "Jadi kau lari karena masalah mu itu ya."
"Iya paman. Aku tau tindakanku lari dari masalah itu salah, karena itu saya akan menghadapi masalah saya" aku melihat kearah Madoka. "Saya akan menghadapi masalah saya bersama Madoka."
Paman dan bibi terkejut. "Jadi kalian pacaran?".
"Tidak paman, aku telah melamar Madoka."
…
Tiba-tiba hening seketika. Apakah aku telah mengambil rute bad ending?.
"Apa kau serius mengatakan itu?".
"Aku serius paman. Aku sadar jika selama satu bulan ini aku berhasil bertahan dari semua keterpurukan ku berkat Madoka. Karena itu aku rasa pertemuan ku dengan Madoka adalah takdir yang mengikat kami berdua."
HUWAHH! BARU SAJA AKU MENGATAKAN HAL YANG SANGAT MEMALUKAN! BUANG! BUANG! BUANG INGATANKU BARUSAN WAHAI OTAKKU!.
"Aku tidak menyangkalnya. Kau juga masih ingat bukan apa yang aku katakan di kafe kemarin?".
"Iya. Karena itu paman… serahkan Madoka kepada saya."
Aku siap jika tidak diresmikan oleh paman.
"Baiklah, tapi kau harus menunggu satu tahun! Setelah kalian lulus baru ku resmikan kalian berdua."
Aku dan Madoka saling melihat lalu kami berpegangan tangan dengan bahagia.
"Akhirnya mimpimu ke Tokyo terwujud juga ya Madoka," ujar bibi.
"Iya Bu! Apalagi aku bersama orang yang aku sayangi."
"Ingat ya kalian belum boleh saling menyentuh! Tunggu lulus dan menikah baru kalian bisa lakukan apa saja!".
Aku dan Madoka menghadap paman lalu bersujud lagi kepada paman dan bibi sebagai tanda rasa terima kasih. "Terima kasih, bibi, paman," ucapku.
"Ayah, ibu, terima kasih banyak."
Setelah itu paman menutup penginapan Mizutani untuk hari ini dan dia mengadakan pesta pertunangan kami berdua, walaupun kecepatan untuk dirayakan.