(POV Masato/Leon)
10 tahun lalu, tepatnya di tahun 2010 aku sedang berada di rumah sakit untuk bersiap operasi pengangkatan ginjal. Kaede, adik kecilku masih di samping ku sambil membaca buku gambar yang kubuatkan untuknya kemarin. Walaupun belum selesai ku gambar semua, tapi tetap saja dia membacanya berulang kali.
"Kakak! Setelah kakak operasi kita lanjutkan buku ini ya."
"Iya Kaede, karena itu Kaede pergi sana dulu ya. Turuti kata dokter."
Kaede cemberut dan memegang erat tanganku. "Tapi kak, Kaede gak mau disuntik lagi."
Aku mengelus-elus kepala Saya agar dia senang.dari dulu Saya sangat senang jika kepalanya di elus-elus. "Setelah ini Saya gak bakal lagi disuntik kok."
Setelah mengelus kepalanya, aku memeluk Kaede. "Pokonya setelah ini kakak akan terus bersama Kaede biar Kaede gak kesepian lagi."
"Yeah! Janji ya kak!" Kaede mengangkat jari kelingking nya untuk membuat janji kelingking.
Kemudian aku mengangkat jari kelingking ku dan membuat janji kelingking. "Yang mengingkari janji akan digigit panda! Janji jari kelingking!".
"Pfft. Kenapa digigit panda?".
"Gak boleh yah? Padahal panda itu lucu…."
"Boleh kok" Aku mencubit kedua pipi Kaede hingga wajahnya terlihat jelek. "Dah dulu ya, kakak mau pergi ke tempat dokter."
"Baik!".
Ayah sudah memberitahukan kepadaku kalau hari ini aku harus operasi pengangkatan ginjal kiriku. Aku melakukan operasi ini demi Kaede, dia mengalami gagal ginjal sebelah sehingga dia tidak dapat beraktivitas seperti anak-anak lainnya. Walaupun aku tau resiko memiliki satu ginjal saja, tapi aku tetap menjalani nya demi adik kecilku Kaede.
"Ayah…aku boleh jujur gak?," Ucapku ke Ayah didepan kamar operasi.
"Jujur apa?".
"Aku takut."
Anak kecil berumur 6 tahun seperti ku sudah menghadapi operasi yang dapat membahayakan nyawa ku jika tidak berhasil. Wajar saja waktu itu aku sangat takut untuk dioperasi.
"Ayah mengerti kalau Masato takut. Tapi Masato, ini semua demi adikmu. Kamu menyayangi adikmu bukan?".
"Tentu saja aku menyayangi nya."
"Karena itu Masato, kamu harus melakukan ini demi adikmu."
Sekarang saat aku besar aku baru sadar kalau ayahku sedang memaksaku secara halus untuk melakukan operasi ini. Aku juga masih kecil karena itu aku tidak bisa melawan.
Setelah itu aku dijemput dokter dan dibawa ke ruang operasi.
Aku masih ingat saat aku dioperasi waktu itu. Semua orang berpakaian hijau termasuk aku. Bau obat yang menyengat membuat kepalaku sedikit pusing. Dokter mengambil sebuah suntikan yang berisikan cairan penahan rasa sakit dan cairan yang bisa membuatku pingsan. Setelah disuntikkan itu, aku tidak sadarkan diri dan semua pandangan ku gelap.
Saat aku bangun, aku sudah berada di kamar perawatan. Sinar matahari menyinari ku lewat jendela, burung-burung berkicau dengan merdu, dan buku gambar yang ku buatkan untuk Kaede berada di samping ku.
Tak lama kemudian ayah dan ibu masuk ke kamar perawatan ku. Mereka membawakan aku makanan yang paling aku suka yaitu nasi kare.
"Bagaimana keadaan mu Masato?," Tanya Ibuku.
"Baik-baik saja sejauh ini Bu" Tiba-tiba aku merasakan sakit dipinggang ku.
Aku memegang pinggang ku dan mengerang kesakitan.
"Tenanglah Masato!," Ucap ayah.
Ayah dan ibu kemudian dia memelukku dengan erat seolah-olah ingin mengambil rasa sakit yang ku derita. Beberapa saat kemudian rasa sakit di pinggangku hilang dan aku melihat ibu menangis.
"Masato! Maaf! Maafkan ayah!," Ucap ayah sambil memegang tangan kananku.
Kemudian kami bertiga berpelukan dan menangis bersama-sama. Kami bertiga tau kalau yang aku lakukan ini demi senyuman malaikat yang ingin kami lindungi selamanya. Aku harus menahan rasa sakit ini agar Kaede bisa tersenyum dan hidup dengan normal tanpa ada obat yang harus dia minum tiap hari.
Setelah itu aku makan nasi kare yang dibawakan ibu dengan lahap. Kemudian ayah dan ibu memberitahukan kepadaku kalau aku harus memalsukan kematian ku agar Kaede tidak merasa bersalah dan tidak mengalami pengalaman yang buruk.
"Jadi…aku akan tinggal dimana nanti?".
"Kakek dan nenek akan merawat mu nanti. Maafkan kami Masato, kami telah gagal jadi orang tua."
Tentu saja aku tidak bisa melihat ayah dan ibuku menundukkan kepala mereka kepadaku. "Ayah dan ibu tidak gagal! Ini juga keinginanku agar Kaede bisa hidup normal!".
Setelah itu ayah pergi menuju kamar perawatan Kaede sedangkan ibu tinggal bersamaku. Ibu menyanyikan beberapa lagu yang membuatku tenang dan nyaman saat mendengar nya hingga membuatku tidur. Mungkin ini adalah terkahir kali nya aku akan mendengarkan ibu bernyanyi sambil tidur di pangkuannya.
Satu Minggu kemudian, Kaede diberitahu oleh ayah kalau aku meninggal. Upacara pemakaman palsu diadakan dan untungnya Kaede tidak hadir. Bisa dibilang kami membohongi semua keluarga kami kecuali kakek dan nenek.
Setelah upacara pemakaman palsu diadakan, aku pun dibawa oleh ayah dan ibu ke rumah kakek dan nenek di Hokkaido. Tapi sebelum pergi aku meminta ayah mengambil kembali buku gambar yang kubuat untuk Kaede. Di halaman buku gambar itu aku menuliskan sebuah 3 kata yaitu (S.L.I) dan tanggal 02-02-2010. Tanggal itu adalah tanggal aku mendonorkan ginjal ku kepada Kaede.
"Makan yang rajin ya Masato. Makan banyak sayuran biar kamu sehat," Ucap ibuku sambil menangis.
Aku juga ikut menangis. Sebenarnya aku tidak ingin berpisah dari ayah, ibu, dan Kaede. Tapi ini semua demi Kaede, aku harus melewati ini tanpa mengeluh supaya Kaede bisa tersenyum.
Kakek dan nenek sangat menerimaku dan memberikan aku kasih sayang seperti kedua orangtuaku. Mereka selalu menyemangati aku dan menasehati aku untuk sabar dengan semua ujian yang aku terima ini.
Kakek dan nenek sebenarnya sangat menantang kalau aku harus mendonorkan ginjal ku kepada Kaede. Kakek pernah menawarkan ginjalnya untuk Kaede tapi tidak bisa karena ginjal kakek lumayan rusak karena waktu muda kakek sering merokok.
Di rumah kakek dan nenek aku diajari cara bertani, bercocok tanam, diajari bela diri, membuat kebun, dan cara berdagang. Tinggal di daerah pedesaan lebih menyenangkan dibandingkan tinggal di daerah perkotaan seperti di Tokyo.
Tahun demi tahun pun berlalu. Akhirnya aku dapat hidup normal dengan satu ginjal berkat hidup sehat yang aku jalani selama 9 tahun. Di umurku yang sudah menginjak 16 tahun, aku kembali ke Tokyo karena aku berencana untuk melanjutkan sekolahku di Tokyo dan tinggal sendiri di sebuah apartemen. Tentu saja yang membayar apartemen itu adalah ayahku.
Aku mendaftar di sebuah SMA Tojidai dengan beberapa biodata yang dipalsukan oleh ayahku. Namaku yang awalnya Aoyama Masato sekarang menjadi Simakura Leon Ibakura, sesuai dengan inisial (S.L.I) yang ada dibuku gambar yang ku buat untuk Kaede. Nama Orang tuaku dipalsukan, tempat tinggal ku dipalsukan, pokonya semua dipalsukan.
Untungnya saat itu kepala sekolah nya mau menerima semua biodataku yang palsu lewat uang.
Setelah aku berhasil masuk ke SMA Tojidai, aku diperingatkan oleh ayah untuk menjauhi rumah dan aku harus berusaha keras untuk tidak bertemu dengan Kaede.
Sebenarnya kedatangan ku kembali ke Tokyo ini adalah sebuah masalah karena bisa saja aku bertemu dengan Kaede disuatu tempat dan dia menyadariku. Karena itu aku harus menyamarkan penampilan ku dengan mewarnai rambut ku menjadi putih perak. Biar gak disangka aku mewarnai rambut, aku pun mewarnai rambut di kepala ku dan seluruh rambut di tubuhku. Semuanya, tidak terkecuali apapun.
Setahun aku bersekolah di SMA Tojidai dan aku naik ke kelas 2. Di bulan Maret ayah menelpon ku dan memberitahukan kepadaku kalau Kaede akan masuk ke SMA Tojidai. Aku berusaha untuk membuat ayah menghentikan niat Kaede untuk masuk ke SMA itu tapi ayah tetap tidak bisa melawan Kaede.
Dan akhirnya Kaede pun masuk ke SMA Tojidai dan menjadi adik kelasku. Di kelas 2 aku sangat berhati-hati saat keluar kelas agar tidak bertemu dengan Kaede.
Namun suatu hari, saat aku pergi kantin aku tidak sengaja berpapasan dengan Kaede. Aku menyadari jika Kaede sudah besar walaupun dia cebol, tapi melihatnya sehat aku sangat senang. sepertinya dia tidak tahu kalau aku adalah kakaknya, tapi syukurlah. Kalau dia sadar kalau aku kakaknya yang sudah dianggap mati maka dia akan sedih dan merasa bersalah.
Kami berpapasan seperti tidak mengenal satu sama lain. Dia melewati ku begitu saja tanpa melihat ke wajahku. Disaat itu rasa sedih dan senang bercampur aduk.
Aku berhenti berjalan dan tersenyum. "Perjuangan ku selama ini tidak sia-sia...," Ucapku dengan nada kecil.
Kemudian aku melanjutkan berjalan menuju kantin. Dari tadi menahan tangisanku tapi aku tidak sanggup sehingga aku menangis sepanjang jalan menuju kantin.
Sial.
Aku harap suatu saat ada seseorang yang dapat membantuku melepaskan semua beban ini dan membuatku tinggal bersama lagi dengan ayah, ibu, dan Kaede.
Aku tidak akan hilang harapan.
Selama Kaede tersenyum dan bisa hidup tanpa penyakit maka beban ku bisa berkurang.