Menyadari tatapan mata Nia dan Ranata yang jatuh pada dirinya, Arisa segera membenarkan posisi duduknya dan memasang ekspresi wajah setenang mungkin. Namun wajahnya yang memerah sampai ke telinga dan sorot matanya yang berbinar – binar menyiratkan nafsu birahi yang dipendam di dalam hatinya. Nia sebagai sesama wanita yang cukup sensitif tentu saja tidak melewatkan detail ini. Masih dalam kondisi tertindih di bawah pelukan tubuh Ranata, diperhatikannya seluruh detail kondisi sahabatnya ini. Ekspresi wajah, gerak – gerik dan bahasa tubuh Arisa semuanya tidak luput dari pengamatan Nia.
Arisa yang merasa ditelanjangi oleh tatapan mata Nia dan Ranata menjadi semakin tidak nyaman. Ekspresi wajah dan gerak – gerik tubuhnya yang penuh gelisah terlihat jelas di mata Nia dan Ranata. Sadar kalau dirinya tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang hampir tumpah meluap – luap, Arisa segera berdiri sambil menyilangkan tangan di dadanya. Dengan mata yang menatap kesana kemari sambil berusaha menghindari tatapan langsung dengan mata Nia dan Ranata, Arisa pun berkata,
"Rasanya aku ini percuma saja mengkhawatirkan kalian berdua...."
Nia dan Ranata tetap diam menatap Arisa yang terlihat semakin gelisah dan tidak sabar ingin segera kabur keluar dari ruangan kamarnya. Sambil memalingkan wajahnya ke samping, Arisa melanjutkan perkataannya.
"Kelihatannya kalian berdua benar – benar menikmati permainan cinta kalian. Syukurlah Ranata tidak terlalu kasar memperlakukan Nia... Kalau tidak, awas lho!"
Sambil menundukkan kepalanya ke bawah menghindari tatapan kedua sahabatnya yang masih berpelukan telanjang bugil di atas ranjang, Arisa mengeluarkan ancaman yang tidak terdengar seperti sebuah ancaman. Ranata hanya tersenyum simpul mendengar perkataan Arisa. Dia membalikkan posisi badannya dan kini Nia lah yang berbaring di atas pelukan tubuhnya, payudara Nia yang berukuran besar dengan lembut menekan perut Ranata sementara kepala Nia bersandar di dada kekasih nya tersebut.
Mata Nia terpejam menikmati belaian dan pelukan kekasihnya, sementara Ranata yang sedang membelai rambut dan punggung Nia berkata pada Arisa,
"Ya, begitu lah.... Aku kan, sayang Nia.... Mana mungkin aku tega menyakiti dirinya."
Nia tersenyum lebar mendengar kata - kata Ranata. Di usap – usapkannya pipi dan kedua tangannya yang bertumpu pada dada Ranata dan pinggulnya bergerak – gerak mencari posisi yang enak di selangkangannya. Dapat dirasakan oleh Nia bahwa burung besar di selangkangan Ranata dengan nakal mematuk – matuk paha dan selangkangannya.
Arisa hanya bisa menggigit bibir melihat pasangan dua sejoli ini yang sudah kembali bersiap untuk memulai ronde kedua. Sadar bahwa dia sudah hampir tidak bisa menguasai dirinya melawan hasrat nafsu yang perlahan merayap menggerogoti batinnya, Arisa segera membalikkan badannya dan melangkah menuju pintu kamarnya.
Sambil berjalan menuju pintu keluar, Arisa berkata,
'Yah..., syukurlah kalian sudah jadi pasangan mesra sekarang. Kalian benar – benar sangat cocok satu sama lain. Aku sudah tidak perlu mengawasi kalian berdua lagi, jadi aku tinggal dulu. Nikmati sisa permainan kalian, aku gak akan ganggu lagi...."
Ketika Arisa sudah tiba di depan pintu dan merogoh saku bajunya untuk mengambil kunci, Nia yang terbaring diatas pelukan Ranata segara membuka matanya dan bergerak duduk di atas paha Ranata. Sensasi nikmat dari pantat mulus Nia yang begitu lembut dan kenyal menekan paha Ranata membuat garuda yang bertengger tepat di hadapan gua kenikmatan Nia segera bangkit dan berdiri dengan tegak penuh semangat. Tapi Nia tidak mempedulikan hal tersebut dan segera memanggil sahabat baiknya yang mencoba kabur keluar kamar.
"Arisa, apa kamu yakin kamu mau menghindari semua ini?"
Gerakan Arisa segera terhenti saat itu juga, tangannya terpaku membeku di saku bajunya. Sambil mengernyitkan dahi, dia perlahan menoleh dan menatap Arisa. Dengan sedikit terbata – bata, Arisa perlahan bertanya balik kepada Nia.
"Mm – Maksudmu apa?!"
Nia yang saat ini sudah terduduk di atas paha Ranata menaruh ke dua tangannya di selangkangan Ranata, mengapit sang garuda yang berdiri dengan gagah di antara kedua lengannya. Ranata yang merasakan arah pembicaraan mulai serius menatap Nia dan Arisa. Tubuhnya setengah terbangun dari atas ranjang dengan kedua lengannya bertumpu pada siku untuk menahan tubuh bagian atasnya.
Nia yang sedang berkonfrontasi dengan Arisa menatap sahabat baiknya itu dengan tatapan menantang.
Dengan penuh keyakinan, dia tanyakan sesuatu yang dia sudah yakin akan jawabannya kepada Arisa,
"Arisa, kamu sebenarnya juga suka dengan Ranata, kan?"
"Hee~?" "Hue?!"
Arisa dan Ranata sama – sama kaget dan terkejut mendengar pertanyaan Nia.
Dengan gugup Arisa berusaha membuka mulutnya dan membalas pertanyaan Nia secepat mungkin.
"Bi – Bicara apa kamu tiba – tiba ?!"
Wajah Arisa yang jelas – jelas terlihat semakin memerah dan tubuhnya yang gemetaran diliputi rasa gugup menjadi bukti kuat di mata Nia dan Ranata. Dengan semakin yakin, Nia mulai menantang Arisa,
"Arisa, kalau kamu tidak ada perasaan apa pun pada Ranata.... Kamu pasti bisa minum obat cinta yang dulu kamu berikan pada ku, kan? Kalau kamu memang tidak ada perasaan apa pun padanya, pasti kamu tidak apa – apa kalau meminum obat cintanya, kan?"
Arisa membelalakkan matanya lebar – lebar mendengar tantangan Nia. Dia terdiam sesaat sambil menelan ludahnya. Tak lama, Arisa berhasil mengumpulkan keberaniannya dan dengan wajah yang semakin memerah, dia mulai berkata dengan tidak sabaran meski tubuhnya masih diliputi rasa gugup,
"Bb – Baiklah! Aku tinggal minum obatnya saja, kan?! Baik, aku terima tantanganmu, Nia!"
Arisa segera berjalan menuju meja belajarnya dan membuka laci meja tersebut. Diambilnya sebuah botol yang masih berisi tiga butir obat berbentuk kapsul berwarna merah muda di dalamnya.Dibukanya botol tersebut dan di hadapan Nia dan Ranata, Arisa langsung menelan seluruh isi botol obat tersebut.
Melihat kenekatan Arisa, Nia dan Ranata langsung panik dan segera bangkit dari tempat tidur. Mereka berdua langsung berlari menyambar Arisa. Nia merebut botol obat yang telah kosong dari tangan Arisa. Ranata yang melihat botol obat tersebut telah habis segera memegang kedua pundak Arisa yang telah menelan seluruh obat tersebut.
Pandangan Arisa segera mengabur dan tubuhnya terasa semakin panas di tangan Ranata. Reaksi obat cinta yang begitu cepat mulai mempengaruhi Arisa yang menyerahkan dirinya tanpa daya dalam pengaruh obat racikannya tersebut. Dipandanginya mata Ranata dengan tatapan panas penuh nafsu dan mulutnya yang manis mulai mengeluarkan racauan memanggil – manggil nama sahabat dan pacar sahabatnya tersebut.
"Ranata.... Ahhh.... Ranata..."
"Arisa, kamu baik – baik saja, Arisa?"
Ranata yang khawatir menahan tubuh Arisa dengan kedua tangannya dan membawa Arisa yang tidak berhenti meracau sambil terus memandangi dirinya ke atas ranjang.
Nia dengan mata yang mulai basah berlinang air mata melihat kondisi sahabatnya itu bertanya kepada Arisa, "Kenapa kamu minum obatnya sampai sebanyak itu? Arisa! Apa yang kamu pikirkan?!"
Arisa yang sudah sampai di tepi ranjang segera mendorong tubuh Ranata dan melompat menindih tubuh lelaki tersebut di atas ranjang. Arisa merayapi tubuh Ranata yang telanjang bulat dan mendekatkan wajahnya ke wajah Ranata hingga nafasnya yang panas terbakar nafsu menderu membakar wajah Ranata.
Dengan sisa – sisa kesadaran yang dimilikinya, Arisa menjawab pertanyaan Nia sambil tetap memandangi wajah Ranata dengan tatapan penuh hasrat birahi.
"Ahh..., Itu..., karena...., kalau aku..., tidak minum..., yang..., banyak ... , nanti aku ..., membohongi . .., diriku ..., sendiri lagi...,"
Dengan nafas yang terputus – putus, sambil terengah – engah Arisa berusaha menjawab pertanyaan Nia. Dan menyampaikan isi hatinya yang terpendam selama ini....